Suamiku 90cm
Part 4 : Resah
Malam pun tiba, aku mulai bimbang dengan ketakutan yang mulai menguasai. Kalau takut sama hantu, ya tinggal dibacakan Ayat kursi, hilang deh. Tapi kalau takut disentuh suami, apa yang akan kulakukan? Masa' harus tidur di kamar mandi lagi? Gak lucu deh, aku terus memutar otak.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kakinya menuju kamar, langsung saja aku segera berbaring dan pura-pura tidur. Aku berbaring menghadap dinding dan membelakanginya.
Kalau dia mencoba menyentuhku, aku akan pura-pura mengigau saja. Aku menyusun siasat.
Lama sekali aku menunggu reaksinya, bukannya aku kemauan disentuh. Cuma memastikan dia tidak akan memaksakan kehendaknya dan mengambil haknya secara diam-diam.
Perlahan aku membenarkan posisi tubuh dan membuka sedikit mata melirik lalu ke arahnya. Ternyata dia sudah tertidur.
Alhamdulillah, maafkan hamba ya Allah. Bukannya hamba mau menjadi istri durhaka. Tapi hamba belum siap. Ampuni hamba ya Allah. Aku menghembuskan napas lega dan kemudian ikut terlelap juga.
Subuhnya, dia lagi-lagi membangunkanku mengajak sholat berjama'ah. Yeah, tanpa menolak, aku langsung menurutinya. Sebelum menikah dengannya, aku memang jarang sholat dan sekarang alhamdulillah sudah 5 waktu kukerjakan walau pun baru dua hari ini.
Setelah sholat bersama, aku kembali memilih berbaring ke tempat tidur. Sedang dia, suamiku. Setelah mengganti pakaianya dengan setelan olahraga, dia pamit mau joging.
"Mau ikut joging, Dik," ajaknya dengan handuk tergantung dileher.
"Nggak deh, Mas, Zilla masih mau tidur," jawabku dengan mata yang sengaja kupejamkan.
"Ya sudah, Mas pergi dulu."
Setelah beberapa saat mencoba tidur, aku bangun juga karena si netra tidak mau di ajak kompromi.
Aku berjalan ke dapur mencari sesuatu untuk mengganjal perut karena keroncongan yang sudah melanda pagi-pagi begini.
Ketika mengarahkan pandangan ke atas meja makan, terlihatlah sarapan sudah terhidang di sana. Ada nasi goreng, ayam goreng, lalapan potongan timun dan krupuk satu toples.
Waw, siapa yang sudah masak pagi-pagi begini? Bukannya di rumah ini tidak ada pembantu? aku celingukan sambil menghirup aroma harum nasi goreng yang membuat perutku tak sabar untuk segera di isi.
Langsung saja kutarik kursi dan duduk tertunduk menikmati sarapan itu. Beberapa saat kemudian piringku sudah licin tanpa sisa.
Alhamdulillah, kenyang. Aku tersenyum puas dan baru menyadari kalau kakiku tersangkut di bawah meja makan.
Ini, kakiku yang terlalu panjang atau mejanya yang terlalu rendah? gerutuku sambil mencoba menarik perlahan kaki.
Taklama kemudian terdengar suara langkah kaki Mas Syafril mendekat ke arahku. Hem, aku mulai hafal dengan suara langkah kakinya. Bukan karena sudah terlalu cinta, tapi langkah kakinya itu beda dengan orang kebanyakan. Deru langkahnya begitu pendek dan cepat, sehingga iramanya terdengar nyaring.
Dan benar saja, beberapa detik kemudian pria mungil yang berstatus suamiku itu sudah berdiri di hadapan.
"Gimana nasi gorengnya, Dik, enak?" tanyanya sembari melirik piringku yang sudah bersih tanpa sisa sedikit pun.
"Ah ... iya, enak. Mas Syafril yang masak?" aku gelagapan.
"Iya, syukurlah kalau Dik Zilla suka." Dia duduk di depanku sembari memakan nasi goreng jatahnya.
Setelah berhasil mengeluarkan kaki dari bawah meja, aku langsung bangkit dari kursiku.
"Kenapa, Dik? Maaf ya, kalau perabotan di rumah ini serba mini." Dia lagi-lagi menjelaskan dan tampak merasa bersalah melihat aku kesusahan menarik keluar kakiku.
"Gak apa, Mas, nanti juga terbiasa." Aku meringis sambil memegangi lutut.
*******
Siangnya, lagi-lagi Mas Syafril yang memasak. Aku jadi tidak enak juga, tapi masakannya yang terhidang di meja begitu menggodaku untuk segera menyantapnya.
"Ayo, Dik, duduk," ucapnya ketika melihatku hanya berdiri canggung di depan meja makan.
"Iya, Mas. Maaf ya, lagi-lagi Mas yang memasak. Seharusnya Zilla yang masak, tapi tragisnya istrimu ini tidak bisa masak."
"Tidak apa, ayo kita makan." Dia tersenyum ke arahku.
Dengan hati-hati, aku duduk di kursi dan meja makan mungil ini. Aku takut kaki panjang ini tersangkut meja lagi.
Setelah menikmati makan siang yang begitu lezat, aku menatap takjub pria kecil ini. Karena masakannya begitu nikmat sekali, semuanya bercipta rasa pedas sesuai dengan seleraku.
"Mas, pintar sekali masaknya! Semuanya lezat sekali," pujiku.
"Ah, Dik Zilla bisa saja."
"Benaran lhoh Mas, enak semuanya. Kalau Zilla, bisanya cuma masak indomie dan goreng telor dadar saja," ucapku agak malu karena sudah sedikit menyadari kelebihan pria kecil ini.
"Tidak apa, Dik. Nanti kalau kita sudah pada masuk kerja, makannya bisa beli masakan jadi saja. Zaman sekarang ini semuanya sudah serba ada, tak perlu repot memasak."
"Oke, Mas. Oh iya, besok Zilla udah pengen masuk kantor ya. Boleh?" Aku menatapnya meminta persetujuan.
"Iya, boleh dong. Mas juga besok udah mau masuk ngajar. Kasian anak-anak kalau kelamaan cuti," jawabnya.
Aku mengangguk dan kemudian berlalu menuju ruang tengah, menghidupkan televisi dan duduk sambil memangku toples kacang mede.
Ehm, kok Mas Syafril kayak tahu saja apa-apa makanan kesukaanku? Aku menatap senang cemilan kesukaanku itu.
*******
Malam kembali menyapa, aku kembali memutar otak. Bagaimana kalau malam ini dia akan mengambil haknya yang tertunda itu? Hatiku jadi ketang-ketir tak karuan.
Ya sudah, sebaiknya aku pasrah saja. Dosaku akan semakin membukit kalau selalu menghindar dari kewajiban ini. Kutarik napas panjang dan mengatur debaran jantung yang mulai berpacu cepat.
Taklama kemudian dia, suamiku memasuki kamar. Aku jadi gelagapan dan segera duduk di pinggir tempat tidur.
Kemudian Mas Syafril berjalan mendekat ke arahku dan duduk tepat di samping.
"Dik .... " ucapnya ragu-ragu.
"Iya, Mas," jawabku agak gugup.
"Sebenarnya .... " Mas Syafril menatapku sejenak dan kemudian menjadi tergugup salah tingkah.
"Ada apa, Mas?" Aku pura-pura tidak paham maksudnya.
"Bolehkah, Mas .... ?"
Aku terdiam dan sudah mengerti maksudnya. Kujawab dengan anggukan kepala saja dan mencoba mempasrahkan diri dengan keadaan ini.
Beberapa saat kemudian, dia sudah melancarkan aksinya. Kami pun melakukan hubungan itu. Aku memejamkan mata karena tidak mau melihat wajah jeleknya dan tanpa perlawanan membiarkan dia, suamiku mengambil haknya. Setelah selesai, aku langsung menyambar selimut dan pura-pura tertidur.
Semoga saja dia tidak menyadari ketidak perawananku. Dan seandainya dia tahu, semoga dia tidak mempermasalahkannya. Aku berdoa dalam hati.
Aku takut juga membayangkan seandainya dia mempermasalahkan ini seperti cerita di film-film dan novel yang pernah kubaca. Gelisah melanda, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak malam ini.
Bersambung ....
Suamiku 90cmPart 5 : AstagaPagi pun tiba, aku sudah berpakaian rapi. Dengan kemeja ungu yang dibalut blezer hitam yang kupadukan rok selutut warna senada. Rambut kubiarkan terurai karena masih basah sehabis mandi keramas tadi.Aku sedikit mengomel dalam hati karena Hair drayer lupa kubawa, bisa jadi bahan ledekan kalau ke kantor dengan rambut basah kuyup begini. Sudah dilap dengan handuk dan nebeng depan kipas angin, masih juga belum kering."Dik, ayo sarapan!" panggil Mas Syafril seraya berdiri di depan pintu kamar."Iya, Mas," jawabku sambil berjalan di belakang pria kecil yang sudah rapi juga dengan dinas cokelat muda khas Pns setempat.Pria kecil itu, suamiku adalah guru di salah satu Sekolah Dasar di Kotaku. Begitu menurut cerita Ibu ketika mempromosikan dia untuk jadi suamiku tempo hari.Hemm, sarapan hari ini pun ludes tanpa bersisa. Apa saja yang dimasaknya selalu terasa enak di lidah, entah pakai jampi-jampi apa dia masaknya? Ah, lagi-lagi aku su'udzon."Astagfirullah," uca
Suamiku 90cmPart 6 : Telepon Ibu"Iya, Bu, iya. Udah gituan dan dia biasa saja. Aman terkendali dan tidak ada masalah," jawabku akhirnya karena malas harus berbelit-belit dengan ibu. Aku mengenal betul wataknya, sebelum dia mendapatkan jawaban kebenaran, dia tidak akan berhenti mengorek informasi."Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu. Berarti ibu tidak salah memilihkan dia sebagai jodohmu. Pria lain belum tentu bisa menerima ini. Seperti anaknya teman ibu, ketahuan udah tidak original pas malam pengantin, besok paginya langsung diceraikan." ucap ibu antusias sekali."Iya, Bu, iya.""Nah, karena Syafril bisa menerimamu apa adanya maka kamu juga harus begitu ya, Zil. Terima dia apa adanya juga, Ibu selalu berdoa supaya kehidupan rumah tangga kalian langgeng dan adem. Dan semoga kamu cepat hamil dan memberi ibu cucu. Jangan galak-galak sama Syafril, dia pria yang baik maka perlakukanlah dia secara baik. Jadilah istri yang sholeha untuk dia." Ibu terus nyerocos."Iya bu, iya," jawabku
SUAMIKU 90CMBab 7 : Perjanjian Gladak-gludukOh, my god. Gimana cara ngomongnya ya biar dia tidak tersinggung? bimbangku dalam hati sembari menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal."Eh, anu ... emmm ... begini, Mas, tapi jangan marah dan tersinggung ya sebelumnya!" Aku mengelap keringat dingin yang mulai mengucur di dahi."Iya, Dik. Ngomong aja, Mas gak bakalan marah dan tersinggung kok," jawab Mas Syafril dengan tersenyum.Aku menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan, "supaya hubungan kita lebih teratur, Zilla udah bikin jadwal dan surat perjanjian." Aku menggigit bibir dan meliriknya sekilas."Maksudnya?" Dia mengerutkan dahi."Coba baca surat perjanjian dan jadwalnya saja dulu Mas, hehee .... " aku mengulurkan kertas itu."Oh, jadwal 'gladak-gluduk'. Terserah Dik Zilla, Mas oke-oke saja," jawabnya terlihat agak kecewa tapi masih mencoba tersenyum."Maaf ya, Mas." Aku menundukkan kepala."Tidak apa-apa, Mas bisa mengerti. Jadi jadwalnya setiap tanggal 15 Mas baru bisa
SUAMIKU 90CMBab 8 : Jamu Sehat"Bunda senang sekali bisa berkumpul dengan anak-anak dan para menantu serta cucu-cucu. Selamat datang di rumah Bunda, nnak Zilla." Ibu mertua tak henti-hentinya tersenyum ke arahku."Iya, Bunda," jawabku sambil meringis mencoba tersenyum."Harap maklum saja kalau semua perabot di rumah ini serba mini, Nak Zilla." Ayah mertua terkesan tidak enak hati melihatku kesusahan dengan kaki panjang duduk di kursi mini milik mereka sehingga lutut ini hampir menyentuh dagu."Iya, Ayah. Tidak apa, saya sudah mulai terbiasa." Aku menelan ludah.Mereka semua kemudian mengobrol sambil menikmati makanan ringan yang disuguhkan oleh adik bungsu Mas Syafril. Namanya Safitri, tubuhnya juga mungil. Hanya dia saja yang belum menikah.Aku hanya mendengarkan obrolan mereka saja tanpa nimbrung sedikit pun, hanya sesekali ikut tersenyum seolah mengerti."Bunda senang sekali, Nak Zilla mau diajak Syafril ke sini," ucap bunda yang duduk di sampingku."Iya, Bunda." Aku menjawabku se
Suamiku 90cmBab 9 : Kebobolan"Assalammualaikum, Zil. Udah di minum belum jamunya?""Belum, Bu." Kak Metha menunjukkan botol jamu ke arah ponsel."Buruan di minum, Zil!" perintah Ibu dengan wajah cerewetnya."Iya, Bu, iya." Aku mengambil botol jamu dari tangan kak Metha dan segera meminumnya sampai habis."Woek .... " aku menjulurkan lidah karena menahan rasa pahit."Nah, bagus. Insyallah kamu akan segera hamil, Zil. Pokoknya tetap usaha, Ibu gak mau tahu. Tahun ini kamu harus kasih Ibu cucu!""Iya, Bu, iya.""Ibu takutnya kamu udah gak bisa hamil, Zil. Maklum, umurmu tahun depan kan udah 35. Makanya kamu harus ikhtiar juga dengan minum jamu itu. Anak teman Ibu udah berhasil hamil loh, padahal umurnya sudah 40 tahun. Menikah 15 tahun.""Iya, Bu. Iya.""Jangan iya, iya saja. 'Gladak-gluduk'nya juga harus teratur. Jangan terlalu sering dan terlalu jarang." Ibu masih saja nyerocos.Kak Metha cuma cekikikan mendengar obrolanku dengan ibu."Udah deh, Bu, gak usah ngomongin masalah gituan
Suamiku 90cmBab 10 : 100% BenciAku masuk ke rumah ibu dan langsung menuju kamar. Kurebahkan tubuh di atas ranjang dan memejamkan mata. Rasanya pengen liburan ke mana gitu, yang jauh dan tidak ada yang mengganggu. Tiga bulan menikah dengan pria kecil itu membuat hidupku menjadi tertekan. Aku semakin membenci dia, 100% benci. Benar-benar benci.Kok pahit gini sih hidupku? Pikiran menerawang sambil menatap langit-langit kamar.Kutarik napas panjang dan menghembuskan dengan kasar. Aku harus bisa bercerai dengan Mas Syafril, aku tidak bisa selamanya hidup bersama orang yang membuatku jengah.Satu jam berusaha memejamkan mata dan mencoba tidur, tapi kerongkongan malah terasa dehidrasi. Aku keluar dari kamar dan menuju dapur."Tadi waktu di pasar, Metha ketemu Wildan," ucap kak Metha kepada Ibu yang berada di depannya."Ah, si bajingan itu. Lalu?" Ibu nampak geram mendengar namanya."Tapi dia pura-pura nggak kenal gitu, ya udah ... Metha juga biasa saja.""Sama siapa dia?""Sama istrinya,
Suamiku 90cmBab 11 : Makin IlfilHuuhh, lagi-agi pagi ini aku melihat wajah jelek pria kecil itu. Padahal harapan pagi ini aku bisa terbebas dari pemandangan tidak indah ini. Aku duduk di samping Ibu dan menatap jengah pria di depanku."Udah siap, Dik? Ayo kita berangkat!" ajak Mas Syafril kepadaku."Zilla belum mau berangkat, Mas duluan saja!""Duh, Zil. Syafril itu sudah jemput kamu ke sini, kok malah disuruh duluan?" Ibu menatapku."Zilla masuk kerjanya jam 08.00, ini baru jam 07.00," bantahku."Gak apa, basi di jalan. Atau singgah dulu cari sarapan gitu, kek. Gimana?"Aku menarik napas panjang dan enggan menghembuskannya kembali. Bisa heboh kantor kalau sampai Mas Syafril mengantarku. Aku menggigit bibir dengan kesal."Buruan berangkat, Zil! Syafril sudah dari jam 06.00 nungguin kamu." Ibu menatapku lagi."Iya, Bu, iya. Ayo, Mas!" aku bangkit dari duduk dan Mas Syafril langsung melompat turun dari kursi tamu kami.'Brugggg....Kulihat Ibu menutupi mulutnya ngeri milihat tingkah M
Suamiku 90cmBab 12 : HamilLima minggu berlalu, aku sedang keluh kesah menanti sang bulan yang belum menapakkan diri. Bukannya bulan purnama, tapi tamu bulanan yang selalu rutin mengunjungi setiap tanggal muda. Sudah telat seminggu lebih, setiap hari yang dinanti tak juga datang. Aku tak berani membayangkan, kukubur jauh pikiran tentang akibat 'gladak-gluduk' tanpa Pil Kb.Aku masih duduk termangu di depan meja kerja, sehingga tidak menyadari kehadiran Mona didepanku."Zil, bengong aja dari tadi. Ada apa?" Suara cemprengnya mengagetkanku."Eh, ada kamu, Mon. Ada apa?""Ya elah, malah nanya balik. Ya sudah, ke kantin yuk! Udah jam istirahat nih." Dia menarik tanganku menuju kantin."Ayo deh." Dengan malas aku melangkah mengikuti Mona."Ellis mana, Mon?" Aku baru menyadari kalau belum melihat dia sedari pagi."Yeah, bukannya tadi pagi aku udah bilang kalau hari ini Ellis izin. Ada saudaranya yang menikah. Gak fokus kamu Zil, ada apa sih?" Mona memandang wajahku yang hanya memainkan saj