“Vin, kamu yakin ingin menuruti wasiat ayahmu? Bukannya Om menolak, tapi sebagai ayahnya Reyna sendiri, Om saja ragu ingin menikahkan Reyna dengan laki-laki hebat seperti kamu. Apalagi saat melihat kesan tidak enak di pertemuan pertama kalian. Om benar-benar malu, Vin.”Aku tersenyum jenaka. Mengingat ketika pertama kali Reyna memuntahkan seluruh isi perutnya di pakaianku. Dan Om Deni langsung menghubungiku untuk minta maaf. Bayangkan, ayah wanita itu saja ragu ingin menikahkan aku dengan anaknya.“Saya yakin dengan pilihan saya, Om.” Suaraku penuh tekad.“Tapi, Vin. Reyna yang sekarang itu sangat jauh berbeda lho dengan Reyna yang pernah kamu temui di umur lima belas tahun.”Kali ini aku menghela napas sedikit berat. Reyna waktu umur lima belas tahun? Aku tertawa di dalam hari. Semakin bertambahnya usia, justru sifat Reyna yang dulu dengan yang sekarang sangat bertolak belakang. Reyna adalah wanita pertama yang berhasil menguras energi dan emosiku. Menghadapi sifat pemberontak dan te
Saat aku terbangun pagi ini, aku melihat Kevin sudah kembali pulang. Ia terlelap di atas sofa kamar, masih mengenakan seragam yang begitu familier. "Kevin, bangun kamu!" Aku mengguncang tubuhnya kuat-kuat. Kemarahan mulai mencuat hingga ke ubun-ubunku. Enak sekali hidup Kevin ini. Setelah puas berselingkuh di luar, baru ingat dengan rumah! "Hm, tumben istri bangunin suaminya." Suara Kevin terdengar parau. Kelopak matanya mulai terbuka setengah. "Bangun! Ada yang mau aku bicarakan sama kamu. Urusan kita belum selesai!" Nadaku tidak pernah lepas dari aksen galak. Hatiku sudah melepuh seolah ingin menyemburkan lahar. "Urusan apa lagi, sayang?" Dengan berat hati, Kevin pun bangun. Ia berusaha bangkit dan duduk di atas sofa. Mengucek-ngucek matanya sembari menguap. Rambutnya terlihat acak-acakan. Wajahnya tampak kusut. "Sekarang aku mau tanya sama kamu, habis dari mana aja kamu? Ngapain kamu ada di Pontianak? Sama siapa kamu di sana? Dan apa yang kamu lakukan?" tanyaku beruntun. "Ki
Kevin berjalan menuju dapur. Laki-laki itu mulai membuka tudung saji, lemari, dan kulkas. Wajahnya terlihat cemberut saat tidak menemukan makanan apa pun. Dengan sempoyongan, Kevin berjalan ke ruang tamu dan menghempaskan tubuhnya di sofa---tepat di sebelahku. Kevin menoleh ke samping, ke arahku sambil menepuk perutnya pelan. "Laper, Yang ...." Kontan, aku pun membalas tatapan Kevin dengan mendelik. "Kamu kan baru makan satu jam yang lalu, Kevin. Masa lapar lagi, sih?" "Laper itu kan bisa datang kapan aja. Ke mana semua mi instanku? Kok kardusnya kosong?" tuduhnya, menatapku dengan menyelidik. Aku mengangkat bahu acuh tak acuh. " Mana aku tahu, yang suka makan mi instan cuma kamu doang. Siapa lagi yang ngabisin kalau bukan kamu!" "Tuyul, kali?" "Bukan tuyul, tapi genderuwo. Dan genderuwonya itu kamu!" Kevin terbahak mendengar ucapan jengkelku. Langsung dijawilnya hidungku dengan gemas. "Gitu aja kesal, marah, dongkol, jengkel." Aku tidak menggubris ucapannya. Tatapanku memanda
"Sayang, bukain pintunya, dong. Udahan ya, menyendirinya. Aku belum mandi nih, dari tadi. Mau shalat." Setiap satu jam sekali, pintu kamar terus diketuk berulang kali. Kevin tak hentinya membujukku. Sedangkan aku, meringkuk di atas ranjang sambil menangis sesenggukan. Katakanlah kalau aku ini terlalu cengeng dan kekanak-kanakan, tetapi pernyataan Kevin yang berujung manis atau pahit itu mampu mengaduk perasaanku. Marah, benci, kesal, atau malu harus bertatap muka dengannya. Sejak pertama kali kami bertemu, yang selalu terlintas di otakku adalah pekerjaan Kevin tidak baik. Namun kenyataannya justru sebaliknya, pekerjaan Kevin lebih dari kata baik. Jadi ini alasannya, mengapa dia lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah selama berhari-hari. Aku meraih ponselku di atas nakas. Kemudian menghubungi Riska. Setelah beberapa menit mendengar petuah Riska untuk segera berbaikan dengan Kevin, hatiku pun sedikit luluh. Aku melangkahkan kaki menuju pintu kamar. Memutar kunci dan membu
"Terbang lagi?" Wajahku tertekuk sambil mencengkeram selimut erat-erat. "Emang nggak bisa cari waktu libur, ya? Kan hari ini tanggal merah." Wajahku kembali mendongak, memperhatikan penampilan Kevin yang sudah siap dengan seragam pilot kebanggaannya. Lagi! Setelah kemarin ia pergi selama berhari-hari. Laki-laki itu melihatku dari cermin sambil menyunggingkan seulas senyum menyebalkan sepanjang masa. Ia berjalan menghampiriku. Berjongkok tepat di hadapanku---yang duduk di tepi ranjang. "Jadwal terbang pilot itu tidak mengenal tanggal merah di kalender, Sayang. Kamu harus bisa membiasakan diri dengan jadwal suamimu. Di maskapai tempatku bekerja, mereka hanya menetapkan minimal delapan hari libur dalam sebulan. Terkadang selama seminggu aku punya satu atau dua kali day off, bahkan ada yang sampai full dalam seminggu. Tergantung jadwalnya. Jadi kamu jangan terlalu berharap banyak kalau aku akan menghabiskan waktuku di rumah." Dulu setiap kali Kevin tidak berada di rumah atau ti
Seminggu berlalu. Aku semakin merasa nyaman di tempatku bekerja. Semua staf yang ada di perusahaan itu ramah dan baik-baik. Terutama di bagian departemen marketing dan IT---yang rata-rata karyawannya cowok. Setiap ada kesempatan, mereka selalu menggodaku. Mengeluarkan jurus rayuan gombal seperti yang dilakukan oleh Heri dan gerombolannya saat ini."Ayang Reyna, kalau perlu bantuan tinggal ngomong aja. Akang Heri siap kok bantu bidadari surga yang tiba-tiba mendarat di kantor kita." Gurauan Heri langsung mendapat toyoran dari teman-temannya."Jangan bacot lo, Her. Gimana mau bantuin Reyna kalau hitung duit berjuta-juta aja langsung gagu!" Sambar Dito asal sambil terbahak."Reyna, nanti pulang kantornya dijemput siapa? Biar Abang Zaki anterin ya, sekalian mau ketemu orangtuanya buat langsung ngajuin lamaran." Zaki menyambung gurauan saat ia tengah berdiri di sudut meja sambil mengerling dengan genit.Aku hanya tertawa melihat aksi mereka. Sedangkan Indah---yang baru saja hadir---langsun
Aku berjalan sempoyongan melewati lorong rumah sakit. Aku menggenggam erat tas ransel di tangan kananku yang berisikan seluruh pakaian Kevin. Mungkin dia membutuhkannya. Tapi kaki ini mendadak berhenti, saat kulihat Kevin dan Wanda berdebat hebat di tengah lorong. Sulit untuk berbalik badan lagi ketika sekujur tubuh sudah membeku seperti es. Dari jarak jauh, di tempatku berdiri, aku mendengar percakapan mereka. "Kalau Mbak Reyna minta cerai, ya udah ceraiin ajalah, Mas! Kenapa juga cewek kayak gitu mesti dipertahankan! Aku sama Nenek mendengar semua kalimat kasar yang terlontar dari mulut dia. Bukan hati nenek aja yang tersayat-sayat, tapi hatiku juga! Sosok kakak yang selalu aku bangga-banggakan, aku sanjung-sanjung, direndahkan harga dirinya sama cewek kayak Mbak Reyna!" Sedangkan laki-laki yang duduk di kursi tunggu itu---mengusap wajahnya pelan. Kevin memakai seragam pilotnya. "Kenapa Mas harus menikah kalau ujung-ujungnya ... yang terjadi justru perceraian?" Ia mendongak untu
Aku mencari baju Kevin di lemari, memilih satu dan meletakkannya di atas ranjang. Beberapa detik berikutnya, pintu kamar mandi terbuka, Kevin keluar dengan handuk yang dililitkan di pinggang. Kemudian ia berjalan ke lemari, mencari baju untuk dipakai. "Kev, aku udah pilihin baju buat kamu." Dia mengambil kaos abu-abu dan mengenakannya di badan. "Aku udah pakai baju," jawabnya dan langsung merebahkan diri di sofa. Aku menatap baju yang kupilih tadi dengan iba. Akhirnya aku kembali menyimpannya di dalam lemari, lalu meringkuk di ranjang sambil mencengkeram selimut kuat-kuat. Sekujur tubuhku menggigil. Suasana terasa begitu hening. Aku tahu kalau Kevin masih belum tidur. Pikirannya menerawang ke langit-langit kamar. "Kev ...." Dia tidak menjawab. Aku menahan napas dan mencoba lagi. "Kev ...." Suaraku bergetar. "Kamu mau nggak tidur di samping aku? Aku takut." Dan aku pun menangis terisak seperti bocah. Terdengar helaan napas yang begitu panjang dari Kevin. Tanpa berkutik ia men
Aisha dan Widyo langsung merangkul Widuri, dan membawanya ke UKS. "Gue nggak peduli kalau artikel-artikel menyatakan, marah itu bisa bikin kita cepat tua. Sumpah, gue nggak peduli bakalan cepat tua dari umur gue yang seharusnya kalau sikap mereka kayak gini terus. Kita sebagai murid-murid berhak dapat perlindungan dari para pembully di sekolah!" Aisha terus meracau tidak jelas saat mereka sudah berada di UKS. Sementara, Widuri meringis kesakitan saat Widyo mengobati lututnya perlahan dengan obat merah. "Ini pertama kalinya sejak Aisha masuk sekolah, dia kembali melawan teman-temannya. Biasanya dia cuma diam aja kalau dibully sama mereka." Widyo berbicara kepada Widuri. "Lo harus bersyukur punya temen kayak Aisha yang rela mencelakai dirinya sendiri demi melindungi orang lain." Widuri hanya diam. "Wid ...." Aisha menepuk pundak Widuri. "Kalau ada yang nyakitin Lo dan bikin lo menderita lagi, Lo tinggal lapor sama gue. Kita nggak boleh kelihatan lemah di hadapan mereka. Karena
Widyo membawa Aisha menuju belakang sekolah. Duduk di sebuah kursi kayu panjang yang berada di bawah rimbunan pohon. Tak ada orang lain di sini kecuali hanya mereka berdua. "Kenapa kakak bawa gue pergi? Kalau Kakak nggak nahan gue, mungkin gue udah bisa nonjok muka cowok sialan itu habis-habisan." Aisha terus meracau sembari menangis sesenggukan. Widyo hanya tertawa tanpa berkomentar hingga menunggu beberapa menit sampai Aisha merasa tenang kembali. "Udah puas nangisnya? Hapus air mata lo. Sama sekali nggak berguna dan hanya bikin lo keliatan jadi lemah." Widyo mengulurkan sapu tangannya. Aisha menerima saputangan itu. Langsung menyemburkan ingusnya kuat-kuat. Widyo tidak merasa jijik. Justru terkekeh geli. "Kakak ngetawain gue?" Aisha menoleh ke arah Widyo. Kesal. Widyo hanya menggeleng. "Terus kenapa Kakak ketawa?" Widyo kembali menggeleng. Melipat mulutnya rapat-rapat. "Ternyata selain bisa ngomong, Kakak juga bisa ketawa. Hebat." Widyo mengerutkan alisnya bingung. "
"Sebenarnya aku takut ke sekolah." Begitu penuturan Aisha saat mereka sedang sarapan pagi bersama. Tanpa kehadiran Kevin dan Ari karena keduanya --- lagi-lagi --- pergi melakukan rute penerbangan. Hanya ada Reyna dan Aydan di ruang makan sembari menatap Aisha dengan mata melotot lebar. "Kenapa kamu takut sekolah, Sayang?" Reyna berhenti menyentuh makanannya. "Aku takut kalau tahu tentang kejadian ini dan mereka bakalan meledek aku habis-habisan," desis Aisha lagi dengan suara parau. Pelan-pelan menggigit roti selainya meski tanpa selera. "Mbak, mau denger cerita lucu nggak. Kemarin di sekolahku ada cewek tomboy, terus dia ngelempar sebelah sepatunya ke arah Ay supaya dapat perhatian Ay. Tapi Ay diemin aja dan sengaja nendang sepatunya ke arah tong sampah. Terus dia marah-marah sambil teriak 'awas lu ye. Besok gue lempar sekalian pake kaos kaki biar lo kesemsem. Gua sumpahin lu suka sama gua, terus gua tolak lu mentah-mentah'." Jeda lima detik. "Alasan Ay semangat sekolah hari i
Ada cinta yang berakhir dengan kesedihan. Ada cinta yang rela untuk dilepaskan dan ada cinta yang patut untuk dipertahankan. Tantri harus menerima kenyataan kalau dia harus rela melepaskan Aisha, karena gadis itu bukan ditakdirkan bersamanya. Begitu pula dengan Aisha yang akhirnya paham meskipun telat menyadari; kalau tak ada pelukan yang paling hangat selain keluarga. Dan tak ada tempat yang paling nyaman selain rumah sendiri. Karena keluarga akan tetap menjadi rumah terbaik bagi setiap insan. "Dengarkan Ayah baik-baik, anakku. Sampai kapan pun, meski di dunia ini lahir beribu anak, tetap Aisha kesayangan Ayah sama Bunda, tetap Aisha yang Ayah mau di bumi, dan tetap Aisha yang akan kami jaga hingga dewasa nanti. Semua tetap sama, nggak ada yang berubah. Kalau ada yang bilang Aisha anak haram, nggak jelas asal-usulnya, atau anak pungut. Mereka salah besar, karena Ayah dan Bunda Aisha itu cuma satu, yaitu kami. Aisha punya Bunda yang hebat dan pinter masak, Aisha juga punya Ayah seor
Kevin langsung memasuki kamarnya. Ia melihat Reyna tidur di sudut kasur sambil menghadap ke dinding, Kevin langsung naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Reyna dari belakang. "Are you okay, Bun?" Buru-buru Reyna menghapus air matanya. Dia berbalik untuk berhadapan dengan Kevin. "Kamu sudah pulang, Mas?" "Jangan suka mengalihkan pembicaraan. Nih lihat, aku bisa ngerasain bekas air mata kamu." Kevin mengusap wajah Reyna. "Kenapa, Bun? Coba cerita sama aku selagi aku di sini. Ntar kalau aku udah terbang jauh, kamu malah suka rindu." Reyna mencubit perut Kevin dengan gemas. "Ge-er kamu!" Kevin tertawa. "Kamu tahu apa yang Aydan biang waktu denger kamu nangis?" Reyna diam. "Aydan sedih karena dia gagal bikin kamu bahagia. Ketika kamu menangisi satu anak yang sama sekali nggak mikirin kamu, tanpa kamu sadari ada anak lain yang sedang menangis karena kamu." Lalu yang terjadi, Reyna justru kembali terisak. "Aku kangen Aisha, Mas. Aku kangen dia. Kenapa dia nggak pernah angkat telepon
Tantri benar-benar malu harus dipanggil ke sekolah akibat kenakalan bukan karena prestasi Aisha. "Kamu itu udah gede, Aisha. Memangnya nggak malu berantem kayak sinetron di sekolah?" ujarnya saat mereka berada di parkiran sekolah Aisha. "Bukan aku yang mulai duluan, tapi cewek sok kecakepan itu." Aisha menjawab dengan kesal. "Kenapa lo belain gue?" tanya sebuah suara dari belakang mereka. Aisha dan Tantri berbalik, lalu mendapati Widuri berdiri dengan mata sembab. "Gue bukan belain lo. Gue cuma nggak suka ada yang ikut campur sama masalah orang lain. Merasa dirinya itu udah paling benar aja," balas Aisha ketus. "Gue pikir lo bakal balas dendam sama gue, untuk apa yang udah gue lakuin ke lo," ujar Widuri lagi sambil kedua tangannya mengepal. Malu rasanya dibela oleh orang yang sudah dia buat rumit hidupnya. Jika saja, Widuri tidak memberitahu teman-teman bahwa Aisha adalah anak pungut, mungkin gadis itu masih tinggal bersama keluarganya. Kau tahu, rasa iri memang sangat berbahaya
Sesampainya di rumah, Reyna langsung duduk di sofa. Hati, perasaan, dan pikirannya sudah teramat lelah. Mbok Imah masuk ke ruang tengah sambil membawa nampan berisi dia gelas air putih. "Sepertinya Ibu capek banget, ya. Mau tak pijitin ndak? Kebetulan kemarin saya habis bawa minyak urut paling yahud dari kampung." Mbok Imah langsung mengambil posisi di hadapan Reyna. Membungkuk sampai berhadapan dengan sepasang kaki Reyna. "Minyak urut ini terkenal mahal lho, Bu. Saya belinya sama Mbah Erot. Konon katanya si Mbah Erot punya kekuatan magic yang super duper ampuh!" "Jangan mau dipijitin pake minyak urutnya Mbok Imah, Bunda." Aydan ikut nimbrung duduk di sofa sebelah Reyna. "Kalau Mbok percaya sama hal-hal magis, itu namanya syirik. Pasti di dalam botol minyak urutnya Mbok Imah banyak setan dan jin yang lagi berenang." ", moso sih, Den? Emang mereka bisa berenang?" Wajah Mbok Imah teramat polos ketika memperhatikan botol minyak urut tersebut. Aydan mengangguk, semakin mengelabui Mbok
"Maafin Reyna, ya. Dia bersikap seperti itu karena dia terlalu menyayangi Aisha." Kevin mengambil posisi duduk di sebelah Tantri. "Aku mengerti, Vin. Aku juga ingin melakukan yang terbaik untuk Aisha." Suara Tantri bergetar. "Aku sayang sama Aisha, sudah menganggapnya seperti anakku sendiri." "Kamu tahu, Tan ...." Kevin mulai memberinya nasihat, "butuh waktu bertahun-tahun bagi Reyna untuk bikin Aisha nyaman dengannya. Tapi, sampai saat ini pun, Reyna masih saja merasa gagal. Padahal menurutku, semua ini hanya masalah waktu. Aisha masih belum beranjak dewasa. Maka dari itu mengapa kesabaran orang tua itu begitu penting." "Mungkin, aku memang nggak lantas menjadi seorang ibu, Vin." Tantri mengelap matanya yang terus basah. Ada rasa sakit yang tiba-tiba mengimpit dadanya mengingat kenyataan itu. Sejujurnya Kevin tidak tega melihat hal ini. Ia berusaha menenangkan Tantri, mengangkat tangan kanannya untuk mengusap punggung Tantri. "Nggak ada perempuan yang nggak lantas menjadi seoran
Di kelas lain, gosip tentang Aisha ikut jadi pembicaraan dan beredar luas. Bahkan gosipnya sampai heboh ke kelas 12. Lebih tepatnya, dibicarakan oleh rombongan cowok yang mengidolakan Aisha. "Jadi benar, kalau Aisha anak kelas 10 itu anak adopsi, ya?" tanya Arjun pada Bima --- yang selama ini dikenal sebagai fans berat Aisha. "Menurut kabar yang beredar sih, begitu. Katanya Aisha itu cuma anak pungut, bukan anak kandung ayahnya yang pilot itu. Intinya, gue nggak perlu punya Alphard dulu kalau suka sama dia, hahaha." Bima tertawa pelan. "Serius lo?" Ardian meninggalkan buku yang sedang dia baca, lalu menatap temannya lekat-lekat. "Jangan pada gosipin oranglah, dosa. Lagian, mau dia anak adopsi atau bukan, dia tetap cewek manis yang pintar kan, Bim." sambung Yudi lagi, yang langsung dibalas anggukan oleh Bima. Pada saat semua teman-temannya sibuk menceritakan Aisha, di tempat yang sama, Widyo justru melakukan hal yang berbeda. Dia hanya diam. Meskipun memakai earphone, dia masih bi