"Ran, aku ini masih banyak salah sama kamu. Belum bisa membantu dalam segi apapun, tolong jangan meminta maaf terus, Mbak hanya ingin menebus kesalahan di masa lalu. Apapun yang kamu inginkan katakan saja!" ujarnya memohon."Sudah-sudah, kalian ini ada apa? Kita keluarga nggak usah saling beradu. Boleh, Ayah dan Bu Fatimah boleh kesini kapanpun dan kami akan menerima dengan senang hati." Mas Bima menengahi.Kami sampai lupa kalau ada seorang lelaki yang menjadi pemimpin di keluarga ini. Sorot mata yang teduh itu merangkul pundak kami berdua dan meletakkannya pada dada bidang itu. Mungkin juga ini salahku yang tidak berani berbicaralah dengan Mbak Lilik.Entahlah, aku keterlaluan menjadi pengecut sehingga masih ada jarak yang seolah membentang diantara aku dan Mbak Lilik. Padahal jauh di lubuk hatinya menganggapku sebagai adik kandung sendiri."Kapan mereka datang? Biar kami bisa mempersiapkan segalanya," tukas Mbak Lilik dengan menyeka air matanya yang masih tersisa."Dua hari lagi, n
"Rani!" teriak lelaki yang dulu pernah singgah dan bersemayam dalam hati ini.Aku nggak mau lagi terkecoh dengan cerita liciknya, lebih baik menghindar daripada terjerat lagi dalam kubangan kenangan yang telah lama aku buang. Toh, nggak akan ada untungnya buatku, dia masa lalu dan kenapa malah mencari celah untuk bisa kesini?Tak kuhiraukan juga suara panggilan dari Mas Bima dan Mbak Lilik. Sakit hati yang telah aku obati beberapa tahun ini akan bertambah jika duduk bersama mereka di depan. Segera aku menutup pintu kamar dan memeluk guling. Air mata yang tersimpan rapi akhirnya luruh juga. Kembali menganga lebar dan mengeluarkan tetesan demi tetesan darah. Aku benar-benar tak pernah berharap akan bertemu lagi dengan lelaki bernama Rendi tersebut.Ketukan pintu terdengar berulang kali dan menyebut namaku. Suara Mbak Lilik, aku tahu pasti mereka penasaran dengan apa yang aku lakukan karena tidak biasanya aku bersikap acuh seperti ini terhadap tamu."Ran!" panggil Mbak Lilik dengan ketu
"Apa jangan-jangan dia mau balikan lagi sama kamu? Eh, tapi dia sudah punya istri lagi, 'kan?" Pertanyaan Mas Bima membuatku tersentak.Balikan? Itu nggak mungkin, tapi kenapa dia malah menyusul dan mencariku sampai sini? Ada sesuatu yang memang terjadi padanya. Jam dinding sudah menunjukkan di angka sepuluh, berarti di rumah sana semau telah terlelap dalam tidur.Bermacam pertanyaan mulai bermunculan dan memenuhi otak ini. Penasaran pun seakan membelenggu diriku dan membuat kepala semakin sakit. Bagaimana bisa seseorang yang telah pergi meninggalkan hati yang selalu mengharapkan kedatangannya justru kini seolah mencari.Mas Bima berdiri mondar-mandir sambil bersedekap dada, pun demikian dengan Mbak Lilik, kening wanita yang duduk di depanku itu ssmaan memikirkan begitu keras apa yang terjadi saat ini."Mas, akan menjaga kamu dari lelaki gila itu, nggak akan aku biarkan dia menyentuh hatimu lagi. Namun, apakah kamu masih menyimpan rasa untuknya?" Pertanyaan bodoh macam apa yang ditan
"Setiap hari mereka bertengkar dan Mas Rendi akan selalu kesini, Mbak, hingga suatu hari istrinya juga kedua orang tuanya membuat keributan dengan menyebarkan berita kalau kita main guna-guna untuk memikat dia kembali, 'kan, nggak lucu," ketus Mita dengan suara beratnya.Aku tahu adikku itu pasti juga marah dengan fitnah keji tersebut. Karena pada dasarnya kami sekeluarga tidak pernah sekalipun mengharapkan Mas Rendi kembali lagi, jangankan kembali, menyapa saja kami sudah tak pernah sekalipun berpikir ke arah situ.Malam yang dingin seakan merayap dan menyelimuti hati ini, seiring dengan hari yang sudah gelap gulita, aku pun mengakhiri obrolan ini. Rasanya tak sabar menunggu kedatangan mereka semua di tempat ini."Ya, sudah, istirahat dulu besok biar segar karena perjalanan panjang. Jaga Sahira juga, kasihan dia! Salam buat Ayah dan ibu, hati-hati, Assalamualaikum," ucapku mengakhiri pembicaraan dalam saluran telepon.Itulah aku dan Mita, jika sudah membicarakan sesuatu maka akan lup
Aku masih sakit hati dengan perlakuan gila Mas Rendi dan istri barunya. Tak ingin lagi mengenal mereka, buat apa? Toh, kami sudah tak tidak ada lagi sesuatu yang mendekatkan. Safia sudah tenang di sana dan tidak akan menjadi alasan buat dia datang dan pergi sesukanya.Ayah dan keluarga dari kampung tiba hari ini, kebahagiaan ini pun menjadi obat lara ketika luka itu kembali menganga. Ku peluk mereka satu persatu demi sebuah rindu yang membelenggu diri ini. Tahu yang berganti membuat Ibu Fatimah begitu erat memelukku.Pemandangan yang menguras air mata. Pun demikian dengan Mbak Lilik, kakak iparku itu pun membaur bersama kami. Tidak ada jarak antara menantu dan mertua, apalagi dengan Mita. Kami semua bagaikan keluarga sempurna yang telah lama tak bersua."Mari, kita lanjutkan kange ini di rumah saja!" ajak Mas Bima yang dijawab anggukan oleh Yoga dan Ayah. Kedua lelaki yang berhasil membuat kami bahagia itu pun selalu mengembangkan senyumannya."Maaf, ya, nak, jika kami merepotkan. Kam
"Aku, aku … maafkan aku, Pak. Maaf," ucap Mas Rendi tergugu.Entah drama apa yang dimainkan oleh lelaki yang kini bersimpuh di depan Ayah itu. Air matanya berjatuhan membasahi pipi juga lantai rumah Mas Bima. Aku dan semua yang mendengar hanya bisa saling pandang melihat tingkah laku yang tak biasanya ini."Kamu sudah kami maafkan, tapi bukan berarti kami menerima kamu kembali lagi di keluarga ini. Bukannya kami sok pinter dan sok tahu akan perilaku yang kamu jalani. Hanya saja buat apa kamu kesini? Jawab jujur!" tegas Ayah dengan menghentakkan kakinya supaya tidak tersentuh oleh lelaki yang kini masih saja menangis itu.Lelaki yang masih saja bersimpuh itu tak berkutik, dia justru semakin menundukkan kepalanya. Dalam suasana hening seperti ini aku begitu muak melihat tingkah lucu dari mantan suamiku tersebut. Dulu saja saat dia di negeri orang lupa sama aku dan Safia. Mengirimkan uang sepeser pun tak pernah apalagi menelepon.Padahal putri kecil kami saat itu sangat rindu dan selalu
"Dia adalah adikku dan aku tahu bagaimana jalan hidup yang tegak dilaluinya sampai detik ini. Lagian kamu nggak ada muka, ya, mau ngajak balikan istri yang sudah kamu buang?" Mas Bima benar-benar tak bisa menahan emosinya. Terlihat dari urat-urat yang menyembul di bagian leher, juga perubahan wajah yang memerah. Sungguh aku beruntung memiliki kakak lelaki yang menyayangi diri ini begitu besar."Mas Rendi ….""Lihat! Lihat adik kamu yang masih menyimpan rasa untukku. Aku tahu, Ran, jika kamu hingga detik ini masih ada rasa untukku. Aku percaya jika kita akan lagi bersama. Rani, tolong maafkan salahku waktu itu, aku mau memperbaikinya. Jangan kamu dengarkan perkataan orang lain yang justru akan membuat keruh pikiran kamu dan membuyarkan segala apa yang sudah kamu rancang. Kita akan mulai lagi bersama dari awal. Aku janji akan menjadi suami dan ayah dari anak-anak kita kelak. Aku janji!" Lelaki itu begitu yakin akan aku terima.Ucapannya, gestur tubuh yang di tunjukkan pada kami semua s
Semua duduk rapi di tempatnya masing-masing. Ibu Fatimah yang bersebelahan denganku seolah ada sesuatu yang di takutkan kala kami semua membisu di ruang tamu ini. Mita dan Mbak Lilik menyajikan minuman kepada kami semua, seperti apa yang aku instruksikan.Masih dengan posisi penuh keyakinan yang besar, Mas Rendi menebar senyum saat kami hanya menanggapi dia dengan sinis. Tak ingin berlama-lama juga aku menahan diri, sesaat setelah mataku dan ayah bertatapan kini saatnya aku memulai perbincangan untuk mengakhiri harapan Mas Rendi yang aneh."Sudah minumnya? Mas Rendi pasti haus karena jauh-jauh datang ke pulau seberang sini demi mendengar apa yang hendak aku katakan bukan?" tanyaku memecah keheningan.Dia mengangguk lalu membenarkan posisi duduknya, mengambil sepotong buah semangka merah nan segar yang disediakan di atas meja. Memang warnanya sangat menggugah selera, apalagi rasanya yang begitu manis. Siapa yang menolak? Jelas kami semua, karena buah itu hanya dinikmati oleh mantan sua
Perjalanan rumah tangga selama hampir satu tahun bersama Mas Aldi terasa indah. Adakalanya menangis, tertawa bercampur dan berganti bagaikan musim yang sedang terjadi di dunia ini.Kerikil-kerikil kecil menghalangi jalan kami, tapi Alhamdulillah masih bisa dilalui dengan baik karena pemikiran yang dewasa dan tenang dari suamiku itu membuat diriku semakin jatuh cinta dan bersyukur betapa memilikinya adalah anugerah paling indah juga beruntung.Bulan ini adalah bulan di mana aku akan melahirkan. Segala keperluan sudah aku penuhi, tinggal menunggu lahiran. Malam ini udara terasa panas, kipas angin yang selalu berputar seolah tidak terasa sama sekali. Bahkan pakaian tidur yang aku kenakan pun sudah berganti yang tipis, tapi masih saja terasa gerah."Mungkin memasuki musim baru, ayo, tidur di dalam saja!" ajak Mas Aldi saat melihatku yang tengah mencari tempat paling nyaman.Di teras, di ruang tamu, di depan televisi juga di ruang makan sudah aku jelajahi. Akan tetapi, masih saja sama tid
Seminggu sudah aku dan Mas Aldi memulai babak baru di rumah ini. Semua sudah lengkap, rumah disulap menjadi tempat ternyaman saat lelah raga melanda. Berbagai macam tanaman pelengkap sayuran berada di taman belakang.Sedang ditaman depan, aku berikan sedikit sentuhan dengan bunga mawar dan tanaman lainnya. Sejuk jika dipandang mata sambil menikmati teh hangat di kala pagi ataupun senja tiba.Begitulah kami menikmati indahnya hidup ini, saling bercengkrama dan bercerita tentang pekerjaan dan juga rumah. Iya, meskipun aku sudah menjadi istri, tapi toko yang ku punya tetap berjalan hingga detik ini.Tidak dilarang untuk bekerja oleh Mas Aldi, karena itulah caranya untukku supaya bisa tetap bahagia. Sebab, dirumah aku kesepian jika dia bekerja. Semuanya lancar, pekerjaan, rumah tangga juga hubungan dengan orang tuanya.Alhamdulillah, itulah yang aku inginkan sejak dulu. Selalu harmonis dan terjaga meskipun terkadang dalam berumah tangga itu ada kerikil kecil yang menghalangi jalannya. Pem
Hampir tiga hari kami baru sampai di rumah lagi. Bermalam di kediaman Mas Bima semalam lalu ke rumah Mas Aldi. Disini aku memulai babak baru menjadi istri sepenuhnya.Rumah mungil minimalis yang begitu indah, Mas Aldi membelinya saat masih sendiri. Uang tabungan yang selama ini di simpan di belikan rumah sebagai tempat bermuaranya kami dalam rumah tangga. Meskipun di tinggal lama, tapi bersih karena selalu dijaga dengan baik oleh seseorang yang diminta Mas Aldi untuk membersihkannya."Ini rumah kita, rumah kamu dan aku. Rawatlah dan jaga seperti rumah sendiri. Semoga kelak kita menua disini bersama anak dan cucu." Tangan itu menggenggamku erat.Ada rasa haru dan bahagia kala memiliki istana mungil ini. Kebahagiaan seorang istri adalah mempunyai rumah, hidup bersama keluarga kecilnya. Kasarnya makan dengan garam tak mengapa jika bersama suami dan anak."Aamiin," balasku tersenyum senang.Mengucapkan salam saat pintu rumah mulai terbuka perlahan-lahan. Lantai yang putih bersih dan perle
Mobil travel sudah sampai di depan rumah, Pakde Nyomo beserta anak istrinya datang ke rumah. Padahal sehabis sarapan tadi kami semua berkunjung kesana untuk meminta doa restu supaya perjalanan yang kami tempuh selamat sampai tujuan.Namun, namanya juga keluarga, mereka berduyun-duyun datang dan memberikan doa kepada kami lagi. Ada haru, bahagia dan sedih bercampur aduk menjadi satu disini. Bahkan isakan mengiringi langkah kaki kami untuk pergi ke pulau seberang kembali."Kini saatnya kami mengawali kehidupan yang sebenarnya, mohon doanya semoga diberikan kelancaran dan kesuksesan dalam meraih mimpi yang indah," ucapku haru."Jika ada umur panjang, kesehatan dan rezeki yang melimpah kami akan berkunjung kembali kesini lagi melihat kampung terindah beserta keluarga besar yang selalu aku rindukan ini," imbuhku.Bu Fatimah memeluk tubuh ini lagi, seolah enggan untuk melepaskan. Beliau begitu berat berpisah dariku. Entahlah, sebenarnya aku pun ingin bersama mereka selamanya. Namun, ada ses
Pagi yang cerah secerah mentari yang mulai menampakkan warna Indahnya ke dunia ini. Tumbuh-tumbuhan bergoyang syahdu seiring dengan kicauan burung yang berdiri manja di rantingnya. Dihiasi dengan tetesan embun yang seolah memberikan kesejukan saat menikmati alam yang nyata juga indah ini.Ciptaan Tuhan yang begitu sempurna. Apalagi saat suara Kokok ayam bersahutan di antara cicitan anak-anak ayam membuat suasana pagi yang selalu aku rindukan kala di pulau seberang itu membuatku tersenyum melihatnya.Di belakang rumah Ayah, hewan piaraan kembali saling bersahutan, kambing, ayah juga burung yang hinggap di dahan pohon. Selalu aku menikmatinya dulu saat masih tinggal bersama mereka.Sedang, sayuran yang ditanam ibu di sini terlihat segar dan siap untuk dipetik. Warna cabai yang berwarna-warni menggiurkan dan seolah berteriak meminta untuk diambil dan dimasak. Pun demikian dengan sayuran bayam, kangkung juga terong, ibu memang super lincah.Apapun akan di tanamnya di lahan kosong, memanfa
Dua Minggu sudah aku, Mas Aldi, Mbak Lilik dan juga Mas Bima di kampung. Kini saatnya kami kembalikan lagi ke aktivitas masing-masing. Tidak bisa berlama-lama juga kami disini karena ada pekerjaan yang menanti di sana.Sehabis makan malam, kami berkemas, segala pakaian pun sudah siap untuk dibawa pulang kembali ke tempat semula. Bahkan Ibu Fatimah pun memberikan beberapa oleh-oleh khas kampung ini. Juga titipan buat ibu mertua sudah siap sedia untuk dibawa."Ibu nggak bisa memberikan banyak oleh-oleh, hanya segini saja semoga cukup dan bermanfaat buat keluarga disana," ucapnya saat memberikan beberapa plastik berisi penuh itu."Ini beras ketan buat mertuamu, beliau bilang disana mahal jadi Ibu titip ini, ya," imbuhnya dengan senyum merekah."Terima kasih banyak, Bu. Apa ini nggak merepotkan?" Mas Aldi bertanya saat melihat kami saling memegang plastik hitam itu.Bu Fatimah mengembangkan senyumnya, beliau duduk di sampingku sambil terus mengulum senyum tipis. Pun demikian dengan Ayah y
Kini hanya tinggal Pak Joko dan putrinya yang cantik di sini. Sebab, semua orang sudah meninggalkan rumah Ayah tanpa lagi bertanya atau bersuara. Mereka diam dan berlalu begitu saja bergantian.Aku maju, ingin sekali menampar pipi mulus itu dengan tanganku sendiri. Emosi ini naik ke ubun-ubun. Amarah yang salam ini terpendam ingin aku salurkan pada Nabila. Namun, saat aku hendak berbicara, Pakde Nyomo sudah mendahuluinya."Angkat kaki dari sini! Bukankah kamu mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh menantuku?" ujar Pakde Nyomo lantang dan tegas."Aku tahu kamu sendirilah yang menyebar fitnah keji itu pada keluarga adikku, satu kali kesempatan aku berikan padamu. Andai aku tidak memandang kamu sebagai seorang bapak dan suami yang dianggap baik oleh keluargamu maka sejak awal aku akan mengatakan pada semua warga di kampung ini siapa dirimu yang sebenarnya." Entah pembicaraan macam mana ini. Sepertinya ada sesuatu lagi yang ditutupi oleh Pakde Nyomo."Kamu terlalu sombong karena memp
Pintu rumah digedor dengan keras dari luar saat kita semua jendela menunjukkan peraduan. Yang ada didalam saling menoleh satu sama lain. Entah tangan siapa yang menggedor pintu tanpa jeda itu.Ayah yang hendak membuka dicegah oleh Yoga yang dengan cepat menuju pintu. Suami dari Mita itu membukanya perlahan dan memperlihatkan ada dua orang yang bertamu, tapi memasang wajah tidak bersahabat.Mereka adalah Nabila dan ayahnya, Pak Joko. Terlihat ada yang ingin mereka bicarakan, karena dari sorot mata itu tertuju padaku."Wa'alaikumsalam, ada apa, ya, Pak. Malam-malam kok bertamu?" tanya Yoga sopan.Aku kalau jadi dia nggak akan bersikap seperti itu, terlalu jengah jika harus berpura-pura baik padahal sikap mereka kurang sopan. Sebagai orang tua bukankah harus memberikan contoh yang baik pada anaknya? Namun, tidak dengan Pak Joko, entahlah memang sifat orang beda-beda."Yoga, biarkan mereka masuk. Ayah mengizinkan tamu istimewa kita untuk duduk. Silahkan!" ujar Ayah yang kembali duduk di k
Sampai rumah aku duduk di teras, menghela napas panjang dan mencoba menenangkan diri sendiri karena kejadian barusan. Entah apa yang aku lakukan dahulu sehingga mengalami kejadian seperti ini.Bermimpi melihat Nabila saja tidak apalagi ada kenyataan yang membuat jantung ini seolah berdisko ria dengan irama yang membuat kepala sakit. Tuduhan yang terbalik seakan meruntuhkan segala tembok telah aku bangun untuk tidak mengingat kejadian lampau."Ada apa?" Suara Ibu Fatimah mengagetkan dieku yang menatap langit-langit teras dengan seksama."Kenapa Nabila selalu mengusik ketenanganku, ya, Bu? Padahal aku, lho, sama sekali nggak kepikiran untuk balikan sama Mas Rendi.""Kamu ketemu Nabila?" Lagi, suara ibu terlihat sedikit panik saat mendengar penjelasan tentang masa laluku.Aku mengangguk, lalu menengadah melihat lagi rumah laba-laba yang berada di antara kayu tempat genting. Serta warna hitam yang melekat pada kayunya, seolah menandakan kalau dia sudah lama berada di sini."Ibu juga nggak