"Rani, kamu baik-baik saja, 'kan? Ingat semua jalan pasti akan bergelombang. Makanya kamu harus kuat dan bisa memilih mana yang terbaik. Doa dan usaha adalah cara kita untuk bisa melaluinya, semangat!" hibur Mbak Lilik menguatkan.Tak mampu bersuara, aku hanya bisa mengangguk menyetujui apa yang Kakak iparku itu katakan. Memang benar, hidup ini tidak semulus apa yang kita inginkan, ada kalanya berhenti menata batu yang menghalangi. Terjatuh dan bangkit lalu terdiam di pinggir dengan berbagai macam pikiran yang menjemukan.Hidup selaras itu hanyalah angan semata, sebab jika kita tidak tersandung kelak tidak bisa berdiri tegak memandang lurus ke depan bahwa semua akan indah pada masanya. Entah itu setahun, lima tahun atau nanti usia mulai senja. Rencana Tuhan jauh lebih indah dari apa yang kita pinta.Deru mesin mobil terdengar mendekat, Mbak Lilik pun bergegas berdiri dan melihat siapa gerangan tamu yang datang. Mulut itu menganga dengan mata mengerjap berulang kali."Aldi," bisik Mbak
Aku terkulai di kursi, sesuatu yang aku takutkan terjadi. Seseorang yang ingin aku hindari malah datang dan memberikan kejutan yang membuat jantung ini tak menentu. Debarannya membuat diri seolah tidak berdaya dan tidak bertulang."Minta petunjuk sama yang di atas, apalagi ini menyangkut masa depanmu yang panjang. Jangan lupa juga buang jauh pikiran buruk, supaya bisa percaya diri melangkah maju dengan pasti. Bukankah jika ada keraguan justru akan membuat semuanya hancur berantakan? Kami sebagai keluarga disini hanya bisa berdoa yang terbaik. Semua kembali pada dirimu sendiri, ya," hibur Mbak Lilik akhirnya.Memang dia benar, semua tergantung padaku yang menjalani. Andai aku menolak pun pada akhirnya jawaban jujur telah aku katakan dan jika menerima itu pasti telah aku pikirkan matang-matang karena kegagalan yang lalu tidak akan mungkin aku inginkan lagi.Sesaat kami hening dalam hati, rencana yang akan segera pergi ke toko seakan menghilang. Diri ini menjadi lemah tidak ada gairah. E
"Rani, Mas disini nggak mau memaksakan diri kamu untuk menerima Aldi secepatnya, hanya saja kami tahu jika keputusan itu berat buat kamu. Namun, apapun yang menjadi akhir dari perjalanan kamu, kami berdua akan selalu mendukung." Mas Bima berujar saat aku sudah duduk bersamanya."Seseorang yang pernah terluka pasti akan sulit untuk memulai suatu hubungan lagi, Mas tahu itu. Untuk mencoba pun rasanya Mas nggak akan mengizinkan karena itu hati bukan mainan. Pernikahan juga bukan hal yang baru buat kamu, tapi kamu yakin jika kamu akan mendapatkan pendamping yang lebih baik dari sebelumnya. Jangan membebani diri kamu dengan perkataan Aldi, jangan merasa tidak enak dengan Kakakmu Lilik, juga Mas. Semua ada pada kamu," imbuhnya.Mas Bima benar, aku nggak boleh merasa nggak tega sama Aldi hanya karena sebuah alasan yang tidak jelas. Ini masa depanku dan aku sendirilah yang akan menjalani semuanya."Masih ada waktu, perbanyak berdoa, nggak perlu tertekan karena hidup ini bukan selamanya untuk
Seminggu telah berlalu, Aldi yang merasa mempunyai sesuatu yang belum selesai pagi ini di waktu yang cerah datang dengan membawa buah tangan. Wajah itu terlihat berseri juga sumringah, seperti seseorang yang mendapat durian runtuh.Jarum jam menunjukkan angka delapan, suasana yang masih begitu sejuk dan asri. Burung yang hinggap dari dahan satu ke dahan yang lain pun meramaikan hari yang berwarna-warni. Dedaunan pun bergoyang seakan senang karena cuacanya yang tidak terlalu panas juga dingin.Semua makhluk di bumi begitu bersyukur dengan caranya masing-masing saat semua ini bisa dinikmati secara langsung. Betapa besar ciptaan Tuhan yang telah di berikan kepada kita."Apa kabarnya?" tanya Aldi memecah keheningan pagi ini."Alhamdulillah.""Sepi, kemana semua orang?""Sudah pergi kerja, pagi-pagi sekali mereka berdua disibukkan dengan rutinitas sehari-hari. Maklum, pekerja keras."Hening.Kami sama-sama membisu, andai bisa didengar mungkin detak jantung inilah yang paling keras suaranya
Kabar gembira ini tentu saja aku berikan kepada yang di kampung. Keluarga disana sangat menyambut baik niat Aldi untuk meminangku. Meskipun pada awalnya Ayah mempertanyakan perihal keluarga besar Aldi.Ayah Aldi telah tiada tiga tahun yang lalu, dia tinggal bersama ibunya sendiri di sebuah rumah yang tidak jauh dari kediaman Mas Bima ini. Jaraknya tidak jauh, paling sekitar tiga puluh menit dan itu berarti aku akan ikut tinggal disini dan menetap bersama mereka."Ayah takut jika mereka nggak setuju karena status kamu," ujar Ayah dengan nada sedih."Berpikir positif saja Ayah, besok keluarga Aldi akan datang kesini, doanya semoga lancar." Aku pun mencoba mengalihkan pembicaraan, padahal jujur dalam hati ini pun ragu dan takut."Aamiin, semoga saja lancar sampai hari bahagia. Nanti Ayah dan semuanya akan kesana, kamu anak Ayah dan sudah sewajarnya orang tua akan bertanggung jawab atas pernikahan putrinya."Air mata ini jatuh deras membasahi pipi. Terharu akan perkataan Ayah yang begitu
Mereka berdua tampak lebih cerah dari biasanya. Seperti ada sesuatu yang mereka bicarakan, aku mengambil bantal dan memposisikan diri menjadi seorang adik yang siap untuk diberikan pencerahan dari orang yang lebih tua."Rani, tadi aku mendapatkan telepon dari keluarga Aldi. Malam Minggu besok mereka akan kesini, bertamu dan saling mengenal satu sama lain. Siap?" tanya Mas Bima."InsyaAllah, Mas, tadi sudah mengabari Ayah tentang kabar bahagia ini. Sekedar ingin berbagi, sekalian mohon doanya semoga di lancarkan." "Alhamdulillah, akhirnya kamu menikah juga. Semoga langgeng, kami turut bersukacita." Mbak Lilik menarik tubuh ini kedalam pelukannya. Mata indah itu berkaca-kaca, bukan tangis duka, tapi kebahagiaan. Aku pun sama, ikut juga dalam suasana bahagia yang besar ini. Tak terasa butiran bening yang tidak ingin aku keluarkan akhirnya luruh juga."Kenapa malah menangis semua? Ini kebahagiaan bersama bukan kesedihan. Rani, persiapkan diri kamu dan untuk suguhan biar Mbak Lilik saja
Tepat di malam Minggu rumah ini ramai dikunjungi para kerabat Mbak Lilik, maklum aku adalah pendatang baru yang kebanyakan keluarga besar berada di kampung. Sedang Mas Bima, keluarga dari ibu juga sama. Sehingga Kakak lelakiku itu di sini sendiri, tapi setelah mendapatkan istri yang banyak saudara di tempat ini maka kami pun berbaur bersama.Meja penuh dengan kue-kue tradisional dan modern, di tata rapi dan sempurna menyambut tamu yang menurut Aldi kemarin ada sekitar dua puluh orang. Banyak menurutku karena ini hanya acara bertamu dan saling mengenal keluarga besar. Rasa sedih pun sesaat datang menghampiri, karena Ayah dan ibu juga Mita tidak ada diantara kami."Kenapa sedih?" tanya Ibu Tari, ibunya Mbak Lilik saat melihatku terdiam di kursi memandang ke depan."Nggak, Bu." "Kami ada disini semua, jangan bersedih. Anggap saja kita keluarga kamu, ya," hiburnya lagi yang berhasil menahan air mata ini yang hendak keluar mengalir di pipi.Genggaman tangan Bu Tati menguatkan diri ini men
Seminggu berlalu semenjak hari pertunangan itu, ayah dan keluarga yang kampung datang kesini kembali. Namun, ini lebih banyak karena ada sepupu juga ikut datang ke tempat ini. Hati ini sungguh bahagia, meskipun keluarga besar tidak bisa hadir dikarenakan jarak yang membentang terlampau jauh.Akan tetapi, aku mengucap syukur dan terima kasih kepada mereka yang sudi datang kesini, ke rumah Mas Bima. Persiapan menyambut hari pernikahan sedikit berbeda, karena daerah yang berbeda juga dengan tempat tinggal kami di kampung.Semua di pegang oleh Mbak Lilik, aku? Tidak diizinkan untuk ikut campur dalam urusan ini, terima bersih begitu jawaban kakak iparku yang paling baik itu terhadap adiknya ini. Riuh canda para anak-anak yang setiap malam di rumah ini seolah membuat suasana sedikit berbeda.Yang biasanya sepi karena kami bertiga kini ramai oleh sanak-saudara. Para kerabat Mbak Lilik pun turut serta meramaikan malam menjelang pesta pernikahanku. Padahal aku tidak menginginkan acara yang ra