I love you gitu, kan udah diajarin sama Ian tadi wkwkwkwk
“Kau tidak perlu melakukannya,” kata Ash, sambil bergeser dan kembali berbaring.Setelah melihat keadaan Mae yang baik-baik saja, tubuhnya tiba-tiba kembali bisa merasakan sakit—atau mungkin memang pengaruh obat pereda nyeri yang mulai hilang.“Melakukan yang mana?” Mae menarik kursi dan duduk di samping ranjang Ash. “Memaafkannya—Rowena. Kau tidak harus memahami dan menerima apa yang dilakukannya.”Ash memandang Mae dan lega karena matanya tidak menghindar. Ia bisa kembali menatap mata Mae yang kemarin tidak mau memandangnya.“Rowena—dan aku juga, tidak akan mengerti penderitaan yang kau alami saat itu. Jadi kau tidak perlu memaksakan diri untuk mengerti apa yang dilakukannya.”Ash mengernyit karena rusuknya terasa menusuk saat menghela napas.“Aku pun ikut andil. Mungkin kalau saat itu aku tidak mendekati Carol—membiarkan kalian lewat saja, Carol tidak akan punya pikiran—”“Sejak kapan kita harus bertanggung jawab atas sesuatu yang diluar jangkauan?” sela Mae. Tidak mungkin ia ingin
Tidak mungkin setelah itu Ash akan mengatakan tidak perlu. Ia ingat Mae selalu menyebut keinginan agar dirinya berdamai dengan Rowena, dan itu tidak berubah. Apapun itu, Rowena saat ini keluarganya. Ia memang melindunginya.“Kau sudah banyak melakukan hal untukku. Aku ingin melakukan sesuatu untukmu juga,” kata Mae, sambil menempelkan tangan Ash ke pipinya.Omelan Ian menyebalkan, tapi membuat Mae menyadari hal yang sudah lama dilupakannya. Ash yang selalu memberi apapun untuknya. Tidak ada apapun yang tidak akan diberikan Ash untuknya. “Aku serius saat mengatakan kau harus lebih sering bicara dengannya. Dan terbukti lagi tadi. Rowena tidak sempurna, tapi bukan buruk. Ini normal, semua orang seperti itu.”Mae tidak pernah berpikir akan ada masa dimana ia membela Rowena, tapi ia hanya ingin adil. Lebih mudah mendendam seperti yang diinginkan Ash tapi Mae tidak ingin mengaburkan usaha keras Rowena selama ini.“Kalian bukan keluarga manis sempurna yang selama ini dilihat orang, tapi buk
“Maaf mengganggu, Sir. Tapi Inspektur Stone masih menunggu Anda.”Brad melapor pada Dean yang baru saja keluar dari kamarnya. Penampilannya sudah tidak lagi licin seperti biasa. Ia tertidur saat berusaha menenangkan Rowena “Rajin sekali.” Dean mengeluh. Kalau bisa ia memilih tidur lagi sebenarnya, tapi tidak mungkin saat ada masalah menumpuk yang mengintai.“Lalu Kelly melaporkan kalau Carol Jobs menghubungi kantor Anda lagi, berulang kali.” Brad melanjutkan laporannya.Dean melirik ke arah jam. “Tidakkah penjara punya peraturan? Bagaimana bisa ia menghubungi berulang kali seperti itu?” Ia heran Carol terdengar terlalu bebas.“Mungkin menyuap atau yang seperti itu?” Brad juga hanya bisa memberi tebakan. Ia belum pernah masuk penjara.“Apa yang diinginkannya?” Dean bergumam sambil menarik lepas dasi yang sudah bergantung miring di leher, dan melemparnya ke kursi kerja.Stone berdiri saat melihatnya masuk. “Maaf mengganggu Anda sampai malam,” katanya.“Aku tahu alasanmu bagus, jadi lupa
“Aku ingin marah, tapi ya sudahlah. Kau memang tidak akan pernah mendengar keberatan maupun nasehat dariku,” keluh Ian.“Apa juga yang membuatmu berpikir aku akan mendengar nasehat dan keberatan darimu? Kau bukan ibuku!” desis Ash, sambil menampar kepala Ian yang muncul di bagian atas kursi kemudi.Ian mengantarnya pulang dari rumah sakit, tapi Ash tidak akan berterima kasih kalau pertolongannya dibarengi dengan omelan yang menyebalkan.“AW!” Ian mengeluh sambil mengusap kepalanya.“Tapi mungkin Ian ibu pengganti yang cocok untukmu. Perhatiannya padamu memang seperti seorang ibu,” sahut Mae, yang juga duduk di belakang—di samping Ash.“STOP IT! Sudah cukup aku menjadi supir kalian hari ini. Jangan menambah peran menjadi ibu juga!” sergah Ian, sambil membelokkan mobil ke gerbang mansion lalu membuka jendela agar terlihat oleh bodyguard yang langsung mengenali dan membuka gerbang.“Aku juga tidak mau. Siapa juga yang mau punya ibu laknat sepertinya?” Ash menggeleng juga.“Laknat? Aku sud
“Ya, kami tahu keadaan masih berbahaya. Kami juga tidak mencoba kembali ke Reading,” kata Ash, dengan tenang.“Good.” Rowena kembali mengangkat buku dan membaca. Pembicaraan pendek yang canggung.Mae menyenggol lengan Ash. Ia lega Rowena tampak tidak peduli atas penilain tentang rumahnya, dan menyuruh Ash untuk bertanya atau memulai pembicaraan.Memulai hal yang sebelum ini tidak pernah dilakukannya—menormalkan hubungan diantara mereka.“Mmm… Kau tidak pergi kemanapun hari ini?” tanya Ash, memaksakan diri, dan menurutnya pertanyaan itu pantas.Rowena menurunkan bukunya lagi, dengan wajah bingung. “Kau bertanya padaku?”Sangat langka, sampai ia tidak percaya.“Well, yeah. Obviously.” (Sudah jelas)Ash menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menyembunyikan kecewa karena usahanya untuk tidak menjadi canggung, malah tidak dimengerti.“Oh…” Rowena masih berwajah tidak percaya, tapi mencoba menjawab. “Dean—menyuruhku beristirahat. Agak tidak sehat.”“Ah, benar. Jay mengatakan kau tidak bisa m
“Kau kurus.” Dean berkomentar dengan jujur saat melihat Carol masuk. Dean tidak memakai ruangan sipir, tapi menyamarkan kunjungannya sebagai pengacara. Brad punya cukup waktu untuk menyiapkan surat-suratnya.Memang agak lebih repot karena Dean sampai harus memakai masker dan kacamata untuk menyembunyikan diri, tapi lebih aman. Kalau sampai Stone bisa melaporkan siapa yang ditemui Carol, maka bisa jadi Randall akan mendapat laporan juga.“Anda terlihat tampan, seperti yang saya ingat dua puluh tahun lalu.” Carol tersenyum manis dan duduk dihadapan Dean.“Apa kau memakai parfum?” tanya Dean. Hidungnya tidak amat sensitif, tapi mustahil mengabaikan aroma menusuk yang dihamburkan Carol saat ia bergerak.“Oh… Salah satu teman sel saya meminjamkannya. Saya ingin memberi kesan baik. Bagaimanapun saya akan bertemu dengan tokoh terhormat hari ini.” Carol tampak menyelipkan rambut ikalnya yang kelabu ke belakang telinga.Mata Dean langsung menyipit. Ia tidak ingin berpikir sejauh itu, tapi gera
“Bergeraklah!”Pria berkulit keriput dan berambut jarang itu menggeram marah pada wanita yang berbaring telanjang di bawah tubuhnya. Pinggulnya bergerak mendesak, tapi reaksi yang diterimanya tidak memuaskan.“Bergerak bagaimana, Barnet?” Mae mencoba bergeser agar posisinya lebih nyaman, tapi bukan itu yang diinginkan suaminya.“Setidaknya, tampaklah seperti menginginkanku! Sialan!”Lumatan di bibir diikuti remasan kuat datang. Usaha putus asa untuk membuat Mae mendesah—atau melenguh agar terlihat menikmati kegiatan itu. Namun, alih-alih desahan, Mae mengernyit kesakitan. Barnet bergerak lebih cepat, ingin memuaskan hasrat, diiringi sentuhan dan aneka ragam belaian, tapi Mae hanya menanggapi seadanya. Ia membalas ciuman basah yang beraroma sherry dan keju itu, bibirnya bergerak, terlihat menikmati. Hanya terlihat saja tapi. Ciuman itu terasa tidak jauh berbeda seperti saat Mae menempelkan ikan basah di bibirnya.Mae juga mencoba memeluk pinggang kurus dengan kedua tangan—mencoba ter
Mae jatuh terjengkang. Tidak mungkin sanggup menahan beban tubuh Evelyn yang lebih tambun darinya, dan terkejut juga. Tidak menduga kalau Evelyn akan brutal menyerang di hadapan umum.Namun, seandainya tahu serangan itu datang, Mae pun tidak akan melawan atau menghindar. Penyerangan itu adalah resiko dari pilihannya begitu memutuskan untuk menjadi istri Barnet. Serangan dan cacian adalah hal normal, dan akan diterima—asalkan tidak keterlaluan.“Kau pelacur murahan! Seharusnya kau saja yang mati!”Evelyn mungkin berpura-pura sedih, tapi hinaan dan amarahnya untuk Mae adalah emosi asli yang dilampiaskan dengan sekuat tenaga.Evelyn menjambak rambut panjang berwarna brunette milik Mae, juga berusaha menamparnya. Mae menahan tangan Evelyn agar rambutnya tidak tercabut, dan hanya sempat melakukan itu karena dengan cepat Evelyn ditarik mundur oleh perawat dan dokter yang tadi. Wajah mereka tampak shock menyaksikan kebrutalan itu. Sekali lagi, hanya Mae yang tenang. Dengan bantuan perawat l