"Hutang?" Pertanyaan bodoh yang keluar dari mulut Mas Rendi membuatku ingin mencekiknya keras.Dia nampak terkejut dan sedikit menegang, sedang kami semua melihat perubahan sikap itu dengan senyum sinis. Apakah dia lupa? Ah, mungkin saja karena dia menderita amnesia akut."Sudahlah, Rani juga telah membuat keputusan untuk tidak menerimamu kembali. Pulang dan jadilah suami dan ayah yang baik buat anak-anakmu bersama Nabila. Anakku cukup bahagia tanpa adanya kamu di sisinya, silahkan!" ujar Ayah dengan menunjuk pintu. Mempersilahkan Mas Rendi kembali ke rumahnya, ke keluarganya."Atau kamu nggak punya uang untuk pulang? Perlu berapa?" Kini Mita yang ikut menimpali pembicaraan ini. Dia keluar setelah menidurkan anaknya.Bergabung bersama kami yang sedang membicarakan hal konyol ini bersama Mas Rendi. Tatapan matanya sedikit tajam, tapi bukan Mita namanya jika takut akal sikap seperti itu."Nggak perlu tersinggung, aku mengatakan ini bukan karena ingin merendahkanmu, Mas. Hanya saja aku n
"Hari ini sudah selesai, kamu bisa lepaskan semua beban yang ada. Ada Ayah dan Mas Bima, tenang, ya. Hidup itu memang perlu sekali gesekan dan hari ini sudah berakhir," jawab Bu Fatimah lembut.Aku tahu itu hanya sebuah kalimat penghibur bagiku, Tuhan memang seringkali mengajakku untuk bersenam jantung dan hari ini kejadian masa lampau telah lagi di buka. Sakit? Jelas hatiku teramat terusik dan teriris.Padahal aku sudah pergi jauh dari kampung, tapi tetap saja dia mengusik ketenangan ini. Perlahan suara dari luar mulai hilang dan redup. Mas Bima dan Ayah masuk dengan memandang diriku sendu."Sudah, dia sudah pergi. Kalau datang lagi, akan Mas buat perhitungan yang lebih jauh dari ini. Kamu tenang saja, ya. Namun, aku heran kenapa dia bisa tahu alamat rumah ini?" Mas Bima duduk dengan pandangan menelisik, hingga pada akhirnya aku pun tertuju pada seseorang yang sama dengan apa yang dipikirkan oleh Kakak lelakiku tersebut."Bukan aku, Mas, dia nggak berani datang ke rumah dan bertemu d
Senja telah datang, semburatnya memberikan keindahan tersendiri di hati ini. Keluarga datang dan keramaian begitu menyejukkan jiwa. Tawa riang dan tangis kecil dari Sahira seolah membayar kerinduan yang sekian lama telah memuncak. Namun, rasanya enggan untuk pulang karena tak ingin berjumpa dengan sang mantan.Manusia merencanakan dan Tuhan yang memberikan jalan. Sekuat apapun yang aku lakukan untuk tidak bersua dengan Mas Rendi, pada kenyataannya dia yang datang kesini karena sebuah alasan gila yang tak pernah aku duga sebelumnya.Entah apalagi yang ada di otaknya, dia seolah menjadi seseorang yang tidak mempunyai arah dan tujuan. Seandainya dia lelaki baik dan penuh dengan tanggung jawab tidak akan pernah kami berpisah dengan cara menyakitkan. Padahal keluarga dia baik terhadapku juga Safia kala itu.Pun demikian dengan kedua orang tuaku, yang pada dasarnya menyayangkan perpisahan kami ini. Seluk-beluk perjalanan hidup ini begitu indah sehingga aku selalu menemukan hikmah dibaliknya
Aku dan Mbak Lilik sontak terkejut dengan pembicaraan yang aneh ini, karena perkataan Mita membuat kami membelalakkan mata. Dia dari dulu memang tidak pernah berubah, selalu saja bisa membuat aku tertawa.Makanya kala kami berjauhan hanya bisa saling bercerita lewat ponsel itupun terbatas karena kesibukan kami masing-masing. Dia yang selalu berkutat dengan putrinya dan aku yang disibukkan sama pekerjaan baru."Aku mau tinggal disini selamanya saja," balasku dengan bersedekap dada. Bermain drama seolah aku merajuk dan enggan sekali pulang menjenguk dia.Wajah cantik itu cemberut, bibirnya yang indah mengerucut di iringi deru napas panjang yang berat. Aku suka kalau dia sedang seperti ini, nanti ujung-ujungnya Mita akan memanggil Ibu dan Ayah untuk meminta pertolongan.Sungguh sesuatu yang aku rindukan semenjak meninggalkan kampung halaman. Mereka yang mencintai diri ini tulus harus dipisahkan dengan jarak yang jauh."Nggak boleh bicara seperti itu, dosa. Memangnya kamu nggak berharga b
Seminggu sudah Ayah dalam keluarga ada ditengah-tengah keluarga Mas Bima. Rasanya aku berat sekali untuk melepas mereka pulang ke kampung halaman. Rindu ini masih saja belum terobati, ingin selalu bersama mereka.Namun, pekerjaan Yoga yang tidak bisa ditunda lagi seakan membuat keterpaksaan dalam hati yang masih berkabung atas nama rindu. Malam terakhir mereka disini, Mbak Lilik memberikan kenangan indah. Kami di ajaknya jalan-jalan menuju tempat wisata yang paling banyak dikunjungi para wisatawan lokal.Indah, ciptaan Tuhan yang terlihat sempurna itu memukau kami semua. Sehingga Mita pun kembali menarik perhatian kami untuk tidak tertawa. Sungguh pemandangan yang sempurna, keluarga bahagia dan saling menyayangi.Tak bisa aku bayangkan jika harus ditinggalkan mereka saat sedang terpuruk dengan masalah itu-itu terus. Semua hilang bahkan nyaris mati ketika Ayah berucap bahwa kehidupan ini harus lebih baik dari sebelumnya. Masa lalu kelam harus dikubur dalam-dalam dan jangan membongkarny
Aku pun langsung menghamburkan pelukan hangat kepada Ayah. Anak mana yang tidak bersedih saat mendengar seorang lelaki yang selama ini merangkul, menggandeng bahkan memberikan sandaran yang selalu saja tetap tegar walaupun aku tahu dalam hatinya pasti juga terluka."Kenapa kamu menangis terus, sudahi air matamu untuk keluar. Katanya mau bangkit lalu apa ini?" ujar Ayah dengan menyeka pelan butiran bening yang masih saja setia keluar tanpa bisa aku hentikan."Nanti kalau Rani sudah mempunyai rumah sendiri, jangan pulang. Tetap bersama Rani, jika berjauhan seperti ini lalu siapa yang akan menyeka tangisanku?""Makanya jangan menangis biar tidak pusing untuk siapa yang akan menghapus air mata itu. Senyum dong, mereka yang menyakiti Mbak saja bisa tertawa lebar kok Mbaknya sendiri malah sedih." Mita kembali beraksi dengan tingkah gilanya. Sontak kami semua menghela napas panjang dan menyunggingkan senyuman.Siapa lagi yang bisa mencairkan suasana kalau bukan dia, adikku tersayang yang pen
Pagi yang indah, mentari menghangatkan tubuh yang kedinginan karena hujan semalam yang telah mengguyur bumi. Harumnya tanah basah memberikan aromaterapi tersendiri bagiku. Di luar kamar suara sudah mulai memecah keheningan, semua sibuk dengan segala sesuatu yang akan dibawa pulang. Aku yang belum siap untuk berpisah kembali dengan mereka justru terpaku dan terdiam di kursi sofa. Entah pikiran apa yang mulai berkecamuk dalam kepala, aku seperti terhipnotis oleh mereka yang mondar-mandir didepanku."Mbak!" Mita membuyarkan segala yang ada, selalu."Bisa nggak sih kalau manggil itu nggak teriak, telinga ini jadi sakit!" ketusku."Salah sendiri dari tadi melamun terus, hati-hati lho nanti bisa-bisa jadi kesurupan, 'kan, bahaya. Takutnya Mas Bima dan Mbak Lilik nggak bisa mengatasi malah ribet. Oh, iya, ada oleh-oleh nggak buat kita?" cerocos Mita dengan diakhiri tangan menengadah.Tiba-tiba tangan ibu mencubit lengan Mita kencang, karena itu teriakannya membuat penasaran semua penghuni r
Telepon dari Rosa membuat aku bergegas menuju toko. Sudah hampir seminggu aku tidak kesana karena keluarga dari kampung datang. Seenggaknya menemani Ayah dan Bu Fatimah disini barang sekejap sebagai obat rindu."Iya.""Mbak, semua bahan sudah hampir habis. Maaf, bisa tolong untuk beli?" tanya Rosa polos."Bisa dong. Baik aku akan segera kesana. Untuk hari ini masih ada, 'kan?""Masih, tapi besok sudah nggak ada sama sekali. Maka itu aku meminta tolong untuk segera dibelikan."Memang sedikit telat, karena saat keluarga ada disini aku benar-benar menikmati kebersamaan dengan mereka dan untuk saat ini sudah waktunya kembali lagi ke aktivitas semula. Rumah pun terasa sepi, semua pasti sudah pergi ke tujuan masing-masing.Mas Bima memang pekerja keras apalagi istrinya yang selalu saja bekerja dan menabung. Itu kebiasaan pasangan yang kini bersamaku. Mereka adalah guru terbaik saat ini dan aku selalu mencari ilmu dari apa yang kedua Kakakku itu lakukan.Aku melajukan kendaraan di bawah cera
Perjalanan rumah tangga selama hampir satu tahun bersama Mas Aldi terasa indah. Adakalanya menangis, tertawa bercampur dan berganti bagaikan musim yang sedang terjadi di dunia ini.Kerikil-kerikil kecil menghalangi jalan kami, tapi Alhamdulillah masih bisa dilalui dengan baik karena pemikiran yang dewasa dan tenang dari suamiku itu membuat diriku semakin jatuh cinta dan bersyukur betapa memilikinya adalah anugerah paling indah juga beruntung.Bulan ini adalah bulan di mana aku akan melahirkan. Segala keperluan sudah aku penuhi, tinggal menunggu lahiran. Malam ini udara terasa panas, kipas angin yang selalu berputar seolah tidak terasa sama sekali. Bahkan pakaian tidur yang aku kenakan pun sudah berganti yang tipis, tapi masih saja terasa gerah."Mungkin memasuki musim baru, ayo, tidur di dalam saja!" ajak Mas Aldi saat melihatku yang tengah mencari tempat paling nyaman.Di teras, di ruang tamu, di depan televisi juga di ruang makan sudah aku jelajahi. Akan tetapi, masih saja sama tid
Seminggu sudah aku dan Mas Aldi memulai babak baru di rumah ini. Semua sudah lengkap, rumah disulap menjadi tempat ternyaman saat lelah raga melanda. Berbagai macam tanaman pelengkap sayuran berada di taman belakang.Sedang ditaman depan, aku berikan sedikit sentuhan dengan bunga mawar dan tanaman lainnya. Sejuk jika dipandang mata sambil menikmati teh hangat di kala pagi ataupun senja tiba.Begitulah kami menikmati indahnya hidup ini, saling bercengkrama dan bercerita tentang pekerjaan dan juga rumah. Iya, meskipun aku sudah menjadi istri, tapi toko yang ku punya tetap berjalan hingga detik ini.Tidak dilarang untuk bekerja oleh Mas Aldi, karena itulah caranya untukku supaya bisa tetap bahagia. Sebab, dirumah aku kesepian jika dia bekerja. Semuanya lancar, pekerjaan, rumah tangga juga hubungan dengan orang tuanya.Alhamdulillah, itulah yang aku inginkan sejak dulu. Selalu harmonis dan terjaga meskipun terkadang dalam berumah tangga itu ada kerikil kecil yang menghalangi jalannya. Pem
Hampir tiga hari kami baru sampai di rumah lagi. Bermalam di kediaman Mas Bima semalam lalu ke rumah Mas Aldi. Disini aku memulai babak baru menjadi istri sepenuhnya.Rumah mungil minimalis yang begitu indah, Mas Aldi membelinya saat masih sendiri. Uang tabungan yang selama ini di simpan di belikan rumah sebagai tempat bermuaranya kami dalam rumah tangga. Meskipun di tinggal lama, tapi bersih karena selalu dijaga dengan baik oleh seseorang yang diminta Mas Aldi untuk membersihkannya."Ini rumah kita, rumah kamu dan aku. Rawatlah dan jaga seperti rumah sendiri. Semoga kelak kita menua disini bersama anak dan cucu." Tangan itu menggenggamku erat.Ada rasa haru dan bahagia kala memiliki istana mungil ini. Kebahagiaan seorang istri adalah mempunyai rumah, hidup bersama keluarga kecilnya. Kasarnya makan dengan garam tak mengapa jika bersama suami dan anak."Aamiin," balasku tersenyum senang.Mengucapkan salam saat pintu rumah mulai terbuka perlahan-lahan. Lantai yang putih bersih dan perle
Mobil travel sudah sampai di depan rumah, Pakde Nyomo beserta anak istrinya datang ke rumah. Padahal sehabis sarapan tadi kami semua berkunjung kesana untuk meminta doa restu supaya perjalanan yang kami tempuh selamat sampai tujuan.Namun, namanya juga keluarga, mereka berduyun-duyun datang dan memberikan doa kepada kami lagi. Ada haru, bahagia dan sedih bercampur aduk menjadi satu disini. Bahkan isakan mengiringi langkah kaki kami untuk pergi ke pulau seberang kembali."Kini saatnya kami mengawali kehidupan yang sebenarnya, mohon doanya semoga diberikan kelancaran dan kesuksesan dalam meraih mimpi yang indah," ucapku haru."Jika ada umur panjang, kesehatan dan rezeki yang melimpah kami akan berkunjung kembali kesini lagi melihat kampung terindah beserta keluarga besar yang selalu aku rindukan ini," imbuhku.Bu Fatimah memeluk tubuh ini lagi, seolah enggan untuk melepaskan. Beliau begitu berat berpisah dariku. Entahlah, sebenarnya aku pun ingin bersama mereka selamanya. Namun, ada ses
Pagi yang cerah secerah mentari yang mulai menampakkan warna Indahnya ke dunia ini. Tumbuh-tumbuhan bergoyang syahdu seiring dengan kicauan burung yang berdiri manja di rantingnya. Dihiasi dengan tetesan embun yang seolah memberikan kesejukan saat menikmati alam yang nyata juga indah ini.Ciptaan Tuhan yang begitu sempurna. Apalagi saat suara Kokok ayam bersahutan di antara cicitan anak-anak ayam membuat suasana pagi yang selalu aku rindukan kala di pulau seberang itu membuatku tersenyum melihatnya.Di belakang rumah Ayah, hewan piaraan kembali saling bersahutan, kambing, ayah juga burung yang hinggap di dahan pohon. Selalu aku menikmatinya dulu saat masih tinggal bersama mereka.Sedang, sayuran yang ditanam ibu di sini terlihat segar dan siap untuk dipetik. Warna cabai yang berwarna-warni menggiurkan dan seolah berteriak meminta untuk diambil dan dimasak. Pun demikian dengan sayuran bayam, kangkung juga terong, ibu memang super lincah.Apapun akan di tanamnya di lahan kosong, memanfa
Dua Minggu sudah aku, Mas Aldi, Mbak Lilik dan juga Mas Bima di kampung. Kini saatnya kami kembalikan lagi ke aktivitas masing-masing. Tidak bisa berlama-lama juga kami disini karena ada pekerjaan yang menanti di sana.Sehabis makan malam, kami berkemas, segala pakaian pun sudah siap untuk dibawa pulang kembali ke tempat semula. Bahkan Ibu Fatimah pun memberikan beberapa oleh-oleh khas kampung ini. Juga titipan buat ibu mertua sudah siap sedia untuk dibawa."Ibu nggak bisa memberikan banyak oleh-oleh, hanya segini saja semoga cukup dan bermanfaat buat keluarga disana," ucapnya saat memberikan beberapa plastik berisi penuh itu."Ini beras ketan buat mertuamu, beliau bilang disana mahal jadi Ibu titip ini, ya," imbuhnya dengan senyum merekah."Terima kasih banyak, Bu. Apa ini nggak merepotkan?" Mas Aldi bertanya saat melihat kami saling memegang plastik hitam itu.Bu Fatimah mengembangkan senyumnya, beliau duduk di sampingku sambil terus mengulum senyum tipis. Pun demikian dengan Ayah y
Kini hanya tinggal Pak Joko dan putrinya yang cantik di sini. Sebab, semua orang sudah meninggalkan rumah Ayah tanpa lagi bertanya atau bersuara. Mereka diam dan berlalu begitu saja bergantian.Aku maju, ingin sekali menampar pipi mulus itu dengan tanganku sendiri. Emosi ini naik ke ubun-ubun. Amarah yang salam ini terpendam ingin aku salurkan pada Nabila. Namun, saat aku hendak berbicara, Pakde Nyomo sudah mendahuluinya."Angkat kaki dari sini! Bukankah kamu mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh menantuku?" ujar Pakde Nyomo lantang dan tegas."Aku tahu kamu sendirilah yang menyebar fitnah keji itu pada keluarga adikku, satu kali kesempatan aku berikan padamu. Andai aku tidak memandang kamu sebagai seorang bapak dan suami yang dianggap baik oleh keluargamu maka sejak awal aku akan mengatakan pada semua warga di kampung ini siapa dirimu yang sebenarnya." Entah pembicaraan macam mana ini. Sepertinya ada sesuatu lagi yang ditutupi oleh Pakde Nyomo."Kamu terlalu sombong karena memp
Pintu rumah digedor dengan keras dari luar saat kita semua jendela menunjukkan peraduan. Yang ada didalam saling menoleh satu sama lain. Entah tangan siapa yang menggedor pintu tanpa jeda itu.Ayah yang hendak membuka dicegah oleh Yoga yang dengan cepat menuju pintu. Suami dari Mita itu membukanya perlahan dan memperlihatkan ada dua orang yang bertamu, tapi memasang wajah tidak bersahabat.Mereka adalah Nabila dan ayahnya, Pak Joko. Terlihat ada yang ingin mereka bicarakan, karena dari sorot mata itu tertuju padaku."Wa'alaikumsalam, ada apa, ya, Pak. Malam-malam kok bertamu?" tanya Yoga sopan.Aku kalau jadi dia nggak akan bersikap seperti itu, terlalu jengah jika harus berpura-pura baik padahal sikap mereka kurang sopan. Sebagai orang tua bukankah harus memberikan contoh yang baik pada anaknya? Namun, tidak dengan Pak Joko, entahlah memang sifat orang beda-beda."Yoga, biarkan mereka masuk. Ayah mengizinkan tamu istimewa kita untuk duduk. Silahkan!" ujar Ayah yang kembali duduk di k
Sampai rumah aku duduk di teras, menghela napas panjang dan mencoba menenangkan diri sendiri karena kejadian barusan. Entah apa yang aku lakukan dahulu sehingga mengalami kejadian seperti ini.Bermimpi melihat Nabila saja tidak apalagi ada kenyataan yang membuat jantung ini seolah berdisko ria dengan irama yang membuat kepala sakit. Tuduhan yang terbalik seakan meruntuhkan segala tembok telah aku bangun untuk tidak mengingat kejadian lampau."Ada apa?" Suara Ibu Fatimah mengagetkan dieku yang menatap langit-langit teras dengan seksama."Kenapa Nabila selalu mengusik ketenanganku, ya, Bu? Padahal aku, lho, sama sekali nggak kepikiran untuk balikan sama Mas Rendi.""Kamu ketemu Nabila?" Lagi, suara ibu terlihat sedikit panik saat mendengar penjelasan tentang masa laluku.Aku mengangguk, lalu menengadah melihat lagi rumah laba-laba yang berada di antara kayu tempat genting. Serta warna hitam yang melekat pada kayunya, seolah menandakan kalau dia sudah lama berada di sini."Ibu juga nggak