Aku terus meracau tidak jelas selama di perjalanan, sedangkan Kevin hanya menanggapi semua omelanku dengan senyuman, anggukan, dan tawa. Hampir satu jam lebih menempuh perjalanan tanpa terkena macet, akhirnya mobil yang dikendarai Kevin berhenti di depan rumah berpilar putih dengan halaman yang cukup luas.
“Kita sudah sampai.” Aku enggan menggubris maupun menoleh. Tanganku terus mencengkeram seatbelt. “Kamu tidak mau tidur di sini semalaman kan, Reyna?” Kevin berujar tenang. Aku segera menoleh ke samping menatapnya dengan wajah murka maksimal. “Kamu menculikku!” Kevin tertawa sekilas. “Saya tidak menculik kamu, Reyna. Saya cuma bawa kamu ke rumah Nenek. Memangnya salah?” “Kenapa nggak bilang dulu kalo mau bawa aku pergi sejauh ini? Kamu udah bohong sama aku, jadi tetap aja ini namanya penculikan! Aku nggak bisa tinggal diam, aku harus bilang rencana buruk kamu sama Mama dan Papa. Pinjam handphone!” Sialnya lagi, ponselku kehabisan baterei. Jadi aku tidak bisa menghubungi Papa dan mengadukan kalau laki-laki yang telah dijodohkan denganku itu adalah penculik. Lagi-lagi Kevin tersenyum jenaka. “Mana ada orang minta tolong, terus pinjam handphone si penculik.” Aku terdiam dan merengut. Benar juga kata Kevin. Kenapa aku dilahirkan dengan kapasitas otak yang begitu kecil seperti ini? “Pokoknya aku mau pulang!” Akhirnya yang aku lakukan hanya meronta dan menangis. “Reyna, tenang. Saya sudah minta izin sama Papa dan Mama kamu untuk membawa kamu pergi dan mereka setuju. Karena saya tidak akan berani membawa anak gadis orang pergi tanpa izin dari orang tuamu.” Aku menatap manik mata Kevin lekat-lekat, tersirat kejujuran di sana. Setelah dibujuk berulang kali, akhirnya Kevin berhasil membawaku masuk ke dalam rumahnya. Di sana, aku langsung disambut oleh Nenek dan Wanda. Mereka terlihat senang dengan kehadiranku. Selagi Kevin menuju ke dapur bersama adik kesayangannya, Nenek membawaku mengelilingi rumah mereka. Melewati koridor yang berimpitan oleh dua dinding, kiri dan kanan. Serta ada beberapa foto yang ditempel di dinding tersebut. Aku mengamati foto kedua orangtua Kevin, berusaha mengingat dan mengenal mereka. Tapi aku tidak bisa mengingat apa-apa. Wajah orangtuanya terasa sangat asing. Sekarang aku mengerti, mengapa Wanda dan Kevin tidak begitu mirip meskipun mereka saudara kandung. Ternyata, wajah Kevin lebih mewarisi garis wajah ayahnya yang keturunan Timur Tengah. Sedangkan Wanda lebih menyerupai ibunya yang asli Indonesia dan memiliki gestur wajah ayu yang sangat khas Jawa. “Kevin itu anaknya baik lho, Rey.” Suara nenek mendadak muncul di belakangku, membuatku tersentak kaget. Beliau langsung mengambil tempat di sebelahku, ikut memandang foto Kevin waktu bayi. “Awalnya orangtua kamu dan orangtua Kevin sering bersenda gurau untuk menjodohkan kalian. Kedua orangtua Kevin meninggal, ketika umurnya dua puluh tahun dan Wanda empat belas tahun. Pada saat itu, kami semua sama sekali tidak menyangka kalau Faizal akan menuliskan wasiat untuk menikahkan kamu dengan Kevin ketika umurmu sudah dua puluh lima tahun. Kevin itu anak yang patuh kepada orangtuanya. Dia tidak pernah membantah ataupun menolak permintaan orangtuanya, termasuk untuk menikah dengan kamu.” Mendengar penjelasan Nenek, mendadak bulu-bulu tanganku meremang. Saat kutatap wajah keriput itu, air muka Nenek terlihat sendu. Otakku terus berputar mencari cara untuk menolak perjodohan ini secara halus. Setidaknya aku bisa memberikan pengertian kepada Nenek. “Ta-tapi, Reyna tidak mencintai Kevin, Nek.” Aku memberanikan diri angkat suara. “Anakku Reyna ….” Tiba-tiba Nenek merangkul bahuku, memaksaku agar berhadapan dengannya. “Mungkin sulit bagi kamu untuk menerima semua kenyataan ini, tapi Nenek bisa menjamin kalau Kevin itu laki-laki yang baik dan lemah lembut. Kevin akan menjaga kamu sepenuh hati tanpa merusak barang satu senti pun. Pernikahan Kevin adalah salah satu hal yang paling Nenek impikan selama ini.” Tersimpan banyak permohonan di manik mata nenek. “Tetap aja Reyna nggak mau menikah dengan Kevin. Sampai kapan pun Reyna tidak akan bisa menerima Kevin sebagai suami Reyna. Reyna, juga tidak bisa mencintai Kevin sepenuh hati meskipun kami akan hidup sampai seribu tahun lamanya. Tolong jangan paksa Reyna menikah dengan Kevin, Nek!” Aku langsung membentak Nenek dengan kasar tanpa tahu efek samping yang akan terjadi nanti. Nenek terperangah kaget. Ia menyentuh dadanya sambil bernapas sesak. “Tapi, Rey—“ Nenek berusaha mencengkeram lengan bajuku, segera kutepis menjauh. Aku masih melontarkan segala kegundahan yang ada di hatiku. “Maaf, Nek, tapi keputusan Reyna sudah bulat. Pokoknya Reyna akan membatalkan perjodohan ini! Reyna nggak mau menikah dengan cucu Nenek!” Suara hantaman yang cukup keras membuatku terperanjat. Nenek pingsan dan terjatuh di lantai. Aku meneguk lidah ngeri dan mulai ketakutan. “Nenek!” Wanda hadir dan menghampiri neneknya. “Nenek kenapa, Mbak Rey?” tanya Wanda sambil menengadahkan kepala menatapku, yang hanya bisa diam mematung. Aku menggeleng pelan, menutup mulut dengan telapak tangan. Perlahan melangkah mundur. Rasa bersalah langsung menggelayutiku. Ketika aku berbalik badan ingin kabur, Kevin sudah berada di hadapanku. Ia langsung menarik tanganku, membawaku pergi menjauh. “Ayo ikut saya!” Kami berjalan menuju halaman belakang, berhenti di lorong teras yang tampak sunyi dan sepi. Melihat tatapan tidak bersahabat dari Kevin, semakin membuatku ketakutan. “Bukan aku yang menyebabkan Nenek pingsan.” Tangisku meledak seketika. “Jantung Nenek lemah. Beliau tidak bisa mendengar atau mengetahui berita yang mengejutkan. Sekarang jujur, apa yang kamu katakan pada Nenek sampai beliau pingsan?” tanya Kevin berusaha setenang mungkin. Sama sekali tidak terdeteksi nada kemarahan. Sangat bertolak belakang dengan tatapannya. “Aku—“ Suaraku tercekat di tenggorokan, terisak. “Aku bilang, kalau aku ingin membatalkan perjodohan ini. Aku nggak mau nikah sama kamu!” “Astaga, Reyna.” Kevin mendesah, menarik sejumput rambutnya ke belakang. “Kamu sadar tidak, apa yang telah kamu ucapkan di hadapan Nenek?” Aku hanya mampu mengangguk lugu, enggan menatap mata Kevin yang berkobaran api. “Sadar, sangat sadar malahan. Tapi, hanya ini satu-satunya cara untuk membatalkan perjodohan kita—“ “Dengan cara membunuh nenek saya?” Potong Kevin cepat. “Aku nggak bunuh nenek kamu! Bukan salah aku kan, kalo Nenek kamu itu punya penyakit jantung!” Seruku sarkastis. Kini kesedihan itu sudah tergantikan dengan amarah. Kevin menghela napas berat, disentuhnya kedua lenganku lembut. “Kamu boleh memaki, membenci, ataupun menghina saya. Tapi, tolong, jangan pernah lakukan hal itu terhadap Nenek. Hanya beliau satu-satunya orangtua yang saya miliki di dunia ini. Buatlah beliau bahagia dengan pernikahan kita, Reyna.” Nada permohonan begitu kentara. Tatapan Kevin nelangsa. “Terus, siapa yang akan memikirkan kebahagiaanku? Nggak ada, Kevin! Nggak ada yang peduli sama perasaanku! Papa, Mama, Mas Emil, dan kamu—kalian semua egois!” Aku mulai naik pitam. Kevin diam. Mengamati butiran air mata yang membasahi wajahku. Kemudian telapak tangannya yang kasar mulai membelai pipiku lembut, membasuhnya perlahan. “Jangan menangis, Reyna. Saya peduli dengan perasaan kamu. Bahkan saya berjanji untuk membuat kamu bahagia.” “Omong kosong, Kevin! Aku tahu betul laki-laki seperti apa kamu ini. Setelah berhasil menikah denganku dan mengabulkan wasiat kedua orangtuamu, kamu akan langsung pergi meninggalkan aku. Kamu akan menyakiti perasaanku dan nasib kita akan berujung pada perceraian! Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup, itupun dengan laki-laki yang aku cintai sepenuh hati.” “Kamu meragukan kesetiaan saya?” Kevin merasa terhina. “Saya juga tidak ingin adanya perceraian, Reyna. Impian kita sama, menikah sekali seumur hidup.” Meskipun tubuh Kevin lebih jangkung, tetapi tidak menyurutkan keberanianku untuk menatapnya dengan menantang. Sedangkan laki-laki itu masih berusaha keras menelan semua omongan kasarku dan menganggap hanya candaan semata. Kevin menarik sudut bibirnya dan menyeringai geli. “Saya tidak akan pernah melepaskan kamu, Reyna Prameswari.” “Aku tegaskan sekali lagi sama kamu. Sampai kapan pun, meskipun laki-laki di dunia ini tinggal kamu seorang. Demi langit dan bumi, aku tidak mau men—“ Ucapanku terhenti ketika bibir Kevin langsung menc**m bibirku. Aku berusaha keras mendorong tubuh Kevin, namun tubuhku sendiri sudah lemah dan tidak berdaya. Seketika lututku terasa lemas. Beberapa detik kemudian, c***an kami berakhir. Mata kami saling beradu pandang. Napas kami saling memburu. Ayo, cepat Reyna, hajar si tua ini! Tendang pahanya, tendang selang***annya, tendang lututnya, tendang tulang keringnya, injak kakinya! Sayangnya pikiranku tidak sejalan dengan tekadku. Bagaimana bisa aku menghajar Kevin, di saat tubuhku tidak bisa digerakkan seolah-olah lumpuh total. Kalau saja tangan Kevin tidak memeluk pinggangku, mungkin aku sudah teronggok di lantai bagaikan mayat. “Saya tidak ingin Nenek mendengar kalimat itu lagi, Rey. Sekeras apa pun kamu menolak rencana besar ini, saya akan tetap menikahi kamu,” katanya tegas, mantap dan lantang. “Duh, senangnya melihat kalian berdua akur.” Tiba-tiba saja suara Nenek muncul. Aku langsung menoleh, memperhatikan tubuh Nenek dari atas kepala sampai ujung kaki, beliau terlihat sehat-sehat saja. “Lho, Nenek kok ada di sini? Bukannya tadi—“ Nenek hanya tersenyum mencurigakan, kemudian menatap wajah cucunya. “Gimana akting Nenek, Vin? Berhasil, ya?” Alis Nenek naik turun, tampak seringai jenaka di sana. “Kayaknya berhasil deh, Nek. Lihat tuh, tadi Mas Kevin sama Mbak Reyna sampai ehem-ehem gitu.” Wanda yang berdiri di sebelah Nenek ikut bersuara. Spontan aku menundukkan kepala malu, menggigit bibir dan tanpa disadari muncul rona merah di kedua pipiku. Sudah pasti Wanda dan Nenek telah menangkap basah kami sedang berciuman. “Sebenarnya ini ada apa, sih? Kenapa Nenek tiba-tiba udah sadar aja?” gumamku, nyaris tanpa suara. “Kata Kevin, kalian berdua lagi marahan, ya?” “Hah?” Bengong, aku melirik Kevin yang tidak balas menatapku. Laki-laki itu justru terlihat santai dan tenang. “Jadi, sebelum kalian mampir ke sini, Kevin sempat menghubungi Nenek terlebih dahulu. Kevin bilang, kalau Reyna lagi marah memang suka bicara asal dan melantur. Nenek harus pura-pura pingsan aja supaya kamu merasa bersalah dan maafin Kevin. Emangnya kalau Reyna lagi ngambek suka ngomong serem kayak gitu, ya? Ih, Nenek hampir jantungan beneran lho tadi, Rey.” Akting? Pura-pura? Luar biasa sekali! Kevin menganggap semua perkataanku tadi hanya lelucon semata. Dia sudah berhasil mengambil alih perhatian Nenek. Saat Nenek dan Wanda undur diri dalam keadaan masih menyeringai geli, kini aku kembali menyerang Kevin dengan pelototan tajam. “Bagus sekali permainan kamu!” Kevin hanya menampilkan wajah tanpa dosa. “Nenek saya memang punya penyakit jantung, Rey. Saya sengaja mengalihkan perhatian Nenek dengan cara seperti ini. Jangan sampai kamu berkata seperti itu lagi dan buat Nenek sampai pingsan beneran.” Aku mengatup rahangku hingga gigiku ber gemeletuk. “Kamu memang nggak bikin Nenek sampai jantungan, tapi kamu udah berhasil bikin aku asli jantungan!” “Oh ya?” Kevin mengangkat alisnya. “Ya! Kamu tadi sudah—um … men … udah—“ suaraku terbata-bata saat mengingat ciuman intens kami tadi. “Udah apa, Reyna?” Kevin melangkah maju, membuatku terkesiap dan berjalan mundur hingga tubuhku menabrak dinding. "Jangan mendekat!" Aku mengancamnya dengan telunjuk. Kevin hanya terkekeh geli, dia sama sekali tidak merasa terancam. Kemudian, jarinya mulai mengangkat daguku dan menatap wajahku lekat-lekaf. "Wajahmu merona, Reyna," goda Kevin, lagi-lagi mengeluarkan jurus senyum menyebalkan itu lagi. 🎗️🎗️🎗️🎗️🎗️Hari ini kembali berjalan sama seperti biasanya, tanpa berubah sama sekali. Kevin masih bersikukuh menjemputmu dan mengantarku ke kampus. Selama di perjalanan, hanya keheningan yang berpendar di dalam mobil. Suara penyiar radio membuat suasana di antara kami tidak terlalu dingin dan beku. Aku menatap lurus ke depan, memperhatikan hiruk pikuk kota Jakarta. "Saya tidak suka melihat kamu berpakaian seperti itu." Suara Kevin membuat tatapanku berpaling. Kevin memperhatikan dari atas kepala hingga sebatas paha. Aku langsung menyilangkan kaki dan menutup pahaku yang terbuka bebas dengan telapak tangan. Dasar otak mesum! "Dasar modus! Ngakunya aja nggak suka, tapi matanya sampai mau keluar gitu!" Kevin mengerutkan kening. "Saya serius. Menurut saya, sangat penting bagi wanita untuk menutupi aurat mereka, agar terhindar dari kejahatan yang tidak terduga, serta godaan dari pria hidung belang." "Kamu nyindir diri sendiri ya?" Aku menyeringai geli. Merasa jenaka dengan perumpamaan Kevin in
Aku menatap nanar bayanganku di cermin. Wajahku dipoles dengan make up, rambutku dibentuk menjadi sanggul. Malam ini, aku memakai kebaya biru muda dan rok batik. Berulang kali aku mengatur napas, berusaha menghalau perasaan gugup.“Kalo gugup itu biasa, tapi jangan terlalu panik. Dulu waktu Mas kamu melamar Mbak Dyas, Mbak juga cemas dan takut seperti kamu.”Mbak Dyas—istri Mas Emil, mulai menyentuh pundakku. Aku menatap pantulan Mbak Dyas dari cermin. Dia terlihat cantik memakai dress batik.“Mbak, aku pernah jujur dengan Kevin, kalau aku udah nggak virgin lagi,” ucapku seraya menundukkan kepala. Tidak berani menatap air muka Mbak Dyas yang mungkin terkejut luar biasa.“Apa?” Seperti dugaanku sebelumnya, Mbak Dyas berteriak kaget. “Reyna, kamu udah gila, ya? Kamu sadar nggak dengan ucapan kamu sendiri? Itu adalah doa!”Kini Mbak Dyas memutar tubuhku hingga kami saling berhadapan.“Hanya itu satu-satunya cara agar Kevin menolak perjodohan ini.““Terus Kevin percaya?”Aku hanya mengang
Lampu berkerlap-kerlip memenuhi ruangan, dentuman musik terdengar kencang ketika aku memasuki tempat hiburan malam tersebut. Kulihat sosok Arman duduk di kursi depan meja bar sembari menenggak minumannya. Ya, dia memang baru saja mengajakku untuk bertemu di tempat ini. “Apa yang mau kamu bicarakan denganku?” Aku langsung to the point, setelah mendaratkan bokong di sebelahnya. “Aku mau cerai, Rey.” Suara laki-laki itu terdengar parau. Ia kembali menenggak minumannya hingga habis. Aku cukup terkejut mendengar ucapan Arman. Tapi aku tidak merasa kasihan sedikit pun padanya. Lagi pula, itu bukan urusanku. “Jadi … ini hal penting yang mau kamu bilang sama aku? Sorry, Arman, tapi hubungan rumah tangga kamu sama sekali bukan urusanku!” Laki-laki itu tertawa, meracau tidak jelas pada sang bartender untuk menambah minumannya lagi. “Bagaimana pernikahan kamu dengan laki-laki pilihan orang tua kamu itu?” “Sangat baik,” jawabku ketus. Pura-pura terlihat bahagia meski dalam hati sebenarnya
“Ananda Kevin Narendra Halim bin Faizal Halim, aku nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandungku, Reyna Prameswari Wijaya binti Deni Wijaya dengan mas kawinnya berupa seperangkat alat shalat dan uang berjumlah sembilan belas juta rupiah dibayar tunai.” Sambil menjabat tangan Kevin, Papa bersuara lantang. “Saya terima nikah dan kawinnya Reyna Prameswari binti Deni Wijaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Bagaimana, sah?” Penghulu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. “Sah.” “Alhamdulillaah ….” Di saat semua pengantin menitikkan air mata karena terharu bahagia, aku justru menangis karena sebentar lagi hidupku akan sangat menyedihkan setelah menikah dengan Kevin. Setelah menyematkan cincin di jari manisku, Kevin mencium keningku cukup lama. Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Seperti yang sudah ditentukan oleh pihak keluarga kami dan menuruti wasiat orang tua Kevin, pernikahan ini berlangsung saat umurku sudah menginjak 25 tahun—tepat pada tanggal 19 Desember.
"Kevin mana, Rey?" Mama menghampiriku dan duduk di sofa, tepat di sebelahku. Aku meluruskan kaki di atas meja, merasakan pegal-pegal. "Tidur di kamar," balasku sekenanya. "Baru juga sampe udah molor aja." "Kemarin dia nggak bisa tidur semalaman gara-gara aku kasih kopi. Mama terkesiap. "Ha? Yang bener?" "Hm." "Kasihan, pasti dia capek banget ya, Rey. Coba sana kamu ke kamar pijitin badan dia." "Ih, Reyna juga capek kali, Ma. Jelas-jelas Reyna yang nyetir mobilnya dari Bogor sampai Jakarta tadi." "Tapi tetap aja, secapek-capeknya istri, harus ada kasih perhatian lebih sama suami. Udah sana pijitin, kasian Kevin." Mama mendorong tubuhku. "Males ah, memangnya aku pembantunya, tukang pijit, si Mak Erot!" "Yee, kamu ini. Nggak ada ikhlas-ikhlasnya melayani suami." "Dari awal aku memang nggak mau nikah sama dia." Mama menyipitkan matanya tajam, tatapan tidak suka. "Jangan bahas itu lagi! Sekarang kamu sama dia sudah menikah! Percuma juga karena nasi udah menjadi bu
Apartemen Kevin minimalis. Ruang televisi dan dapurnya menjadi satu. Sofa bernuansa krem berada di tengah-tengah ruangan. Di dinding ada beberapa foto orangtuanya. Serta foto Wanda yang tengah tersenyum manis dan juga Nenek yang sedang tertawa. Namun yang membuatku cukup terkejut adalah, foto pernikahan kami juga terpampang di dinding. Di foto tersebut, Kevin tersenyum, memperlihatkan gurat wajah bahagia pengantin baru. Sedangkan aku, hanya tersenyum tipis. Bahkan sangat tipis, sampai aku pikir kalau itu bukan senyuman tapi wajah cemberut. Namun masih terlihat cute. Apartemen Kevin terdiri dari dua kamar tidur dan dua kamar mandi. Satu di dekat dapur, satu lagi di dalam kamar utama. Lagi-lagi kami harus tidur satu kamar. Ini konyol! Padahal aku bisa memakai kamar sebelah. Tapi kamar itu terkunci rapat. Kevin melarangku masuk ke dalam kamar misterius itu. Sempat terpikir olehku kalau kamar itu tempat penyimpanan mayat. Dan pekerjaan Kevin sebagai buronan tiba-tiba terlintas di kepal
Ayla: Aku sudah pulang kampus. Mas-Mas Tua Jelek: Aku sudah di parkiran kampus. "Hah? Gila!" Aku segera bergegas menuju pelataran kampus dan menemukan mobil Fortuner miliknya. Saat baru akan merebahkan tubuh di kursi depan, dia berhasil membuatku tercengang dengan penampilannya. Astaga, Tuhan. Kevin terlihat tampan. Laki-laki itu memakai kaos Polo. Setiap kali Kevin memakai kaos seperti itu, dia jauh terlihat lebih muda dan ganteng. Oke, aku akui dia memang ganteng. Berhubung lengan kaosnya pendek, otot bisepnya jadi terpampang jelas. Dan kali ini, ada kaca mata Oakley yang membingkai wajahnya. Apa dia sengaja menggoda imanku dengan gaya berpakaian seperti itu? "Kamu sudah makan siang?" Dia melemparkan tatapan ke arahku dengan tiba-tiba hingga aku tersentak dan mengerjapkan mata. Segera kutepis pikiran aneh yang mengagumi penampilan si tua ini. Aku hanya menggeleng. Kembali menatap ke depan. Lurus. "Kamu mau makan di mana, Sayang?" tanya Kevin lagi. "Makan di rumah Mama aja
Aku mengerti, mengapa tiga hari yang lalu Kevin memintaku untuk menjemput mobil di rumah Mama. Ternyata, agar aku bisa bepergian sendiri tanpa perlu diantar oleh Kevin saat dia menghilang. Kini sudah hampir lima hari Kevin pergi. Aku tidak tahu dia berada di mana, sedang apa, dan bersama siapa. Yang kutahu, dia pergi ketika aku masih tertidur pulas. Kevin hanya meninggalkan secarik kertas yang memberitahuku kalau dia sedang pergi bekerja.Malam ini, apartemen terlihat sangat sepi, hanya ada aku sendiri. Aku mengambil ponselku dan menghubungi Mama."Ma ...." Nadaku terdengar sendu."Kalau nelepon itu, ucap salam dulu, Reyna!" Mama menegurku, mengajariku seperti anak kecil."Lupa," jawabku singkat. "Aku kesepian tinggal sendirian di sini, Ma.""Emangnya Kevin ke mana? Kerja, ya?" tanya Mama."Tahu ah, minggat kali. Atau jangan-jangan Kevin diculik!" ujarku bercanda namun dengan nada yang serius."Hush, kamu ini kalau ngomong suka asal.""Siapa yang asal sih, Ma. Itu doa Reyna yang tersi
Aisha dan Widyo langsung merangkul Widuri, dan membawanya ke UKS. "Gue nggak peduli kalau artikel-artikel menyatakan, marah itu bisa bikin kita cepat tua. Sumpah, gue nggak peduli bakalan cepat tua dari umur gue yang seharusnya kalau sikap mereka kayak gini terus. Kita sebagai murid-murid berhak dapat perlindungan dari para pembully di sekolah!" Aisha terus meracau tidak jelas saat mereka sudah berada di UKS. Sementara, Widuri meringis kesakitan saat Widyo mengobati lututnya perlahan dengan obat merah. "Ini pertama kalinya sejak Aisha masuk sekolah, dia kembali melawan teman-temannya. Biasanya dia cuma diam aja kalau dibully sama mereka." Widyo berbicara kepada Widuri. "Lo harus bersyukur punya temen kayak Aisha yang rela mencelakai dirinya sendiri demi melindungi orang lain." Widuri hanya diam. "Wid ...." Aisha menepuk pundak Widuri. "Kalau ada yang nyakitin Lo dan bikin lo menderita lagi, Lo tinggal lapor sama gue. Kita nggak boleh kelihatan lemah di hadapan mereka. Karena
Widyo membawa Aisha menuju belakang sekolah. Duduk di sebuah kursi kayu panjang yang berada di bawah rimbunan pohon. Tak ada orang lain di sini kecuali hanya mereka berdua. "Kenapa kakak bawa gue pergi? Kalau Kakak nggak nahan gue, mungkin gue udah bisa nonjok muka cowok sialan itu habis-habisan." Aisha terus meracau sembari menangis sesenggukan. Widyo hanya tertawa tanpa berkomentar hingga menunggu beberapa menit sampai Aisha merasa tenang kembali. "Udah puas nangisnya? Hapus air mata lo. Sama sekali nggak berguna dan hanya bikin lo keliatan jadi lemah." Widyo mengulurkan sapu tangannya. Aisha menerima saputangan itu. Langsung menyemburkan ingusnya kuat-kuat. Widyo tidak merasa jijik. Justru terkekeh geli. "Kakak ngetawain gue?" Aisha menoleh ke arah Widyo. Kesal. Widyo hanya menggeleng. "Terus kenapa Kakak ketawa?" Widyo kembali menggeleng. Melipat mulutnya rapat-rapat. "Ternyata selain bisa ngomong, Kakak juga bisa ketawa. Hebat." Widyo mengerutkan alisnya bingung. "
"Sebenarnya aku takut ke sekolah." Begitu penuturan Aisha saat mereka sedang sarapan pagi bersama. Tanpa kehadiran Kevin dan Ari karena keduanya --- lagi-lagi --- pergi melakukan rute penerbangan. Hanya ada Reyna dan Aydan di ruang makan sembari menatap Aisha dengan mata melotot lebar. "Kenapa kamu takut sekolah, Sayang?" Reyna berhenti menyentuh makanannya. "Aku takut kalau tahu tentang kejadian ini dan mereka bakalan meledek aku habis-habisan," desis Aisha lagi dengan suara parau. Pelan-pelan menggigit roti selainya meski tanpa selera. "Mbak, mau denger cerita lucu nggak. Kemarin di sekolahku ada cewek tomboy, terus dia ngelempar sebelah sepatunya ke arah Ay supaya dapat perhatian Ay. Tapi Ay diemin aja dan sengaja nendang sepatunya ke arah tong sampah. Terus dia marah-marah sambil teriak 'awas lu ye. Besok gue lempar sekalian pake kaos kaki biar lo kesemsem. Gua sumpahin lu suka sama gua, terus gua tolak lu mentah-mentah'." Jeda lima detik. "Alasan Ay semangat sekolah hari i
Ada cinta yang berakhir dengan kesedihan. Ada cinta yang rela untuk dilepaskan dan ada cinta yang patut untuk dipertahankan. Tantri harus menerima kenyataan kalau dia harus rela melepaskan Aisha, karena gadis itu bukan ditakdirkan bersamanya. Begitu pula dengan Aisha yang akhirnya paham meskipun telat menyadari; kalau tak ada pelukan yang paling hangat selain keluarga. Dan tak ada tempat yang paling nyaman selain rumah sendiri. Karena keluarga akan tetap menjadi rumah terbaik bagi setiap insan. "Dengarkan Ayah baik-baik, anakku. Sampai kapan pun, meski di dunia ini lahir beribu anak, tetap Aisha kesayangan Ayah sama Bunda, tetap Aisha yang Ayah mau di bumi, dan tetap Aisha yang akan kami jaga hingga dewasa nanti. Semua tetap sama, nggak ada yang berubah. Kalau ada yang bilang Aisha anak haram, nggak jelas asal-usulnya, atau anak pungut. Mereka salah besar, karena Ayah dan Bunda Aisha itu cuma satu, yaitu kami. Aisha punya Bunda yang hebat dan pinter masak, Aisha juga punya Ayah seor
Kevin langsung memasuki kamarnya. Ia melihat Reyna tidur di sudut kasur sambil menghadap ke dinding, Kevin langsung naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Reyna dari belakang. "Are you okay, Bun?" Buru-buru Reyna menghapus air matanya. Dia berbalik untuk berhadapan dengan Kevin. "Kamu sudah pulang, Mas?" "Jangan suka mengalihkan pembicaraan. Nih lihat, aku bisa ngerasain bekas air mata kamu." Kevin mengusap wajah Reyna. "Kenapa, Bun? Coba cerita sama aku selagi aku di sini. Ntar kalau aku udah terbang jauh, kamu malah suka rindu." Reyna mencubit perut Kevin dengan gemas. "Ge-er kamu!" Kevin tertawa. "Kamu tahu apa yang Aydan biang waktu denger kamu nangis?" Reyna diam. "Aydan sedih karena dia gagal bikin kamu bahagia. Ketika kamu menangisi satu anak yang sama sekali nggak mikirin kamu, tanpa kamu sadari ada anak lain yang sedang menangis karena kamu." Lalu yang terjadi, Reyna justru kembali terisak. "Aku kangen Aisha, Mas. Aku kangen dia. Kenapa dia nggak pernah angkat telepon
Tantri benar-benar malu harus dipanggil ke sekolah akibat kenakalan bukan karena prestasi Aisha. "Kamu itu udah gede, Aisha. Memangnya nggak malu berantem kayak sinetron di sekolah?" ujarnya saat mereka berada di parkiran sekolah Aisha. "Bukan aku yang mulai duluan, tapi cewek sok kecakepan itu." Aisha menjawab dengan kesal. "Kenapa lo belain gue?" tanya sebuah suara dari belakang mereka. Aisha dan Tantri berbalik, lalu mendapati Widuri berdiri dengan mata sembab. "Gue bukan belain lo. Gue cuma nggak suka ada yang ikut campur sama masalah orang lain. Merasa dirinya itu udah paling benar aja," balas Aisha ketus. "Gue pikir lo bakal balas dendam sama gue, untuk apa yang udah gue lakuin ke lo," ujar Widuri lagi sambil kedua tangannya mengepal. Malu rasanya dibela oleh orang yang sudah dia buat rumit hidupnya. Jika saja, Widuri tidak memberitahu teman-teman bahwa Aisha adalah anak pungut, mungkin gadis itu masih tinggal bersama keluarganya. Kau tahu, rasa iri memang sangat berbahaya
Sesampainya di rumah, Reyna langsung duduk di sofa. Hati, perasaan, dan pikirannya sudah teramat lelah. Mbok Imah masuk ke ruang tengah sambil membawa nampan berisi dia gelas air putih. "Sepertinya Ibu capek banget, ya. Mau tak pijitin ndak? Kebetulan kemarin saya habis bawa minyak urut paling yahud dari kampung." Mbok Imah langsung mengambil posisi di hadapan Reyna. Membungkuk sampai berhadapan dengan sepasang kaki Reyna. "Minyak urut ini terkenal mahal lho, Bu. Saya belinya sama Mbah Erot. Konon katanya si Mbah Erot punya kekuatan magic yang super duper ampuh!" "Jangan mau dipijitin pake minyak urutnya Mbok Imah, Bunda." Aydan ikut nimbrung duduk di sofa sebelah Reyna. "Kalau Mbok percaya sama hal-hal magis, itu namanya syirik. Pasti di dalam botol minyak urutnya Mbok Imah banyak setan dan jin yang lagi berenang." ", moso sih, Den? Emang mereka bisa berenang?" Wajah Mbok Imah teramat polos ketika memperhatikan botol minyak urut tersebut. Aydan mengangguk, semakin mengelabui Mbok
"Maafin Reyna, ya. Dia bersikap seperti itu karena dia terlalu menyayangi Aisha." Kevin mengambil posisi duduk di sebelah Tantri. "Aku mengerti, Vin. Aku juga ingin melakukan yang terbaik untuk Aisha." Suara Tantri bergetar. "Aku sayang sama Aisha, sudah menganggapnya seperti anakku sendiri." "Kamu tahu, Tan ...." Kevin mulai memberinya nasihat, "butuh waktu bertahun-tahun bagi Reyna untuk bikin Aisha nyaman dengannya. Tapi, sampai saat ini pun, Reyna masih saja merasa gagal. Padahal menurutku, semua ini hanya masalah waktu. Aisha masih belum beranjak dewasa. Maka dari itu mengapa kesabaran orang tua itu begitu penting." "Mungkin, aku memang nggak lantas menjadi seorang ibu, Vin." Tantri mengelap matanya yang terus basah. Ada rasa sakit yang tiba-tiba mengimpit dadanya mengingat kenyataan itu. Sejujurnya Kevin tidak tega melihat hal ini. Ia berusaha menenangkan Tantri, mengangkat tangan kanannya untuk mengusap punggung Tantri. "Nggak ada perempuan yang nggak lantas menjadi seoran
Di kelas lain, gosip tentang Aisha ikut jadi pembicaraan dan beredar luas. Bahkan gosipnya sampai heboh ke kelas 12. Lebih tepatnya, dibicarakan oleh rombongan cowok yang mengidolakan Aisha. "Jadi benar, kalau Aisha anak kelas 10 itu anak adopsi, ya?" tanya Arjun pada Bima --- yang selama ini dikenal sebagai fans berat Aisha. "Menurut kabar yang beredar sih, begitu. Katanya Aisha itu cuma anak pungut, bukan anak kandung ayahnya yang pilot itu. Intinya, gue nggak perlu punya Alphard dulu kalau suka sama dia, hahaha." Bima tertawa pelan. "Serius lo?" Ardian meninggalkan buku yang sedang dia baca, lalu menatap temannya lekat-lekat. "Jangan pada gosipin oranglah, dosa. Lagian, mau dia anak adopsi atau bukan, dia tetap cewek manis yang pintar kan, Bim." sambung Yudi lagi, yang langsung dibalas anggukan oleh Bima. Pada saat semua teman-temannya sibuk menceritakan Aisha, di tempat yang sama, Widyo justru melakukan hal yang berbeda. Dia hanya diam. Meskipun memakai earphone, dia masih bi