"Kalau kamu menuntut hak kamu selama bekerja di sini. Maka berikanlah hak untuk diriku selama menjadi istrimu. Berikan hak yang seharusnya diterima oleh seorang istri, Bagas Prayoga." Kini Yulis sudah berada tepat di depan mantan suaminya itu. "Maka akan aku jumlah berapa gaji yang layak untuk karyawan seperti kamu," imbuhnya. Tatapannya tajam menghunus manik mata Bagas."Hitung juga berapa makanan yang sudah kamu makan? Tempat tinggal dan malam-malam saat kamu menikmati tubuhku." Yulis mengucapkan semua itu dengan tenang. "Satu lagi, satu ... saja, jangan lupa untuk mengganti uangku yang kupakai untuk membayar hutangmu di Bank."Sedari tadi Yulis yang berbicara. Kedua manusia itu nampak tak percaya Yulis yang dulu yang selalu bersikap lembut bisa berkata seperti itu. Memang benar jika kesakitan dan luka akan membuat seseorang menjadi sosok yang lebih tegar dan berani.Bagas dan Mira sangat malu, rencananya untuk menakuti dan menggertak Yulis kini malah berbalik. Mereka tak bisa berbu
"Harta bisa dicari lagi, Fif. Selama badan ini masih sehat. Percayalah harta yang didapat dengan cara yang tidak baik. Pasti tak akan membuat bahagia, karena gak berkah." Panjang lebar Yulis mencoba menghibur Afif dan hatinya sendiri. Setelah berucap Yulis melangkah ke rak bagian air mineral, mengambil satu botol ukuran tanggung, membukanya kemudian menegakkan hingga tandas."Wah, Ibu Yulis ini memang hebat," kata seseorang yang sedari tadi menyaksikan."Ah, biasa aja, Bu," sahut Yulis sambil tersenyum walaupun terpaksa."Kalau aku ya gak mau, Bu, digituin. Tak tuntut ke pengadilan, ya kan?" kata yang lainnya."Iya, enak saja!" Suara-suara itu seolah menyayangkan kejadian yang tadi terjadi. Mereka masih saling berkomentar menambah sesak di telinga dan hati Yulis. Perempuan itu memijat keningnya hingga teringat sesuatu kemudian menengok pada benda yang tergantung di dinding. "Lebih lima belas menit," gumamnya.Setelah menenangkan dirinya sejenak, akhirnya Yulis memutuskan untuk datang
Yulis menatap nanar pada tempat yang sudah dipesannya. Kosong, tak ada siapapun di sana. Wanita yang menggunakan rok plisket berwarna kopi susu yang dipadukan dengan cardigan warna senada dengan dalaman kaos putih itu tetap melangkah mendekati meja bundar yang terletak di sudut ruangan. Setelah melepaskan sepatu, perlahan dia menjatuhkan bobot tubuhnya di lantai kayu tempatnya membuat janji dengan Ali."Maaf, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pramusaji yang sengaja menghampirinya."Oh iya, Mbak. Maaf, aku yang memesan tempat ini, apa tadi sudah ada yang datang?" Yulis balik bertanya. "Ada Bu. Kalau boleh tau, siapa nama ibu?" Dengan sopan wanita muda itu bertanya karena ada sebuah bingkisan dari lelaki yang telah lama menunggunya tadi."Nama? Buat apa?" tanya Yulis heran."Ada sesuatu dari orang yang tadi duduk di sini, Bu. Sekali lagi maaf, siapa nama Ibu?" Kembali pramusaji itu bertanya dengan sopan."Yulistiana.""Oh, Ibu Yulis ya? Berarti benar, ini untuk ibu. Silakan,
Di kediamannya, Mira dan Bagas tengah merayakan kemenangan karena berhasil mengambil mobil Yulis."Akhirnya, setelah sekian lama menunggu, sekarang kita memiliki segalanya, Mas! Mobil, rumah, perhiasan, uang! Hahahaha! Mira tertawa sambil menari bahagia. "Terima kasih, Sayang. Aku benar-benar puas! Sangat puas!" Mira berteriak di dalam rumahnya. Kemudian dia mendekati Bagas yang sedang duduk angkuh di sebuah sofa besar. "Mas, aku mau punya pembantu," ucap Mira manja. "Aku gak mau tanganku yang halus dan lembut ini rusak gara-gara mengerjakan pekerjaan rumah." Lagi dia merengek."Untuk saat ini gak usah lah, Sayang. Buat apa? Kalau mau makan kita tinggal memesan atau pergi ke restoran. Pakaian kotor, antar aja ke laundry," ujar Bagas memberikan solusi."Benar juga ya, Mas. Atau ... kita ajak ibuku ke sini? Kan lumayan bisa disuruh-suruh. Lagian di rumah dia juga sendirian. Semua saudaraku juga sudah hidup dengan keluarganya masing-masing," usul Mira pada Suaminya hasil merebut dari i
"Assalamualaikum," ucapnya ketika panggilannya tersambung."Wa'alaikumussalam. Apa ini dengan ibu Yulis?" tanya suara di ujung telepon. Yulis mengerutkan keningnya karena yang menjawabnya seorang lelaki."Iya, saya sendiri. Benar ini dengan keluarganya Muti, Pak?" tanya Yulis dengan sopan."Iya benar. Muti ingin anda datang ke sini. Alamatnya sudah saya kirim di pesan sebelumnya," ujar Indra tanpa basa-basi. Lelaki itu mengenyampingkan rasa malu demi sang putri yang tak pernah disayanginya."Em, Baiklah, Pak. Muti-nya ada, Pak. Bila boleh saya ingin berbicara dengannya," balas Yulis, wanita itu ingin memastikan apa benar Muti yang memintanya datang."Sebentar." Tanpa mematikan ponselnya Indra berjalan dengan langkah lebar menuju kamar putrinya."Siapa In? Ibu Yulis?" tanya Rahayu. Indra tak menjawab, langsung saja mengulurkan benda pintar miliknya pada sang ibu."Halo ... Bu Yulis, mohon maaf sebelumnya ya, Bu. Saat ini Muti deman dan selalu memanggil nama Ibu. Apa Ibu Yulis berkenan
Ketika Yulis sedang membacakan dongeng untuk Muti, ponselnya berdering. Wanita itu segera melihat dan mengangkat panggilan.Yulis menjawab pelan saat penelpon mengucapkan salam. Perlahan dia beranjak dari kasur. Dilihatnya lagi gadis cilik itu sekilas, setelah dirasa sudah cukup nyenyak, Yulis pun melangkah keluar dengan hati-hati, baru setelah itu dia bisa leluasa berbicara dengan seseorang di ujung telepon."Iya, Rindu. Ada apa?" tanyanya dengan suara yang masih terdengar lirih."Yulis ... kamu di mana? Aku baru denger kalau tadi Bagas ke toko dan pergi membawa mobilmu, dan kamu diam saja!" omel Rindu dari ujung telepon.Yulis menghela napasnya. "Rin, aku sekarang lagi bertamu, jadi bicaranya nanti saja kalau aku sudah di rumah. Oke?" jawabannya pelan, tetapi terdengar tegas."Emang kamu sedang di mana? Sama Ali?" tanya Rindu penasaran."Bukan! Sudah ya, ini aku mau pamit pulang. Assalamualaikum." Setelah salamnya terjawab Yulis memutuskan panggilan telepon.Saat memasukkan ponselny
"Mira ... sudah siap? Wow! Kamu memang cantik sekali, Sayang," puji Bagas pada istrinya, ketika Mira baru saja keluar dari kamarnya. Lelaki dewasa itu meraih tubuh istrinya kemudian membawanya dalam pelukan."Iya dong ... istrinya siapa dulu? Mas ... bener nih aku harus nginap sama laki-laki itu? Aku takut, Mas ...." Mira merajuk ketika dia sudah dalam rengkuhan Bagas."Takut apa sih? Wong mau diajak tidur di hotel berbintang kok takut," hibur Bagas. "Katanya mau punya uang banyak, gak mau susah? Ya kerja ginian yang cocok," imbuhnya. Sesekali lelaki itu mencium bibir Mira yang berwarna merah menyala."Tapi aku takut, bagaimana kalau nanti aku di apa-apain, maksudku nanti orangnya galak trus nyiksa, gimana?" Mira bergidik ngeri membayangkannya."Kamu gak usah mikir yang macem-macem, pikirkan saja nanti hasilnya. Oke, Sayang," bujuk Bagas. Untuk sesaat mereka larut dalam ciuman hangat, sebelum kembali melangkah beriringan keluar rumah.Ini adalah job pertama untuk Mira dengan klien seo
"Sekarang kamu jelaskan pada kami," pinta Rindu ketika mereka sudah sampai."Tentang apa? Mobil?" jawab Yulis setelah mencecap coklat panas yang baru saja dibuat oleh Maya istri Afif."Terserah mau mulai dari mana? Tapi yang jelas aku juga penasaran sama lelaki yang mengantarmu tadi," sahut Rindu.Yulis menghela napas panjang sebelum menjelaskan kepada sepupunya tersebut."Untuk mobil yang dibawa pergi Bagas, aku sudah mengikhlaskannya," ucap Yulis dan itu cukup membuat Rindu dan Afif masing-masing menghela napas panjang."Lis ... jujur aku gak setuju jika dengan mudah Bagas bisa mendapatkan semua itu," bantah Rindu.Sementara Yulis memilih diam menyimak."Enak di dia dong, Yul! Nggak, aku gak terima!" ujarnya agak keras, setelah itu dia menegak es coklat yang dibuatkan menantu kesayangannya."Kalau pendapatmu bagaimana, Fif?" Kini Yulis bertanya kepada ponakan sekaligus orang kepercayaannya."Baiknya semua diproses sesuai hukum, Bude. Sampai saat ini kan Bagas masih menuntut harta go