Suamiku 90cm
Part 5 : Astaga
Pagi pun tiba, aku sudah berpakaian rapi. Dengan kemeja ungu yang dibalut blezer hitam yang kupadukan rok selutut warna senada. Rambut kubiarkan terurai karena masih basah sehabis mandi keramas tadi.
Aku sedikit mengomel dalam hati karena Hair drayer lupa kubawa, bisa jadi bahan ledekan kalau ke kantor dengan rambut basah kuyup begini. Sudah dilap dengan handuk dan nebeng depan kipas angin, masih juga belum kering.
"Dik, ayo sarapan!" panggil Mas Syafril seraya berdiri di depan pintu kamar.
"Iya, Mas," jawabku sambil berjalan di belakang pria kecil yang sudah rapi juga dengan dinas cokelat muda khas Pns setempat.
Pria kecil itu, suamiku adalah guru di salah satu Sekolah Dasar di Kotaku. Begitu menurut cerita Ibu ketika mempromosikan dia untuk jadi suamiku tempo hari.
Hemm, sarapan hari ini pun ludes tanpa bersisa. Apa saja yang dimasaknya selalu terasa enak di lidah, entah pakai jampi-jampi apa dia masaknya? Ah, lagi-lagi aku su'udzon.
"Astagfirullah," ucapku dalam hati sambil melirik dia.
Acara sarapan selesai, dia menenteng tas hitam di tangan. "Mas berangkat ya, Fik. Mau bareng atau gimana nih?"
"Mas duluan aja, Zilla jam delapanan gitu ke kantornya."
"Oh, nanti minta antar supir aja ya!" Dia mengulurkan tangannya ke atas hendak menyuruhku salim kepadanya.
"Hati-hati, Mas," jawabku sembari membungkuk mencium punggung tangan Mas Syafril.
"Assalammualaikum." Dia lagi-lagi memamerkan senyum jeleknya.
"Waalaikumsalam," jawabku agak jengah.
Aku semakin e'nek melihat tampang pria kecil yang sudah berhasil menggasakku tadi malam, tapi aku sedikit bersyukur sebab dia tidak ada membahas masalah ketidak perawananku. Jadi aku bisa bernafas lega sekarang.
Jam 07.45, ojek online pesanan sudah menunggu di depan rumah.
"Biar saya yang anterin, nyonya," ujar Pak Sugeng supir mas Syafril.
"Gak usah deh, pak. Aku naik ojek aja," jawabku sembari melintas di sampingnya.
***
Sesampainya di kantor, Ellis dan Mona langsung menyambutku.
"Cie...penganten baru kok udah nongol?" cecar Ellis menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Emmm, bukannya jatah cuti menikah itu satu minggu?" Mona melirik dengan senyum menggodaku.
"Iya, ini cuma tiga hari udah masuk kantor, ada apa ini?" Ellis menimpali.
"Kelamaan cuti, ntar kerjaan pada numpuk." Aku duduk di kursi dan meletakkan tas di meja.
"Eh, pengantin baru udah datang." Heru juga mampir ke mejaku.
"Bos murka tuh, kamu mengajukan cuti menikah tapi gak ngundang seisi kantor," ucap Ellis.
"Maaf deh, pernikahan hanya dihadiri para kerabat saja."
"Masa'? Kemaren pas aku lewat depan rumahmu, rame gitu .... " Si Mona ratu gosip mulai mencoba menggali informasi.
"Keluarga semua itu, Mon. Gak percaya, cek aja buku tamu," ucapku menahan senyum.
"Ya elah, tapi btw suami lo orang mana sih? Kenalin kita-kita dong?" Mona merengut.
"Orang sini juga," jawabku sembari menyibukkan diri dengan laptop.
"Mana poselmu? lihat foto nikahnya saja." Ellis mengulurkan tangannya.
"Gak ada di ponsel, masih sama Fotografernya."
"Ya elah, payah kamu Zil." Ellis cemberut dan memoyongkan bibir dowernya.
"Haha .... " Aku tertawa dan menaikkan bahu.
Semuanya langsung bubar ke meja masing-masing, aku menarik nafas lega.
"Gila, bisa habis aku kalau mereka semua sampai mengetahui bentuk orang yang kunikahi tempo hari," gumamku sambil memegangi kepala.
"Oh, my god. Kok aku bisa sampai seteledor ini. Kenapa aku langsung memberikan jatah pria kecil itu tanpa pasang alat kontrasepsi terlebih dahulu?" Aku menepuk jidak kesal.
"Aku gak mau hamil dan punya anak kerdil kayak bapaknya," batinku.
Aku mulai memutar otak, mencari alat kontrasepsi yang tepat. Kumasukkan ke pencarian goegle 'macam-macam alat kontrasepsi'. Dan muncullah berbagai macam tulisan dan gambar di ponsel. Langsung kubaca satu persatu.
Kalau pakai IUD, aku risi kalau harus di masukkan benda kecil itu ke dalam rahim. KB Implan, di masukkan ke bahu. Aku tidak berani. Kalau KB suntik, bisa tempos pantatku di tusuk jarum tiap bulan. Kepala mulai puyeng memikirkannya.
"Aha, KB Pil saja. Tinggal di minum, aman deh." Aku tersenyum kecil sambil manggut-manggut sendiri.
Taklama kemudian, ponsel di tanganku bergetar dan terpampang nama 'ibunda ratu' di depan layar. Aku mengerutkan dahi dan menarik nafas panjang sebelum menggeser tombol hijau itu.
"Assalammualaikum, iya bu. Ada apa?"
"Waalaikumsalam. Gimana kabarmu, Zil?"
"Baik, Bu."
"Gimana kabar Syafril, menantu ibu?"
"Sama, baik juga. Langsung saja deh bu, gak usah basa-basi lagi. Ada apa?"
"Ih, kamu ini. Masa' seorang ibu nelpon anaknya gak boleh." Suara ibu mulai meninggi.
"Boleh, Bu." Aku menarik nafas menahan kesal.
"Eh, Zil. Ngomong-ngomong kamu udah gladak-gludukkan dengan Syafri? Gimana?"
Yeah, benarkan dugaanku. Ibu mau nanya masalah itu. Aku menggerutu dalam hati.
"Zil, kamu masih di sanakan?"
Bersambung ....
Suamiku 90cmPart 6 : Telepon Ibu"Iya, Bu, iya. Udah gituan dan dia biasa saja. Aman terkendali dan tidak ada masalah," jawabku akhirnya karena malas harus berbelit-belit dengan ibu. Aku mengenal betul wataknya, sebelum dia mendapatkan jawaban kebenaran, dia tidak akan berhenti mengorek informasi."Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu. Berarti ibu tidak salah memilihkan dia sebagai jodohmu. Pria lain belum tentu bisa menerima ini. Seperti anaknya teman ibu, ketahuan udah tidak original pas malam pengantin, besok paginya langsung diceraikan." ucap ibu antusias sekali."Iya, Bu, iya.""Nah, karena Syafril bisa menerimamu apa adanya maka kamu juga harus begitu ya, Zil. Terima dia apa adanya juga, Ibu selalu berdoa supaya kehidupan rumah tangga kalian langgeng dan adem. Dan semoga kamu cepat hamil dan memberi ibu cucu. Jangan galak-galak sama Syafril, dia pria yang baik maka perlakukanlah dia secara baik. Jadilah istri yang sholeha untuk dia." Ibu terus nyerocos."Iya bu, iya," jawabku
SUAMIKU 90CMBab 7 : Perjanjian Gladak-gludukOh, my god. Gimana cara ngomongnya ya biar dia tidak tersinggung? bimbangku dalam hati sembari menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal."Eh, anu ... emmm ... begini, Mas, tapi jangan marah dan tersinggung ya sebelumnya!" Aku mengelap keringat dingin yang mulai mengucur di dahi."Iya, Dik. Ngomong aja, Mas gak bakalan marah dan tersinggung kok," jawab Mas Syafril dengan tersenyum.Aku menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan, "supaya hubungan kita lebih teratur, Zilla udah bikin jadwal dan surat perjanjian." Aku menggigit bibir dan meliriknya sekilas."Maksudnya?" Dia mengerutkan dahi."Coba baca surat perjanjian dan jadwalnya saja dulu Mas, hehee .... " aku mengulurkan kertas itu."Oh, jadwal 'gladak-gluduk'. Terserah Dik Zilla, Mas oke-oke saja," jawabnya terlihat agak kecewa tapi masih mencoba tersenyum."Maaf ya, Mas." Aku menundukkan kepala."Tidak apa-apa, Mas bisa mengerti. Jadi jadwalnya setiap tanggal 15 Mas baru bisa
SUAMIKU 90CMBab 8 : Jamu Sehat"Bunda senang sekali bisa berkumpul dengan anak-anak dan para menantu serta cucu-cucu. Selamat datang di rumah Bunda, nnak Zilla." Ibu mertua tak henti-hentinya tersenyum ke arahku."Iya, Bunda," jawabku sambil meringis mencoba tersenyum."Harap maklum saja kalau semua perabot di rumah ini serba mini, Nak Zilla." Ayah mertua terkesan tidak enak hati melihatku kesusahan dengan kaki panjang duduk di kursi mini milik mereka sehingga lutut ini hampir menyentuh dagu."Iya, Ayah. Tidak apa, saya sudah mulai terbiasa." Aku menelan ludah.Mereka semua kemudian mengobrol sambil menikmati makanan ringan yang disuguhkan oleh adik bungsu Mas Syafril. Namanya Safitri, tubuhnya juga mungil. Hanya dia saja yang belum menikah.Aku hanya mendengarkan obrolan mereka saja tanpa nimbrung sedikit pun, hanya sesekali ikut tersenyum seolah mengerti."Bunda senang sekali, Nak Zilla mau diajak Syafril ke sini," ucap bunda yang duduk di sampingku."Iya, Bunda." Aku menjawabku se
Suamiku 90cmBab 9 : Kebobolan"Assalammualaikum, Zil. Udah di minum belum jamunya?""Belum, Bu." Kak Metha menunjukkan botol jamu ke arah ponsel."Buruan di minum, Zil!" perintah Ibu dengan wajah cerewetnya."Iya, Bu, iya." Aku mengambil botol jamu dari tangan kak Metha dan segera meminumnya sampai habis."Woek .... " aku menjulurkan lidah karena menahan rasa pahit."Nah, bagus. Insyallah kamu akan segera hamil, Zil. Pokoknya tetap usaha, Ibu gak mau tahu. Tahun ini kamu harus kasih Ibu cucu!""Iya, Bu, iya.""Ibu takutnya kamu udah gak bisa hamil, Zil. Maklum, umurmu tahun depan kan udah 35. Makanya kamu harus ikhtiar juga dengan minum jamu itu. Anak teman Ibu udah berhasil hamil loh, padahal umurnya sudah 40 tahun. Menikah 15 tahun.""Iya, Bu. Iya.""Jangan iya, iya saja. 'Gladak-gluduk'nya juga harus teratur. Jangan terlalu sering dan terlalu jarang." Ibu masih saja nyerocos.Kak Metha cuma cekikikan mendengar obrolanku dengan ibu."Udah deh, Bu, gak usah ngomongin masalah gituan
Suamiku 90cmBab 10 : 100% BenciAku masuk ke rumah ibu dan langsung menuju kamar. Kurebahkan tubuh di atas ranjang dan memejamkan mata. Rasanya pengen liburan ke mana gitu, yang jauh dan tidak ada yang mengganggu. Tiga bulan menikah dengan pria kecil itu membuat hidupku menjadi tertekan. Aku semakin membenci dia, 100% benci. Benar-benar benci.Kok pahit gini sih hidupku? Pikiran menerawang sambil menatap langit-langit kamar.Kutarik napas panjang dan menghembuskan dengan kasar. Aku harus bisa bercerai dengan Mas Syafril, aku tidak bisa selamanya hidup bersama orang yang membuatku jengah.Satu jam berusaha memejamkan mata dan mencoba tidur, tapi kerongkongan malah terasa dehidrasi. Aku keluar dari kamar dan menuju dapur."Tadi waktu di pasar, Metha ketemu Wildan," ucap kak Metha kepada Ibu yang berada di depannya."Ah, si bajingan itu. Lalu?" Ibu nampak geram mendengar namanya."Tapi dia pura-pura nggak kenal gitu, ya udah ... Metha juga biasa saja.""Sama siapa dia?""Sama istrinya,
Suamiku 90cmBab 11 : Makin IlfilHuuhh, lagi-agi pagi ini aku melihat wajah jelek pria kecil itu. Padahal harapan pagi ini aku bisa terbebas dari pemandangan tidak indah ini. Aku duduk di samping Ibu dan menatap jengah pria di depanku."Udah siap, Dik? Ayo kita berangkat!" ajak Mas Syafril kepadaku."Zilla belum mau berangkat, Mas duluan saja!""Duh, Zil. Syafril itu sudah jemput kamu ke sini, kok malah disuruh duluan?" Ibu menatapku."Zilla masuk kerjanya jam 08.00, ini baru jam 07.00," bantahku."Gak apa, basi di jalan. Atau singgah dulu cari sarapan gitu, kek. Gimana?"Aku menarik napas panjang dan enggan menghembuskannya kembali. Bisa heboh kantor kalau sampai Mas Syafril mengantarku. Aku menggigit bibir dengan kesal."Buruan berangkat, Zil! Syafril sudah dari jam 06.00 nungguin kamu." Ibu menatapku lagi."Iya, Bu, iya. Ayo, Mas!" aku bangkit dari duduk dan Mas Syafril langsung melompat turun dari kursi tamu kami.'Brugggg....Kulihat Ibu menutupi mulutnya ngeri milihat tingkah M
Suamiku 90cmBab 12 : HamilLima minggu berlalu, aku sedang keluh kesah menanti sang bulan yang belum menapakkan diri. Bukannya bulan purnama, tapi tamu bulanan yang selalu rutin mengunjungi setiap tanggal muda. Sudah telat seminggu lebih, setiap hari yang dinanti tak juga datang. Aku tak berani membayangkan, kukubur jauh pikiran tentang akibat 'gladak-gluduk' tanpa Pil Kb.Aku masih duduk termangu di depan meja kerja, sehingga tidak menyadari kehadiran Mona didepanku."Zil, bengong aja dari tadi. Ada apa?" Suara cemprengnya mengagetkanku."Eh, ada kamu, Mon. Ada apa?""Ya elah, malah nanya balik. Ya sudah, ke kantin yuk! Udah jam istirahat nih." Dia menarik tanganku menuju kantin."Ayo deh." Dengan malas aku melangkah mengikuti Mona."Ellis mana, Mon?" Aku baru menyadari kalau belum melihat dia sedari pagi."Yeah, bukannya tadi pagi aku udah bilang kalau hari ini Ellis izin. Ada saudaranya yang menikah. Gak fokus kamu Zil, ada apa sih?" Mona memandang wajahku yang hanya memainkan saj
Suamiku 90cmBab 13 : NgidamKeesokan harinya, kuputuskan untuk tidak masuk kerja. Mengambil cuti dengan alasan sakit, yang sebenarnya mau konsultasi dengan dokter kandungan tentang kehamilan ini. Aku harus bisa mencegah menurunnya penyakit kerdil Mas Syafril kepada janin ini. Biarlah bapaklah yang kecil, tapi anaknya harus normal seperti aku. Walaupun jeleknya ngikut dia, tapi ukuran tingginya kalau bisa sepertiku. Doaku dalam hati selama didalam taxi menuju Rumah sakit.Sesampainya di rumah sakit, setelah mendaftar dibagian administrasi. Namaku di panggil untuk masuk ke dalam ruangan periksa dokter kandungan."Gimana, Dok?" tanyaku ketika dokter selesai melakukan USG.Dengan tersenyum dia menjawab, "Selamat, Bunda hamil, usianya enam minggu.""Terus apa dia normal, Dok?" tanyaku tidak sabar."Maaf, Bunda, sekarang baru terlihat kantung kehamilan dan detak jantung. Angota tubuh yang lain belum terbentuk," jelas sang dokter agak lucu menatapku."Maksud saya begini, Dok. Suami saya tub