"Setiap hari mereka bertengkar dan Mas Rendi akan selalu kesini, Mbak, hingga suatu hari istrinya juga kedua orang tuanya membuat keributan dengan menyebarkan berita kalau kita main guna-guna untuk memikat dia kembali, 'kan, nggak lucu," ketus Mita dengan suara beratnya.Aku tahu adikku itu pasti juga marah dengan fitnah keji tersebut. Karena pada dasarnya kami sekeluarga tidak pernah sekalipun mengharapkan Mas Rendi kembali lagi, jangankan kembali, menyapa saja kami sudah tak pernah sekalipun berpikir ke arah situ.Malam yang dingin seakan merayap dan menyelimuti hati ini, seiring dengan hari yang sudah gelap gulita, aku pun mengakhiri obrolan ini. Rasanya tak sabar menunggu kedatangan mereka semua di tempat ini."Ya, sudah, istirahat dulu besok biar segar karena perjalanan panjang. Jaga Sahira juga, kasihan dia! Salam buat Ayah dan ibu, hati-hati, Assalamualaikum," ucapku mengakhiri pembicaraan dalam saluran telepon.Itulah aku dan Mita, jika sudah membicarakan sesuatu maka akan lup
Aku masih sakit hati dengan perlakuan gila Mas Rendi dan istri barunya. Tak ingin lagi mengenal mereka, buat apa? Toh, kami sudah tak tidak ada lagi sesuatu yang mendekatkan. Safia sudah tenang di sana dan tidak akan menjadi alasan buat dia datang dan pergi sesukanya.Ayah dan keluarga dari kampung tiba hari ini, kebahagiaan ini pun menjadi obat lara ketika luka itu kembali menganga. Ku peluk mereka satu persatu demi sebuah rindu yang membelenggu diri ini. Tahu yang berganti membuat Ibu Fatimah begitu erat memelukku.Pemandangan yang menguras air mata. Pun demikian dengan Mbak Lilik, kakak iparku itu pun membaur bersama kami. Tidak ada jarak antara menantu dan mertua, apalagi dengan Mita. Kami semua bagaikan keluarga sempurna yang telah lama tak bersua."Mari, kita lanjutkan kange ini di rumah saja!" ajak Mas Bima yang dijawab anggukan oleh Yoga dan Ayah. Kedua lelaki yang berhasil membuat kami bahagia itu pun selalu mengembangkan senyumannya."Maaf, ya, nak, jika kami merepotkan. Kam
"Aku, aku … maafkan aku, Pak. Maaf," ucap Mas Rendi tergugu.Entah drama apa yang dimainkan oleh lelaki yang kini bersimpuh di depan Ayah itu. Air matanya berjatuhan membasahi pipi juga lantai rumah Mas Bima. Aku dan semua yang mendengar hanya bisa saling pandang melihat tingkah laku yang tak biasanya ini."Kamu sudah kami maafkan, tapi bukan berarti kami menerima kamu kembali lagi di keluarga ini. Bukannya kami sok pinter dan sok tahu akan perilaku yang kamu jalani. Hanya saja buat apa kamu kesini? Jawab jujur!" tegas Ayah dengan menghentakkan kakinya supaya tidak tersentuh oleh lelaki yang kini masih saja menangis itu.Lelaki yang masih saja bersimpuh itu tak berkutik, dia justru semakin menundukkan kepalanya. Dalam suasana hening seperti ini aku begitu muak melihat tingkah lucu dari mantan suamiku tersebut. Dulu saja saat dia di negeri orang lupa sama aku dan Safia. Mengirimkan uang sepeser pun tak pernah apalagi menelepon.Padahal putri kecil kami saat itu sangat rindu dan selalu
"Dia adalah adikku dan aku tahu bagaimana jalan hidup yang tegak dilaluinya sampai detik ini. Lagian kamu nggak ada muka, ya, mau ngajak balikan istri yang sudah kamu buang?" Mas Bima benar-benar tak bisa menahan emosinya. Terlihat dari urat-urat yang menyembul di bagian leher, juga perubahan wajah yang memerah. Sungguh aku beruntung memiliki kakak lelaki yang menyayangi diri ini begitu besar."Mas Rendi ….""Lihat! Lihat adik kamu yang masih menyimpan rasa untukku. Aku tahu, Ran, jika kamu hingga detik ini masih ada rasa untukku. Aku percaya jika kita akan lagi bersama. Rani, tolong maafkan salahku waktu itu, aku mau memperbaikinya. Jangan kamu dengarkan perkataan orang lain yang justru akan membuat keruh pikiran kamu dan membuyarkan segala apa yang sudah kamu rancang. Kita akan mulai lagi bersama dari awal. Aku janji akan menjadi suami dan ayah dari anak-anak kita kelak. Aku janji!" Lelaki itu begitu yakin akan aku terima.Ucapannya, gestur tubuh yang di tunjukkan pada kami semua s
Semua duduk rapi di tempatnya masing-masing. Ibu Fatimah yang bersebelahan denganku seolah ada sesuatu yang di takutkan kala kami semua membisu di ruang tamu ini. Mita dan Mbak Lilik menyajikan minuman kepada kami semua, seperti apa yang aku instruksikan.Masih dengan posisi penuh keyakinan yang besar, Mas Rendi menebar senyum saat kami hanya menanggapi dia dengan sinis. Tak ingin berlama-lama juga aku menahan diri, sesaat setelah mataku dan ayah bertatapan kini saatnya aku memulai perbincangan untuk mengakhiri harapan Mas Rendi yang aneh."Sudah minumnya? Mas Rendi pasti haus karena jauh-jauh datang ke pulau seberang sini demi mendengar apa yang hendak aku katakan bukan?" tanyaku memecah keheningan.Dia mengangguk lalu membenarkan posisi duduknya, mengambil sepotong buah semangka merah nan segar yang disediakan di atas meja. Memang warnanya sangat menggugah selera, apalagi rasanya yang begitu manis. Siapa yang menolak? Jelas kami semua, karena buah itu hanya dinikmati oleh mantan sua
"Hutang?" Pertanyaan bodoh yang keluar dari mulut Mas Rendi membuatku ingin mencekiknya keras.Dia nampak terkejut dan sedikit menegang, sedang kami semua melihat perubahan sikap itu dengan senyum sinis. Apakah dia lupa? Ah, mungkin saja karena dia menderita amnesia akut."Sudahlah, Rani juga telah membuat keputusan untuk tidak menerimamu kembali. Pulang dan jadilah suami dan ayah yang baik buat anak-anakmu bersama Nabila. Anakku cukup bahagia tanpa adanya kamu di sisinya, silahkan!" ujar Ayah dengan menunjuk pintu. Mempersilahkan Mas Rendi kembali ke rumahnya, ke keluarganya."Atau kamu nggak punya uang untuk pulang? Perlu berapa?" Kini Mita yang ikut menimpali pembicaraan ini. Dia keluar setelah menidurkan anaknya.Bergabung bersama kami yang sedang membicarakan hal konyol ini bersama Mas Rendi. Tatapan matanya sedikit tajam, tapi bukan Mita namanya jika takut akal sikap seperti itu."Nggak perlu tersinggung, aku mengatakan ini bukan karena ingin merendahkanmu, Mas. Hanya saja aku n
"Hari ini sudah selesai, kamu bisa lepaskan semua beban yang ada. Ada Ayah dan Mas Bima, tenang, ya. Hidup itu memang perlu sekali gesekan dan hari ini sudah berakhir," jawab Bu Fatimah lembut.Aku tahu itu hanya sebuah kalimat penghibur bagiku, Tuhan memang seringkali mengajakku untuk bersenam jantung dan hari ini kejadian masa lampau telah lagi di buka. Sakit? Jelas hatiku teramat terusik dan teriris.Padahal aku sudah pergi jauh dari kampung, tapi tetap saja dia mengusik ketenangan ini. Perlahan suara dari luar mulai hilang dan redup. Mas Bima dan Ayah masuk dengan memandang diriku sendu."Sudah, dia sudah pergi. Kalau datang lagi, akan Mas buat perhitungan yang lebih jauh dari ini. Kamu tenang saja, ya. Namun, aku heran kenapa dia bisa tahu alamat rumah ini?" Mas Bima duduk dengan pandangan menelisik, hingga pada akhirnya aku pun tertuju pada seseorang yang sama dengan apa yang dipikirkan oleh Kakak lelakiku tersebut."Bukan aku, Mas, dia nggak berani datang ke rumah dan bertemu d
Senja telah datang, semburatnya memberikan keindahan tersendiri di hati ini. Keluarga datang dan keramaian begitu menyejukkan jiwa. Tawa riang dan tangis kecil dari Sahira seolah membayar kerinduan yang sekian lama telah memuncak. Namun, rasanya enggan untuk pulang karena tak ingin berjumpa dengan sang mantan.Manusia merencanakan dan Tuhan yang memberikan jalan. Sekuat apapun yang aku lakukan untuk tidak bersua dengan Mas Rendi, pada kenyataannya dia yang datang kesini karena sebuah alasan gila yang tak pernah aku duga sebelumnya.Entah apalagi yang ada di otaknya, dia seolah menjadi seseorang yang tidak mempunyai arah dan tujuan. Seandainya dia lelaki baik dan penuh dengan tanggung jawab tidak akan pernah kami berpisah dengan cara menyakitkan. Padahal keluarga dia baik terhadapku juga Safia kala itu.Pun demikian dengan kedua orang tuaku, yang pada dasarnya menyayangkan perpisahan kami ini. Seluk-beluk perjalanan hidup ini begitu indah sehingga aku selalu menemukan hikmah dibaliknya