"Aku mau Magrib dulu, tunggu aku di ruang keluarga. Ada yang akan aku bicarakan," ucap Yulis pada lelaki yang telah mengkhianatinya itu.
"Aku mau masuk, Dek," pinta Bagas. Namun, terlambat, pintu sudah tertutup rapat dan terkunci. Bagas geram, tetapi dia memilih menuruti kemauan Yulis yang menurutnya aneh."Apa yang ingin dibicarakan wanita itu?" gumam Bagas sambil melangkah ke ruang keluarga seperti yang diucapkan Yulis. Setelah mendaratkan bobot tubuhnya di sofa, lelaki itu menyulut sebatang rokok untuk menemani waktunya. Tanpa disadarinya, Yulis telah mengibarkan bendera perang padanya.Seusai melaksanakan kewajiban, wanita itu bersimpuh cukup lama di atas sajadah. Memohon ampun juga kekuatan pada Sang Pencipta agar mampu menghadapi ujian yang saat ini tengah dialaminya. Setelah puas berkeluh-kesah pada Ar-rohman, Yulis bangkit walaupun rasanya cukup berat.Wanita bertubuh ramping itu berjalan ke arah cermin, memandang bayang wajahnya yang terlihat sangat kusut, terlihat jelas ada luka di sana.Pelan dia meraih alas bedak, mengambil secukupnya lalu perlahan mulai mengolesi wajah, dilanjutkan dengan bedak padat yang menjadi andalannya, pelan-pelan dia mulai menepuk-nepuk pipinya yang halus dengan spon. Jari tangannya yang lentik kini telah meraih pencil alis yang terletak diantara alat makeup. Tak perlu susah payah melukis bentuk alis, karena sesungguhnya alisnya sudah terbentuk sempurna. Terakhir wanita itu mengolesi bibirnya dengan lipstik warna nude favoritnya.Yulis beralih ke lemari pakaian, dia memilih set piyama panjang bercorak, lalu mengikat rambutnya asal. Membuatnya semakin terlihat mempesona. Setelah dirasa cukup, wanita itu segera keluar untuk menemui lelaki yang dulu sangat dicintainya. Yulis ingin menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja, walaupun telah disakiti."Dek?" Bagas terperangah melihat penampilan Yulis. Beberapa kali lelaki itu menelan ludahnya."Mira mana?" tanya Yulis setelah duduk di sisi yang berbeda. Ditatapnya lelaki yang sudah menorehkan luka di hatinya tersebut."Mira ... em ... dia lagi ngerjain tugas, dari pada bolak-balik dia memilih menginap di kosan temannya yang dekat dengan kampus," jawab Bagas gugup. Selain karena berbohong, kali ini lelaki itu sangat kagum pada kecantikan istrinya. Rasa yang hampir mati itu kembali dia rasakan setelah melihat penampilan Yulis.Bibir Yulis tersenyum, jelas sekali kalau saat ini lelaki di depannya itu tengah berbohong. "Jadi, yang kalian bicarakan tadi pagi adalah kebenaran, Mira tak kan pulang sekarang karena habis melakukan aborsi," batin Yulis menebak. "Oh." Hanya itu yang keluar dari bibirnya, tatapan matanya tajam, menghujam tepat ke manik Bagas.Mendengar jawaban yang cukup singkat dari Yulis ditambah sikap Yulis yang tak biasa, Bagas mulai merasa tak enak. Dia curiga kalau Yulis telah mengetahui sesuatu."Tumben kamu izinkan. Biasanya kamu gak tenang jika Mira tak ada di rumah." Bagas baru menyadari sesuatu. Selama bicara Yulis hanya menyebut aku-kamu, tak ada kata 'Mas' ketika menyebutnya. Hal itu semakin membuat Bagas curiga. Namun, lelaki itu menampik, meyakinkan dirinya kalau Yulis tidak mungkin mengetahui hubungan dengan Mira."Dia tadi maksa, jadi ya sudah. Kalau dia gak di rumah kita kan bisa ...." Bagas tak melanjutkan kalimatnya, matanya tak berkedip menatap istrinya.Yulis tersenyum. "Bisa jelaskan, apa ini?" Yulis langsung pada pokok masalah. Dia meletakkan surat tagihan dari bank di meja. Bagas nampak terkejut melihat apa yang baru saja diletakkan Yulis."Jelaskan, untuk apa kamu meminjam dalam jumlah besar. Uangnya buat apa?"Bagas gugup, tak menduga jika Yulis mengetahui hutangnya. "Maaf, Dek. Aku memang sudah mengajukan pinjaman ke Bank tanpa sepengetahuanmu, aku khawatir kamu tak setuju.""Buat apa uang sebanyak itu?" tanya Yulis dengan tenang."Dipakai Heri untuk modal. Jadi aku dan dia joinan. Katanya untungnya lumayan loh, Dek." Bagas mencoba bersikap biasa saja ketika mengucapkannya, tanpa dia ketahui jika Yulis sudah mengetahui segalanya."Memang sekarang bisa ya, mengajukan pinjaman tanpa tanda tangan kita berdua?" Yulis masih pura-pura belum paham.Bagas terkekeh pelan. "Soal itu gampang, Dek. Apalagi pihak Bank sudah kenal baik dengan kita," ucap Bagas yang begitu mahir berkelit."Masak sih?""Iya, Dek. Sudah ya, kamu jangan mikirin itu," bujuknya. "Yang penting urusan cicilan lancar, Heri pasti tanggung jawab kok.""Telepon Heri, aku mau bicara dengannya. Dia harus tahu kalau jaminan untuk hutangnya adalah rumahku! Rumahku!" Yulis mempertegas ucapannya."Jangan sekarang, Dek. Aku gak enak sama Heri. Baru juga beberapa bulan, masak mau ditagih. Yang penting angsurannya dia yang bayar," kilah Bagas. "Lah ini apa? Kalau dia rutin bayar, gak mungkin ada surat pemberitahuan kayak gini!" ujar Yulis sambil menunjuk amplop yang masih tergeletak di meja."Kalau berurusan dengan uang, itu harus jelas. Kenapa merasa tak enak?" tanya Yulis, wanita itu mulai emosi mendengar alasan demi alasan yang diberikan Bagas."Ya gak gitu, Dek. Aku yang gak enak, nanti dia malu. Baru dipinjamin duit segitu saja udah nanya-nanya terus." Bagas masih saja terus berkilah.Yulis menghela napas panjang, rada muak dengan sikap suaminya yang semakin berkelit."Dua ratus juta kok dibilang segitu? Ingat gak, kamu pernah melarang aku memberi pinjaman pada Afif yang hanya sepuluh juta? Ingat kamu bilang apa?" "Jangan samakan antara Heri dan Afif! Kalau Heri kan buat modal usaha yang hasilnya akan dibagi rata. Kalau Afif? Paling juga gak dikembalikan!"Bagas tersulut emosi. Lelaki itu tak menduga jika Yulis bisa mengetahuinya. Sesaat pandangan mereka beradu, wanita pemilik alis bak semut berbaris itu tersenyum karena sudah tak menemukan cinta di sana. Dulu jika mereka bertatapan ada getar yang menggelitik perut, sehingga membuat bibir keduanya selalu tersenyum."Aku mau, kamu telepon Heri. Sekarang," titah Yulis, semakin menekan."Tidak! Aku tidak mau mempermalukan diri sendiri. Bagaimana nanti anggapan orang-orang. Bukankah uang dua ratus juta itu sedikit untukmu!"Yulis menghela napasnya. Kesabarannya mulai terkikis mengahadapi sikap Bagas yang berbelit-belit. "Kalau memang benar uang itu untuk usaha kalian. Telpon Hari sekarang! Atau kamu hanya pura-pura. Sebenarnya uang itu tidak dipinjam olehnya?" "Sudah lah, Dek. Gitu saja buat masalah. Kupastikan Heri membayarnya." Bagas merendahkan suaranya. Lelaki itu sadar jika saat ini Yulis sedang marah, jadi dia memilih mengalah."Siapa yang buat masalah? Aku hanya ingin tahu, usaha apa yang dijalankannya. Andai kamu tidak memakai sertifikat rumah ini sebagai jaminan. Aku takkan peduli."Bagas mendekati Yulis, mencoba untuk membujuk istrinya tersebut. Namun, Yulis langsung bangkit menghindarinya. Bagas tak terima diperlakukan seperti itu, lelaki itu tak bisa menerima penolakan. Bagas merasa harga dirinya telah diinjak-injak.Sesaat suasana menjadi hening, hanya deru napas yang terdengar saling memburu. Bagas sudah gelap mata, dia melirik asbak yang terbuat dari keramik. Lelaki itu berniat menghilangkan jejak Yulis.Untuk sesaat suasana menjadi hening, hanya deru napas yang terdengar saling memburu. Bagas sudah gelap mata, dia melirik asbak yang terbuat dari keramik. Lelaki itu berniat menghilangkan jejak Yulis.Yulis melangkah menuju lemari, hendak mengambil bukti bahwa Bagas telah berkhianat. Hingga tak menyadari jika Bagas telah bergerak, tangan lelaki itu meraih asbak yang ada di meja, kemudian dengan kekuatan penuh hendak menghantam tengkuk Yulis yang membelakanginya."Ibu! Awas!" Seseorang tiba-tiba muncul. Tubuh Bagas terhuyung karena ada yang mendorongnya. Lelaki itu hampir saja jatuh kalau saja tangan yang satunya tak cekatan memegang pegangan kursi.Naas, asbak yang dipegangnya terlepas. Benda keras itu terlempar menghantam lemari kaca yang ada di ruangan itu. Bunyi pecahan kaca sangat nyaring, membuat kedua perempuan itu berteriak."Kurang ajar!" Bagas murka. Dia menoleh pada orang yang sudah mendorongnya, hingga membuat hantamannya meleset."Berani kamu, Babu!" Bagas mendekati Wina, p
Rupanya Bagas pergi ke kamar mandi, lelaki itu meredam amarahnya dengan mengguyur kepalanya. Setelah emosinya reda, lelaki itu berniat untuk mengobati sang istri. Namun, angkara kembali menguasai hatinya setelah tak mendapati Yulis dan Wina di ruangan tersebut."Yulis!" teriaknya sambil melangkah ke kamar. Berpikir jika istrinya ada di dalamnya. Dengan kekuatan penuh Bagas menendang pintu yang dikira terkunci. Membuatnya terhuyung setelah daun adahal pintu terbuka lebar."Yulis!" Lelaki itu kembali berteriak sambil beranjak meninggalkan kamar.Bagas kembali ke rumah keluarga, kemudian menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa, menatap nanar pada pecahan kaca yang masih berserakan di lantai, rahangnya mengeras menandakan kalau dia belum bisa menguasai emosinya.Lelaki itu mengambil bungkus rokok yang ada di meja, mengambil satu batang kemudian menyulutnya dengan korek bermotif wayang. Asap mulai mengepul dari mulutnya, seolah membawa beban yang ada dalam hatinya. Bagas menyandarkan kepalanya
Lelaki itu meraih rokok juga ponsel yang tergeletak di meja, matanya sekilas memandang amplop yang sudah menjadi biang masalah antara dia dan Yulis. Bagas beranjak ke luar. Belum juga sampai di pintu dia menghentikan langkahnya."Saudara Bagas, anda ditangkap atas tuduhan KDRT. Silakan ikut kami ke kantor polisi sekarang." Seorang petugas kepolisian dengan tegas berbicara dengan Bagas.Bagas tergelak. "Jangan seenaknya main tangkap, Pak! Bapak pikir saya buta hukum? Kalau memang anda mau menangkap saya? Mana suratnya?!" elaknya. Bagas tak habis pikir, mengapa secepat itu petugas datang.Seorang polisi berjalan mendekatinya, menyodorkan kertas yang masih terlipat. "Silakan dibaca, keterangan lebih lanjut bisa saudara jelaskan di kantor polisi."Bagas mulai panik, dia membuka lalu membacanya sekilas. "Kapan Yulis, membuat laporan? Dimana sekarang wanita itu?" batinnya, dia tak menyangka kalau istrinya tega melaporkan dirinya.Bagas tak bisa berbuat apa-apa ketika petugas kepolisian memb
Waktu begitu cepat berlalu, tidak terasa sudah hampir dua minggu lebih Bagas ditahan, dia masih menunggu keputusan hakim atas tuduhan yang ditujukan padanya. Selama itu pula Mira seolah menghilang. Yulis sendiri tak ingin mencari anak angkatnya tersebut. Hatinya masih terluka.Berita penangkapan Bagas akhirnya sampai juga di telinga Mira. Gadis itu marah sekaligus sedih karena dia sangat mencintai lelaki itu. Baginya Bagas adalah sosok yang selalu menyayangi dan melindunginya.Wanita 20 tahun itu sangat bimbang, dia tak tahu harus berbuat apa karena selama ini Bagas lah yang menjadi kekuatannya. Kini dia sangat takut dan merasa sendirian. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menemui Yulis. Mira berpikir hanya wanita itu yang bisa menolongnya. Yulis sudah kembali beraktivitas seperti biasa. Dia juga sudah mulai membuka tokonya. Dukungan dari keluarga membuat wanita bertubuh ramping itu berangsur melupakan masalahnya. Dia sendiri tak mau berlarut-larut dalam kesedihan. Bahkan, wanita d
"Apa yang kamu pikirkan saat kalian memutuskan untuk menikah?" Ada getir di kalimat yang Yulis tanyakan pada wanita yang masih bersimpuh itu. Namun, Yulis tetap ingin mengetahui alasannya apa hingga kedua manusia yang sangat dicintainya itu tega melukai bahkan menusuknya sampai dasar kesakitan."Kami saling mencintai, Bu. Semua berjalan begitu saja. Kami ... Kami mengaku bersalah," tangis itu keluar dari bibir Mira. Entah nyata atau hanya sandiwara. Bibir Yulis melengkung, tatapan tajam pada wanita tak tahu diuntung itu. "Apa kamu tak pernah memikirkan perasaan orang-orang yang menyayangimu?" Suara Yulis terdengar pelan, tetapi sangat tegas. Sekuat tenaga wanita bermata bulat itu menahan emosinya."Maafkan aku, Bu. Maafkan kami, cinta itu tumbuh begitu saja, semakin hari semakin besar dan kami tak bisa menahannya." Kembali Mira berusaha meraih kaki Yulis, memaksa merangkul kedua kaki orang yang sudah memberikan kasih sayang berlimpah padanya."Mudah untukku memaafkan, tapi luka ini
Pagi menjelang, Yulis dan semua keluarganya sudah siap untuk mengantar Mira pulang. Mereka bukannya sayang pada pe la kor kecil itu. Namun, mereka mengkhawatirkan keselamatan Yulis. Perjalanan yang mereka tempuh cukup lama, butuh lima jam perjalanan darat untuk sampai di kampung kelahiran Bagas juga Mira. Mobil yang dikemudikan Afif berhenti tepat di halaman rumah orang tua Bagas. Rupanya, kabar kedatangan Yulis sudah menyebar hingga banyak keluarga yang berkumpul di rumah itu. Bahkan keluarga Mira juga ada di sana."An-anakku!" seru ibu mertua Yulis dengan suara yang kurang jelas.Yulis turun ditemani dengan Wina, juga istri dan ibunya Afif. Tanpa berkata Yulis menghampiri wanita renta yang sedang berbaring di bale. Ibunya Bagas itu bersikeras ingin menunggu kedatangan menantu kesayangan di depan rumah, jadi bale tempatnya biasa berbaring pun dipindahkan ke luar. Air mata membasahi kedua wanita beda generasi itu, tak lama kemudian sudah terdengar suara isak tangis dari mereka yang a
Dering ponsel membuyarkan lamunannya. Yulis segera menggeser ikon gagang telepon di layar ponselnya setelah mengetahui siapa yang menghubunginya."Assalamualaikum, Al," sapanya setelah panggilan tersambung. Dalam sekejap suasana hati Yulis berubah. Mendung yang baru saja menaungi hatinya tiba-tiba sirna. Semua kegalauan diceritakan pada lelaki yang saat ini cukup dekat dengannya itu."Aku gak setuju kamu melakukannya, Yul," sahut Ali dari ujung telepon."Maaf ya, Yul. Kalau aku ikut campur. Hukuman yang dijatuhkan pada Bagas sudah termasuk ringan. Nanti kalau persyaratan yang kamu ajukan disetujui Bagas, yang pasti kamu akan repot dan kembali berhubungan dengannya lagi. Toh cicilannya juga tinggal sebentar kan." Panjang lebar Ali menjelaskan pada teman wanitanya tersebut."Tapi aku kasihan, Al," sahut Yulis setelah menghela napasnya."Kamu lupakan saja mereka. Tak usah terlalu menyalahkan diri sendiri. Mereka pantas mendapatkannya."Setelah itu mereka kembali bercerita tentang banyak
Ali berbalik seolah bisa merasakan kehadiran Yulis, walaupun dia tiba tanpa bersuara. Ali terkesima melihat penampilan Yulis, gaun syar'i modern lengkap dengan khimar nampak anggun dan pas dikenakan olehnya.Pria itu tersenyum, menatap layarnya sekilas lalu menekan gambar ganggang telepon berwarna merah. Dia melangkah mendekat, ingin sekali dia merengkuh perempuan itu dalam dekapannya. Namun, dia sadar bahwa itu tidaklah mungkin."Udah?" tanyanya lagi.Yulis mengangguk, "Yuk!" ajaknya.Wanita itu melangkah di depan Ali, menuju mobil Hiace yang sudah terparkir di depan tokonya."Wih ... pantesan lama, Win. Dandan!" ledek Rindu, ketika Yulis masuk ke dalam mobil."Tahu gini kita gak usah ikut ya, Fif?" Lagi Rindu masih saja meledek sepupunya itu."Ledek terus!" sahut Yulis pura-pura sewot.Ali masuk ke mobil dia duduk di kursi kemudi, sedangkan di sebelahnya ada Afif. Yulis memilih duduk bersama Aufar-putra Afif, sementara yang lainnya duduk dengan pasangannya masing-masing. Kali ini me
"Ke Jati Wangi kayak kemarin itu, terus ke Pelang, terus ke kampung air. Udah itu aja, Pa. Kenapa sih Papa nanya-nanya. Biasanya juga gak gitu." Mutiara mulai sewot, tetapi sebenarnya gadis kecil itu sangat bahagia karena baru kali ini papanya mengajaknya bicara cukup lama.Yulis mengulum senyum mendengar nada protes dari Mutiara."Papa kan ingin tahu, Kak. Karena setelah ini, papa akan berusaha menemani Kakak dan Mama kemanapun kalian mau," sahut Indra. Sontak hal itu membuat manik bening Mutiara berbinar."Jadi Papa gak kerja dong. Nanti dapat uangnya dari mana?" Yulis sampai tak percaya Mutiara akan berkata seperti itu. Dia benar-benar tahu apa yang dirasakan putrinya sambungnya tersebut."Kan Mama punya toko," canda Indra sambil tertawa."Jangan lah, Pa. Itu kan punya Mama.""Terus?""Ya Papa tetap kerja, kalau hari libur kita jalan-jalan. Gitu, Pa.""Pi
"Baiklah, Sayang. Yuk, mandi dan ganti baju dulu," ajak Ridwan. Lelaki itu merasa tak enak hati dengan ucapan putrinya. Dia khawatir Indra salah paham, tapi juga sadar jika sekarang bukan saat yang tepat untuk menjelaskan pada mantan iparnya tersebut.Citra menatap Yulis, biasanya wanita berjilbab itu yang melakukannya. Namun, melihat Yulis diam saja, bocah berambut lurus itu juga tak berani meminta. Citra benar-benar kesal pada pakdenya, yang menurutnya sudah merusak suasana. "Aku juga udahan, Ma," ucap Mutiara."Ayo, mandi dan ganti bajunya sama papa," sahut Indra. Seketika pandangan kedua wanita berbeda generasi itu tertuju pada lelaki yang sudah berdiri dari duduknya.Sesaat kemudian Mutiara tertawa. "Gak mau, sama Mama aja. Malu lah kalau ganti baju sama Papa.""Nah itu si Citra gak malu sama papanya""Beda, Pa. Kan Citra udah gak punya mama. Palingan Om Wan cuma nungguin di luar. Biasanya kan
Mendengar penuturan Yulis, perlahan Indra menelan ludahnya. Lelaki itu takut jika sesuatu terjadi padanya karena sudah menyakiti hati istrinya tersebut."Apa kamu mau turun?" Tanyanya kemudian. Indra sendiri bingung mengapa dia menawarkan hal itu kepada Yulis."Maksudku, apa kamu mau menemuinya. Bicara apa gitu atau menanyakan apa gitu?""Sebaiknya gak usah Pak In. Karena aku dan dia sudah menjadi orang asing," sahut Yulis mantap."Baiklah kalau begitu kita lanjutkan perjalanan." Indra pun membunyikan klakson agar lelaki yang kata Yulis mantan suaminya itu menyingkir.Setelah beberapa saat kendaraan melaju, Indra kembali bertanya pada Yulis. "Bener nggak mau turun di toko aja, biar aku yang nyusul anak-anak ke kampung air."Yulis tak lagi menjawab, wanita penyuka warna kalem itu malah membuang pandangannya keluar jendela dia benar-benar gerah dengan sikap Indra yang tak seperti biasanya. Yulis merasa
Perlahan Indra membaringkan tubuh Yulis, seolah wanita itu adalah barang berharga yang harus dengan hati-hati memperlakukannya. Yulis segera beringsut setelah terlepas dari rengkuhan Indra. Wanita penyuka kopi tanpa gula itu terlihat kesal."Maaf, tadi kamu ketiduran di ayunan. Aku khawatir kamu masuk angin, jadi berinisiatif untuk memindahkanmu ke kamar," ucap Indra tanpa ekspresi. Yulis masih termangu, antara malu, senang, kesal dan tak mengerti dengan perubahan sikap Indra yang tiba-tiba."Tadi Muti telepon pakai nomor Ridwan. Ia ikut Omnya itu ke kampung air. Kamu istirahat saja. Biar aku yang menjemputnya," imbuh Indra, setelah itu dia langsung beranjak.Lagi-lagi Yulis dibuat terbengong, ia semakin tak mengerti, kedua alisnya bertaut memikirkan sebenarnya apa yang terjadi dengan suaminya tersebut."Aku ikut!" Setelah beberapa saat tercengang, Yulis segera menyusul Indra yang hampir meraih ganggang pintu.
"Kami dari rumah tahanan, ingin memberi kabar pada ibu bahwa tahanan yang bernama Mira telah meninggal dunia. Selain Ibu, apa ada nomor keluarganya bisa dihubungi?""Innalilahi wa innailaihi rojiun," ucap Yulis spontan. Sesaat kemudian dia tertegun. Seraut wajah yang dulu sangat disayanginya langsung hadir dalam kilasan ingatannya. Spontan nulis menutup mulutnya yang ternganga. Bagaimanapun juga Mira pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya."Mohon maaf, Pak. Saya sudah tidak lagi berhubungan dengan saudari Mira, tapi, saya tahu di mana alamat orangtuanya. Nanti saya kirim alamatnya aja ya, Pak. Mohon maaf, hanya itu yang bisa saya bantu.""Terima kasih Bu. Kami kesulitan mencari keluarganya. Rumah yang dulu ditempati sekarang sudah atas nama orang lain."Panggilan pun terputus, Yulis tak langsung menyimpan benda pintarnya terbaru. Setelah mengirim alamat orang tua Mira, wanita bermata bulat itu menghubungi Afif.
"Aku ingin membicarakan sesuatu," ucap Indra menghentikan gerakan Yulis yang tengah menyendok nasi goreng di wajan untuk diletakkan di piring."Sarapan dulu, Pak In," sahut Yulis tanpa menoleh. Ia meneruskan kegiatannya menyiapkan sarapan untuk sang suami. Yulis berusaha bersikap biasa saja, walaupun sangat kecewa dengan sikap Indra semalam. Indra berhak melakukannya, tetapi caranya yang membuat Yulis kurang suka.Indra menghela napas untuk mengurangi kegugupan di hatinya, sambil terus memperhatikan punggung ramping istrinya yang belum pernah sekalipun dipeluk olehnya.Tak butuh waktu lama, sepiring nasi goreng sudah tersaji di depan Indra beserta segelas air putih."Sedekat–" "Makan dulu, Pak In," sela Yulis. Lagi-lagi wanita itu mengatakannya tanpa melihat suaminya. Setelah itu suasana kembali hening, hanya denting sendok dan piring yang terdengar memenuhi ruangan. "Alhamdulillah," ucap Yulis den
Hingar bingar ruangan kedap suara itu sama sekali tak mengusiknya. Pikirannya benar-benar sedang kacau. Indra beranggapan bahwa takdir benar-benar mempermainkannya. Dulu dia sama sekali tidak tertarik dengan Yulis, dia menikahi wanita itu hanya demi Mutiara, tapi wanita itu memperlakukannya sebagai suami, patuh dan melayaninya. Walaupun tidak dengan urusan ranjang. Kini setelah Indra mulai menyukainya, Yulis malah bersikap tidak peduli, itulah yang membuatnya frustasi."Aku temenin minum ya, Pak," ujar seorang wanita muda dengan suara manja. Pemandu karaoke itu sedari tadi memang memperhatikan Indra, yang lebih asyik dengan dunianya sendiri.Indra menepis tangan wanita muda tersebut, setelah itu mengisyaratkan agar dia menjauh. Indra benar-benar tak ingin diganggu. Wanita muda bernama Ratu itu mendengkus kesal karena ditolak, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa."Ayo Pak In, kita senang-senang. Bukannya tujuan kita kesini untuk itu?" Temannya yang sudah semp
"Papa kenapa, Ma?" tanya Muti. Tatapannya jauh mengikuti laju mobil lelaki yang telah mengukir jiwanya tersebut."Em, mungkin papa melupakan sesuatu, Sayang.""Padahal kita sudah membatalkan acara dengan Citra demi Papa, tapi Kenapa Papa pergi begitu saja." Muti sangat kecewa dengan sikap papanya "Mama telpon pa-pa dulu ya." Setelah berucap Yulis pun menghubungi suaminya tersebut. "Ada apa?" tanya Indra setelah mengangkat panggilan."Mas, kenapa balik? Muti udah menunggu dari tadi.""Pergi saja dengan lelaki itu, kalian terlihat serasi dan bahagia," sahut Indra. Namun, dia hanya berani mengatakan semua itu dalam hati."Ada rapat mendadak," sahutnya dengan suara datar. "Nanti kalian pulang sendiri. Aku mungkin sampai larut," imbuhnya, setelah itu Indra memutuskan panggilannya. Yulis menghela napasnya lagi, rasanya lebih muda menghadapi emak-emak yang suka menawar dagangannya dari pada mengahadapi sikap suaminya itu.
Toko Yulis terlihat ramai, lalu lalang pembeli dan karyawan menjadi pemandangan yang menyenangkan bagi wanita bertubuh ramping itu. Yulis melambaikan tangan pada Afif dan Maya yang berada di dalam toko setelah gocar yang dipesannya kembali melaju. Setelah itu Yulis melanjutkan langkahnya menuju rumah untuk berganti pakaian. Muti dan Citra mengikutinya tanpa protes. Kedua gadis kecil itu berjalan riang di belakangnya.Wanita pemilik nama lengkap Yulistiana itu memelankan langkahnya yang hampir sampai di teras saat mendengar ponselnya berdering. Yulis mengamati sekilas layar ponselnya yang berkedip, kemudian segera menggeser ke atas ikon ganggang telepon yang bergetar."Assalamualaikum, Pak Wan," sapa Yulis setelah panggilan tersambung."Waalaikumussalam, Dek Yul. Apa acaranya sudah selesai?" tanya papanya Citra tersebut."Sudah, Pak Wan. Maaf ya, ini Citra tak ajak ke rumah Merakurak," sahut Yulis."