Suamiku 90cm
Part 3 : Pindah Rumah
Ibu ikutan tersenyum juga, begitupun kak Metha.
"Ya sudah, aku mau ke kamar dulu. Sekalian mengemaskan pakaian untuk segara pindah ke rumah mas Syafril. Kita pindahnya sore nanti, oke mas?" Aku bangkit dari duduk dan memandang sekilas dia, suamiku.
"Oke, Dik," jawabnya cepat.
Dengan setengah berlari aku menaiki tangga menuju kamar yang terletak di lantai atas rumah kami. Aku sebal sekali melihat tingkah mereka semua, sungguh menyebalkan sekali.
Sorenya, semua baju sudah ku masukkan ke dalam koper dan kami siap berangkat.
"Zilla pamit, Bu." Aku mencium punggung tangan ibu dan memeluknya.
"Iya, Nak. Jadilah istri yang baik untuk suamimu. Bersikap baik dan berbaktilah kepadanya. Surga seorang istri ada didalam ridho suami."
Aku hanya mengangguk dan lanjut menyalami bang Fradit dan kak Metha.
"Tante pamit ya, centil. Kalau kangen, jenguk saja ke rumah," ucapku kepada Farah sembari mencubit gemas pipi montoknya.
"Iya, Tante jelek. Segera bikinkan Farah sepupu ya, yang cantik kayak aku," jawabnya dengan senyum jahilnya.
"Aih, bocah ini. Tahu dari mana dia berucap seperti itu? Pasti kak Metha yang mengajarinya," batinku sambil melototinya.
Langsung saja dia tertawa dan bersembunyi di belakang mamanya. Semua pun ikutan tertawa mendengar ucapan Farah, dan menatap kami.
"Iya, Ibu tunggu kabar baik dari kalian. Semoga cepat memberi ibu cucu." Ibu ikut menimpali.
Ya tuhan, aku makin jengkel mendengarnya.
Lalu kemudian Mas Syafril mengulurkan tangannya ke atas hendak menyalami ibu, "Insyallah, Bu. Doakan saja."
"Amin. Bimbing dan didiklah Zilla menjadi istri yang baik, Syafril. Sekarang dia sudah menjadi tanggung jawabmu sepenuhnya," ujar ibu kepada menantu barunya itu dengan membungkukkan badan.
Setelah acara pamitan yang cukup panjang dan menguras emosi, kami pun naik ke mobil dan menuju rumah Mas Syafril.
Salama tiga puluh menit perjalanan, pikiranku berkecamuk. Ke rumah mana dia akan membawaku, ke rumah orang tuanya atau ke rumah pribadinya?
Oh, my god. Aku lupa bertanya tadi, jangan sampai dia mengajakku tinggal bersama keluarga kurcacinya. Aku bisa gila kalau hidup di kelilingi para manusia kerdil itu. Aku memijat jidat memikirkannya.
***
TERPAKSA MENIKAHI PRIA KECIL
Part 3 : Rumah Kurcaci
Taklama kemudian, mobil yang kami tumpangi berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas seperti lapangan bola. Dengan banyak pohon di sekelilingnya dan tumbuhan lainnya, tapi tidak ada bunga satu pun di sini.
"Ayo, Dik, turun! Ini rumah Mas Syafril, kita sudah sampai," ujarnya sembari membuka pintu mobil dan langsung melompat turun ke bawah.
Hemm, aku meringis ngeri melihat cara turunnya dari mobil.
"Hehe ... maaf, Dik, kaki Mas nggak sampai." Dia nyengir melihat tampang ngeriku.
"Eh, iya, Mas. Lain kali minta bantu Zilla aja, kasihan Mas nya nanti jatuh," ucapku mulai iba melihatnya.
"Gak apa-apa, Dik. Mas sudah terbiasa. Ayo kita masuk, harap maklum kalau rumahnya gak semewah rumah kamu ya. Tapi Insyallah rumah ini nyaman dan adem." Dia berjalan di depanku dan membuka kunci rumahnya.
Ada yang aneh dengan pintu rumah ini, aku mengerutkan dahi sejenak. Mengamati dengan teliti.
Ah ya, gagang pintunya dibuat agak rendah. Oh, my god, kalau aku yang membuka pintu ini. Masukin kunci rumahnya, berarti aku harus berjongkok. Aku menahan senyum.
"Inilah rumah Mas dan sekarang sudah menjadi rumah Dik Zilla juga. Semoga betah tinggal di sini." Pria kecil duduk di Sofa ruang tamu.
Aku pun ikutan duduk juga di depannya, "Aww .... " pantatku jatuh di kursi yang ternyata di desain agak rendah itu.
Untung aja sofa nya empuk, kalau nggak, bisa tempos pantat sexi ini. Aku terus ngedumel dalam hati sambil meringis.
"Maaf, Dik. Semua perabotan di rumah ini memang didesain agak rendah. Disesuaikan dengan tubuh Mas yang seperti ini," ucapnya seakan tahu isi di kepalaku.
"Iya, Mas. Tidak apa, nanti juga Zilla akan terbiasa. Ehm ... kamarnya di mana, Mas? Mau simpan pakaian." Aku berdiri menyeret koper.
Kemudian dia mengantarkanku ke kamar, "ini kamar mas dan sekarang akan menjadi kamar Dik Zilla juga."
Aku menelan ludah membayangkan akan tidur bersamanya malam ini, "eh, iya mas."
"Ya sudah, kamu bisa simpan pakaianmu di lemari warna putih itu."
Aku hanya mengangguk. Kemudian Mas Syafril keluar dari kamar dan meninggalkanku.
Segera kututup pintu dan mengamati seisi kamar. Tempat tidur, lemari pakaian, meja tempat Tv, meja rias, semuanya serba mini. Hanya lemari warna putih milikku saja yang normal seperti umumnya. Aku manggut-manggut dan segera menyimpan semua pakaianku ke dalam lemari.
Bersambung ....
Suamiku 90cmPart 4 : ResahMalam pun tiba, aku mulai bimbang dengan ketakutan yang mulai menguasai. Kalau takut sama hantu, ya tinggal dibacakan Ayat kursi, hilang deh. Tapi kalau takut disentuh suami, apa yang akan kulakukan? Masa' harus tidur di kamar mandi lagi? Gak lucu deh, aku terus memutar otak.Tiba-tiba terdengar suara langkah kakinya menuju kamar, langsung saja aku segera berbaring dan pura-pura tidur. Aku berbaring menghadap dinding dan membelakanginya.Kalau dia mencoba menyentuhku, aku akan pura-pura mengigau saja. Aku menyusun siasat.Lama sekali aku menunggu reaksinya, bukannya aku kemauan disentuh. Cuma memastikan dia tidak akan memaksakan kehendaknya dan mengambil haknya secara diam-diam.Perlahan aku membenarkan posisi tubuh dan membuka sedikit mata melirik lalu ke arahnya. Ternyata dia sudah tertidur.Alhamdulillah, maafkan hamba ya Allah. Bukannya hamba mau menjadi istri durhaka. Tapi hamba belum siap. Ampuni hamba ya Allah. Aku menghembuskan napas lega dan kemudi
Suamiku 90cmPart 5 : AstagaPagi pun tiba, aku sudah berpakaian rapi. Dengan kemeja ungu yang dibalut blezer hitam yang kupadukan rok selutut warna senada. Rambut kubiarkan terurai karena masih basah sehabis mandi keramas tadi.Aku sedikit mengomel dalam hati karena Hair drayer lupa kubawa, bisa jadi bahan ledekan kalau ke kantor dengan rambut basah kuyup begini. Sudah dilap dengan handuk dan nebeng depan kipas angin, masih juga belum kering."Dik, ayo sarapan!" panggil Mas Syafril seraya berdiri di depan pintu kamar."Iya, Mas," jawabku sambil berjalan di belakang pria kecil yang sudah rapi juga dengan dinas cokelat muda khas Pns setempat.Pria kecil itu, suamiku adalah guru di salah satu Sekolah Dasar di Kotaku. Begitu menurut cerita Ibu ketika mempromosikan dia untuk jadi suamiku tempo hari.Hemm, sarapan hari ini pun ludes tanpa bersisa. Apa saja yang dimasaknya selalu terasa enak di lidah, entah pakai jampi-jampi apa dia masaknya? Ah, lagi-lagi aku su'udzon."Astagfirullah," uca
Suamiku 90cmPart 6 : Telepon Ibu"Iya, Bu, iya. Udah gituan dan dia biasa saja. Aman terkendali dan tidak ada masalah," jawabku akhirnya karena malas harus berbelit-belit dengan ibu. Aku mengenal betul wataknya, sebelum dia mendapatkan jawaban kebenaran, dia tidak akan berhenti mengorek informasi."Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu. Berarti ibu tidak salah memilihkan dia sebagai jodohmu. Pria lain belum tentu bisa menerima ini. Seperti anaknya teman ibu, ketahuan udah tidak original pas malam pengantin, besok paginya langsung diceraikan." ucap ibu antusias sekali."Iya, Bu, iya.""Nah, karena Syafril bisa menerimamu apa adanya maka kamu juga harus begitu ya, Zil. Terima dia apa adanya juga, Ibu selalu berdoa supaya kehidupan rumah tangga kalian langgeng dan adem. Dan semoga kamu cepat hamil dan memberi ibu cucu. Jangan galak-galak sama Syafril, dia pria yang baik maka perlakukanlah dia secara baik. Jadilah istri yang sholeha untuk dia." Ibu terus nyerocos."Iya bu, iya," jawabku
SUAMIKU 90CMBab 7 : Perjanjian Gladak-gludukOh, my god. Gimana cara ngomongnya ya biar dia tidak tersinggung? bimbangku dalam hati sembari menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal."Eh, anu ... emmm ... begini, Mas, tapi jangan marah dan tersinggung ya sebelumnya!" Aku mengelap keringat dingin yang mulai mengucur di dahi."Iya, Dik. Ngomong aja, Mas gak bakalan marah dan tersinggung kok," jawab Mas Syafril dengan tersenyum.Aku menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan, "supaya hubungan kita lebih teratur, Zilla udah bikin jadwal dan surat perjanjian." Aku menggigit bibir dan meliriknya sekilas."Maksudnya?" Dia mengerutkan dahi."Coba baca surat perjanjian dan jadwalnya saja dulu Mas, hehee .... " aku mengulurkan kertas itu."Oh, jadwal 'gladak-gluduk'. Terserah Dik Zilla, Mas oke-oke saja," jawabnya terlihat agak kecewa tapi masih mencoba tersenyum."Maaf ya, Mas." Aku menundukkan kepala."Tidak apa-apa, Mas bisa mengerti. Jadi jadwalnya setiap tanggal 15 Mas baru bisa
SUAMIKU 90CMBab 8 : Jamu Sehat"Bunda senang sekali bisa berkumpul dengan anak-anak dan para menantu serta cucu-cucu. Selamat datang di rumah Bunda, nnak Zilla." Ibu mertua tak henti-hentinya tersenyum ke arahku."Iya, Bunda," jawabku sambil meringis mencoba tersenyum."Harap maklum saja kalau semua perabot di rumah ini serba mini, Nak Zilla." Ayah mertua terkesan tidak enak hati melihatku kesusahan dengan kaki panjang duduk di kursi mini milik mereka sehingga lutut ini hampir menyentuh dagu."Iya, Ayah. Tidak apa, saya sudah mulai terbiasa." Aku menelan ludah.Mereka semua kemudian mengobrol sambil menikmati makanan ringan yang disuguhkan oleh adik bungsu Mas Syafril. Namanya Safitri, tubuhnya juga mungil. Hanya dia saja yang belum menikah.Aku hanya mendengarkan obrolan mereka saja tanpa nimbrung sedikit pun, hanya sesekali ikut tersenyum seolah mengerti."Bunda senang sekali, Nak Zilla mau diajak Syafril ke sini," ucap bunda yang duduk di sampingku."Iya, Bunda." Aku menjawabku se
Suamiku 90cmBab 9 : Kebobolan"Assalammualaikum, Zil. Udah di minum belum jamunya?""Belum, Bu." Kak Metha menunjukkan botol jamu ke arah ponsel."Buruan di minum, Zil!" perintah Ibu dengan wajah cerewetnya."Iya, Bu, iya." Aku mengambil botol jamu dari tangan kak Metha dan segera meminumnya sampai habis."Woek .... " aku menjulurkan lidah karena menahan rasa pahit."Nah, bagus. Insyallah kamu akan segera hamil, Zil. Pokoknya tetap usaha, Ibu gak mau tahu. Tahun ini kamu harus kasih Ibu cucu!""Iya, Bu, iya.""Ibu takutnya kamu udah gak bisa hamil, Zil. Maklum, umurmu tahun depan kan udah 35. Makanya kamu harus ikhtiar juga dengan minum jamu itu. Anak teman Ibu udah berhasil hamil loh, padahal umurnya sudah 40 tahun. Menikah 15 tahun.""Iya, Bu. Iya.""Jangan iya, iya saja. 'Gladak-gluduk'nya juga harus teratur. Jangan terlalu sering dan terlalu jarang." Ibu masih saja nyerocos.Kak Metha cuma cekikikan mendengar obrolanku dengan ibu."Udah deh, Bu, gak usah ngomongin masalah gituan
Suamiku 90cmBab 10 : 100% BenciAku masuk ke rumah ibu dan langsung menuju kamar. Kurebahkan tubuh di atas ranjang dan memejamkan mata. Rasanya pengen liburan ke mana gitu, yang jauh dan tidak ada yang mengganggu. Tiga bulan menikah dengan pria kecil itu membuat hidupku menjadi tertekan. Aku semakin membenci dia, 100% benci. Benar-benar benci.Kok pahit gini sih hidupku? Pikiran menerawang sambil menatap langit-langit kamar.Kutarik napas panjang dan menghembuskan dengan kasar. Aku harus bisa bercerai dengan Mas Syafril, aku tidak bisa selamanya hidup bersama orang yang membuatku jengah.Satu jam berusaha memejamkan mata dan mencoba tidur, tapi kerongkongan malah terasa dehidrasi. Aku keluar dari kamar dan menuju dapur."Tadi waktu di pasar, Metha ketemu Wildan," ucap kak Metha kepada Ibu yang berada di depannya."Ah, si bajingan itu. Lalu?" Ibu nampak geram mendengar namanya."Tapi dia pura-pura nggak kenal gitu, ya udah ... Metha juga biasa saja.""Sama siapa dia?""Sama istrinya,
Suamiku 90cmBab 11 : Makin IlfilHuuhh, lagi-agi pagi ini aku melihat wajah jelek pria kecil itu. Padahal harapan pagi ini aku bisa terbebas dari pemandangan tidak indah ini. Aku duduk di samping Ibu dan menatap jengah pria di depanku."Udah siap, Dik? Ayo kita berangkat!" ajak Mas Syafril kepadaku."Zilla belum mau berangkat, Mas duluan saja!""Duh, Zil. Syafril itu sudah jemput kamu ke sini, kok malah disuruh duluan?" Ibu menatapku."Zilla masuk kerjanya jam 08.00, ini baru jam 07.00," bantahku."Gak apa, basi di jalan. Atau singgah dulu cari sarapan gitu, kek. Gimana?"Aku menarik napas panjang dan enggan menghembuskannya kembali. Bisa heboh kantor kalau sampai Mas Syafril mengantarku. Aku menggigit bibir dengan kesal."Buruan berangkat, Zil! Syafril sudah dari jam 06.00 nungguin kamu." Ibu menatapku lagi."Iya, Bu, iya. Ayo, Mas!" aku bangkit dari duduk dan Mas Syafril langsung melompat turun dari kursi tamu kami.'Brugggg....Kulihat Ibu menutupi mulutnya ngeri milihat tingkah M