SUAMIKU 90CM
Bab 8 : Jamu Sehat
"Bunda senang sekali bisa berkumpul dengan anak-anak dan para menantu serta cucu-cucu. Selamat datang di rumah Bunda, nnak Zilla." Ibu mertua tak henti-hentinya tersenyum ke arahku.
"Iya, Bunda," jawabku sambil meringis mencoba tersenyum.
"Harap maklum saja kalau semua perabot di rumah ini serba mini, Nak Zilla." Ayah mertua terkesan tidak enak hati melihatku kesusahan dengan kaki panjang duduk di kursi mini milik mereka sehingga lutut ini hampir menyentuh dagu.
"Iya, Ayah. Tidak apa, saya sudah mulai terbiasa." Aku menelan ludah.
Mereka semua kemudian mengobrol sambil menikmati makanan ringan yang disuguhkan oleh adik bungsu Mas Syafril. Namanya Safitri, tubuhnya juga mungil. Hanya dia saja yang belum menikah.
Aku hanya mendengarkan obrolan mereka saja tanpa nimbrung sedikit pun, hanya sesekali ikut tersenyum seolah mengerti.
"Bunda senang sekali, Nak Zilla mau diajak Syafril ke sini," ucap bunda yang duduk di sampingku.
"Iya, Bunda." Aku menjawabku sembari tersenyum.
"Semoga menikah denganmu, bisa merubah keturunan keluarga Muhammad Sahri. Cuma Syafril yang mendapat istri cantik dan sempurna seperti Nak Zilla. Bunda sudah tidak sabar menanti cucu dari kalian." Tangan kecilnya memegang jemariku.
Aku hanya mengangguk tidak enak, sebab kedua menantu lainnya tampak merengut mendengar ucapan ibu mertua.
Yeah, setelah acara makan siang bersama. Kami pamit pulang dan ketika berhenti di lampu merah, aku melihat Mona bersama suami dan anak-anaknya tepat bersebelahan dengan mobil kami.
Oh, my god. Mudah-mudahan dia tidak melihatku. Segera aku membungkukkan badan sehingga Mas Syafril keheranan.
"Kenapa, Dik? Ngantuk ya?" tanyanya.
"Ah, iya." Langsung saja aku membaringkan kepala dipangkuannya agar ia tidak curiga melihat tingkah aneh ini.
Sontak, terasa ada sesuatu yang bergetar di kepalaku. Oh, no! Aku cekikikan dalam hati dan berharap lampu jalanan cepat berganti warna 'hijau'.
Takalama kemudian, mobil kami sudah melewati lampu merah dan aku langsung membenarkan posisi duduk. Dan melirik Mas Syafril yang membetulkan posisi duduknya juga dan terlihat agak gelisah.
Terlihat olehku dari kaca spion, Pak Sugeng si supir terlihat menutupi mulutnya menahan tawa. Buyset dah, aku sebal sekali.
***
Sore itu, Mas Syafril pergi bersama supirnya. Dia tidak bilang mau ke mana dan aku juga malas bertanya. Jadi tinggal aku sendiri saja di rumah. Taklama kemudian, terdengar suara seseorang mengucap salam dari arah pintu depan.
"Assalammualaikum."
Dengan malas, aku bangkit dari sofa depan tv dan beranjak menuju pintu
"Waalaikumsalam," jawabku dan tampaklah kak Metha dan Farah berdiri di depan pintu.
"Tante jelek .... " teriak Farah dan langsung berlari memelukku.
"Eh, ada Si centil. Kangen tante, ya? Tante juga kangen." Aku mencium pipi montoknya berkali-kali.
"Ayo, Kak, masuk!" aku tersenyum menyambut kedatangan kakak ipar dan keponakan tersayang.
Aku mengajak mereka duduk di ruang tengah tempatku menonton tv tadi.
Kak Metha tampak menahan senyum ketika duduk di sofa, "Ehm ... Syafril mana, Zil?" Dia celingukan.
"Lagi pergi, Kak, gak tahu juga ke mana," jawabku dengan masih sibuk mencubiti pipi keponakan centilku, Si Farah.
"Lhoh, kok ... Emangnya gak ditanya mau ke mana gitu?"
"Ah, biar saja lah, Kak. Eh, by the way ada apa nih ke sini? Tumben!" aku menatap curiga wajah kak Metha.
"Farah kangen kamu, dari kemaren ngajakin ke sini."
"Masa?" aku tersenyum sambil menari-narikan jari telunjuk di depannya.
"Sekalian mengantarkan jamu dari Ibu." Dia memberikan kantong plastik yang berisi botol bekas air mineral dengan air bewarna keruh didalamnya.
Nah, benarkan dugaanku. Gak mungkin cuma sekedar si Farahnya kangen, pasti ada embel-embelnya. Pasti sekalian mau meliput gosip kehidupan rumah tanggaku dengan pria kecil itu, kan? Suaminya aja yang Ustazd, istrinya tukang gosip. Aku terus mengumpat dalam hati melihat Kak Metha mengedarkan pandangannya ke segala arah rumah kami.
"Jamu apaan nih?" aku membolak-balik tuh botol.
"Jamu sehat wanita, untuk kesuburan kamu."
"Ya elah, emangnya Zilla tanaman apa? Pakai di beri jamu penyubur segala." Aku manyun melototi botol itu.
"Ehm, biar cepat hamil. Gitu kata Ibu, buruan di minum sampai habis!"
"Ogah ah!" aku mendorong botol itu dengan tampang dongkol.
Taklama kemudian ponselku berdering dan ternyata Video Call dari 'Ibunda Ratu Sejagat'.
"Tuh kan, Ibu langsung VC karena kamu nolak minum tuh jamu." Kak Metha cekikikan.
Aku langsung menggeser tombol hijau dan langsung nongol wajah Ibu.
Bersambung ....
Suamiku 90cmBab 9 : Kebobolan"Assalammualaikum, Zil. Udah di minum belum jamunya?""Belum, Bu." Kak Metha menunjukkan botol jamu ke arah ponsel."Buruan di minum, Zil!" perintah Ibu dengan wajah cerewetnya."Iya, Bu, iya." Aku mengambil botol jamu dari tangan kak Metha dan segera meminumnya sampai habis."Woek .... " aku menjulurkan lidah karena menahan rasa pahit."Nah, bagus. Insyallah kamu akan segera hamil, Zil. Pokoknya tetap usaha, Ibu gak mau tahu. Tahun ini kamu harus kasih Ibu cucu!""Iya, Bu, iya.""Ibu takutnya kamu udah gak bisa hamil, Zil. Maklum, umurmu tahun depan kan udah 35. Makanya kamu harus ikhtiar juga dengan minum jamu itu. Anak teman Ibu udah berhasil hamil loh, padahal umurnya sudah 40 tahun. Menikah 15 tahun.""Iya, Bu. Iya.""Jangan iya, iya saja. 'Gladak-gluduk'nya juga harus teratur. Jangan terlalu sering dan terlalu jarang." Ibu masih saja nyerocos.Kak Metha cuma cekikikan mendengar obrolanku dengan ibu."Udah deh, Bu, gak usah ngomongin masalah gituan
Suamiku 90cmBab 10 : 100% BenciAku masuk ke rumah ibu dan langsung menuju kamar. Kurebahkan tubuh di atas ranjang dan memejamkan mata. Rasanya pengen liburan ke mana gitu, yang jauh dan tidak ada yang mengganggu. Tiga bulan menikah dengan pria kecil itu membuat hidupku menjadi tertekan. Aku semakin membenci dia, 100% benci. Benar-benar benci.Kok pahit gini sih hidupku? Pikiran menerawang sambil menatap langit-langit kamar.Kutarik napas panjang dan menghembuskan dengan kasar. Aku harus bisa bercerai dengan Mas Syafril, aku tidak bisa selamanya hidup bersama orang yang membuatku jengah.Satu jam berusaha memejamkan mata dan mencoba tidur, tapi kerongkongan malah terasa dehidrasi. Aku keluar dari kamar dan menuju dapur."Tadi waktu di pasar, Metha ketemu Wildan," ucap kak Metha kepada Ibu yang berada di depannya."Ah, si bajingan itu. Lalu?" Ibu nampak geram mendengar namanya."Tapi dia pura-pura nggak kenal gitu, ya udah ... Metha juga biasa saja.""Sama siapa dia?""Sama istrinya,
Suamiku 90cmBab 11 : Makin IlfilHuuhh, lagi-agi pagi ini aku melihat wajah jelek pria kecil itu. Padahal harapan pagi ini aku bisa terbebas dari pemandangan tidak indah ini. Aku duduk di samping Ibu dan menatap jengah pria di depanku."Udah siap, Dik? Ayo kita berangkat!" ajak Mas Syafril kepadaku."Zilla belum mau berangkat, Mas duluan saja!""Duh, Zil. Syafril itu sudah jemput kamu ke sini, kok malah disuruh duluan?" Ibu menatapku."Zilla masuk kerjanya jam 08.00, ini baru jam 07.00," bantahku."Gak apa, basi di jalan. Atau singgah dulu cari sarapan gitu, kek. Gimana?"Aku menarik napas panjang dan enggan menghembuskannya kembali. Bisa heboh kantor kalau sampai Mas Syafril mengantarku. Aku menggigit bibir dengan kesal."Buruan berangkat, Zil! Syafril sudah dari jam 06.00 nungguin kamu." Ibu menatapku lagi."Iya, Bu, iya. Ayo, Mas!" aku bangkit dari duduk dan Mas Syafril langsung melompat turun dari kursi tamu kami.'Brugggg....Kulihat Ibu menutupi mulutnya ngeri milihat tingkah M
Suamiku 90cmBab 12 : HamilLima minggu berlalu, aku sedang keluh kesah menanti sang bulan yang belum menapakkan diri. Bukannya bulan purnama, tapi tamu bulanan yang selalu rutin mengunjungi setiap tanggal muda. Sudah telat seminggu lebih, setiap hari yang dinanti tak juga datang. Aku tak berani membayangkan, kukubur jauh pikiran tentang akibat 'gladak-gluduk' tanpa Pil Kb.Aku masih duduk termangu di depan meja kerja, sehingga tidak menyadari kehadiran Mona didepanku."Zil, bengong aja dari tadi. Ada apa?" Suara cemprengnya mengagetkanku."Eh, ada kamu, Mon. Ada apa?""Ya elah, malah nanya balik. Ya sudah, ke kantin yuk! Udah jam istirahat nih." Dia menarik tanganku menuju kantin."Ayo deh." Dengan malas aku melangkah mengikuti Mona."Ellis mana, Mon?" Aku baru menyadari kalau belum melihat dia sedari pagi."Yeah, bukannya tadi pagi aku udah bilang kalau hari ini Ellis izin. Ada saudaranya yang menikah. Gak fokus kamu Zil, ada apa sih?" Mona memandang wajahku yang hanya memainkan saj
Suamiku 90cmBab 13 : NgidamKeesokan harinya, kuputuskan untuk tidak masuk kerja. Mengambil cuti dengan alasan sakit, yang sebenarnya mau konsultasi dengan dokter kandungan tentang kehamilan ini. Aku harus bisa mencegah menurunnya penyakit kerdil Mas Syafril kepada janin ini. Biarlah bapaklah yang kecil, tapi anaknya harus normal seperti aku. Walaupun jeleknya ngikut dia, tapi ukuran tingginya kalau bisa sepertiku. Doaku dalam hati selama didalam taxi menuju Rumah sakit.Sesampainya di rumah sakit, setelah mendaftar dibagian administrasi. Namaku di panggil untuk masuk ke dalam ruangan periksa dokter kandungan."Gimana, Dok?" tanyaku ketika dokter selesai melakukan USG.Dengan tersenyum dia menjawab, "Selamat, Bunda hamil, usianya enam minggu.""Terus apa dia normal, Dok?" tanyaku tidak sabar."Maaf, Bunda, sekarang baru terlihat kantung kehamilan dan detak jantung. Angota tubuh yang lain belum terbentuk," jelas sang dokter agak lucu menatapku."Maksud saya begini, Dok. Suami saya tub
Suamiku 90cmBab 14 : Pizza"Zil, rapatnya jam 08.30. Pak Alfin menyuruh kamu menyiapkan semua berkas dan dia mau periksa dulu. Jadi antar segera ke ruangan beliau," ucapnya dan segera berlalu.Deggg, tamatlah riwayatku. Sepertinya ini hari terakhir di kantor, kesalahanku sangat fatal. Ini adalah proyek besar dengan klien dari Jepang. Aku hanya berdiri mematung saja di depan pintu pak Alfin, tak berani masuk menghadapi kemarahannya."Zil .... " Heru menghampiriku.Aku menatapnya sekilas, "ya, ada apa, Her?""Ada suamimu di Loby, buruan samperin! Sebelum dia naik ke sini dan bikin heboh," ucap Heru dengan berbisik di sampingku.Oh, my god. Tanpa menoleh lagi, aku segera berlari menuju Loby dan celingukan mencari sosok Mas Syafril. Jantungku berpacu kencang, keringat dingin menetes di dahi."Mbak Zilla," panggil Gina sang Resepsionis."Ya." Aku segera mendekat."Ini ada titipan berkas." Dia memberikan Map Biruku yang tertinggal di rumah."Alhamdulillah, akhirnya." Aku memeluk berkas pen
Suamiku 90cmBab 15: Ulah HeruSetelah menikmati lezatnya Pizza teri pedas dan menenggak dua gelas jus jeruk, mata jadi terasa mengantuk. Tapi ketika baru saja hendak memejamkan mata, ponselku berdering. Nama Heru terpampang di layarnya."Oh, iya. Aku ada janji dengan Heru." Segera kuangkat telpon darinya."Zil, sudah jam 19.30 nih. Setengah jam lagi kita jadi ya bertemunya?" Suaranya dari seberang sana."Iya, iya. Telat dikit gak apa ya? Aku barusan selesai makan. Mau mandi dulu.""Oke, aku tunggu." Heru mematikan sambungan telepon.Dengan malas, aku menuju kamar. Segera mandi dan berkemas. Kukenakan t-shirt warna putih dan celana jins hitam. Jaket warna cokelat dan rambut kukincir ke atas. Kutabur bedak Dee-dee dan pelembab bibir. Semenjak hamil ini aku jadi malas dandan dan pakaian ribet. Kaos oblong jadi kegemaranku sekarang."Mau ke mana, Dik?" tanya Mas Syafril ketika memasuki kamar dan melihatku sudah rapi."Teman kantor Zilla ngajak ketemu, Mas. Ada urusan kantor yang mau dibi
Suamiku 90cmBab 16 : Wildan"Jangan ikut campur urusanku, awas kamu ya!" teriak Heru geram dan berdiri dengan tubuhnya yang sempoyongan."Tapi aku tidak akan membiarkan kamu melakukan kejahatan di sini," ucap pria itu. Sepertinya aku tidak asing dengan suara pria ini."Ini Hotel milikku, jadi kamu jangan ikut campur!""Tapi hotel ini juga milik kakakmu, istriku. Apa kamu lupa itu?"Oh, jadi pria ini abang iparnya Heru. Sebaiknya aku segera pergi. Dengan cepat aku berlari menuruni tangga dan menuju lantai dasar. Tapi seseorang mengejarku dari belakang dan kini ia berdiri tepat di hadapanku."Maafkan kelakuan adik ipar saya," ujarnya.Deggggg....jantung hampir mau copot melihat pria yang sedang berdiri di hadapanku sekarang. Orang yang tidak ingin kulihat lagi seumur hidup."Wildan .... " batinku."Zilla .... " dia menatapku agak kaget.Tanpa berkata apa pun, aku segera berlari melewati tubuh tinggi itu menuju pintu keluar. Lalu naik ke mobil dan menyuruh pak Sugeng untuk segera tancap