“Dasar Arman jahat! Cowok ku**ng aj*r! Bre**sek! Nggak tahu malu!” racauku sambil mengepalkan tangan kanan dan memukul meja.
Tok! Tok! Mendadak mencul ketukan lain di mejaku. “Ada yang lagi patah hati, ya?” Sejurus kemudian terdengar suara bariton yang begitu familiar. Tangisanku terhenti, aku menyedot ingusku. Alisku saling bertautan saat memandang seseorang yang telah duduk di hadapanku. Brak! Tanpa basa-basi, aku langsung menendang kaki laki-laki itu kuat-kuat, hingga ia meringis kesakitan. “Ngapain kamu di sini?” bentakku kepada Kevin. Sedangkan, Kevin hanya tersenyum manis dan menyebalkan. Aku sangat membenci senyuman cari muka itu. “Hanya sekedar lewat, lalu bertemu dengan seseorang yang aku kenal sedang menangis sesenggukan.” Aku menatapnya curiga. “Nggak mungkin kalo hanya sekedar lewat. Pasti kamu ngikutin aku, kan?” Lagi-lagi Kevin tersenyum. “Well, ya.” Kemudian mengedikkan bahu dengan santai. “Sebenarnya, Papa kamu yang suruh saya untuk mengikuti ke mana kamu pergi.” “Apa?” Sungguh, aku tercengang. Kevin hanya mengangguk, sebelum merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan sapu tangan. Kevin memberikannya kepadaku. “Hapuslah air mata itu. Kamu tidak pantas menangisi laki-laki yang udah tega ninggalin dan menyakiti hati kamu. Jangan buat diri kamu sendiri malu, Rey.” Aku enggan menggubris ataupun mengambil saputangan Kevin. Aku masih menatapnya penuh kebencian. Semua laki-laki sama saja, terlihat baik di luar tapi busuk di dalam. “Aku-bisa-ngapus-air-mata-sendiri!” seruku penuh penekanan sembari mengusap air mataku kuat-kuat menggunakan telapak tangan. Laki-laki itu mengedikkan bahu dan kembali menyimpan saputangannya ke dalam saku kemeja. Sekilas, mataku memperhatikan pakaian yang dikenakan oleh Kevin dengan tatapan sedikit terpukau. Ternyata tubuh Kevin terlihat lebih macho kalau pakai kemeja. Otot-otot kekar di sekitar lengannya tercetak jelas. Aku menggeleng kuat, merutuki kesalahan sendiri. Aduh … aku ini mikirin apa, sih? Ingat, Rey, dia itu udah tua! Sama sekali tidak pantas bersanding dengan kamu yang masih kinclong, muda, dan energik. “Umur kamu sebenarnya berapa, sih?” Kevin tertegun dan mengangkat alisnya mendengar pertanyaan tiba-tiba yang terlontar dari bibirku. Tidak masalah kan, kalau aku hanya sekedar penasaran. “Mulai tertarik dengan saya?” tanyanya sedikit bercanda. Aku mengelus dada sembari berucap dalam hati, sabar, Rey … sabar. “Udahlah, lupakan aja!” lanjutku kemudian sambil mengibaskan tangan. Benar dugaanku kalau dia ini sudah tua. Maaf saja, tapi tipe laki-laki idamanku itu harus seumuran, atau dua-tiga tahun lebih tua daripada umurku. “Oh iya, aku punya pertanyaan yang harus kamu jawab dengan jujur!” sambarku lagi. “Silakan ….” Kevin mengedikkan bahu sambil tersenyum lagi. Betapa murah senyuman dia ini. Sungguh. “Kamu bilang, aku pernah meluk kamu di umur lima belas tahun. Sebenarnya, seberapa dekat sih kita? Apa kita itu temanan baik atau pernah berhubungan lebih?” Jujur saja, aku benar-benar lupa. Seingatku, aku tidak pernah memiliki teman laki-laki yang jarak usianya sejauh ini. Kevin mendesah pendek, mulai mencondongkan badan dan menyandarkan kedua sikunya di atas meja. “Actually, no. Kita cuma sekali bertemu dan tidak pernah menjalin komunikasi lagi.” Aku langsung menjentikkan jari dan ikut mencondongkan badan. “Nah, kalo begitu seharusnya kita nggak perlu melanjutkan perjodonan ini, karena kita nggak saling mengenal satu sama lain. Dan aku yakin, kalo kamu juga nggak ingin menikah dengan wanita yang nggak kamu cintai sepenuh hati, kan?” Kevin mengangguk pelan. “Ya, memang benar. Tapi saya berjanji akan mencintai kamu setulus hati, Reyna.” “Oke, mungkin kamu bisa mencintai aku setulus hati dengan caramu sendiri. Tapi aku? Aku bukan orang yang mudah jatuh cinta, Kevin. Aku nggak bisa! Apalagi setelah kejadian tadi. Kamu tahu? Aku ini habis patah hati! Harusnya kamu bisa ngerasain gimana sakitnya hatiku. Remuk, Kev. Remuk!” Tanpa sadar aku menepuk dadaku secara dramatis. “Saya juga janji, tidak akan membuat hati kamu patah. Lagi pula, saya ini masih single. Belum menikah. Jadi kamu tidak perlu takut dibilang sebagai perusak hubungan rumah tangga orang lain.” Kevin menyindirku halus. Rasanya, ingin sekali aku melempar kepala laki-laki bangkotan itu dengan gelas. Benci dan kesal bercampur menjadi satu. “Aku tetap nggak bisa jatuh cinta sama kamu!” “Reyna, cinta itu akan datang karena terbiasa. Terbiasa lihat saya, terbiasa berduaan dengan saya, terbiasa bobo bareng dengan saya, dan terbiasa—“ Brak! Sekali lagi, aku menendang kaki Kevin. Laki-laki itu mengeluh, merintih menahan sakit. “Jadi? Kamu tetap ingin menerima perjodohan ini meskipun kita tidak saling mencintai? Dan kamu merasa, kita bisa menunggu hadirnya cinta yang terbiasa itu?” Kevin mengangguk. Refleks, aku langsung memukul meja kuat-kuat karena kesal. “Why, Kevin? Kamu tahu kalo menikah tanpa didasari cinta itu nggak akan bisa membuat hubungan kita jadi lebih baik. Kecuali, kamu suka berkhayal dan ingin kehidupan kamu menjadi happy ending seperti yang ada dalam film atau novel. Karena sampai kapan pun hal itu nggak akan pernah terjadi!” “Hm, sayangnya saya tidak suka baca novel. Dan kebanyakan film yang saya tonton itu berakhir dengan scary ending.” “Scary ending? Apa maksudnya?” Tatapanku berubah bingung, Yang aku tahu, sejak dulu hanya tercipta dua ending saja di dunia ini. Sad ending dan happy ending, tidak ada yang namanya scari ending. Benar-benar aneh si mas-mas tua ini. Kevin mengedikkan bahu acuh tak acuh. “Semua film yang saya tonton rata-rata film action. Jadi kebanyakan ending-nya itu mengerikan. Misalnya saja seperti pembunuhnya yang tertembak mati. Atau penjahatnya ditusuk hidup-hidup. Bahkan ada juga pemeran utamanya yang kepalanya dipenggal—“ “Oke, enough!” Kuangkat tangan tinggi-tinggi. Pantas saja Kevin suka film action, lihat badannya yang tegap dan berotot seperti bodyguard. “Begini saja, Tuan Kevin yang Terhormat. Saya tekankan sekali lagi kepada Anda, kalo saya tidak ingin menikah dengan Anda! Jadi tolong, batalkan perjodohan ini sekarang juga!” Akibat emosi yang sudah tampak kalut, aku sampai menunjuk meja dengan jariku. Justru jawaban yang Kevin tampilkan hanya gelengan kepala tanpa penolakan mentah-mentah. “Maaf, saya tidak bisa. Perjodohan kita adalah wasiat dari kedua orang tua saya, yang harus saya tepati.” Aku terkesiap. Perjodohan dijadikan wasiat? Astaghfirullah …. “Ya, sudah kalo gitu, kamu bicarakan hal ini baik-baik dengan orang tua kamu untuk menghapus perjodohan kita dari daftar wasiat!” “Sudah terlambat, Rey. Kedua orang tuaku sudah tiada dan tenang di surga.” Hening. Mendadak, aku menjadi tidak enak hati, tubuhku berubah menjadi kaku. Aduh, bodoh banget sih, Rey!” Aku berdehem pelan. “Maaf. Aku nggak tahu kalo orang tua kamu—“ “Tidak apa-apa, Rey. Itu hal yang wajar, karena kamu juga sudah lupa dengan kejadian dulu dan kamu belum tahu banyak tentang saya meskipun kedua orang tua kita berteman akrab.” Sempat hening beberapa menit karena rasa canggung, aku kembali membuka suara. Mencari cari agar Kevin mau membatalkan perjodohan kami. “Listen to me. Apa kamu nggak jijik sama aku? Jelas-jelas, kemarin aku sampai muntah di depan kamu dan bikin pakaian kamu jadi kotor.” Kevin hanya mengangkat alisnya sekilas. “SayA tidak mempermasalahkan hal itu. Lagi pula baju dan celana saya sudah dicuci bersih.” Aku menghela napas dalam-dalam, dan mencoba mencari keburukan yang lain lagi. “Kamu tahu kan, kalo aku ini masih berstatus sebagai mahasiswi abadi. Aku belum mendapatkan gelar sarjana, lho. Emangnya kamu nggak malu punya istri yang telat wisuda?” Laki-laki itu mengangguk. “Saya tahu. Mas Emil sudah menceritakan semuanya kepada saya.” Lalu, menggeleng. “Toh, telat wisuda itu manusiawi, kan?” Aku masih belum menyerah. “Asal kamu tahu, ya, aku ini suka keluyuran malam, suka ke tempat hiburan malam, dan suka mabuk-mabukan.” Laki-laki itu mengedikkan bahu. “Sudah saya duga. Tercium dari muntahan kamu yang berbau alkohol.” Hampir saja aku memukul keningku sendiri. Aku sudah mengatakan semua keburukanku, namun benteng pertahanan Kevin begitu kokoh, hingga sulit dihancurkan. Aku memijat pelipis yang tiba-tiba dilanda pusing. Terbersit ide di kepalaku, aku yakin setelah mengatakan alasan ini, Kevin pasti akan menyerah. “Oke, begini saja. Sebenarnya, ada satu rahasia yang belum kamu ketahui tentang aku sepenuhnya.” “Oh ya? Apa itu?” tanya Kevin antusias. Air mukaku berubah sendu, lirih dan tampak sedih. Hanya akting. “Sebenarnya ….” “Hm?” Sedetik kupejamkan mata sambil mendesah panjang, sebelum tatapan kami kembali bertemu, “Sebenarnya, aku … udah nggak virgin lagi.” Kevin langsung tersedak dan terbatuk-batuk. Harap-harap cemas aku menunggu tanggapan Kevin sambil menatapnya lekat-lekat. Tak lama setelah laki-laki itu berhasil menenangkan diri, suara kursi berderit terdengar nyaring ketika Kevin mulai beranjak. “Maaf, sepertinya saya harus pulang, Nenek sedang menungguku di rumah.” Seringai penuh kemenangan muncul di garis bibirku. Yes! Aku berhasil! Dengan senang hati aku mengangguk, memperhatikan tubuh Kevin yang berjalan menjauh menuju pintu kafe. “Dadah! Take care, jangan ngebut-ngebut ya di jalan!” Teriakku sambil melambaikan tangan. 🎗️🎗️🎗️🎗️🎗️Pagi hari, aku bergabung di ruang makan bersama keluargaku. Melakukan rutinitas sarapan seperti biasanya. Aku mengambil sehelai roti dan mengolesnya dengan sehelai kacang. Senyuman berbentuk bulan sabit tidak pernah lepas dari bibirku.“Kamu kenapa, Rey? Mama perhatiin kamu senyam senyum sendiri.” Mama mengerutkan dahinya, menatapku curiga.Aku kembali tersenyum bahagia. “Nggak apa-apa, Ma.”Bagaimana tidak bahagia, aku sudah berhasil membuat Kevin membatalkan perjodohan kami. Meskipun alasan yang aku gunakan terbilang sangat ekstrim, tapi apa boleh buat jika waktunya sudah the master of kepepet.Maaf saja, seumur-umur aku hanya ingin menikah dengan laki-laki yang aku cintai sepenuh hati, bukan dengan laki-laki asing yang sudah tua seperti Kevin. Meskipun dari segi fisik, Kevin memiliki bentuk badan proporsional dan wajah tampan. Tapi kalau aku tidak mencintainya, bagaimana? Omong kosong dengan istilah ‘Cinta bisa datang kapan saja seiring berjalannya waktu’.“Oh iya, Ma, Pa, kemarin
Skripsi dan perjodohan berhasil membuat kepalaku hampir pecah. Hari ini aku sengaja tidak masuk kampus untuk menghindari Kevin. Sebelumnya, aku dan teman-temanku sudah janjian akan bertemu di salah satu kafe--di tempat kami biasa berkumpul. "Kenapa wajah lo kayak pakaian yang belum disetrika?" tanya Riska, saat aku baru duduk di hadapannya. "Hampir gila gue!" celetukku sambil mengusap wajah frustrasi. "Karena mau dinikahin ya, cyin?" Suara kemayu Ivan, membuat dahiku berkerut. Namun, yang terpekik kaget bukan aku melainkan Riska. "Reyna mau nikah? Sama siapa? Si Arman, ya? Wuih, jadi juga ternyata." "Bukan sama Arman, ibu-ibu." Aku menatap kedua temanku secara bergantian. "Tapi, dengan si mas-mas tua!" "Mas-mas tua?" Seperti ada ikatan batin, Riska dan Ivan bertanya serentak. Tatapan mereka antara bingung dan kaget. Aku tidak langsung menjawab, mataku terpaku pada sosok Ivan, menatapnya curiga. "Lo tahu dari mana kalo gue bakalan nikah?" tanyaku menyelidik, memperhatik
Aku terus meracau tidak jelas selama di perjalanan, sedangkan Kevin hanya menanggapi semua omelanku dengan senyuman, anggukan, dan tawa. Hampir satu jam lebih menempuh perjalanan tanpa terkena macet, akhirnya mobil yang dikendarai Kevin berhenti di depan rumah berpilar putih dengan halaman yang cukup luas. “Kita sudah sampai.” Aku enggan menggubris maupun menoleh. Tanganku terus mencengkeram seatbelt. “Kamu tidak mau tidur di sini semalaman kan, Reyna?” Kevin berujar tenang. Aku segera menoleh ke samping menatapnya dengan wajah murka maksimal. “Kamu menculikku!” Kevin tertawa sekilas. “Saya tidak menculik kamu, Reyna. Saya cuma bawa kamu ke rumah Nenek. Memangnya salah?” “Kenapa nggak bilang dulu kalo mau bawa aku pergi sejauh ini? Kamu udah bohong sama aku, jadi tetap aja ini namanya penculikan! Aku nggak bisa tinggal diam, aku harus bilang rencana buruk kamu sama Mama dan Papa. Pinjam handphone!” Sialnya lagi, ponselku kehabisan baterei. Jadi aku tidak bisa menghubun
Hari ini kembali berjalan sama seperti biasanya, tanpa berubah sama sekali. Kevin masih bersikukuh menjemputmu dan mengantarku ke kampus. Selama di perjalanan, hanya keheningan yang berpendar di dalam mobil. Suara penyiar radio membuat suasana di antara kami tidak terlalu dingin dan beku. Aku menatap lurus ke depan, memperhatikan hiruk pikuk kota Jakarta. "Saya tidak suka melihat kamu berpakaian seperti itu." Suara Kevin membuat tatapanku berpaling. Kevin memperhatikan dari atas kepala hingga sebatas paha. Aku langsung menyilangkan kaki dan menutup pahaku yang terbuka bebas dengan telapak tangan. Dasar otak mesum! "Dasar modus! Ngakunya aja nggak suka, tapi matanya sampai mau keluar gitu!" Kevin mengerutkan kening. "Saya serius. Menurut saya, sangat penting bagi wanita untuk menutupi aurat mereka, agar terhindar dari kejahatan yang tidak terduga, serta godaan dari pria hidung belang." "Kamu nyindir diri sendiri ya?" Aku menyeringai geli. Merasa jenaka dengan perumpamaan Kevin in
Aku menatap nanar bayanganku di cermin. Wajahku dipoles dengan make up, rambutku dibentuk menjadi sanggul. Malam ini, aku memakai kebaya biru muda dan rok batik. Berulang kali aku mengatur napas, berusaha menghalau perasaan gugup.“Kalo gugup itu biasa, tapi jangan terlalu panik. Dulu waktu Mas kamu melamar Mbak Dyas, Mbak juga cemas dan takut seperti kamu.”Mbak Dyas—istri Mas Emil, mulai menyentuh pundakku. Aku menatap pantulan Mbak Dyas dari cermin. Dia terlihat cantik memakai dress batik.“Mbak, aku pernah jujur dengan Kevin, kalau aku udah nggak virgin lagi,” ucapku seraya menundukkan kepala. Tidak berani menatap air muka Mbak Dyas yang mungkin terkejut luar biasa.“Apa?” Seperti dugaanku sebelumnya, Mbak Dyas berteriak kaget. “Reyna, kamu udah gila, ya? Kamu sadar nggak dengan ucapan kamu sendiri? Itu adalah doa!”Kini Mbak Dyas memutar tubuhku hingga kami saling berhadapan.“Hanya itu satu-satunya cara agar Kevin menolak perjodohan ini.““Terus Kevin percaya?”Aku hanya mengang
Lampu berkerlap-kerlip memenuhi ruangan, dentuman musik terdengar kencang ketika aku memasuki tempat hiburan malam tersebut. Kulihat sosok Arman duduk di kursi depan meja bar sembari menenggak minumannya. Ya, dia memang baru saja mengajakku untuk bertemu di tempat ini. “Apa yang mau kamu bicarakan denganku?” Aku langsung to the point, setelah mendaratkan bokong di sebelahnya. “Aku mau cerai, Rey.” Suara laki-laki itu terdengar parau. Ia kembali menenggak minumannya hingga habis. Aku cukup terkejut mendengar ucapan Arman. Tapi aku tidak merasa kasihan sedikit pun padanya. Lagi pula, itu bukan urusanku. “Jadi … ini hal penting yang mau kamu bilang sama aku? Sorry, Arman, tapi hubungan rumah tangga kamu sama sekali bukan urusanku!” Laki-laki itu tertawa, meracau tidak jelas pada sang bartender untuk menambah minumannya lagi. “Bagaimana pernikahan kamu dengan laki-laki pilihan orang tua kamu itu?” “Sangat baik,” jawabku ketus. Pura-pura terlihat bahagia meski dalam hati sebenarnya
“Ananda Kevin Narendra Halim bin Faizal Halim, aku nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandungku, Reyna Prameswari Wijaya binti Deni Wijaya dengan mas kawinnya berupa seperangkat alat shalat dan uang berjumlah sembilan belas juta rupiah dibayar tunai.” Sambil menjabat tangan Kevin, Papa bersuara lantang. “Saya terima nikah dan kawinnya Reyna Prameswari binti Deni Wijaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Bagaimana, sah?” Penghulu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. “Sah.” “Alhamdulillaah ….” Di saat semua pengantin menitikkan air mata karena terharu bahagia, aku justru menangis karena sebentar lagi hidupku akan sangat menyedihkan setelah menikah dengan Kevin. Setelah menyematkan cincin di jari manisku, Kevin mencium keningku cukup lama. Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Seperti yang sudah ditentukan oleh pihak keluarga kami dan menuruti wasiat orang tua Kevin, pernikahan ini berlangsung saat umurku sudah menginjak 25 tahun—tepat pada tanggal 19 Desember.
"Kevin mana, Rey?" Mama menghampiriku dan duduk di sofa, tepat di sebelahku. Aku meluruskan kaki di atas meja, merasakan pegal-pegal. "Tidur di kamar," balasku sekenanya. "Baru juga sampe udah molor aja." "Kemarin dia nggak bisa tidur semalaman gara-gara aku kasih kopi. Mama terkesiap. "Ha? Yang bener?" "Hm." "Kasihan, pasti dia capek banget ya, Rey. Coba sana kamu ke kamar pijitin badan dia." "Ih, Reyna juga capek kali, Ma. Jelas-jelas Reyna yang nyetir mobilnya dari Bogor sampai Jakarta tadi." "Tapi tetap aja, secapek-capeknya istri, harus ada kasih perhatian lebih sama suami. Udah sana pijitin, kasian Kevin." Mama mendorong tubuhku. "Males ah, memangnya aku pembantunya, tukang pijit, si Mak Erot!" "Yee, kamu ini. Nggak ada ikhlas-ikhlasnya melayani suami." "Dari awal aku memang nggak mau nikah sama dia." Mama menyipitkan matanya tajam, tatapan tidak suka. "Jangan bahas itu lagi! Sekarang kamu sama dia sudah menikah! Percuma juga karena nasi udah menjadi bu
Aisha dan Widyo langsung merangkul Widuri, dan membawanya ke UKS. "Gue nggak peduli kalau artikel-artikel menyatakan, marah itu bisa bikin kita cepat tua. Sumpah, gue nggak peduli bakalan cepat tua dari umur gue yang seharusnya kalau sikap mereka kayak gini terus. Kita sebagai murid-murid berhak dapat perlindungan dari para pembully di sekolah!" Aisha terus meracau tidak jelas saat mereka sudah berada di UKS. Sementara, Widuri meringis kesakitan saat Widyo mengobati lututnya perlahan dengan obat merah. "Ini pertama kalinya sejak Aisha masuk sekolah, dia kembali melawan teman-temannya. Biasanya dia cuma diam aja kalau dibully sama mereka." Widyo berbicara kepada Widuri. "Lo harus bersyukur punya temen kayak Aisha yang rela mencelakai dirinya sendiri demi melindungi orang lain." Widuri hanya diam. "Wid ...." Aisha menepuk pundak Widuri. "Kalau ada yang nyakitin Lo dan bikin lo menderita lagi, Lo tinggal lapor sama gue. Kita nggak boleh kelihatan lemah di hadapan mereka. Karena
Widyo membawa Aisha menuju belakang sekolah. Duduk di sebuah kursi kayu panjang yang berada di bawah rimbunan pohon. Tak ada orang lain di sini kecuali hanya mereka berdua. "Kenapa kakak bawa gue pergi? Kalau Kakak nggak nahan gue, mungkin gue udah bisa nonjok muka cowok sialan itu habis-habisan." Aisha terus meracau sembari menangis sesenggukan. Widyo hanya tertawa tanpa berkomentar hingga menunggu beberapa menit sampai Aisha merasa tenang kembali. "Udah puas nangisnya? Hapus air mata lo. Sama sekali nggak berguna dan hanya bikin lo keliatan jadi lemah." Widyo mengulurkan sapu tangannya. Aisha menerima saputangan itu. Langsung menyemburkan ingusnya kuat-kuat. Widyo tidak merasa jijik. Justru terkekeh geli. "Kakak ngetawain gue?" Aisha menoleh ke arah Widyo. Kesal. Widyo hanya menggeleng. "Terus kenapa Kakak ketawa?" Widyo kembali menggeleng. Melipat mulutnya rapat-rapat. "Ternyata selain bisa ngomong, Kakak juga bisa ketawa. Hebat." Widyo mengerutkan alisnya bingung. "
"Sebenarnya aku takut ke sekolah." Begitu penuturan Aisha saat mereka sedang sarapan pagi bersama. Tanpa kehadiran Kevin dan Ari karena keduanya --- lagi-lagi --- pergi melakukan rute penerbangan. Hanya ada Reyna dan Aydan di ruang makan sembari menatap Aisha dengan mata melotot lebar. "Kenapa kamu takut sekolah, Sayang?" Reyna berhenti menyentuh makanannya. "Aku takut kalau tahu tentang kejadian ini dan mereka bakalan meledek aku habis-habisan," desis Aisha lagi dengan suara parau. Pelan-pelan menggigit roti selainya meski tanpa selera. "Mbak, mau denger cerita lucu nggak. Kemarin di sekolahku ada cewek tomboy, terus dia ngelempar sebelah sepatunya ke arah Ay supaya dapat perhatian Ay. Tapi Ay diemin aja dan sengaja nendang sepatunya ke arah tong sampah. Terus dia marah-marah sambil teriak 'awas lu ye. Besok gue lempar sekalian pake kaos kaki biar lo kesemsem. Gua sumpahin lu suka sama gua, terus gua tolak lu mentah-mentah'." Jeda lima detik. "Alasan Ay semangat sekolah hari i
Ada cinta yang berakhir dengan kesedihan. Ada cinta yang rela untuk dilepaskan dan ada cinta yang patut untuk dipertahankan. Tantri harus menerima kenyataan kalau dia harus rela melepaskan Aisha, karena gadis itu bukan ditakdirkan bersamanya. Begitu pula dengan Aisha yang akhirnya paham meskipun telat menyadari; kalau tak ada pelukan yang paling hangat selain keluarga. Dan tak ada tempat yang paling nyaman selain rumah sendiri. Karena keluarga akan tetap menjadi rumah terbaik bagi setiap insan. "Dengarkan Ayah baik-baik, anakku. Sampai kapan pun, meski di dunia ini lahir beribu anak, tetap Aisha kesayangan Ayah sama Bunda, tetap Aisha yang Ayah mau di bumi, dan tetap Aisha yang akan kami jaga hingga dewasa nanti. Semua tetap sama, nggak ada yang berubah. Kalau ada yang bilang Aisha anak haram, nggak jelas asal-usulnya, atau anak pungut. Mereka salah besar, karena Ayah dan Bunda Aisha itu cuma satu, yaitu kami. Aisha punya Bunda yang hebat dan pinter masak, Aisha juga punya Ayah seor
Kevin langsung memasuki kamarnya. Ia melihat Reyna tidur di sudut kasur sambil menghadap ke dinding, Kevin langsung naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Reyna dari belakang. "Are you okay, Bun?" Buru-buru Reyna menghapus air matanya. Dia berbalik untuk berhadapan dengan Kevin. "Kamu sudah pulang, Mas?" "Jangan suka mengalihkan pembicaraan. Nih lihat, aku bisa ngerasain bekas air mata kamu." Kevin mengusap wajah Reyna. "Kenapa, Bun? Coba cerita sama aku selagi aku di sini. Ntar kalau aku udah terbang jauh, kamu malah suka rindu." Reyna mencubit perut Kevin dengan gemas. "Ge-er kamu!" Kevin tertawa. "Kamu tahu apa yang Aydan biang waktu denger kamu nangis?" Reyna diam. "Aydan sedih karena dia gagal bikin kamu bahagia. Ketika kamu menangisi satu anak yang sama sekali nggak mikirin kamu, tanpa kamu sadari ada anak lain yang sedang menangis karena kamu." Lalu yang terjadi, Reyna justru kembali terisak. "Aku kangen Aisha, Mas. Aku kangen dia. Kenapa dia nggak pernah angkat telepon
Tantri benar-benar malu harus dipanggil ke sekolah akibat kenakalan bukan karena prestasi Aisha. "Kamu itu udah gede, Aisha. Memangnya nggak malu berantem kayak sinetron di sekolah?" ujarnya saat mereka berada di parkiran sekolah Aisha. "Bukan aku yang mulai duluan, tapi cewek sok kecakepan itu." Aisha menjawab dengan kesal. "Kenapa lo belain gue?" tanya sebuah suara dari belakang mereka. Aisha dan Tantri berbalik, lalu mendapati Widuri berdiri dengan mata sembab. "Gue bukan belain lo. Gue cuma nggak suka ada yang ikut campur sama masalah orang lain. Merasa dirinya itu udah paling benar aja," balas Aisha ketus. "Gue pikir lo bakal balas dendam sama gue, untuk apa yang udah gue lakuin ke lo," ujar Widuri lagi sambil kedua tangannya mengepal. Malu rasanya dibela oleh orang yang sudah dia buat rumit hidupnya. Jika saja, Widuri tidak memberitahu teman-teman bahwa Aisha adalah anak pungut, mungkin gadis itu masih tinggal bersama keluarganya. Kau tahu, rasa iri memang sangat berbahaya
Sesampainya di rumah, Reyna langsung duduk di sofa. Hati, perasaan, dan pikirannya sudah teramat lelah. Mbok Imah masuk ke ruang tengah sambil membawa nampan berisi dia gelas air putih. "Sepertinya Ibu capek banget, ya. Mau tak pijitin ndak? Kebetulan kemarin saya habis bawa minyak urut paling yahud dari kampung." Mbok Imah langsung mengambil posisi di hadapan Reyna. Membungkuk sampai berhadapan dengan sepasang kaki Reyna. "Minyak urut ini terkenal mahal lho, Bu. Saya belinya sama Mbah Erot. Konon katanya si Mbah Erot punya kekuatan magic yang super duper ampuh!" "Jangan mau dipijitin pake minyak urutnya Mbok Imah, Bunda." Aydan ikut nimbrung duduk di sofa sebelah Reyna. "Kalau Mbok percaya sama hal-hal magis, itu namanya syirik. Pasti di dalam botol minyak urutnya Mbok Imah banyak setan dan jin yang lagi berenang." ", moso sih, Den? Emang mereka bisa berenang?" Wajah Mbok Imah teramat polos ketika memperhatikan botol minyak urut tersebut. Aydan mengangguk, semakin mengelabui Mbok
"Maafin Reyna, ya. Dia bersikap seperti itu karena dia terlalu menyayangi Aisha." Kevin mengambil posisi duduk di sebelah Tantri. "Aku mengerti, Vin. Aku juga ingin melakukan yang terbaik untuk Aisha." Suara Tantri bergetar. "Aku sayang sama Aisha, sudah menganggapnya seperti anakku sendiri." "Kamu tahu, Tan ...." Kevin mulai memberinya nasihat, "butuh waktu bertahun-tahun bagi Reyna untuk bikin Aisha nyaman dengannya. Tapi, sampai saat ini pun, Reyna masih saja merasa gagal. Padahal menurutku, semua ini hanya masalah waktu. Aisha masih belum beranjak dewasa. Maka dari itu mengapa kesabaran orang tua itu begitu penting." "Mungkin, aku memang nggak lantas menjadi seorang ibu, Vin." Tantri mengelap matanya yang terus basah. Ada rasa sakit yang tiba-tiba mengimpit dadanya mengingat kenyataan itu. Sejujurnya Kevin tidak tega melihat hal ini. Ia berusaha menenangkan Tantri, mengangkat tangan kanannya untuk mengusap punggung Tantri. "Nggak ada perempuan yang nggak lantas menjadi seoran
Di kelas lain, gosip tentang Aisha ikut jadi pembicaraan dan beredar luas. Bahkan gosipnya sampai heboh ke kelas 12. Lebih tepatnya, dibicarakan oleh rombongan cowok yang mengidolakan Aisha. "Jadi benar, kalau Aisha anak kelas 10 itu anak adopsi, ya?" tanya Arjun pada Bima --- yang selama ini dikenal sebagai fans berat Aisha. "Menurut kabar yang beredar sih, begitu. Katanya Aisha itu cuma anak pungut, bukan anak kandung ayahnya yang pilot itu. Intinya, gue nggak perlu punya Alphard dulu kalau suka sama dia, hahaha." Bima tertawa pelan. "Serius lo?" Ardian meninggalkan buku yang sedang dia baca, lalu menatap temannya lekat-lekat. "Jangan pada gosipin oranglah, dosa. Lagian, mau dia anak adopsi atau bukan, dia tetap cewek manis yang pintar kan, Bim." sambung Yudi lagi, yang langsung dibalas anggukan oleh Bima. Pada saat semua teman-temannya sibuk menceritakan Aisha, di tempat yang sama, Widyo justru melakukan hal yang berbeda. Dia hanya diam. Meskipun memakai earphone, dia masih bi