Aku menatap nanar bayanganku di cermin. Wajahku dipoles dengan make up, rambutku dibentuk menjadi sanggul. Malam ini, aku memakai kebaya biru muda dan rok batik. Berulang kali aku mengatur napas, berusaha menghalau perasaan gugup.
“Kalo gugup itu biasa, tapi jangan terlalu panik. Dulu waktu Mas kamu melamar Mbak Dyas, Mbak juga cemas dan takut seperti kamu.” Mbak Dyas—istri Mas Emil, mulai menyentuh pundakku. Aku menatap pantulan Mbak Dyas dari cermin. Dia terlihat cantik memakai dress batik. “Mbak, aku pernah jujur dengan Kevin, kalau aku udah nggak virgin lagi,” ucapku seraya menundukkan kepala. Tidak berani menatap air muka Mbak Dyas yang mungkin terkejut luar biasa. “Apa?” Seperti dugaanku sebelumnya, Mbak Dyas berteriak kaget. “Reyna, kamu udah gila, ya? Kamu sadar nggak dengan ucapan kamu sendiri? Itu adalah doa!” Kini Mbak Dyas memutar tubuhku hingga kami saling berhadapan. “Hanya itu satu-satunya cara agar Kevin menolak perjodohan ini.“ “Terus Kevin percaya?” Aku hanya mengangguk pelan. “Bagaimana responnya?” Aku menghela napas gusar. “Awalnya dia kecewa dan pergi ninggalin aku begitu aja. Tapi, besoknya dia kembali datang dan bilang kalo perjodohan di antara kami nggak akan pernah dibatalkan. Aku nggak tahu kenapa Kevin bersikukuh ingin menjadikan aku sebagai istrinya, padahal dia udah tahu kalau aku ini wanita yang nggak baik!” Akhirnya air mata yang sejak tadi aku tahan, keluar membasahi wajahku. Bahkan aku sendiri tidak mengerti, mengapa aku menangis. Mbak Dyas segera menghapus linangan air mataku dengan jarinya lalu memeluk tubuhku erat hingga tangisku semakin pecah. “Jangan pernah membenci seseorang sampai sebegitu bencinya, sayang. Kita tidak tahu, entah besok atau kapan, perasaan itu akan berubah jadi cinta.” Mbak Dyas menasihatiku dengan kalimat yang sering kudengar. “Mbak nggak tahu gimana rasanya menikah dengan cara perjodohan kuno seperti ini. Mbak nggak tahu gimana rasanya dijadikan sebagai bahan dari wasiat. Mbak nggak tahu gimana rasanya dimanfaatkan!” Mbak Dyas menangkup wajahku dengan kedua telapak tangannya. Aku selalu menyukai sikap lembut dan perharian Mbak Dyas, mengingatkan aku pada sosok Mama ketika aku masih kecil. “Tidak ada yang memanfaatkan kamu, Reyna. Kalaupun kamu bagian dari wasiat kedua orangtuanya, pasti Kevin akan membatalkan perjodohan ini setelah dia tahu kalo kamu itu sudah nggak virgin lagi. Tapi, nyatanya, dia malah semakin memantapkan hatinya, meyakinkan imannya untuk bersanding dengan kamu di pelaminan. Mungkin Kevin punya alasan sendiri yang nggak kamu ketahui.” “Alasan apa?” Aku bangkit dari kursi dan berjalan menuju jendela kamar. Tatapanku beralih ke arah rombongan keluarga Kevin yang mulai berdatangan. “Aku yakin kalau Kevin punya motif terselubung. Dia pasti sedang memanfaatkan aku untuk mendapatkan sesuatu yang tidak aku ketahui!” Seruku kemudian. “Iya, dan sesuatu itu adalah cinta. Kevin sengaja diutus oleh Allah untuk membuatmu menjadi pribadi yang lebih baik lagi, sayang.” “Bu***shit! Dan tolong jangan ngomongin cinta. Cinta itu hanya omong kosong!” Hentakan sepatu Mbak Dyas terdengar nyaring, ketika ia berjalan menghampiriku dan mengusap-usap punggungku. “Mama bilang, kemarin kamu dan Kevin berkencan. Kamu sudah ngobrol dan mencoba untuk saling mengenal satu sama lain dengan dia? Kamu sudah tahu apa pekerjaannya, asal usul keluarganya, dan pendidikan terakhir dia?” Aku menatap Mbak Dyas sambil mengernyit. “Aku bukan penguntit kayak dia, Mbak! Masa bodoh dia mau kerja apa, itu bukan urusanku. Nanti dibilang kepo lagi.” “Ya ampun, Reyna. Seperti itulah caranya berkomunikasi dengan calon suami. Kalo kamu nggak tahu bibit, bebet, dan bobot Kevin, gimana kalian bisa saling percaya ketika sudah menikah nanti?” “Makanya aku nggak mau nikah sama dia! Kenapa sih kalian nggak ada yang bisa mengerti perasaanku?” “Kami tahu, selama ini Kevin sering mengunjungi rumah kami dan berbicara panjang lebar dengan Mas Emil. Kamu pikir buat apa dia menemui Mas Emil selain bertanya tentang kamu? Lihatlah, segala cara dia tempuh untuk mendapatkan hati kamu.” “Kenapa sih, dia nggak langsung nanya ke aku aja?” “Melihat sikap kamu yang kayak singa betina gini, mana berani Kevin banyak tanya sama kamu.” Mbak Dyas bergurau. “Mungkin Kevin udah tahu kalo kamu nggak akan menjawab segala pertanyaan dia, jadi Kevin menempuh jalan yang lebih mudah. Dengan cara mendekatkan diri dengan seluruh keluarga kamu, dia juga dekat banget lho sama Rian.” Rian adalah keponakanku. Anaknya Mas Emil dan Mbak Dyas yang masih berumur empat tahun. Aku mendengus hambar. "Ya udah, kalo gitu Kevin aja yang dijadikan babysitter-nya Rian. Biar gratis!" Aku menjulurkan lidah membuat Mbak Dyas jadi geleng-geleng kepala. Pembicaraan kami terhenti ketika pintu kamarku diketuk dan Ivan muncul di ambang pintu. "Yuhuuu, si Mas cakep pisan lho, Rey. Dia udah nunggu di bawah sama keluarganya, ayo turun!" Tak lama setelah Ivan dan Mbak Dyas keluar dari kamar, ponselku berdenting tanda pesan masuk. Kulihat pengirimnya adalah Kevin. Mas-Mas Tua: Saya sudah memenuhi permintaan kamu untuk datang melamar kamu secara resmi. Saya harap, kamu tidak merencanakan sesuatu yang buruk, bikin saya malu di depan keluarga, dan membuat Nenek sampai masuk rumah sakit. Aku mengerang kesal pada ponselku sendiri. Segera kuhapus pesannya sebelum menjejalkan ponselku ke dalam bra, berhubung kebaya yang aku kenakan saat ini tidak memiliki saku Berani sekali Kevin memberiku peringatan seperti kerbau dicucuk hidungnya! Dia pikir aku akan mengabulkan semua permintaannya? Lantas, untuk apa aku menginginkan acara lamaran resmi seperti ini, kalau niatku sebenarnya ingin menolak lamaran Kevin mentah-mentah di hadapan seluruh keluarganya? Agar mereka tahu kalau aku tidak menyukai Kevin. Acara langsung dimulai ketika aku sudah duduk di antara kursi Papa dan Mama. Aku menyaksikan penampilan Kevin yang duduk beberapa meter dari hadapanku sambil menilai, ia cukup menarik mengenakan kemeja bermotif batik dan celana kain. Selesai memanjatkan beberapa doa serta kalimat-kalimat singkat dari MC, selanjutnya, Kevin berbicara di hadapan kedua orangtuaku menggunakan mikrofon. "Om, Tante, kedatangan saya bersama rombongan ke sini bermaksud untuk melamar anak Om dan Tante secara resmi. Untuk itu, izinkan saya meminang Reyna dan menjadikan gadis cantik itu sebagai pendamping hidup saya. Kami meminta restunya ...." Kevin menundukkan kepala hormat. Aku ingin muntah mendengar kalimat Kevin. "Saya, atas nama keluarga sekaligus Ayah dari Reyna telah menyetujui lamaran Nak Kevin. Kami para orangtua sudah merestui hubungan kalian jauh-jauh hari. Tapi ingat, kalau kamu berani menggores kulit anak saya segaris tipis pun, siap-siap berhadapan dengan saya!" Papa bercanda sambil memperagakan gerakan menggorok leher, hingga penjuru ruangan dipenuhi gelak tawa. Apa aku perlu menyayat wajahku sendiri, lalu menuduh Kevin sebagai pelakunya? Hm, akan aku pertimbangkan. Ketika suasana mulai hening, kini giliran Kevin yang berbicara padaku. Aduh, mampus aku! Ia mulai menghampiriku dan berhenti tepat di hadapanku sambil berlutut. Nyaris membuat semua orang terperangah, lalu mengeluarkan sebuah kotak beludru biru tua dari dalam saku celananya. Buset, cincin berlian putih dengan kristal yang benar-benar bersinar. "Reyna Prameswari, sudikah kamu menerima lamaranku untuk menjadi pendamping hidupku sepanjang masa, sampai maut memisahkan kita?" Jantungku menggelepar seperti genderang yang mau perang. Sekujur tubuhku menjadi dingin dan beku. Pandanganku mengedar ke sekeliling, menatap semua orang yang tampak tegang menunggu jawabanku. Suasana mendadak terasa hening. “Rey …,” panggil Kevin, membuat lamunanku buyar dan perasaanku semakin bertambah bingung. Aduh, aku harus jawab apa, dong? Setan bertanduk yang mendadak muncul di bahu kiriku mulai angkat suara, ‘Jangan terima lamarannya, Rey! Ingat, dia itu nggak cocok sama kamu. Pekerjaannya nggak jelas, hidupnya apalagi. Langsung tolak aja selagi ada kesempatan.’ Sedangkan di bahu kananku, sosok peri baik hati yang bersayap ikut memberikan nasihat. ‘Rey, coba perhatikan wajah kedua orangtuamu lekat-lekat. Mereka begitu cemas. Lihat juga wajah sedih Nenek Kevin, beliau begitu menginginkan kamu menjadi istri cucunya. Jangan sampai karena keegoisan kamu, Nenek Kevin sampai masuk rumah sakit. Pikirkan baik-baik, sebelum semuanya terlambat dan kamu akan menyesal seumur hidup.’ Aku tersentak kemudian. “Aku—“ Suaraku tercekat di tenggorokan. Menatap wajah nenek yang menunggu dengan harap-harap cemas. Kalau aku menolak lamaran ini, mungkinkah nenek akan pingsan dan masuk rumah sakit? Ludahku tertelan dengan susah payah seolah ada biji kedondong yang tersangkut di tengah-tengah tenggorokanku. Kupejamkan mata sekali lagi sebelum mulai memberikan jawaban. “Aku … terima.” Dan air mataku langsung tumpah membasahi wajah. Semua menghembuskan napas lega tak terkecuali Kevin. Dia segera menyematkan cincin di jari manisku sebelum mencium punggung tanganku. Lalu, kami pun sepakat untuk melakukan pernikahan pada tanggal 19 Desember—tepat pada hari ulang tahunku yang ke dua puluh lima tahun—sesuai dengan wasiat dari kedua orangtuanya Kevin. ***** Aku membawa Kevin ke sebuah lorong di halaman belakang rumahku. Dan langsung mendorong tubuhnya hingga ke sudut dinding. “Wow, wow. Ada apa ini, Reyna? Kamu ingin menghadang saya?” Ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. “Bukan menghadang, lebih tepatnya membunuh!” Ketusku sambil menatapnya tajam. “Rey, kamu tahu kalau kita ini masih belum sah?” Jarak di antara kami tidak berbatas. Aku bisa merasakan deru napas Kevin yang hangat sampai menusuk cuping hidungku. “Jangan main-main denganku, ya!” Aku semakin mencekik lehernya sampai dia terbatuk-batuk. “O-oke.” Kevin tercekat. “Kita bicarakan ini baik-baik, akan saya dengarkan semua perkataan kamu.” Dalam sekali sentakan saja, aku melepaskan Kevin dan mundur dua langkah, lalu mengembuskan napas kuat-kuat hingga helaian rambutku yang berantakan di dahi berhembus ke udara. “Tolong, jangan salah mengartikan jawaban tadi. Aku terpaksa melakukan ini karena tidak mau dianggap sebagai pembunuh Nenek kamu,” ucapku dengan mimik wajah serius. Kevin hanya diam. Mendengarkan keluh kesahku dengan khidmat. “Sebelum janur kuning melengkung, nggak ada yang namanya kata menyerah di kamus seorang Reyna. Aku akan terus berjuang dan berusaha untuk membatalkan pernikahan kita dengan cara apa pun.” Kevin tersenyum dan mengangkat bahu tak acuh. “Kalau begitu, semangat! Semoga kamu berhasil.” Dia bertepuk tangan di depan wajahku, sengaja membuat emosiku memuncak. “Sebenarnya apa sih yang kamu inginkan dari aku?” Aku membentaknya kesal. Api kemarahan menari-nari di pupil mataku. Justru sikap Kevin masih terlihat tenang dan santai, dia menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Tidak ada. Hanya kamu sepenuhnya dari atas kepala hingga ujung kaki.” “Kamu mau mengambil jantungku untuk pengobatan Nenek kamu? Atau mencuri ginjalku dan menjualnya dengan harga mahal? Jangan-jangan kamu ingin menjualku ke luar negeri?” “Jaga omongan kamu!” Potong Kevin cepat dengan intonasi tinggi, membuatku bergidik ngeri. Tapi aku tidak akan menyerah semudah itu, aku tetap bersikap tenang meskipun nyaliku sudah menyusut. “Kalo gitu, kasih aku alasan yang jelas!” Tanpa sengaja aku berteriak histeris, air mata sudah menumpuk di pelupuk mata. Dada Kevin bergetar ketika laki-laki itu menarik napas dan mengembuskannya pelan-pelan melalui mulut. Dia memejamkan mata sedetik sebelum mata kami saling bertemu. “Karena takdir sudah mempertemukan kita kembali, Reyna.” Aku menyeringai geli. “Helloo, hari gini masih percaya aja dengan takdir? Oke, mungkin memang kita dipertemukan karena takdir. Tapi, belum tentu kalo kita itu berjodoh, kan? Pikiran kamu terlalu ketuaan.” “Terserah kamu mau bilang apa, jika kamu terus berusaha untuk membuat perjodohan kita batal, maka usaha saya lebih keras lagi untuk membuat kita menikah. Percayalah dengan saya, Reyna.” Aku mengepalkan tangan dengan geram. Ketegangan yang mencekam di antara kami buyar ketika Rian muncul dan langsung memeluk kaki Kevin. “Om Epiiin!” “Hey, Rian. Ngapain ada di sini?” Kevin segera mengangkat tubuh Rian dan menggendongnya. “Om Epin janji mau bawa Ian jalan-jalan. Mana janjinya?” Wajah Rian merengut. Bocah kecil itu sengaja memantunkan bibirnya agar terkesan lucu dan imut. Aku langsung mengambil alih percakapan. “Rian sayang, ayo sana ke tempat ayah dan bunda aja. Jangan dekat-dekat dengan orang asing, nanti diculik.” “Om Epin baik kok Tante Ey. Tante ikut jalan-jalan sama kita?” Kepalaku menggeleng cepat seraya tersenyum hambar. “Maaf ya, Rian sayang, ada hal yang lebih penting lagi yang harus Tante kerjakan daripada jalan-jalan sama Om Epin kamu itu.” “Ayolah, Rey. Apa salahnya menuruti permintaan anak kecil?” gumam Kevin. “No way!” Aku langsung mengacungkan jari tengah di depan wajah Kevin, sebelum balik badan dan berlalu pergi. 🎗️🎗️🎗️🎗️🎗️Lampu berkerlap-kerlip memenuhi ruangan, dentuman musik terdengar kencang ketika aku memasuki tempat hiburan malam tersebut. Kulihat sosok Arman duduk di kursi depan meja bar sembari menenggak minumannya. Ya, dia memang baru saja mengajakku untuk bertemu di tempat ini. “Apa yang mau kamu bicarakan denganku?” Aku langsung to the point, setelah mendaratkan bokong di sebelahnya. “Aku mau cerai, Rey.” Suara laki-laki itu terdengar parau. Ia kembali menenggak minumannya hingga habis. Aku cukup terkejut mendengar ucapan Arman. Tapi aku tidak merasa kasihan sedikit pun padanya. Lagi pula, itu bukan urusanku. “Jadi … ini hal penting yang mau kamu bilang sama aku? Sorry, Arman, tapi hubungan rumah tangga kamu sama sekali bukan urusanku!” Laki-laki itu tertawa, meracau tidak jelas pada sang bartender untuk menambah minumannya lagi. “Bagaimana pernikahan kamu dengan laki-laki pilihan orang tua kamu itu?” “Sangat baik,” jawabku ketus. Pura-pura terlihat bahagia meski dalam hati sebenarnya
“Ananda Kevin Narendra Halim bin Faizal Halim, aku nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandungku, Reyna Prameswari Wijaya binti Deni Wijaya dengan mas kawinnya berupa seperangkat alat shalat dan uang berjumlah sembilan belas juta rupiah dibayar tunai.” Sambil menjabat tangan Kevin, Papa bersuara lantang. “Saya terima nikah dan kawinnya Reyna Prameswari binti Deni Wijaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Bagaimana, sah?” Penghulu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. “Sah.” “Alhamdulillaah ….” Di saat semua pengantin menitikkan air mata karena terharu bahagia, aku justru menangis karena sebentar lagi hidupku akan sangat menyedihkan setelah menikah dengan Kevin. Setelah menyematkan cincin di jari manisku, Kevin mencium keningku cukup lama. Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Seperti yang sudah ditentukan oleh pihak keluarga kami dan menuruti wasiat orang tua Kevin, pernikahan ini berlangsung saat umurku sudah menginjak 25 tahun—tepat pada tanggal 19 Desember.
"Kevin mana, Rey?" Mama menghampiriku dan duduk di sofa, tepat di sebelahku. Aku meluruskan kaki di atas meja, merasakan pegal-pegal. "Tidur di kamar," balasku sekenanya. "Baru juga sampe udah molor aja." "Kemarin dia nggak bisa tidur semalaman gara-gara aku kasih kopi. Mama terkesiap. "Ha? Yang bener?" "Hm." "Kasihan, pasti dia capek banget ya, Rey. Coba sana kamu ke kamar pijitin badan dia." "Ih, Reyna juga capek kali, Ma. Jelas-jelas Reyna yang nyetir mobilnya dari Bogor sampai Jakarta tadi." "Tapi tetap aja, secapek-capeknya istri, harus ada kasih perhatian lebih sama suami. Udah sana pijitin, kasian Kevin." Mama mendorong tubuhku. "Males ah, memangnya aku pembantunya, tukang pijit, si Mak Erot!" "Yee, kamu ini. Nggak ada ikhlas-ikhlasnya melayani suami." "Dari awal aku memang nggak mau nikah sama dia." Mama menyipitkan matanya tajam, tatapan tidak suka. "Jangan bahas itu lagi! Sekarang kamu sama dia sudah menikah! Percuma juga karena nasi udah menjadi bu
Apartemen Kevin minimalis. Ruang televisi dan dapurnya menjadi satu. Sofa bernuansa krem berada di tengah-tengah ruangan. Di dinding ada beberapa foto orangtuanya. Serta foto Wanda yang tengah tersenyum manis dan juga Nenek yang sedang tertawa. Namun yang membuatku cukup terkejut adalah, foto pernikahan kami juga terpampang di dinding. Di foto tersebut, Kevin tersenyum, memperlihatkan gurat wajah bahagia pengantin baru. Sedangkan aku, hanya tersenyum tipis. Bahkan sangat tipis, sampai aku pikir kalau itu bukan senyuman tapi wajah cemberut. Namun masih terlihat cute. Apartemen Kevin terdiri dari dua kamar tidur dan dua kamar mandi. Satu di dekat dapur, satu lagi di dalam kamar utama. Lagi-lagi kami harus tidur satu kamar. Ini konyol! Padahal aku bisa memakai kamar sebelah. Tapi kamar itu terkunci rapat. Kevin melarangku masuk ke dalam kamar misterius itu. Sempat terpikir olehku kalau kamar itu tempat penyimpanan mayat. Dan pekerjaan Kevin sebagai buronan tiba-tiba terlintas di kepal
Ayla: Aku sudah pulang kampus. Mas-Mas Tua Jelek: Aku sudah di parkiran kampus. "Hah? Gila!" Aku segera bergegas menuju pelataran kampus dan menemukan mobil Fortuner miliknya. Saat baru akan merebahkan tubuh di kursi depan, dia berhasil membuatku tercengang dengan penampilannya. Astaga, Tuhan. Kevin terlihat tampan. Laki-laki itu memakai kaos Polo. Setiap kali Kevin memakai kaos seperti itu, dia jauh terlihat lebih muda dan ganteng. Oke, aku akui dia memang ganteng. Berhubung lengan kaosnya pendek, otot bisepnya jadi terpampang jelas. Dan kali ini, ada kaca mata Oakley yang membingkai wajahnya. Apa dia sengaja menggoda imanku dengan gaya berpakaian seperti itu? "Kamu sudah makan siang?" Dia melemparkan tatapan ke arahku dengan tiba-tiba hingga aku tersentak dan mengerjapkan mata. Segera kutepis pikiran aneh yang mengagumi penampilan si tua ini. Aku hanya menggeleng. Kembali menatap ke depan. Lurus. "Kamu mau makan di mana, Sayang?" tanya Kevin lagi. "Makan di rumah Mama aja
Aku mengerti, mengapa tiga hari yang lalu Kevin memintaku untuk menjemput mobil di rumah Mama. Ternyata, agar aku bisa bepergian sendiri tanpa perlu diantar oleh Kevin saat dia menghilang. Kini sudah hampir lima hari Kevin pergi. Aku tidak tahu dia berada di mana, sedang apa, dan bersama siapa. Yang kutahu, dia pergi ketika aku masih tertidur pulas. Kevin hanya meninggalkan secarik kertas yang memberitahuku kalau dia sedang pergi bekerja.Malam ini, apartemen terlihat sangat sepi, hanya ada aku sendiri. Aku mengambil ponselku dan menghubungi Mama."Ma ...." Nadaku terdengar sendu."Kalau nelepon itu, ucap salam dulu, Reyna!" Mama menegurku, mengajariku seperti anak kecil."Lupa," jawabku singkat. "Aku kesepian tinggal sendirian di sini, Ma.""Emangnya Kevin ke mana? Kerja, ya?" tanya Mama."Tahu ah, minggat kali. Atau jangan-jangan Kevin diculik!" ujarku bercanda namun dengan nada yang serius."Hush, kamu ini kalau ngomong suka asal.""Siapa yang asal sih, Ma. Itu doa Reyna yang tersi
"Rey, nggak apa-apa nih kalau Lo traktir kita sebanyak ini?" Riska menunjuk dua kantong belanjaannya yang berisi beberapa pakaian. "Iya nih, Rey. Apalagi sepatu gue mahal banget!" Ivan menatap nanar ke kotak sepatu berisi high heels yang aku belikan khusus untuknya. "Santai aja lagi." Aku mengibaskan tangan. "Hitung-hitung buat ngerayain hari keberhasilan gue, kan?" balasku acuh tak acuh. Aku memang tidak punya uang sebanyak itu untuk membelikan mereka barang-barang seperti pakaian, tas, atau mungkin sepatu. Tapi, aku punya kartu ATM pemberian Kevin yang belum pernah aku gunakan sekali pun. Aku pikir, hari ini adalah waktu yang tepat untuk menghambur-hamburkan uang Kevin. Toh, dia pernah bilang kalau uang suami adalah uang istri. Dan uang ini sudah menjadi hakku. Jadi, aku bebas, dong .... "Nanti lo dimarahin lagi sama bokap, karena uang bulanan lo habis buat traktir kita. Lo kan belum kerja, Rey." Riska masih memasang wajah penuh penyesalan. Aku berhenti melangkah. Mengubah posi
Dalam diam, aku duduk memeluk diri sendiri. Dan merasakan seperti ada yang melempar tubuhku dengan sebongkah batu es. Sakit, perih, dingin.Hampir saja para warga menghakimiku, membawaku ke kantor polisi, dan menghajar wajahku hingga babak belur. Untungnya Kevin segera datang dan langsung melindungiku. Di balik punggung tegapnya itu, dia meminta para warga untuk tetap tenang dan menyadarkan bahwa aku ini wanita. Jangan main hakim sendiri."Mau minum, Sayang?"Lihat, di saat seperti ini Kevin masih bisa menyebutku dengan panggilan 'Sayang'?Aku menggeleng. Kepalaku menunduk, tanganku masih memeluk diri sendiri, sampai Kevin sadar bahwa tubuhku sudah menggigil. Campuran antara ketakutan dan kedinginan. Dia segera menyampirkan jaket ke tubuhku, memeluk tubuhku erat, dan menarik kepalaku perlahan ke atas bahunya. Dia tahu kalau aku sangat membutuhkan sandaran untuk tempatku menangis. Dan akhirnya isakan tangis pun tak dapat kutahankan lagi.Ia berusaha menenangkanku. Lagi dan lagi. "Kita
Aisha dan Widyo langsung merangkul Widuri, dan membawanya ke UKS. "Gue nggak peduli kalau artikel-artikel menyatakan, marah itu bisa bikin kita cepat tua. Sumpah, gue nggak peduli bakalan cepat tua dari umur gue yang seharusnya kalau sikap mereka kayak gini terus. Kita sebagai murid-murid berhak dapat perlindungan dari para pembully di sekolah!" Aisha terus meracau tidak jelas saat mereka sudah berada di UKS. Sementara, Widuri meringis kesakitan saat Widyo mengobati lututnya perlahan dengan obat merah. "Ini pertama kalinya sejak Aisha masuk sekolah, dia kembali melawan teman-temannya. Biasanya dia cuma diam aja kalau dibully sama mereka." Widyo berbicara kepada Widuri. "Lo harus bersyukur punya temen kayak Aisha yang rela mencelakai dirinya sendiri demi melindungi orang lain." Widuri hanya diam. "Wid ...." Aisha menepuk pundak Widuri. "Kalau ada yang nyakitin Lo dan bikin lo menderita lagi, Lo tinggal lapor sama gue. Kita nggak boleh kelihatan lemah di hadapan mereka. Karena
Widyo membawa Aisha menuju belakang sekolah. Duduk di sebuah kursi kayu panjang yang berada di bawah rimbunan pohon. Tak ada orang lain di sini kecuali hanya mereka berdua. "Kenapa kakak bawa gue pergi? Kalau Kakak nggak nahan gue, mungkin gue udah bisa nonjok muka cowok sialan itu habis-habisan." Aisha terus meracau sembari menangis sesenggukan. Widyo hanya tertawa tanpa berkomentar hingga menunggu beberapa menit sampai Aisha merasa tenang kembali. "Udah puas nangisnya? Hapus air mata lo. Sama sekali nggak berguna dan hanya bikin lo keliatan jadi lemah." Widyo mengulurkan sapu tangannya. Aisha menerima saputangan itu. Langsung menyemburkan ingusnya kuat-kuat. Widyo tidak merasa jijik. Justru terkekeh geli. "Kakak ngetawain gue?" Aisha menoleh ke arah Widyo. Kesal. Widyo hanya menggeleng. "Terus kenapa Kakak ketawa?" Widyo kembali menggeleng. Melipat mulutnya rapat-rapat. "Ternyata selain bisa ngomong, Kakak juga bisa ketawa. Hebat." Widyo mengerutkan alisnya bingung. "
"Sebenarnya aku takut ke sekolah." Begitu penuturan Aisha saat mereka sedang sarapan pagi bersama. Tanpa kehadiran Kevin dan Ari karena keduanya --- lagi-lagi --- pergi melakukan rute penerbangan. Hanya ada Reyna dan Aydan di ruang makan sembari menatap Aisha dengan mata melotot lebar. "Kenapa kamu takut sekolah, Sayang?" Reyna berhenti menyentuh makanannya. "Aku takut kalau tahu tentang kejadian ini dan mereka bakalan meledek aku habis-habisan," desis Aisha lagi dengan suara parau. Pelan-pelan menggigit roti selainya meski tanpa selera. "Mbak, mau denger cerita lucu nggak. Kemarin di sekolahku ada cewek tomboy, terus dia ngelempar sebelah sepatunya ke arah Ay supaya dapat perhatian Ay. Tapi Ay diemin aja dan sengaja nendang sepatunya ke arah tong sampah. Terus dia marah-marah sambil teriak 'awas lu ye. Besok gue lempar sekalian pake kaos kaki biar lo kesemsem. Gua sumpahin lu suka sama gua, terus gua tolak lu mentah-mentah'." Jeda lima detik. "Alasan Ay semangat sekolah hari i
Ada cinta yang berakhir dengan kesedihan. Ada cinta yang rela untuk dilepaskan dan ada cinta yang patut untuk dipertahankan. Tantri harus menerima kenyataan kalau dia harus rela melepaskan Aisha, karena gadis itu bukan ditakdirkan bersamanya. Begitu pula dengan Aisha yang akhirnya paham meskipun telat menyadari; kalau tak ada pelukan yang paling hangat selain keluarga. Dan tak ada tempat yang paling nyaman selain rumah sendiri. Karena keluarga akan tetap menjadi rumah terbaik bagi setiap insan. "Dengarkan Ayah baik-baik, anakku. Sampai kapan pun, meski di dunia ini lahir beribu anak, tetap Aisha kesayangan Ayah sama Bunda, tetap Aisha yang Ayah mau di bumi, dan tetap Aisha yang akan kami jaga hingga dewasa nanti. Semua tetap sama, nggak ada yang berubah. Kalau ada yang bilang Aisha anak haram, nggak jelas asal-usulnya, atau anak pungut. Mereka salah besar, karena Ayah dan Bunda Aisha itu cuma satu, yaitu kami. Aisha punya Bunda yang hebat dan pinter masak, Aisha juga punya Ayah seor
Kevin langsung memasuki kamarnya. Ia melihat Reyna tidur di sudut kasur sambil menghadap ke dinding, Kevin langsung naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Reyna dari belakang. "Are you okay, Bun?" Buru-buru Reyna menghapus air matanya. Dia berbalik untuk berhadapan dengan Kevin. "Kamu sudah pulang, Mas?" "Jangan suka mengalihkan pembicaraan. Nih lihat, aku bisa ngerasain bekas air mata kamu." Kevin mengusap wajah Reyna. "Kenapa, Bun? Coba cerita sama aku selagi aku di sini. Ntar kalau aku udah terbang jauh, kamu malah suka rindu." Reyna mencubit perut Kevin dengan gemas. "Ge-er kamu!" Kevin tertawa. "Kamu tahu apa yang Aydan biang waktu denger kamu nangis?" Reyna diam. "Aydan sedih karena dia gagal bikin kamu bahagia. Ketika kamu menangisi satu anak yang sama sekali nggak mikirin kamu, tanpa kamu sadari ada anak lain yang sedang menangis karena kamu." Lalu yang terjadi, Reyna justru kembali terisak. "Aku kangen Aisha, Mas. Aku kangen dia. Kenapa dia nggak pernah angkat telepon
Tantri benar-benar malu harus dipanggil ke sekolah akibat kenakalan bukan karena prestasi Aisha. "Kamu itu udah gede, Aisha. Memangnya nggak malu berantem kayak sinetron di sekolah?" ujarnya saat mereka berada di parkiran sekolah Aisha. "Bukan aku yang mulai duluan, tapi cewek sok kecakepan itu." Aisha menjawab dengan kesal. "Kenapa lo belain gue?" tanya sebuah suara dari belakang mereka. Aisha dan Tantri berbalik, lalu mendapati Widuri berdiri dengan mata sembab. "Gue bukan belain lo. Gue cuma nggak suka ada yang ikut campur sama masalah orang lain. Merasa dirinya itu udah paling benar aja," balas Aisha ketus. "Gue pikir lo bakal balas dendam sama gue, untuk apa yang udah gue lakuin ke lo," ujar Widuri lagi sambil kedua tangannya mengepal. Malu rasanya dibela oleh orang yang sudah dia buat rumit hidupnya. Jika saja, Widuri tidak memberitahu teman-teman bahwa Aisha adalah anak pungut, mungkin gadis itu masih tinggal bersama keluarganya. Kau tahu, rasa iri memang sangat berbahaya
Sesampainya di rumah, Reyna langsung duduk di sofa. Hati, perasaan, dan pikirannya sudah teramat lelah. Mbok Imah masuk ke ruang tengah sambil membawa nampan berisi dia gelas air putih. "Sepertinya Ibu capek banget, ya. Mau tak pijitin ndak? Kebetulan kemarin saya habis bawa minyak urut paling yahud dari kampung." Mbok Imah langsung mengambil posisi di hadapan Reyna. Membungkuk sampai berhadapan dengan sepasang kaki Reyna. "Minyak urut ini terkenal mahal lho, Bu. Saya belinya sama Mbah Erot. Konon katanya si Mbah Erot punya kekuatan magic yang super duper ampuh!" "Jangan mau dipijitin pake minyak urutnya Mbok Imah, Bunda." Aydan ikut nimbrung duduk di sofa sebelah Reyna. "Kalau Mbok percaya sama hal-hal magis, itu namanya syirik. Pasti di dalam botol minyak urutnya Mbok Imah banyak setan dan jin yang lagi berenang." ", moso sih, Den? Emang mereka bisa berenang?" Wajah Mbok Imah teramat polos ketika memperhatikan botol minyak urut tersebut. Aydan mengangguk, semakin mengelabui Mbok
"Maafin Reyna, ya. Dia bersikap seperti itu karena dia terlalu menyayangi Aisha." Kevin mengambil posisi duduk di sebelah Tantri. "Aku mengerti, Vin. Aku juga ingin melakukan yang terbaik untuk Aisha." Suara Tantri bergetar. "Aku sayang sama Aisha, sudah menganggapnya seperti anakku sendiri." "Kamu tahu, Tan ...." Kevin mulai memberinya nasihat, "butuh waktu bertahun-tahun bagi Reyna untuk bikin Aisha nyaman dengannya. Tapi, sampai saat ini pun, Reyna masih saja merasa gagal. Padahal menurutku, semua ini hanya masalah waktu. Aisha masih belum beranjak dewasa. Maka dari itu mengapa kesabaran orang tua itu begitu penting." "Mungkin, aku memang nggak lantas menjadi seorang ibu, Vin." Tantri mengelap matanya yang terus basah. Ada rasa sakit yang tiba-tiba mengimpit dadanya mengingat kenyataan itu. Sejujurnya Kevin tidak tega melihat hal ini. Ia berusaha menenangkan Tantri, mengangkat tangan kanannya untuk mengusap punggung Tantri. "Nggak ada perempuan yang nggak lantas menjadi seoran
Di kelas lain, gosip tentang Aisha ikut jadi pembicaraan dan beredar luas. Bahkan gosipnya sampai heboh ke kelas 12. Lebih tepatnya, dibicarakan oleh rombongan cowok yang mengidolakan Aisha. "Jadi benar, kalau Aisha anak kelas 10 itu anak adopsi, ya?" tanya Arjun pada Bima --- yang selama ini dikenal sebagai fans berat Aisha. "Menurut kabar yang beredar sih, begitu. Katanya Aisha itu cuma anak pungut, bukan anak kandung ayahnya yang pilot itu. Intinya, gue nggak perlu punya Alphard dulu kalau suka sama dia, hahaha." Bima tertawa pelan. "Serius lo?" Ardian meninggalkan buku yang sedang dia baca, lalu menatap temannya lekat-lekat. "Jangan pada gosipin oranglah, dosa. Lagian, mau dia anak adopsi atau bukan, dia tetap cewek manis yang pintar kan, Bim." sambung Yudi lagi, yang langsung dibalas anggukan oleh Bima. Pada saat semua teman-temannya sibuk menceritakan Aisha, di tempat yang sama, Widyo justru melakukan hal yang berbeda. Dia hanya diam. Meskipun memakai earphone, dia masih bi