"Apa yang kamu pikirkan saat kalian memutuskan untuk menikah?" Ada getir di kalimat yang Yulis tanyakan pada wanita yang masih bersimpuh itu. Namun, Yulis tetap ingin mengetahui alasannya apa hingga kedua manusia yang sangat dicintainya itu tega melukai bahkan menusuknya sampai dasar kesakitan."Kami saling mencintai, Bu. Semua berjalan begitu saja. Kami ... Kami mengaku bersalah," tangis itu keluar dari bibir Mira. Entah nyata atau hanya sandiwara. Bibir Yulis melengkung, tatapan tajam pada wanita tak tahu diuntung itu. "Apa kamu tak pernah memikirkan perasaan orang-orang yang menyayangimu?" Suara Yulis terdengar pelan, tetapi sangat tegas. Sekuat tenaga wanita bermata bulat itu menahan emosinya."Maafkan aku, Bu. Maafkan kami, cinta itu tumbuh begitu saja, semakin hari semakin besar dan kami tak bisa menahannya." Kembali Mira berusaha meraih kaki Yulis, memaksa merangkul kedua kaki orang yang sudah memberikan kasih sayang berlimpah padanya."Mudah untukku memaafkan, tapi luka ini
Pagi menjelang, Yulis dan semua keluarganya sudah siap untuk mengantar Mira pulang. Mereka bukannya sayang pada pe la kor kecil itu. Namun, mereka mengkhawatirkan keselamatan Yulis. Perjalanan yang mereka tempuh cukup lama, butuh lima jam perjalanan darat untuk sampai di kampung kelahiran Bagas juga Mira. Mobil yang dikemudikan Afif berhenti tepat di halaman rumah orang tua Bagas. Rupanya, kabar kedatangan Yulis sudah menyebar hingga banyak keluarga yang berkumpul di rumah itu. Bahkan keluarga Mira juga ada di sana."An-anakku!" seru ibu mertua Yulis dengan suara yang kurang jelas.Yulis turun ditemani dengan Wina, juga istri dan ibunya Afif. Tanpa berkata Yulis menghampiri wanita renta yang sedang berbaring di bale. Ibunya Bagas itu bersikeras ingin menunggu kedatangan menantu kesayangan di depan rumah, jadi bale tempatnya biasa berbaring pun dipindahkan ke luar. Air mata membasahi kedua wanita beda generasi itu, tak lama kemudian sudah terdengar suara isak tangis dari mereka yang a
Dering ponsel membuyarkan lamunannya. Yulis segera menggeser ikon gagang telepon di layar ponselnya setelah mengetahui siapa yang menghubunginya."Assalamualaikum, Al," sapanya setelah panggilan tersambung. Dalam sekejap suasana hati Yulis berubah. Mendung yang baru saja menaungi hatinya tiba-tiba sirna. Semua kegalauan diceritakan pada lelaki yang saat ini cukup dekat dengannya itu."Aku gak setuju kamu melakukannya, Yul," sahut Ali dari ujung telepon."Maaf ya, Yul. Kalau aku ikut campur. Hukuman yang dijatuhkan pada Bagas sudah termasuk ringan. Nanti kalau persyaratan yang kamu ajukan disetujui Bagas, yang pasti kamu akan repot dan kembali berhubungan dengannya lagi. Toh cicilannya juga tinggal sebentar kan." Panjang lebar Ali menjelaskan pada teman wanitanya tersebut."Tapi aku kasihan, Al," sahut Yulis setelah menghela napasnya."Kamu lupakan saja mereka. Tak usah terlalu menyalahkan diri sendiri. Mereka pantas mendapatkannya."Setelah itu mereka kembali bercerita tentang banyak
Ali berbalik seolah bisa merasakan kehadiran Yulis, walaupun dia tiba tanpa bersuara. Ali terkesima melihat penampilan Yulis, gaun syar'i modern lengkap dengan khimar nampak anggun dan pas dikenakan olehnya.Pria itu tersenyum, menatap layarnya sekilas lalu menekan gambar ganggang telepon berwarna merah. Dia melangkah mendekat, ingin sekali dia merengkuh perempuan itu dalam dekapannya. Namun, dia sadar bahwa itu tidaklah mungkin."Udah?" tanyanya lagi.Yulis mengangguk, "Yuk!" ajaknya.Wanita itu melangkah di depan Ali, menuju mobil Hiace yang sudah terparkir di depan tokonya."Wih ... pantesan lama, Win. Dandan!" ledek Rindu, ketika Yulis masuk ke dalam mobil."Tahu gini kita gak usah ikut ya, Fif?" Lagi Rindu masih saja meledek sepupunya itu."Ledek terus!" sahut Yulis pura-pura sewot.Ali masuk ke mobil dia duduk di kursi kemudi, sedangkan di sebelahnya ada Afif. Yulis memilih duduk bersama Aufar-putra Afif, sementara yang lainnya duduk dengan pasangannya masing-masing. Kali ini me
"Ya ... siapa tahu dia berbuat macam-macam gitu?" Lelaki itu mulai mencomot satu potong tempe goreng."Heeem, kamu jangan berfikir begitu lah, Fif. Berdoa saja biar semua baik-baik saja, semoga Bagas bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi," sahut Yulis dengan tenang."Bude kayaknya yakin banget ya, kalau lelaki itu bakal berubah, tapi semoga saja lah, toh gak ada ruginya mendoakan kebaikan seseorang." Akhirnya pemuda itu mengalah. "Nah, itu ngerti." Yulis menimpali."Oh iya, kemarin ada yang bilang ke aku, kalau dia sering lihat Mira membesuk Bagas." Kini lelaki itu sudah bersiap menggigit semangka yang sudah diiris kecil-kecil."Ya biarin aja lah. Dia kan memang istrinya. Pokoknya semoga semua menjadi lebih baik. Oke? Dan gak usah bahas ini lagi," pintanya pada sang keponakan."Siap," ucap Afif tegas. Dia melangkah mendekati Yulis."De?" Afif seperti ragu saat hendak mengatakan sesuatu."Apa lagi?" Yulis menatap ponakannya itu sekilas, perempuan itu masih sibuk menata makanan dal
"Ibu Yulis!" Riuh suara anak-anak menyambut kedatangannya. Dengan sabar Yulis mencium pipi anak-anak itu. Setelah semuanya sudah mendapatkan bingkisan,nmereka akan duduk dengan tenang di aula. Sedangkan Yulis akan berbincang-bincang dengan pengelola panti. Ketika tengah asik mengobrol tak sengaja Yulis melihat seorang wanita paruh baya tengah duduk di bangku taman. Wanita yang rambutnya hampir memutih itu tak sendiri, di sampingnya ada gadis manis yang nampak cemberut. Setelah selesai berbincang-bincang dengan pengelola panti, Yulis melangkah menuju wanita dan gadis tersebut."Permisi, Bu," sapanya yang disambut dengan sebuah senyuman. Yulis beralih pada gadis manis yang duduk di samping wanita senja itu."Hai cantik." Kali ini Yulis menyapa gadis di sebelahnya. Namun, gadis kecil itu tak membalas, dia masih saja manyun."Kenapa, Sayang, kok cemberut? Ada yang ganggu ya? Sini bilang sama Bu Yulis, biar nanti—""Ini Bu Yulis?" Gadis kecil itu langsung ceria begitu mendengar nama Bu Yu
"Assalamualaikum, Ali," sapa Yulis setelah mendekatkan ponselnya ke telinganya."Wa'alaikumussalam, Yul. Apa kabar hari ini?" Hal sepele yang membuat hubungan mereka semakin dekat.Yulis tersenyum mendengarnya, merasa bahagia karena ada seseorang yang begitu peduli padanya. "Alhamdulillah baik, Al. Sangat baik," balas Yulis. Saat ini hatinya sedang berperang, antara segera menyudahi kebahagiaan semu ini atau memilih untuk melanjutkannya."Ok, nanti jam 10 tak jemput. Ke tempat biasa kan?" tanya Ali lagi. Memastikan pesan yang dikirim oleh Yulis tadi."Hu'um, kamu langsung ke sana aja, nanti aku nyusul," sahut Yulis yang membuat Ali menautkan kedua alisnya karena merasa heran dengan sikap wanita tersebut."Tap—" Ali berhenti berkata, karena Yulis lekas memotong ucapannya."Sudah dulu ya, Al ... Assalamualaikum." Setelah mengucap salam Yulis lekas memutuskan panggilannya tanpa menunggu balasan dari Ali. Yulis takut temannya itu mengetahui jika saat ini perasaannya sedang tidak baik-baik
"Kalau kamu menuntut hak kamu selama bekerja di sini. Maka berikanlah hak untuk diriku selama menjadi istrimu. Berikan hak yang seharusnya diterima oleh seorang istri, Bagas Prayoga." Kini Yulis sudah berada tepat di depan mantan suaminya itu. "Maka akan aku jumlah berapa gaji yang layak untuk karyawan seperti kamu," imbuhnya. Tatapannya tajam menghunus manik mata Bagas."Hitung juga berapa makanan yang sudah kamu makan? Tempat tinggal dan malam-malam saat kamu menikmati tubuhku." Yulis mengucapkan semua itu dengan tenang. "Satu lagi, satu ... saja, jangan lupa untuk mengganti uangku yang kupakai untuk membayar hutangmu di Bank."Sedari tadi Yulis yang berbicara. Kedua manusia itu nampak tak percaya Yulis yang dulu yang selalu bersikap lembut bisa berkata seperti itu. Memang benar jika kesakitan dan luka akan membuat seseorang menjadi sosok yang lebih tegar dan berani.Bagas dan Mira sangat malu, rencananya untuk menakuti dan menggertak Yulis kini malah berbalik. Mereka tak bisa berbu
"Ke Jati Wangi kayak kemarin itu, terus ke Pelang, terus ke kampung air. Udah itu aja, Pa. Kenapa sih Papa nanya-nanya. Biasanya juga gak gitu." Mutiara mulai sewot, tetapi sebenarnya gadis kecil itu sangat bahagia karena baru kali ini papanya mengajaknya bicara cukup lama.Yulis mengulum senyum mendengar nada protes dari Mutiara."Papa kan ingin tahu, Kak. Karena setelah ini, papa akan berusaha menemani Kakak dan Mama kemanapun kalian mau," sahut Indra. Sontak hal itu membuat manik bening Mutiara berbinar."Jadi Papa gak kerja dong. Nanti dapat uangnya dari mana?" Yulis sampai tak percaya Mutiara akan berkata seperti itu. Dia benar-benar tahu apa yang dirasakan putrinya sambungnya tersebut."Kan Mama punya toko," canda Indra sambil tertawa."Jangan lah, Pa. Itu kan punya Mama.""Terus?""Ya Papa tetap kerja, kalau hari libur kita jalan-jalan. Gitu, Pa.""Pi
"Baiklah, Sayang. Yuk, mandi dan ganti baju dulu," ajak Ridwan. Lelaki itu merasa tak enak hati dengan ucapan putrinya. Dia khawatir Indra salah paham, tapi juga sadar jika sekarang bukan saat yang tepat untuk menjelaskan pada mantan iparnya tersebut.Citra menatap Yulis, biasanya wanita berjilbab itu yang melakukannya. Namun, melihat Yulis diam saja, bocah berambut lurus itu juga tak berani meminta. Citra benar-benar kesal pada pakdenya, yang menurutnya sudah merusak suasana. "Aku juga udahan, Ma," ucap Mutiara."Ayo, mandi dan ganti bajunya sama papa," sahut Indra. Seketika pandangan kedua wanita berbeda generasi itu tertuju pada lelaki yang sudah berdiri dari duduknya.Sesaat kemudian Mutiara tertawa. "Gak mau, sama Mama aja. Malu lah kalau ganti baju sama Papa.""Nah itu si Citra gak malu sama papanya""Beda, Pa. Kan Citra udah gak punya mama. Palingan Om Wan cuma nungguin di luar. Biasanya kan
Mendengar penuturan Yulis, perlahan Indra menelan ludahnya. Lelaki itu takut jika sesuatu terjadi padanya karena sudah menyakiti hati istrinya tersebut."Apa kamu mau turun?" Tanyanya kemudian. Indra sendiri bingung mengapa dia menawarkan hal itu kepada Yulis."Maksudku, apa kamu mau menemuinya. Bicara apa gitu atau menanyakan apa gitu?""Sebaiknya gak usah Pak In. Karena aku dan dia sudah menjadi orang asing," sahut Yulis mantap."Baiklah kalau begitu kita lanjutkan perjalanan." Indra pun membunyikan klakson agar lelaki yang kata Yulis mantan suaminya itu menyingkir.Setelah beberapa saat kendaraan melaju, Indra kembali bertanya pada Yulis. "Bener nggak mau turun di toko aja, biar aku yang nyusul anak-anak ke kampung air."Yulis tak lagi menjawab, wanita penyuka warna kalem itu malah membuang pandangannya keluar jendela dia benar-benar gerah dengan sikap Indra yang tak seperti biasanya. Yulis merasa
Perlahan Indra membaringkan tubuh Yulis, seolah wanita itu adalah barang berharga yang harus dengan hati-hati memperlakukannya. Yulis segera beringsut setelah terlepas dari rengkuhan Indra. Wanita penyuka kopi tanpa gula itu terlihat kesal."Maaf, tadi kamu ketiduran di ayunan. Aku khawatir kamu masuk angin, jadi berinisiatif untuk memindahkanmu ke kamar," ucap Indra tanpa ekspresi. Yulis masih termangu, antara malu, senang, kesal dan tak mengerti dengan perubahan sikap Indra yang tiba-tiba."Tadi Muti telepon pakai nomor Ridwan. Ia ikut Omnya itu ke kampung air. Kamu istirahat saja. Biar aku yang menjemputnya," imbuh Indra, setelah itu dia langsung beranjak.Lagi-lagi Yulis dibuat terbengong, ia semakin tak mengerti, kedua alisnya bertaut memikirkan sebenarnya apa yang terjadi dengan suaminya tersebut."Aku ikut!" Setelah beberapa saat tercengang, Yulis segera menyusul Indra yang hampir meraih ganggang pintu.
"Kami dari rumah tahanan, ingin memberi kabar pada ibu bahwa tahanan yang bernama Mira telah meninggal dunia. Selain Ibu, apa ada nomor keluarganya bisa dihubungi?""Innalilahi wa innailaihi rojiun," ucap Yulis spontan. Sesaat kemudian dia tertegun. Seraut wajah yang dulu sangat disayanginya langsung hadir dalam kilasan ingatannya. Spontan nulis menutup mulutnya yang ternganga. Bagaimanapun juga Mira pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya."Mohon maaf, Pak. Saya sudah tidak lagi berhubungan dengan saudari Mira, tapi, saya tahu di mana alamat orangtuanya. Nanti saya kirim alamatnya aja ya, Pak. Mohon maaf, hanya itu yang bisa saya bantu.""Terima kasih Bu. Kami kesulitan mencari keluarganya. Rumah yang dulu ditempati sekarang sudah atas nama orang lain."Panggilan pun terputus, Yulis tak langsung menyimpan benda pintarnya terbaru. Setelah mengirim alamat orang tua Mira, wanita bermata bulat itu menghubungi Afif.
"Aku ingin membicarakan sesuatu," ucap Indra menghentikan gerakan Yulis yang tengah menyendok nasi goreng di wajan untuk diletakkan di piring."Sarapan dulu, Pak In," sahut Yulis tanpa menoleh. Ia meneruskan kegiatannya menyiapkan sarapan untuk sang suami. Yulis berusaha bersikap biasa saja, walaupun sangat kecewa dengan sikap Indra semalam. Indra berhak melakukannya, tetapi caranya yang membuat Yulis kurang suka.Indra menghela napas untuk mengurangi kegugupan di hatinya, sambil terus memperhatikan punggung ramping istrinya yang belum pernah sekalipun dipeluk olehnya.Tak butuh waktu lama, sepiring nasi goreng sudah tersaji di depan Indra beserta segelas air putih."Sedekat–" "Makan dulu, Pak In," sela Yulis. Lagi-lagi wanita itu mengatakannya tanpa melihat suaminya. Setelah itu suasana kembali hening, hanya denting sendok dan piring yang terdengar memenuhi ruangan. "Alhamdulillah," ucap Yulis den
Hingar bingar ruangan kedap suara itu sama sekali tak mengusiknya. Pikirannya benar-benar sedang kacau. Indra beranggapan bahwa takdir benar-benar mempermainkannya. Dulu dia sama sekali tidak tertarik dengan Yulis, dia menikahi wanita itu hanya demi Mutiara, tapi wanita itu memperlakukannya sebagai suami, patuh dan melayaninya. Walaupun tidak dengan urusan ranjang. Kini setelah Indra mulai menyukainya, Yulis malah bersikap tidak peduli, itulah yang membuatnya frustasi."Aku temenin minum ya, Pak," ujar seorang wanita muda dengan suara manja. Pemandu karaoke itu sedari tadi memang memperhatikan Indra, yang lebih asyik dengan dunianya sendiri.Indra menepis tangan wanita muda tersebut, setelah itu mengisyaratkan agar dia menjauh. Indra benar-benar tak ingin diganggu. Wanita muda bernama Ratu itu mendengkus kesal karena ditolak, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa."Ayo Pak In, kita senang-senang. Bukannya tujuan kita kesini untuk itu?" Temannya yang sudah semp
"Papa kenapa, Ma?" tanya Muti. Tatapannya jauh mengikuti laju mobil lelaki yang telah mengukir jiwanya tersebut."Em, mungkin papa melupakan sesuatu, Sayang.""Padahal kita sudah membatalkan acara dengan Citra demi Papa, tapi Kenapa Papa pergi begitu saja." Muti sangat kecewa dengan sikap papanya "Mama telpon pa-pa dulu ya." Setelah berucap Yulis pun menghubungi suaminya tersebut. "Ada apa?" tanya Indra setelah mengangkat panggilan."Mas, kenapa balik? Muti udah menunggu dari tadi.""Pergi saja dengan lelaki itu, kalian terlihat serasi dan bahagia," sahut Indra. Namun, dia hanya berani mengatakan semua itu dalam hati."Ada rapat mendadak," sahutnya dengan suara datar. "Nanti kalian pulang sendiri. Aku mungkin sampai larut," imbuhnya, setelah itu Indra memutuskan panggilannya. Yulis menghela napasnya lagi, rasanya lebih muda menghadapi emak-emak yang suka menawar dagangannya dari pada mengahadapi sikap suaminya itu.
Toko Yulis terlihat ramai, lalu lalang pembeli dan karyawan menjadi pemandangan yang menyenangkan bagi wanita bertubuh ramping itu. Yulis melambaikan tangan pada Afif dan Maya yang berada di dalam toko setelah gocar yang dipesannya kembali melaju. Setelah itu Yulis melanjutkan langkahnya menuju rumah untuk berganti pakaian. Muti dan Citra mengikutinya tanpa protes. Kedua gadis kecil itu berjalan riang di belakangnya.Wanita pemilik nama lengkap Yulistiana itu memelankan langkahnya yang hampir sampai di teras saat mendengar ponselnya berdering. Yulis mengamati sekilas layar ponselnya yang berkedip, kemudian segera menggeser ke atas ikon ganggang telepon yang bergetar."Assalamualaikum, Pak Wan," sapa Yulis setelah panggilan tersambung."Waalaikumussalam, Dek Yul. Apa acaranya sudah selesai?" tanya papanya Citra tersebut."Sudah, Pak Wan. Maaf ya, ini Citra tak ajak ke rumah Merakurak," sahut Yulis."