Pagi hari, aku bergabung di ruang makan bersama keluargaku. Melakukan rutinitas sarapan seperti biasanya. Aku mengambil sehelai roti dan mengolesnya dengan sehelai kacang. Senyuman berbentuk bulan sabit tidak pernah lepas dari bibirku.
“Kamu kenapa, Rey? Mama perhatiin kamu senyam senyum sendiri.” Mama mengerutkan dahinya, menatapku curiga. Aku kembali tersenyum bahagia. “Nggak apa-apa, Ma.” Bagaimana tidak bahagia, aku sudah berhasil membuat Kevin membatalkan perjodohan kami. Meskipun alasan yang aku gunakan terbilang sangat ekstrim, tapi apa boleh buat jika waktunya sudah the master of kepepet. Maaf saja, seumur-umur aku hanya ingin menikah dengan laki-laki yang aku cintai sepenuh hati, bukan dengan laki-laki asing yang sudah tua seperti Kevin. Meskipun dari segi fisik, Kevin memiliki bentuk badan proporsional dan wajah tampan. Tapi kalau aku tidak mencintainya, bagaimana? Omong kosong dengan istilah ‘Cinta bisa datang kapan saja seiring berjalannya waktu’. “Oh iya, Ma, Pa, kemarin Reyna ketemu sama Kevin.” Aku mengawali percakapan. Mampu membuat kedua orang tuaku menatap antusias. “Benarkah? Terus kalian sempat nge-date?” Papa melipat koran dan mencondongkan wajah. Garis bibir Papa melengkung sempurna, seolah berita ini begitu membahagiakan dan tidak boleh dilewatkan. “Jadi, Kevin bilang kalo dia akan membatalkan perjodohan ini.” Respon Mama terbatuk dan tersedak, buru-buru beliau mengambil air mineral dan meneguknya hingga habis. Aku mengangguk mantap. “Yap, Kevin itu udah illfeel duluan, gara-gara Reyna muntahin dia waktu itu.” “Masa, sih?” Papa masih tidak percaya, kini beliau menggaruk dagunya sembari memutar bola mata. “Tapi kenapa Kevin justru bilang yang sebaliknya sama Papa dan Mama?” “Tahu, deh.” Aku mengangkat bahu, pura-pura tidak peduli. “Lagi pula, nggak masalah kok, kalo Reyna nggak jadi nikah sama Kevin. Toh, masih banyak laki-laki di dunia ini yang lebih segala-galanya dari dia.” “Reyna sayang, Mama dan Papa tidak mungkin menjodohkan kamu dengan orang yang tidak baik. Menurut kami, Kevin itu udah laki-laki paling perfect untuk menjadi suami yang bisa membimbing kamu ke surga.” Mama membela Kevin, masih bersikukuh ingin menjodohkan aku dengan mas-mas tua itu. “Oh. Maksud Mama, Reyna bakalan masuk neraka gitu? Kalo nikah sama Kevin, baru deh Reyna masuk surga. Menurut pelajaran agama yang selama ini Reyna pelajari sejak SD, masuk surga dan neraka itu tergantung amal ibadah yang kita lakukan di dunia. Bukan tergantung dengan si mas-mas tua itu.” Papa berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Reyna …. Berhenti manggil Kevin dengan istilah itu, nggak baik.” “Lah, dia itu emang tua, jelek, idih berbulu lagi!” Mendengar ejekanku, Mama langsung tertawa hampir terbahak-bahak hingga tersedak. Kemudian menutup mulutnya rapat-rapat saat mengerling pada Papa. “Eh, Nak Kevin sudah datang.” Kini giliran aku yang tersedak. Seluruh air yang nyaris meluncur ke dalam tenggorokanku langsung keluar begitu saja dan muncrat sampai membasahi lantai. Aduh, Rey, kenapa kamu berubah jadi jorok begini, sih? Kevin, yang telah duduk di kursi sebelahku hanya menggelengkan kepala heran. “Pagi Om, Tante,” sapanya ramah. “Pagi, Reyna, are you okay?” Ia menatap wajahku dengan pandangan mencemooh. “Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja.” Sangat baik sebelum kamu hadir dan mengacaukan segalanya, sungutku jengkel sembari menyeka mulut dengan serbet. “Kamu sudah sarapan, Vin? Ayo dimakan dulu.” Mama menunjukkan sikap perhatiannya. Kevin mengangguk, lagi-lagi mengeluarkan senyuman menyebalkan yang paling aku benci. “Sudah, Tante.” Hilang sudah selera makanku. Aku langsung menggeser piring menjauh dari hadapanku dan menyilangkan tangan di dada. “Kamu ngapain ada di sini pagi-pagi sekali?” tanyaku sengit. “Kamu mau pergi kuliah, kan? Jadi saya jemput kamu,” ucap Kevin santai dan tenang. “Nggak perlu repot-repot deh, aku bisa berangkat sendiri. Lagi pula, nggak ada yang suruh kamu buat jemput aku, kan?” “Papa yang suruh Kevin untuk jemput kamu, Rey.” Papa langsung menimpali. Sontak, aku langsung melemparkan tatapan tercengang ke arah Papa. “Kenapa Papa suruh Kevin buat jemput Reyna, sih? Reyna kan punya mobil dan biasa berangkat sendiri. Reyna nggak perlu sopir!” Di kalimat yang terakhir, aku sengaja menyindir Kevin. “Reyna anakku, mobil kamu itu sudah kami jual. Jadi otomatis hidup-mati kamu untuk pergi kemana-mana bergantung pada Kevin.” “Apa?” Aku menjerit tidak percaya. “Kenapa Papa jual mobil Reyna?” “Papa kehabisan biaya buat bayar uang kuliah kamu yang tidak selesai-selesai, jadi lebih baik Papa jual saja mobilnya untuk membiayai kuliah kamu.” Nyaris aku menggorok leher sendiri dengan pisau pemotong roti akibat sindiran Papa. Sampai Kevin jadi tertawa. Namun aku masih berusaha menebalkan muka. “Tapi Papa nggak berhak jual mobil kesayangan Reyna!” “Tentu saja Papa punya hak, karena mobil Itu dibeli dengan uang hasil keringat Papa sendiri.” Suara erangan kesal meluncur dari mulutku. Api menari-nari di mataku ketika menatap wajah menyebalkan Kevin. “Oke, Reyna akan buktiin ke Papa dan Mama, kalo Reyna bisa beli mobil dengan hasil jerih payah Reyna sendiri!” Dengan kesal, aku bangkit dari kursi. “Oke, silakan. Tapi daripada kamu memikirkan beli mobil, lebih baik kamu pikirkan skripsi kamu dulu.” Tanpa sengaja kedua tanganku terkepal geram. Papa pasti sengaja mengatakan hal itu di hadapan Kevin untuk membuatku malu. Sekarang, Kevin dan keluargaku sudah resmi bersekongkol. ***** Garasi kosong melompong. Itulah kenyataan pahit yang harus aku terima karena mobilku benar-benar sudah dijual oleh Papa. Akibatnya, mau tidak mau aku harus berada satu mobil dengan Kevin. Kalau bukan karena waktu yang sudah mendesak, demi langit dan bumi aku tidak akan sudi diantar oleh si mas-mas tua ini. Keheningan terasa begitu kentara selama di perjalanan. Hanya ada suara John Legend yang mengalun di stereo mobil Kevin. Aku hampir takjub mendengar selera musik Kevin, aku pikir dia hanya menyukai musik era zaman dahulu seperti Ebiet G. Ade atau Nicky Astria. Ternyata benar-benar di luar ekspektasiku. “Bukannya kamu mau ngebatalin perjodohan ini?” Aku membuka suara. Kevin segera mengecilkan volume musiknya dan menjawab pertanyaanku dengan santai. “Siapa yang bilang?” Nada Kevin terdengar santai, membuatku jengah. “Kamu sendiri udah tahu kan, gimana sikapku? Kamu tahu gimana pergaulanku yang bebas dan kamu juga tahu kalo aku udah nggak virgin lagi. Terus kenapa kamu masih mau menikah sama aku?” “Karena kamu orang yang jujur,” balas Kevin singkat. “Maksudnya?” Kevin menatapku sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan di depannya. “Jarang-jarang saya bertemu dengan wanita yang mau mengakui keburukannya, apalagi berani jujur tentang keperawanannya. Jadi saya akan menerima segala kekurangan kamu, Rey.” Mendengar penjelasan Kevin yang tidak masuk akal, aku jadi terperanjat kaget. Bagaimana bisa Kevin menganggap semua pernyataanku sebagai angin lalu? Hampir saja aku ingin menelan seatbelt sendiri saat rasa kesal menghantamku. Ternyata alasan ekstrim yang aku keluarkan kemarin, berhasil menjadi cambuk besar untuk kehidupanku sendiri. Menit-menit berikutnya hanya ada keheningan. Setelah menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit, akhirnya mobil Kevin berhenti di pelataran kampus. Buru-buru kulepas seatbelt, menggeser posisi tubuhku agar berhadapan dengan Kevin. Aku menatap mata laki-laki itu dengan tajam. “Meskipun Papa dan Mama sangat-sangat menyukai kamu dan memuja-muja kamu bak dewa, jangan pernah berharap kalau aku akan melakukan hal yang sama, karena sampai kapan pun aku nggak akan mau menikah dengan orang tua jelek seperti kamu!” teriakku putus asa, sampai napas ini jadi tersengal-sengal. Kevin hanya menatapku tanpa bersuara ataupun merasa terintimidasi oleh tatapan sadisku. “Jadi aku ingatkan sekali lagi sama kamu, untuk pergi jauh-jauh dari hidupku dan batalkan perjodohan kita! Kalo nggak—“ suaraku tercekat di tenggorokan saat mengacungkan telunjuk tepat di depan wajah Kevin. “Kalau tidak, apa?” tantang Kevin memandang telunjukku yang hanya sebesar kelingkingnya. “Kalo nggak … aku nggak akan segan-segan menyakiti kamu dan menghancurkan segala harapan keluarga kamu!” Mendengar ancaman jahatku, Kevin hanya menghela napas gusar. “Wow, menarik,” balasnya singkat, kembali menatap ke depan sembari menggenggam stir kemudi dengan erat sampai buku-buku jarinya memutih. “Saya akan menjemput kamu kembali sepulang kuliah nanti,” lanjut Kevin lagi dengan nada tenang. Aku memelototi Kevin tidak percaya. Dengan perasaan geram, aku segera keluar dari mobil Kevin dan menutup pintunya dengan kencang. “Dasar jelek!” Hampir saja aku ingin melepas sebelah high heels-ku dan melemparnya tepat ke sasaran. Sayang, mobil Kevin sudah jauh dari jarak pandanganku.Skripsi dan perjodohan berhasil membuat kepalaku hampir pecah. Hari ini aku sengaja tidak masuk kampus untuk menghindari Kevin. Sebelumnya, aku dan teman-temanku sudah janjian akan bertemu di salah satu kafe--di tempat kami biasa berkumpul. "Kenapa wajah lo kayak pakaian yang belum disetrika?" tanya Riska, saat aku baru duduk di hadapannya. "Hampir gila gue!" celetukku sambil mengusap wajah frustrasi. "Karena mau dinikahin ya, cyin?" Suara kemayu Ivan, membuat dahiku berkerut. Namun, yang terpekik kaget bukan aku melainkan Riska. "Reyna mau nikah? Sama siapa? Si Arman, ya? Wuih, jadi juga ternyata." "Bukan sama Arman, ibu-ibu." Aku menatap kedua temanku secara bergantian. "Tapi, dengan si mas-mas tua!" "Mas-mas tua?" Seperti ada ikatan batin, Riska dan Ivan bertanya serentak. Tatapan mereka antara bingung dan kaget. Aku tidak langsung menjawab, mataku terpaku pada sosok Ivan, menatapnya curiga. "Lo tahu dari mana kalo gue bakalan nikah?" tanyaku menyelidik, memperhatik
Aku terus meracau tidak jelas selama di perjalanan, sedangkan Kevin hanya menanggapi semua omelanku dengan senyuman, anggukan, dan tawa. Hampir satu jam lebih menempuh perjalanan tanpa terkena macet, akhirnya mobil yang dikendarai Kevin berhenti di depan rumah berpilar putih dengan halaman yang cukup luas. “Kita sudah sampai.” Aku enggan menggubris maupun menoleh. Tanganku terus mencengkeram seatbelt. “Kamu tidak mau tidur di sini semalaman kan, Reyna?” Kevin berujar tenang. Aku segera menoleh ke samping menatapnya dengan wajah murka maksimal. “Kamu menculikku!” Kevin tertawa sekilas. “Saya tidak menculik kamu, Reyna. Saya cuma bawa kamu ke rumah Nenek. Memangnya salah?” “Kenapa nggak bilang dulu kalo mau bawa aku pergi sejauh ini? Kamu udah bohong sama aku, jadi tetap aja ini namanya penculikan! Aku nggak bisa tinggal diam, aku harus bilang rencana buruk kamu sama Mama dan Papa. Pinjam handphone!” Sialnya lagi, ponselku kehabisan baterei. Jadi aku tidak bisa menghubun
Hari ini kembali berjalan sama seperti biasanya, tanpa berubah sama sekali. Kevin masih bersikukuh menjemputmu dan mengantarku ke kampus. Selama di perjalanan, hanya keheningan yang berpendar di dalam mobil. Suara penyiar radio membuat suasana di antara kami tidak terlalu dingin dan beku. Aku menatap lurus ke depan, memperhatikan hiruk pikuk kota Jakarta. "Saya tidak suka melihat kamu berpakaian seperti itu." Suara Kevin membuat tatapanku berpaling. Kevin memperhatikan dari atas kepala hingga sebatas paha. Aku langsung menyilangkan kaki dan menutup pahaku yang terbuka bebas dengan telapak tangan. Dasar otak mesum! "Dasar modus! Ngakunya aja nggak suka, tapi matanya sampai mau keluar gitu!" Kevin mengerutkan kening. "Saya serius. Menurut saya, sangat penting bagi wanita untuk menutupi aurat mereka, agar terhindar dari kejahatan yang tidak terduga, serta godaan dari pria hidung belang." "Kamu nyindir diri sendiri ya?" Aku menyeringai geli. Merasa jenaka dengan perumpamaan Kevin in
Aku menatap nanar bayanganku di cermin. Wajahku dipoles dengan make up, rambutku dibentuk menjadi sanggul. Malam ini, aku memakai kebaya biru muda dan rok batik. Berulang kali aku mengatur napas, berusaha menghalau perasaan gugup.“Kalo gugup itu biasa, tapi jangan terlalu panik. Dulu waktu Mas kamu melamar Mbak Dyas, Mbak juga cemas dan takut seperti kamu.”Mbak Dyas—istri Mas Emil, mulai menyentuh pundakku. Aku menatap pantulan Mbak Dyas dari cermin. Dia terlihat cantik memakai dress batik.“Mbak, aku pernah jujur dengan Kevin, kalau aku udah nggak virgin lagi,” ucapku seraya menundukkan kepala. Tidak berani menatap air muka Mbak Dyas yang mungkin terkejut luar biasa.“Apa?” Seperti dugaanku sebelumnya, Mbak Dyas berteriak kaget. “Reyna, kamu udah gila, ya? Kamu sadar nggak dengan ucapan kamu sendiri? Itu adalah doa!”Kini Mbak Dyas memutar tubuhku hingga kami saling berhadapan.“Hanya itu satu-satunya cara agar Kevin menolak perjodohan ini.““Terus Kevin percaya?”Aku hanya mengang
Lampu berkerlap-kerlip memenuhi ruangan, dentuman musik terdengar kencang ketika aku memasuki tempat hiburan malam tersebut. Kulihat sosok Arman duduk di kursi depan meja bar sembari menenggak minumannya. Ya, dia memang baru saja mengajakku untuk bertemu di tempat ini. “Apa yang mau kamu bicarakan denganku?” Aku langsung to the point, setelah mendaratkan bokong di sebelahnya. “Aku mau cerai, Rey.” Suara laki-laki itu terdengar parau. Ia kembali menenggak minumannya hingga habis. Aku cukup terkejut mendengar ucapan Arman. Tapi aku tidak merasa kasihan sedikit pun padanya. Lagi pula, itu bukan urusanku. “Jadi … ini hal penting yang mau kamu bilang sama aku? Sorry, Arman, tapi hubungan rumah tangga kamu sama sekali bukan urusanku!” Laki-laki itu tertawa, meracau tidak jelas pada sang bartender untuk menambah minumannya lagi. “Bagaimana pernikahan kamu dengan laki-laki pilihan orang tua kamu itu?” “Sangat baik,” jawabku ketus. Pura-pura terlihat bahagia meski dalam hati sebenarnya
“Ananda Kevin Narendra Halim bin Faizal Halim, aku nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandungku, Reyna Prameswari Wijaya binti Deni Wijaya dengan mas kawinnya berupa seperangkat alat shalat dan uang berjumlah sembilan belas juta rupiah dibayar tunai.” Sambil menjabat tangan Kevin, Papa bersuara lantang. “Saya terima nikah dan kawinnya Reyna Prameswari binti Deni Wijaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Bagaimana, sah?” Penghulu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. “Sah.” “Alhamdulillaah ….” Di saat semua pengantin menitikkan air mata karena terharu bahagia, aku justru menangis karena sebentar lagi hidupku akan sangat menyedihkan setelah menikah dengan Kevin. Setelah menyematkan cincin di jari manisku, Kevin mencium keningku cukup lama. Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Seperti yang sudah ditentukan oleh pihak keluarga kami dan menuruti wasiat orang tua Kevin, pernikahan ini berlangsung saat umurku sudah menginjak 25 tahun—tepat pada tanggal 19 Desember.
"Kevin mana, Rey?" Mama menghampiriku dan duduk di sofa, tepat di sebelahku. Aku meluruskan kaki di atas meja, merasakan pegal-pegal. "Tidur di kamar," balasku sekenanya. "Baru juga sampe udah molor aja." "Kemarin dia nggak bisa tidur semalaman gara-gara aku kasih kopi. Mama terkesiap. "Ha? Yang bener?" "Hm." "Kasihan, pasti dia capek banget ya, Rey. Coba sana kamu ke kamar pijitin badan dia." "Ih, Reyna juga capek kali, Ma. Jelas-jelas Reyna yang nyetir mobilnya dari Bogor sampai Jakarta tadi." "Tapi tetap aja, secapek-capeknya istri, harus ada kasih perhatian lebih sama suami. Udah sana pijitin, kasian Kevin." Mama mendorong tubuhku. "Males ah, memangnya aku pembantunya, tukang pijit, si Mak Erot!" "Yee, kamu ini. Nggak ada ikhlas-ikhlasnya melayani suami." "Dari awal aku memang nggak mau nikah sama dia." Mama menyipitkan matanya tajam, tatapan tidak suka. "Jangan bahas itu lagi! Sekarang kamu sama dia sudah menikah! Percuma juga karena nasi udah menjadi bu
Apartemen Kevin minimalis. Ruang televisi dan dapurnya menjadi satu. Sofa bernuansa krem berada di tengah-tengah ruangan. Di dinding ada beberapa foto orangtuanya. Serta foto Wanda yang tengah tersenyum manis dan juga Nenek yang sedang tertawa. Namun yang membuatku cukup terkejut adalah, foto pernikahan kami juga terpampang di dinding. Di foto tersebut, Kevin tersenyum, memperlihatkan gurat wajah bahagia pengantin baru. Sedangkan aku, hanya tersenyum tipis. Bahkan sangat tipis, sampai aku pikir kalau itu bukan senyuman tapi wajah cemberut. Namun masih terlihat cute. Apartemen Kevin terdiri dari dua kamar tidur dan dua kamar mandi. Satu di dekat dapur, satu lagi di dalam kamar utama. Lagi-lagi kami harus tidur satu kamar. Ini konyol! Padahal aku bisa memakai kamar sebelah. Tapi kamar itu terkunci rapat. Kevin melarangku masuk ke dalam kamar misterius itu. Sempat terpikir olehku kalau kamar itu tempat penyimpanan mayat. Dan pekerjaan Kevin sebagai buronan tiba-tiba terlintas di kepal
Aisha dan Widyo langsung merangkul Widuri, dan membawanya ke UKS. "Gue nggak peduli kalau artikel-artikel menyatakan, marah itu bisa bikin kita cepat tua. Sumpah, gue nggak peduli bakalan cepat tua dari umur gue yang seharusnya kalau sikap mereka kayak gini terus. Kita sebagai murid-murid berhak dapat perlindungan dari para pembully di sekolah!" Aisha terus meracau tidak jelas saat mereka sudah berada di UKS. Sementara, Widuri meringis kesakitan saat Widyo mengobati lututnya perlahan dengan obat merah. "Ini pertama kalinya sejak Aisha masuk sekolah, dia kembali melawan teman-temannya. Biasanya dia cuma diam aja kalau dibully sama mereka." Widyo berbicara kepada Widuri. "Lo harus bersyukur punya temen kayak Aisha yang rela mencelakai dirinya sendiri demi melindungi orang lain." Widuri hanya diam. "Wid ...." Aisha menepuk pundak Widuri. "Kalau ada yang nyakitin Lo dan bikin lo menderita lagi, Lo tinggal lapor sama gue. Kita nggak boleh kelihatan lemah di hadapan mereka. Karena
Widyo membawa Aisha menuju belakang sekolah. Duduk di sebuah kursi kayu panjang yang berada di bawah rimbunan pohon. Tak ada orang lain di sini kecuali hanya mereka berdua. "Kenapa kakak bawa gue pergi? Kalau Kakak nggak nahan gue, mungkin gue udah bisa nonjok muka cowok sialan itu habis-habisan." Aisha terus meracau sembari menangis sesenggukan. Widyo hanya tertawa tanpa berkomentar hingga menunggu beberapa menit sampai Aisha merasa tenang kembali. "Udah puas nangisnya? Hapus air mata lo. Sama sekali nggak berguna dan hanya bikin lo keliatan jadi lemah." Widyo mengulurkan sapu tangannya. Aisha menerima saputangan itu. Langsung menyemburkan ingusnya kuat-kuat. Widyo tidak merasa jijik. Justru terkekeh geli. "Kakak ngetawain gue?" Aisha menoleh ke arah Widyo. Kesal. Widyo hanya menggeleng. "Terus kenapa Kakak ketawa?" Widyo kembali menggeleng. Melipat mulutnya rapat-rapat. "Ternyata selain bisa ngomong, Kakak juga bisa ketawa. Hebat." Widyo mengerutkan alisnya bingung. "
"Sebenarnya aku takut ke sekolah." Begitu penuturan Aisha saat mereka sedang sarapan pagi bersama. Tanpa kehadiran Kevin dan Ari karena keduanya --- lagi-lagi --- pergi melakukan rute penerbangan. Hanya ada Reyna dan Aydan di ruang makan sembari menatap Aisha dengan mata melotot lebar. "Kenapa kamu takut sekolah, Sayang?" Reyna berhenti menyentuh makanannya. "Aku takut kalau tahu tentang kejadian ini dan mereka bakalan meledek aku habis-habisan," desis Aisha lagi dengan suara parau. Pelan-pelan menggigit roti selainya meski tanpa selera. "Mbak, mau denger cerita lucu nggak. Kemarin di sekolahku ada cewek tomboy, terus dia ngelempar sebelah sepatunya ke arah Ay supaya dapat perhatian Ay. Tapi Ay diemin aja dan sengaja nendang sepatunya ke arah tong sampah. Terus dia marah-marah sambil teriak 'awas lu ye. Besok gue lempar sekalian pake kaos kaki biar lo kesemsem. Gua sumpahin lu suka sama gua, terus gua tolak lu mentah-mentah'." Jeda lima detik. "Alasan Ay semangat sekolah hari i
Ada cinta yang berakhir dengan kesedihan. Ada cinta yang rela untuk dilepaskan dan ada cinta yang patut untuk dipertahankan. Tantri harus menerima kenyataan kalau dia harus rela melepaskan Aisha, karena gadis itu bukan ditakdirkan bersamanya. Begitu pula dengan Aisha yang akhirnya paham meskipun telat menyadari; kalau tak ada pelukan yang paling hangat selain keluarga. Dan tak ada tempat yang paling nyaman selain rumah sendiri. Karena keluarga akan tetap menjadi rumah terbaik bagi setiap insan. "Dengarkan Ayah baik-baik, anakku. Sampai kapan pun, meski di dunia ini lahir beribu anak, tetap Aisha kesayangan Ayah sama Bunda, tetap Aisha yang Ayah mau di bumi, dan tetap Aisha yang akan kami jaga hingga dewasa nanti. Semua tetap sama, nggak ada yang berubah. Kalau ada yang bilang Aisha anak haram, nggak jelas asal-usulnya, atau anak pungut. Mereka salah besar, karena Ayah dan Bunda Aisha itu cuma satu, yaitu kami. Aisha punya Bunda yang hebat dan pinter masak, Aisha juga punya Ayah seor
Kevin langsung memasuki kamarnya. Ia melihat Reyna tidur di sudut kasur sambil menghadap ke dinding, Kevin langsung naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Reyna dari belakang. "Are you okay, Bun?" Buru-buru Reyna menghapus air matanya. Dia berbalik untuk berhadapan dengan Kevin. "Kamu sudah pulang, Mas?" "Jangan suka mengalihkan pembicaraan. Nih lihat, aku bisa ngerasain bekas air mata kamu." Kevin mengusap wajah Reyna. "Kenapa, Bun? Coba cerita sama aku selagi aku di sini. Ntar kalau aku udah terbang jauh, kamu malah suka rindu." Reyna mencubit perut Kevin dengan gemas. "Ge-er kamu!" Kevin tertawa. "Kamu tahu apa yang Aydan biang waktu denger kamu nangis?" Reyna diam. "Aydan sedih karena dia gagal bikin kamu bahagia. Ketika kamu menangisi satu anak yang sama sekali nggak mikirin kamu, tanpa kamu sadari ada anak lain yang sedang menangis karena kamu." Lalu yang terjadi, Reyna justru kembali terisak. "Aku kangen Aisha, Mas. Aku kangen dia. Kenapa dia nggak pernah angkat telepon
Tantri benar-benar malu harus dipanggil ke sekolah akibat kenakalan bukan karena prestasi Aisha. "Kamu itu udah gede, Aisha. Memangnya nggak malu berantem kayak sinetron di sekolah?" ujarnya saat mereka berada di parkiran sekolah Aisha. "Bukan aku yang mulai duluan, tapi cewek sok kecakepan itu." Aisha menjawab dengan kesal. "Kenapa lo belain gue?" tanya sebuah suara dari belakang mereka. Aisha dan Tantri berbalik, lalu mendapati Widuri berdiri dengan mata sembab. "Gue bukan belain lo. Gue cuma nggak suka ada yang ikut campur sama masalah orang lain. Merasa dirinya itu udah paling benar aja," balas Aisha ketus. "Gue pikir lo bakal balas dendam sama gue, untuk apa yang udah gue lakuin ke lo," ujar Widuri lagi sambil kedua tangannya mengepal. Malu rasanya dibela oleh orang yang sudah dia buat rumit hidupnya. Jika saja, Widuri tidak memberitahu teman-teman bahwa Aisha adalah anak pungut, mungkin gadis itu masih tinggal bersama keluarganya. Kau tahu, rasa iri memang sangat berbahaya
Sesampainya di rumah, Reyna langsung duduk di sofa. Hati, perasaan, dan pikirannya sudah teramat lelah. Mbok Imah masuk ke ruang tengah sambil membawa nampan berisi dia gelas air putih. "Sepertinya Ibu capek banget, ya. Mau tak pijitin ndak? Kebetulan kemarin saya habis bawa minyak urut paling yahud dari kampung." Mbok Imah langsung mengambil posisi di hadapan Reyna. Membungkuk sampai berhadapan dengan sepasang kaki Reyna. "Minyak urut ini terkenal mahal lho, Bu. Saya belinya sama Mbah Erot. Konon katanya si Mbah Erot punya kekuatan magic yang super duper ampuh!" "Jangan mau dipijitin pake minyak urutnya Mbok Imah, Bunda." Aydan ikut nimbrung duduk di sofa sebelah Reyna. "Kalau Mbok percaya sama hal-hal magis, itu namanya syirik. Pasti di dalam botol minyak urutnya Mbok Imah banyak setan dan jin yang lagi berenang." ", moso sih, Den? Emang mereka bisa berenang?" Wajah Mbok Imah teramat polos ketika memperhatikan botol minyak urut tersebut. Aydan mengangguk, semakin mengelabui Mbok
"Maafin Reyna, ya. Dia bersikap seperti itu karena dia terlalu menyayangi Aisha." Kevin mengambil posisi duduk di sebelah Tantri. "Aku mengerti, Vin. Aku juga ingin melakukan yang terbaik untuk Aisha." Suara Tantri bergetar. "Aku sayang sama Aisha, sudah menganggapnya seperti anakku sendiri." "Kamu tahu, Tan ...." Kevin mulai memberinya nasihat, "butuh waktu bertahun-tahun bagi Reyna untuk bikin Aisha nyaman dengannya. Tapi, sampai saat ini pun, Reyna masih saja merasa gagal. Padahal menurutku, semua ini hanya masalah waktu. Aisha masih belum beranjak dewasa. Maka dari itu mengapa kesabaran orang tua itu begitu penting." "Mungkin, aku memang nggak lantas menjadi seorang ibu, Vin." Tantri mengelap matanya yang terus basah. Ada rasa sakit yang tiba-tiba mengimpit dadanya mengingat kenyataan itu. Sejujurnya Kevin tidak tega melihat hal ini. Ia berusaha menenangkan Tantri, mengangkat tangan kanannya untuk mengusap punggung Tantri. "Nggak ada perempuan yang nggak lantas menjadi seoran
Di kelas lain, gosip tentang Aisha ikut jadi pembicaraan dan beredar luas. Bahkan gosipnya sampai heboh ke kelas 12. Lebih tepatnya, dibicarakan oleh rombongan cowok yang mengidolakan Aisha. "Jadi benar, kalau Aisha anak kelas 10 itu anak adopsi, ya?" tanya Arjun pada Bima --- yang selama ini dikenal sebagai fans berat Aisha. "Menurut kabar yang beredar sih, begitu. Katanya Aisha itu cuma anak pungut, bukan anak kandung ayahnya yang pilot itu. Intinya, gue nggak perlu punya Alphard dulu kalau suka sama dia, hahaha." Bima tertawa pelan. "Serius lo?" Ardian meninggalkan buku yang sedang dia baca, lalu menatap temannya lekat-lekat. "Jangan pada gosipin oranglah, dosa. Lagian, mau dia anak adopsi atau bukan, dia tetap cewek manis yang pintar kan, Bim." sambung Yudi lagi, yang langsung dibalas anggukan oleh Bima. Pada saat semua teman-temannya sibuk menceritakan Aisha, di tempat yang sama, Widyo justru melakukan hal yang berbeda. Dia hanya diam. Meskipun memakai earphone, dia masih bi