"Rey, nggak apa-apa nih kalau Lo traktir kita sebanyak ini?" Riska menunjuk dua kantong belanjaannya yang berisi beberapa pakaian. "Iya nih, Rey. Apalagi sepatu gue mahal banget!" Ivan menatap nanar ke kotak sepatu berisi high heels yang aku belikan khusus untuknya. "Santai aja lagi." Aku mengibaskan tangan. "Hitung-hitung buat ngerayain hari keberhasilan gue, kan?" balasku acuh tak acuh. Aku memang tidak punya uang sebanyak itu untuk membelikan mereka barang-barang seperti pakaian, tas, atau mungkin sepatu. Tapi, aku punya kartu ATM pemberian Kevin yang belum pernah aku gunakan sekali pun. Aku pikir, hari ini adalah waktu yang tepat untuk menghambur-hamburkan uang Kevin. Toh, dia pernah bilang kalau uang suami adalah uang istri. Dan uang ini sudah menjadi hakku. Jadi, aku bebas, dong .... "Nanti lo dimarahin lagi sama bokap, karena uang bulanan lo habis buat traktir kita. Lo kan belum kerja, Rey." Riska masih memasang wajah penuh penyesalan. Aku berhenti melangkah. Mengubah posi
Dalam diam, aku duduk memeluk diri sendiri. Dan merasakan seperti ada yang melempar tubuhku dengan sebongkah batu es. Sakit, perih, dingin.Hampir saja para warga menghakimiku, membawaku ke kantor polisi, dan menghajar wajahku hingga babak belur. Untungnya Kevin segera datang dan langsung melindungiku. Di balik punggung tegapnya itu, dia meminta para warga untuk tetap tenang dan menyadarkan bahwa aku ini wanita. Jangan main hakim sendiri."Mau minum, Sayang?"Lihat, di saat seperti ini Kevin masih bisa menyebutku dengan panggilan 'Sayang'?Aku menggeleng. Kepalaku menunduk, tanganku masih memeluk diri sendiri, sampai Kevin sadar bahwa tubuhku sudah menggigil. Campuran antara ketakutan dan kedinginan. Dia segera menyampirkan jaket ke tubuhku, memeluk tubuhku erat, dan menarik kepalaku perlahan ke atas bahunya. Dia tahu kalau aku sangat membutuhkan sandaran untuk tempatku menangis. Dan akhirnya isakan tangis pun tak dapat kutahankan lagi.Ia berusaha menenangkanku. Lagi dan lagi. "Kita
Hari ini aku sengaja membawa Rian datang menjenguk Ari. Berhubung mereka seumuran, Ari pasti membutuhkan seorang teman. Berbaring tanpa melakukan aktivitas akan membuat anak kecil seumuran Ari bosan. "Aku ndak mau makan, Ibu! Aku mau pulang!" Teriakan Ari terdengar nyaring saat aku dan keponakanku baru saja melangkah memasuki ruangannya. "Tante Rey!" teriak Ari girang ketika melihat kehadiranku. Sedangkan ibunya Ari langsung meletakkan piring bubur di atas nakas dan berlalu pergi keluar dari ruangan. Sekilas, bahu kami sempat bersinggungan. Aku yakin kalau ibunya Ari masih menyimpan perasaan benci dan dendam terhadapku. "Halo, Ari, Tante Rey bawa buah-buahan sama mainan buat kamu." Aku memberikan kantong belanjaanku kepada Ari. Dengan senang hati dia menerimanya. "Itu siapa, Tante Rey?" Ia mengedikkan dagu ke arah Rian yang sudah berdiri di atas kursi. "Aku Rian, ponakannya Tante Rey. Teman baru kamu juga." Rian memperlihatkan deretan gigi putih dan rapinya. "Oh, ya udah, kalau
Reyna:Lagi di mana? Kok pergi nggak bilang-bilang!Reyna: Hari ini aku sidang skripsi. Doain ya ....Reyna: Kamu masih hidup nggak, sih?Reyna:Dasar jelek!!! I hate you!!!Hampir saja aku mendaratkan ponselku ke dinding dan mengakhirinya menjadi rangkaian elektronik yang tidak berarti. Kesal, marah, dan jengkel, bercampur menjadi satu. Sudah dua hari Kevin pergi, dan selama itu pula dia tidak memberikan kabar. Serentetan pesanku tidak dibalas, teleponku juga tidak diangkat. Apa dia tidak mengkhawatirkanku?Aku menghela napas gusar. Lagi dan lagi. Tatapanku terpaku pada birunya langit. Sinar matahari di siang hari ini tidak terlalu kentara akibat cuaca mendung."Ciee, yang lagi kangen Mas Kevin." Wanda menghampiriku di balkon. Ia berdiri tepat di sebelahku. Salah mengartikan gestur tubuhku."Apaan sih, siapa juga yang kangen," kilahku.Tapi, Wanda menatapku seolah tidak percaya dan menuduhku sebagai manusia munafik. "Biasa, Mbak, kalau Mas Kevin itu nggak ngasih kabar. Buat megang
"Wan, ada yang ingin aku tanyakan sama kamu." Wanda mengunyah serealnya sambil menatap mataku. Pagi ini kami sedang duduk sambil sarapan bersama. "Apaan, Mbak?" Ia mengunyah satu suap sereal lagi. "Itu ruangan apaan, sih? Dari pertama kali aku menginjakkan kaki di apartemen ini, ruangan itu selalu terkunci. Apa bener itu tempat penyimpanan mayat?" Jariku menunjuk ke sebuah kamar tamu. Kamar yang berada tepat di sebelah kamar utama. Kamar yang selalu terkunci rapat dan tidak pernah terbuka sedikit pun. Sampai-sampai Wanda tidur berdua denganku selama tinggal di apartemen ini. Mendengar ucapan asalku, Wanda langsung tersedak dan terbatuk-batuk. Lantas ia mengambil gelas susu di sampingnya dan meneguknya hingga isinya tandas. "Kok Mbak Reyna bisa berpikiran sampai ke situ, sih? Serem banget." Wanda menyeka mulutnya dengan punggung tangan. Aku hanya mengangkat bahu tak acuh. "Siapa tahu, kan? Habisnya ruangan itu misterius banget." Wanda tersenyum jenaka. Menyingkirkan mangkuk ser
“Vin, kamu yakin ingin menuruti wasiat ayahmu? Bukannya Om menolak, tapi sebagai ayahnya Reyna sendiri, Om saja ragu ingin menikahkan Reyna dengan laki-laki hebat seperti kamu. Apalagi saat melihat kesan tidak enak di pertemuan pertama kalian. Om benar-benar malu, Vin.”Aku tersenyum jenaka. Mengingat ketika pertama kali Reyna memuntahkan seluruh isi perutnya di pakaianku. Dan Om Deni langsung menghubungiku untuk minta maaf. Bayangkan, ayah wanita itu saja ragu ingin menikahkan aku dengan anaknya.“Saya yakin dengan pilihan saya, Om.” Suaraku penuh tekad.“Tapi, Vin. Reyna yang sekarang itu sangat jauh berbeda lho dengan Reyna yang pernah kamu temui di umur lima belas tahun.”Kali ini aku menghela napas sedikit berat. Reyna waktu umur lima belas tahun? Aku tertawa di dalam hari. Semakin bertambahnya usia, justru sifat Reyna yang dulu dengan yang sekarang sangat bertolak belakang. Reyna adalah wanita pertama yang berhasil menguras energi dan emosiku. Menghadapi sifat pemberontak dan te
Saat aku terbangun pagi ini, aku melihat Kevin sudah kembali pulang. Ia terlelap di atas sofa kamar, masih mengenakan seragam yang begitu familier. "Kevin, bangun kamu!" Aku mengguncang tubuhnya kuat-kuat. Kemarahan mulai mencuat hingga ke ubun-ubunku. Enak sekali hidup Kevin ini. Setelah puas berselingkuh di luar, baru ingat dengan rumah! "Hm, tumben istri bangunin suaminya." Suara Kevin terdengar parau. Kelopak matanya mulai terbuka setengah. "Bangun! Ada yang mau aku bicarakan sama kamu. Urusan kita belum selesai!" Nadaku tidak pernah lepas dari aksen galak. Hatiku sudah melepuh seolah ingin menyemburkan lahar. "Urusan apa lagi, sayang?" Dengan berat hati, Kevin pun bangun. Ia berusaha bangkit dan duduk di atas sofa. Mengucek-ngucek matanya sembari menguap. Rambutnya terlihat acak-acakan. Wajahnya tampak kusut. "Sekarang aku mau tanya sama kamu, habis dari mana aja kamu? Ngapain kamu ada di Pontianak? Sama siapa kamu di sana? Dan apa yang kamu lakukan?" tanyaku beruntun. "Ki
Kevin berjalan menuju dapur. Laki-laki itu mulai membuka tudung saji, lemari, dan kulkas. Wajahnya terlihat cemberut saat tidak menemukan makanan apa pun. Dengan sempoyongan, Kevin berjalan ke ruang tamu dan menghempaskan tubuhnya di sofa---tepat di sebelahku. Kevin menoleh ke samping, ke arahku sambil menepuk perutnya pelan. "Laper, Yang ...." Kontan, aku pun membalas tatapan Kevin dengan mendelik. "Kamu kan baru makan satu jam yang lalu, Kevin. Masa lapar lagi, sih?" "Laper itu kan bisa datang kapan aja. Ke mana semua mi instanku? Kok kardusnya kosong?" tuduhnya, menatapku dengan menyelidik. Aku mengangkat bahu acuh tak acuh. " Mana aku tahu, yang suka makan mi instan cuma kamu doang. Siapa lagi yang ngabisin kalau bukan kamu!" "Tuyul, kali?" "Bukan tuyul, tapi genderuwo. Dan genderuwonya itu kamu!" Kevin terbahak mendengar ucapan jengkelku. Langsung dijawilnya hidungku dengan gemas. "Gitu aja kesal, marah, dongkol, jengkel." Aku tidak menggubris ucapannya. Tatapanku memanda
Aisha dan Widyo langsung merangkul Widuri, dan membawanya ke UKS. "Gue nggak peduli kalau artikel-artikel menyatakan, marah itu bisa bikin kita cepat tua. Sumpah, gue nggak peduli bakalan cepat tua dari umur gue yang seharusnya kalau sikap mereka kayak gini terus. Kita sebagai murid-murid berhak dapat perlindungan dari para pembully di sekolah!" Aisha terus meracau tidak jelas saat mereka sudah berada di UKS. Sementara, Widuri meringis kesakitan saat Widyo mengobati lututnya perlahan dengan obat merah. "Ini pertama kalinya sejak Aisha masuk sekolah, dia kembali melawan teman-temannya. Biasanya dia cuma diam aja kalau dibully sama mereka." Widyo berbicara kepada Widuri. "Lo harus bersyukur punya temen kayak Aisha yang rela mencelakai dirinya sendiri demi melindungi orang lain." Widuri hanya diam. "Wid ...." Aisha menepuk pundak Widuri. "Kalau ada yang nyakitin Lo dan bikin lo menderita lagi, Lo tinggal lapor sama gue. Kita nggak boleh kelihatan lemah di hadapan mereka. Karena
Widyo membawa Aisha menuju belakang sekolah. Duduk di sebuah kursi kayu panjang yang berada di bawah rimbunan pohon. Tak ada orang lain di sini kecuali hanya mereka berdua. "Kenapa kakak bawa gue pergi? Kalau Kakak nggak nahan gue, mungkin gue udah bisa nonjok muka cowok sialan itu habis-habisan." Aisha terus meracau sembari menangis sesenggukan. Widyo hanya tertawa tanpa berkomentar hingga menunggu beberapa menit sampai Aisha merasa tenang kembali. "Udah puas nangisnya? Hapus air mata lo. Sama sekali nggak berguna dan hanya bikin lo keliatan jadi lemah." Widyo mengulurkan sapu tangannya. Aisha menerima saputangan itu. Langsung menyemburkan ingusnya kuat-kuat. Widyo tidak merasa jijik. Justru terkekeh geli. "Kakak ngetawain gue?" Aisha menoleh ke arah Widyo. Kesal. Widyo hanya menggeleng. "Terus kenapa Kakak ketawa?" Widyo kembali menggeleng. Melipat mulutnya rapat-rapat. "Ternyata selain bisa ngomong, Kakak juga bisa ketawa. Hebat." Widyo mengerutkan alisnya bingung. "
"Sebenarnya aku takut ke sekolah." Begitu penuturan Aisha saat mereka sedang sarapan pagi bersama. Tanpa kehadiran Kevin dan Ari karena keduanya --- lagi-lagi --- pergi melakukan rute penerbangan. Hanya ada Reyna dan Aydan di ruang makan sembari menatap Aisha dengan mata melotot lebar. "Kenapa kamu takut sekolah, Sayang?" Reyna berhenti menyentuh makanannya. "Aku takut kalau tahu tentang kejadian ini dan mereka bakalan meledek aku habis-habisan," desis Aisha lagi dengan suara parau. Pelan-pelan menggigit roti selainya meski tanpa selera. "Mbak, mau denger cerita lucu nggak. Kemarin di sekolahku ada cewek tomboy, terus dia ngelempar sebelah sepatunya ke arah Ay supaya dapat perhatian Ay. Tapi Ay diemin aja dan sengaja nendang sepatunya ke arah tong sampah. Terus dia marah-marah sambil teriak 'awas lu ye. Besok gue lempar sekalian pake kaos kaki biar lo kesemsem. Gua sumpahin lu suka sama gua, terus gua tolak lu mentah-mentah'." Jeda lima detik. "Alasan Ay semangat sekolah hari i
Ada cinta yang berakhir dengan kesedihan. Ada cinta yang rela untuk dilepaskan dan ada cinta yang patut untuk dipertahankan. Tantri harus menerima kenyataan kalau dia harus rela melepaskan Aisha, karena gadis itu bukan ditakdirkan bersamanya. Begitu pula dengan Aisha yang akhirnya paham meskipun telat menyadari; kalau tak ada pelukan yang paling hangat selain keluarga. Dan tak ada tempat yang paling nyaman selain rumah sendiri. Karena keluarga akan tetap menjadi rumah terbaik bagi setiap insan. "Dengarkan Ayah baik-baik, anakku. Sampai kapan pun, meski di dunia ini lahir beribu anak, tetap Aisha kesayangan Ayah sama Bunda, tetap Aisha yang Ayah mau di bumi, dan tetap Aisha yang akan kami jaga hingga dewasa nanti. Semua tetap sama, nggak ada yang berubah. Kalau ada yang bilang Aisha anak haram, nggak jelas asal-usulnya, atau anak pungut. Mereka salah besar, karena Ayah dan Bunda Aisha itu cuma satu, yaitu kami. Aisha punya Bunda yang hebat dan pinter masak, Aisha juga punya Ayah seor
Kevin langsung memasuki kamarnya. Ia melihat Reyna tidur di sudut kasur sambil menghadap ke dinding, Kevin langsung naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Reyna dari belakang. "Are you okay, Bun?" Buru-buru Reyna menghapus air matanya. Dia berbalik untuk berhadapan dengan Kevin. "Kamu sudah pulang, Mas?" "Jangan suka mengalihkan pembicaraan. Nih lihat, aku bisa ngerasain bekas air mata kamu." Kevin mengusap wajah Reyna. "Kenapa, Bun? Coba cerita sama aku selagi aku di sini. Ntar kalau aku udah terbang jauh, kamu malah suka rindu." Reyna mencubit perut Kevin dengan gemas. "Ge-er kamu!" Kevin tertawa. "Kamu tahu apa yang Aydan biang waktu denger kamu nangis?" Reyna diam. "Aydan sedih karena dia gagal bikin kamu bahagia. Ketika kamu menangisi satu anak yang sama sekali nggak mikirin kamu, tanpa kamu sadari ada anak lain yang sedang menangis karena kamu." Lalu yang terjadi, Reyna justru kembali terisak. "Aku kangen Aisha, Mas. Aku kangen dia. Kenapa dia nggak pernah angkat telepon
Tantri benar-benar malu harus dipanggil ke sekolah akibat kenakalan bukan karena prestasi Aisha. "Kamu itu udah gede, Aisha. Memangnya nggak malu berantem kayak sinetron di sekolah?" ujarnya saat mereka berada di parkiran sekolah Aisha. "Bukan aku yang mulai duluan, tapi cewek sok kecakepan itu." Aisha menjawab dengan kesal. "Kenapa lo belain gue?" tanya sebuah suara dari belakang mereka. Aisha dan Tantri berbalik, lalu mendapati Widuri berdiri dengan mata sembab. "Gue bukan belain lo. Gue cuma nggak suka ada yang ikut campur sama masalah orang lain. Merasa dirinya itu udah paling benar aja," balas Aisha ketus. "Gue pikir lo bakal balas dendam sama gue, untuk apa yang udah gue lakuin ke lo," ujar Widuri lagi sambil kedua tangannya mengepal. Malu rasanya dibela oleh orang yang sudah dia buat rumit hidupnya. Jika saja, Widuri tidak memberitahu teman-teman bahwa Aisha adalah anak pungut, mungkin gadis itu masih tinggal bersama keluarganya. Kau tahu, rasa iri memang sangat berbahaya
Sesampainya di rumah, Reyna langsung duduk di sofa. Hati, perasaan, dan pikirannya sudah teramat lelah. Mbok Imah masuk ke ruang tengah sambil membawa nampan berisi dia gelas air putih. "Sepertinya Ibu capek banget, ya. Mau tak pijitin ndak? Kebetulan kemarin saya habis bawa minyak urut paling yahud dari kampung." Mbok Imah langsung mengambil posisi di hadapan Reyna. Membungkuk sampai berhadapan dengan sepasang kaki Reyna. "Minyak urut ini terkenal mahal lho, Bu. Saya belinya sama Mbah Erot. Konon katanya si Mbah Erot punya kekuatan magic yang super duper ampuh!" "Jangan mau dipijitin pake minyak urutnya Mbok Imah, Bunda." Aydan ikut nimbrung duduk di sofa sebelah Reyna. "Kalau Mbok percaya sama hal-hal magis, itu namanya syirik. Pasti di dalam botol minyak urutnya Mbok Imah banyak setan dan jin yang lagi berenang." ", moso sih, Den? Emang mereka bisa berenang?" Wajah Mbok Imah teramat polos ketika memperhatikan botol minyak urut tersebut. Aydan mengangguk, semakin mengelabui Mbok
"Maafin Reyna, ya. Dia bersikap seperti itu karena dia terlalu menyayangi Aisha." Kevin mengambil posisi duduk di sebelah Tantri. "Aku mengerti, Vin. Aku juga ingin melakukan yang terbaik untuk Aisha." Suara Tantri bergetar. "Aku sayang sama Aisha, sudah menganggapnya seperti anakku sendiri." "Kamu tahu, Tan ...." Kevin mulai memberinya nasihat, "butuh waktu bertahun-tahun bagi Reyna untuk bikin Aisha nyaman dengannya. Tapi, sampai saat ini pun, Reyna masih saja merasa gagal. Padahal menurutku, semua ini hanya masalah waktu. Aisha masih belum beranjak dewasa. Maka dari itu mengapa kesabaran orang tua itu begitu penting." "Mungkin, aku memang nggak lantas menjadi seorang ibu, Vin." Tantri mengelap matanya yang terus basah. Ada rasa sakit yang tiba-tiba mengimpit dadanya mengingat kenyataan itu. Sejujurnya Kevin tidak tega melihat hal ini. Ia berusaha menenangkan Tantri, mengangkat tangan kanannya untuk mengusap punggung Tantri. "Nggak ada perempuan yang nggak lantas menjadi seoran
Di kelas lain, gosip tentang Aisha ikut jadi pembicaraan dan beredar luas. Bahkan gosipnya sampai heboh ke kelas 12. Lebih tepatnya, dibicarakan oleh rombongan cowok yang mengidolakan Aisha. "Jadi benar, kalau Aisha anak kelas 10 itu anak adopsi, ya?" tanya Arjun pada Bima --- yang selama ini dikenal sebagai fans berat Aisha. "Menurut kabar yang beredar sih, begitu. Katanya Aisha itu cuma anak pungut, bukan anak kandung ayahnya yang pilot itu. Intinya, gue nggak perlu punya Alphard dulu kalau suka sama dia, hahaha." Bima tertawa pelan. "Serius lo?" Ardian meninggalkan buku yang sedang dia baca, lalu menatap temannya lekat-lekat. "Jangan pada gosipin oranglah, dosa. Lagian, mau dia anak adopsi atau bukan, dia tetap cewek manis yang pintar kan, Bim." sambung Yudi lagi, yang langsung dibalas anggukan oleh Bima. Pada saat semua teman-temannya sibuk menceritakan Aisha, di tempat yang sama, Widyo justru melakukan hal yang berbeda. Dia hanya diam. Meskipun memakai earphone, dia masih bi