Skripsi dan perjodohan berhasil membuat kepalaku hampir pecah. Hari ini aku sengaja tidak masuk kampus untuk menghindari Kevin. Sebelumnya, aku dan teman-temanku sudah janjian akan bertemu di salah satu kafe--di tempat kami biasa berkumpul.
"Kenapa wajah lo kayak pakaian yang belum disetrika?" tanya Riska, saat aku baru duduk di hadapannya. "Hampir gila gue!" celetukku sambil mengusap wajah frustrasi. "Karena mau dinikahin ya, cyin?" Suara kemayu Ivan, membuat dahiku berkerut. Namun, yang terpekik kaget bukan aku melainkan Riska. "Reyna mau nikah? Sama siapa? Si Arman, ya? Wuih, jadi juga ternyata." "Bukan sama Arman, ibu-ibu." Aku menatap kedua temanku secara bergantian. "Tapi, dengan si mas-mas tua!" "Mas-mas tua?" Seperti ada ikatan batin, Riska dan Ivan bertanya serentak. Tatapan mereka antara bingung dan kaget. Aku tidak langsung menjawab, mataku terpaku pada sosok Ivan, menatapnya curiga. "Lo tahu dari mana kalo gue bakalan nikah?" tanyaku menyelidik, memperhatikan penampilan Ivan yang lebih cocok jadi tukang creambath salon daripada cowok tulen. "Yaelah, cyin. Kemarin Tante Dewi mampir ke butik gue, terus beliau minta tolong sama gue untuk desain baju pengantin. Pas gue tanya siapa yang mau nikah, eh ... Tante Dewi cuma jawab anak perempuan satu-satunya yang bakal melepas masa lajang. Terus siapa lagi anak perempuan Tante Dewi kalo bukan elo!" Riska langsung menarik kursinya ke depan dan menarik tanganku untuk digenggam. "Rey, cerita dong apa yang terjadi sebenarnya. Kita ini kan teman lo dan kita wajib tahu. Terus kenapa lo sama Arman tiba-tiba putus gitu aja?" Kulepas genggaman Riska perlahan sambil memijat pelipis. Potongan demi potongan kejadian tentang nasib sialku bersama Kevin kembali mengusik pikiran. "Gue udah dijodohin dengan laki-laki asing, tua, anaknya teman Papa. And you know, bahkan kami berdua nggak pernah saling kenal. Tapi, orang tua gue udah mantap banget untuk jadiin dia sebagai suami gue. Nyebelin, kan?" Ivan, yang sedari tadi tengah menyeruput minumannya langsung tersedak. "Maksudnya, lo bakal dinikahin sama Datuk Maringgih? Sebelas-dua belas dong, sama nasib Siti Nurbaya. Yang sabar ya, cyin." "Yee, dia emang tua sih, jelek, berbulu, hitam, mirip gorila, Hulk, monster buruk rupa. Tapi gak setua Datuk Maringgih! Emak gue mikir-mikir juga kali kalo cari calon buat anak perempuan semata wayangnya ini." "Ih, emangnya sejelek itu ya, Rey?" Aku menatap wajah Riska yang polos, dengan sangat yakin. "Ih jelek banget pokoknya. Bahkan lebih jelek lagi dari monster di film Beauty and The Beast." Mendengar perumpamaanku, Ivan dan Riska langsung mengerutkan wajahnya jijik. Ternyata mudah sekali membodohi mereka, padahal kalau dipikir-pikir mereka itu jauh lebih pintar daripada aku. Pertama, karena Ivan dan Riska berhasil wisuda tepat waktu dan mendapatkan predikat cum laude. Kedua, mereka berhasil mengejar impiannya; Dilan membuka butik dan menjadi seorang desainer, sedangkan Riska bekerja di salah satu perusahaan multi nasional di Jakarta. "Terus, gimana nasib perjalanan cinta melodrama lo dengan Arman?" tanya Ivan penasaran. Aku lantas memutar bola mata jengah. Sejak rasa sakit hati akibat perbuatan Arman kemarin, nama laki-laki itu murni terhapus dari daftar potensialku dan masuk ke jajaran daftar orang yang paling kubenci. "Si bre***ek itu ternyata udah nikah! Gila nggak tuh cowok! Otaknya di mana,sih, masa gue dijadiin sebagai orang ketiga!" Riska dan Ivan saling bertukar pandang dengan mulut terbuka lebar, tidak percaya. "Sumpah Lo!? Ya ampun, Rey, kok dia itu tega banget, sih?" Aku hanya mengangkat bahu malas-malasan mendengar tanggapan Riska. Sedangkan Ivan, mengkritik dengan pedas. "Sebenarnya sih, bukan si Arman-nya yang gila dan nggak punya otak. Tapi, lo aja yang dungu, bisa-bisanya terperdaya. Masa iya sih, selama pacaran, lo nggak tahu seluk beluk si Arman?" "Lo tahu sendiri kan, kalo gue tuh tipe orang yang gak pengen tahu banget. Jadi gue pikir Arman itu cowok baik-baik. Ternyata sama busuknya dengan laki-laki lain." Aku bukan tipe wanita yang suka mengorek informasi tentang pasangannya. Jika hubungan itu dimulai atas dasar suka sama suka dan cinta, maka kepercayaan itu akan muncul dengan sendirinya. Dan selama ini aku percaya-percaya saja sama Arman. Tapi, ternyata ... ah, sudahlah. Membahas laki-laki tidak berguna itu hanya akan membuatku makan hati. "Huh ... untung gue udah nggak laki lagi, tapi masih berpihak di tengah-tengah. Di bilang laki tulen, kagak. Mau dibilang cewek feminin, masih mikir-mikir," desis Ivan berbangga diri. Aku dan Riska jadi tertawa. Kini suasana sudah tidak lagi panas karena emosi. "Udahlah, Rey, setidaknya berkat perjodohan ini, lo jadi tahu kebusukan Arman, kan? Mending sekarang lo ikutin aja deh perjodohan yang udah dirancang oleh orang tua lo itu. Mereka pasti udah cariin calon yang pas dan lebih baik buat hidup lo di masa yang akan datang." Mataku menyipit tajam saat memandang Riska. Benar-benar tidak setuju dengan usulnya. Aku menyilangkan tangan di dada. "Jadi, lo setuju dengan rencana orang tua gue? Lo senang ya kalo gue punya anak yang jelek-jelek karena nikah sama si mas-mas tua itu?" "Idih, Rey, anak itu titipan Tuhan keleus. Mau jelek, mau cakep, mau laki kayak gue, tetep aja orang tua harus menerima mereka apa adanya." Hatiku langsung tersentil. Kukatup bibirku rapat-rapat dan diam seketika. Perasaanku mulai tidak enak hati pada Ivan, mungkin dia merasa tersindir karena ucapan asalku tadi. "Reyna, kenapa kamu pergi tidak mengabari saya terlebih dulu?" Tiba-tiba saja suara familiar muncul merasuki gendang telingaku. Aku menoleh ke samping dan nyaris terjengkang dari kursiku. Entah datang dari planet mana, Kevin sudah berada di sekitarku. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, laki-laki itu langsung menarik kursi dan duduk tepat di sebelahku. "Kamu ngapain di sini?" Suaraku terbata-bata. Dari mana Kevin bisa tahu aku ada di sini? Kucubit pipiku dan berharap kalau semua ini hanya mimpi. Awh, terasa sakit. Berarti ini benar-benar nyata. Kevin benar-benar ada di sebelahku. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba-Mu ini. "Amboi! Jalan-jalan ke rumah si Ateng, biar tidak tersesat jangan malu untuk bertanya. Wahai si mas yang ganteng, kalo boleh tahu siapa namanya?" Dengan centil, Ivan mengedipkan sebelah matanya berulang kali sembari menyentuh tubuh kekar Kevin. "Ih, ganteng pisan si Mas, euy. Datang dari peradaban mana sih, Mas?" Kini giliran Riska yang menyodorkan pertanyaan aneh. Sedangkan aku, masih fokus memandang Kevin dengan tatapan membunuh. "Apa yang kamu lakukan di sini dan dari mana kamu tahu aku ada di sini?" Kevin hanya membalas dengan senyuman. Berhasil membuat Ivan dan Riska kembali berdecak kagum melihat senyuman Kevin. Ya ampun, mereka tidak tahu saja kalau senyum Kevin itu murahan banget! "Saya mengawasi gerak-gerik kamu. Ternyata kamu bolos kuliah dan malah keluyuran," ucapnya dengan tenang. "Awas aja, kalo kamu berani ngadu sama Mama dan Papa kalo aku bolos kuliah!" Kevin hanya mengedikkan bahu santai sambil tersenyum simpul. Lagi-lagi senyuman menyebalkan khas dirinya. "Oke, tapi dengan satu syarat." "Syarat apa?" Aku menatapnya curiga. "Ikut saya pulang." Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba Kevin langsung menarik tanganku dan membawaku pergi keluar dari kafe. Catat, secara terpaksa. 🎗️🎗️🎗️🎗️🎗️Aku terus meracau tidak jelas selama di perjalanan, sedangkan Kevin hanya menanggapi semua omelanku dengan senyuman, anggukan, dan tawa. Hampir satu jam lebih menempuh perjalanan tanpa terkena macet, akhirnya mobil yang dikendarai Kevin berhenti di depan rumah berpilar putih dengan halaman yang cukup luas. “Kita sudah sampai.” Aku enggan menggubris maupun menoleh. Tanganku terus mencengkeram seatbelt. “Kamu tidak mau tidur di sini semalaman kan, Reyna?” Kevin berujar tenang. Aku segera menoleh ke samping menatapnya dengan wajah murka maksimal. “Kamu menculikku!” Kevin tertawa sekilas. “Saya tidak menculik kamu, Reyna. Saya cuma bawa kamu ke rumah Nenek. Memangnya salah?” “Kenapa nggak bilang dulu kalo mau bawa aku pergi sejauh ini? Kamu udah bohong sama aku, jadi tetap aja ini namanya penculikan! Aku nggak bisa tinggal diam, aku harus bilang rencana buruk kamu sama Mama dan Papa. Pinjam handphone!” Sialnya lagi, ponselku kehabisan baterei. Jadi aku tidak bisa menghubun
Hari ini kembali berjalan sama seperti biasanya, tanpa berubah sama sekali. Kevin masih bersikukuh menjemputmu dan mengantarku ke kampus. Selama di perjalanan, hanya keheningan yang berpendar di dalam mobil. Suara penyiar radio membuat suasana di antara kami tidak terlalu dingin dan beku. Aku menatap lurus ke depan, memperhatikan hiruk pikuk kota Jakarta. "Saya tidak suka melihat kamu berpakaian seperti itu." Suara Kevin membuat tatapanku berpaling. Kevin memperhatikan dari atas kepala hingga sebatas paha. Aku langsung menyilangkan kaki dan menutup pahaku yang terbuka bebas dengan telapak tangan. Dasar otak mesum! "Dasar modus! Ngakunya aja nggak suka, tapi matanya sampai mau keluar gitu!" Kevin mengerutkan kening. "Saya serius. Menurut saya, sangat penting bagi wanita untuk menutupi aurat mereka, agar terhindar dari kejahatan yang tidak terduga, serta godaan dari pria hidung belang." "Kamu nyindir diri sendiri ya?" Aku menyeringai geli. Merasa jenaka dengan perumpamaan Kevin in
Aku menatap nanar bayanganku di cermin. Wajahku dipoles dengan make up, rambutku dibentuk menjadi sanggul. Malam ini, aku memakai kebaya biru muda dan rok batik. Berulang kali aku mengatur napas, berusaha menghalau perasaan gugup.“Kalo gugup itu biasa, tapi jangan terlalu panik. Dulu waktu Mas kamu melamar Mbak Dyas, Mbak juga cemas dan takut seperti kamu.”Mbak Dyas—istri Mas Emil, mulai menyentuh pundakku. Aku menatap pantulan Mbak Dyas dari cermin. Dia terlihat cantik memakai dress batik.“Mbak, aku pernah jujur dengan Kevin, kalau aku udah nggak virgin lagi,” ucapku seraya menundukkan kepala. Tidak berani menatap air muka Mbak Dyas yang mungkin terkejut luar biasa.“Apa?” Seperti dugaanku sebelumnya, Mbak Dyas berteriak kaget. “Reyna, kamu udah gila, ya? Kamu sadar nggak dengan ucapan kamu sendiri? Itu adalah doa!”Kini Mbak Dyas memutar tubuhku hingga kami saling berhadapan.“Hanya itu satu-satunya cara agar Kevin menolak perjodohan ini.““Terus Kevin percaya?”Aku hanya mengang
Lampu berkerlap-kerlip memenuhi ruangan, dentuman musik terdengar kencang ketika aku memasuki tempat hiburan malam tersebut. Kulihat sosok Arman duduk di kursi depan meja bar sembari menenggak minumannya. Ya, dia memang baru saja mengajakku untuk bertemu di tempat ini. “Apa yang mau kamu bicarakan denganku?” Aku langsung to the point, setelah mendaratkan bokong di sebelahnya. “Aku mau cerai, Rey.” Suara laki-laki itu terdengar parau. Ia kembali menenggak minumannya hingga habis. Aku cukup terkejut mendengar ucapan Arman. Tapi aku tidak merasa kasihan sedikit pun padanya. Lagi pula, itu bukan urusanku. “Jadi … ini hal penting yang mau kamu bilang sama aku? Sorry, Arman, tapi hubungan rumah tangga kamu sama sekali bukan urusanku!” Laki-laki itu tertawa, meracau tidak jelas pada sang bartender untuk menambah minumannya lagi. “Bagaimana pernikahan kamu dengan laki-laki pilihan orang tua kamu itu?” “Sangat baik,” jawabku ketus. Pura-pura terlihat bahagia meski dalam hati sebenarnya
“Ananda Kevin Narendra Halim bin Faizal Halim, aku nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandungku, Reyna Prameswari Wijaya binti Deni Wijaya dengan mas kawinnya berupa seperangkat alat shalat dan uang berjumlah sembilan belas juta rupiah dibayar tunai.” Sambil menjabat tangan Kevin, Papa bersuara lantang. “Saya terima nikah dan kawinnya Reyna Prameswari binti Deni Wijaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Bagaimana, sah?” Penghulu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. “Sah.” “Alhamdulillaah ….” Di saat semua pengantin menitikkan air mata karena terharu bahagia, aku justru menangis karena sebentar lagi hidupku akan sangat menyedihkan setelah menikah dengan Kevin. Setelah menyematkan cincin di jari manisku, Kevin mencium keningku cukup lama. Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Seperti yang sudah ditentukan oleh pihak keluarga kami dan menuruti wasiat orang tua Kevin, pernikahan ini berlangsung saat umurku sudah menginjak 25 tahun—tepat pada tanggal 19 Desember.
"Kevin mana, Rey?" Mama menghampiriku dan duduk di sofa, tepat di sebelahku. Aku meluruskan kaki di atas meja, merasakan pegal-pegal. "Tidur di kamar," balasku sekenanya. "Baru juga sampe udah molor aja." "Kemarin dia nggak bisa tidur semalaman gara-gara aku kasih kopi. Mama terkesiap. "Ha? Yang bener?" "Hm." "Kasihan, pasti dia capek banget ya, Rey. Coba sana kamu ke kamar pijitin badan dia." "Ih, Reyna juga capek kali, Ma. Jelas-jelas Reyna yang nyetir mobilnya dari Bogor sampai Jakarta tadi." "Tapi tetap aja, secapek-capeknya istri, harus ada kasih perhatian lebih sama suami. Udah sana pijitin, kasian Kevin." Mama mendorong tubuhku. "Males ah, memangnya aku pembantunya, tukang pijit, si Mak Erot!" "Yee, kamu ini. Nggak ada ikhlas-ikhlasnya melayani suami." "Dari awal aku memang nggak mau nikah sama dia." Mama menyipitkan matanya tajam, tatapan tidak suka. "Jangan bahas itu lagi! Sekarang kamu sama dia sudah menikah! Percuma juga karena nasi udah menjadi bu
Apartemen Kevin minimalis. Ruang televisi dan dapurnya menjadi satu. Sofa bernuansa krem berada di tengah-tengah ruangan. Di dinding ada beberapa foto orangtuanya. Serta foto Wanda yang tengah tersenyum manis dan juga Nenek yang sedang tertawa. Namun yang membuatku cukup terkejut adalah, foto pernikahan kami juga terpampang di dinding. Di foto tersebut, Kevin tersenyum, memperlihatkan gurat wajah bahagia pengantin baru. Sedangkan aku, hanya tersenyum tipis. Bahkan sangat tipis, sampai aku pikir kalau itu bukan senyuman tapi wajah cemberut. Namun masih terlihat cute. Apartemen Kevin terdiri dari dua kamar tidur dan dua kamar mandi. Satu di dekat dapur, satu lagi di dalam kamar utama. Lagi-lagi kami harus tidur satu kamar. Ini konyol! Padahal aku bisa memakai kamar sebelah. Tapi kamar itu terkunci rapat. Kevin melarangku masuk ke dalam kamar misterius itu. Sempat terpikir olehku kalau kamar itu tempat penyimpanan mayat. Dan pekerjaan Kevin sebagai buronan tiba-tiba terlintas di kepal
Ayla: Aku sudah pulang kampus. Mas-Mas Tua Jelek: Aku sudah di parkiran kampus. "Hah? Gila!" Aku segera bergegas menuju pelataran kampus dan menemukan mobil Fortuner miliknya. Saat baru akan merebahkan tubuh di kursi depan, dia berhasil membuatku tercengang dengan penampilannya. Astaga, Tuhan. Kevin terlihat tampan. Laki-laki itu memakai kaos Polo. Setiap kali Kevin memakai kaos seperti itu, dia jauh terlihat lebih muda dan ganteng. Oke, aku akui dia memang ganteng. Berhubung lengan kaosnya pendek, otot bisepnya jadi terpampang jelas. Dan kali ini, ada kaca mata Oakley yang membingkai wajahnya. Apa dia sengaja menggoda imanku dengan gaya berpakaian seperti itu? "Kamu sudah makan siang?" Dia melemparkan tatapan ke arahku dengan tiba-tiba hingga aku tersentak dan mengerjapkan mata. Segera kutepis pikiran aneh yang mengagumi penampilan si tua ini. Aku hanya menggeleng. Kembali menatap ke depan. Lurus. "Kamu mau makan di mana, Sayang?" tanya Kevin lagi. "Makan di rumah Mama aja
Aisha dan Widyo langsung merangkul Widuri, dan membawanya ke UKS. "Gue nggak peduli kalau artikel-artikel menyatakan, marah itu bisa bikin kita cepat tua. Sumpah, gue nggak peduli bakalan cepat tua dari umur gue yang seharusnya kalau sikap mereka kayak gini terus. Kita sebagai murid-murid berhak dapat perlindungan dari para pembully di sekolah!" Aisha terus meracau tidak jelas saat mereka sudah berada di UKS. Sementara, Widuri meringis kesakitan saat Widyo mengobati lututnya perlahan dengan obat merah. "Ini pertama kalinya sejak Aisha masuk sekolah, dia kembali melawan teman-temannya. Biasanya dia cuma diam aja kalau dibully sama mereka." Widyo berbicara kepada Widuri. "Lo harus bersyukur punya temen kayak Aisha yang rela mencelakai dirinya sendiri demi melindungi orang lain." Widuri hanya diam. "Wid ...." Aisha menepuk pundak Widuri. "Kalau ada yang nyakitin Lo dan bikin lo menderita lagi, Lo tinggal lapor sama gue. Kita nggak boleh kelihatan lemah di hadapan mereka. Karena
Widyo membawa Aisha menuju belakang sekolah. Duduk di sebuah kursi kayu panjang yang berada di bawah rimbunan pohon. Tak ada orang lain di sini kecuali hanya mereka berdua. "Kenapa kakak bawa gue pergi? Kalau Kakak nggak nahan gue, mungkin gue udah bisa nonjok muka cowok sialan itu habis-habisan." Aisha terus meracau sembari menangis sesenggukan. Widyo hanya tertawa tanpa berkomentar hingga menunggu beberapa menit sampai Aisha merasa tenang kembali. "Udah puas nangisnya? Hapus air mata lo. Sama sekali nggak berguna dan hanya bikin lo keliatan jadi lemah." Widyo mengulurkan sapu tangannya. Aisha menerima saputangan itu. Langsung menyemburkan ingusnya kuat-kuat. Widyo tidak merasa jijik. Justru terkekeh geli. "Kakak ngetawain gue?" Aisha menoleh ke arah Widyo. Kesal. Widyo hanya menggeleng. "Terus kenapa Kakak ketawa?" Widyo kembali menggeleng. Melipat mulutnya rapat-rapat. "Ternyata selain bisa ngomong, Kakak juga bisa ketawa. Hebat." Widyo mengerutkan alisnya bingung. "
"Sebenarnya aku takut ke sekolah." Begitu penuturan Aisha saat mereka sedang sarapan pagi bersama. Tanpa kehadiran Kevin dan Ari karena keduanya --- lagi-lagi --- pergi melakukan rute penerbangan. Hanya ada Reyna dan Aydan di ruang makan sembari menatap Aisha dengan mata melotot lebar. "Kenapa kamu takut sekolah, Sayang?" Reyna berhenti menyentuh makanannya. "Aku takut kalau tahu tentang kejadian ini dan mereka bakalan meledek aku habis-habisan," desis Aisha lagi dengan suara parau. Pelan-pelan menggigit roti selainya meski tanpa selera. "Mbak, mau denger cerita lucu nggak. Kemarin di sekolahku ada cewek tomboy, terus dia ngelempar sebelah sepatunya ke arah Ay supaya dapat perhatian Ay. Tapi Ay diemin aja dan sengaja nendang sepatunya ke arah tong sampah. Terus dia marah-marah sambil teriak 'awas lu ye. Besok gue lempar sekalian pake kaos kaki biar lo kesemsem. Gua sumpahin lu suka sama gua, terus gua tolak lu mentah-mentah'." Jeda lima detik. "Alasan Ay semangat sekolah hari i
Ada cinta yang berakhir dengan kesedihan. Ada cinta yang rela untuk dilepaskan dan ada cinta yang patut untuk dipertahankan. Tantri harus menerima kenyataan kalau dia harus rela melepaskan Aisha, karena gadis itu bukan ditakdirkan bersamanya. Begitu pula dengan Aisha yang akhirnya paham meskipun telat menyadari; kalau tak ada pelukan yang paling hangat selain keluarga. Dan tak ada tempat yang paling nyaman selain rumah sendiri. Karena keluarga akan tetap menjadi rumah terbaik bagi setiap insan. "Dengarkan Ayah baik-baik, anakku. Sampai kapan pun, meski di dunia ini lahir beribu anak, tetap Aisha kesayangan Ayah sama Bunda, tetap Aisha yang Ayah mau di bumi, dan tetap Aisha yang akan kami jaga hingga dewasa nanti. Semua tetap sama, nggak ada yang berubah. Kalau ada yang bilang Aisha anak haram, nggak jelas asal-usulnya, atau anak pungut. Mereka salah besar, karena Ayah dan Bunda Aisha itu cuma satu, yaitu kami. Aisha punya Bunda yang hebat dan pinter masak, Aisha juga punya Ayah seor
Kevin langsung memasuki kamarnya. Ia melihat Reyna tidur di sudut kasur sambil menghadap ke dinding, Kevin langsung naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Reyna dari belakang. "Are you okay, Bun?" Buru-buru Reyna menghapus air matanya. Dia berbalik untuk berhadapan dengan Kevin. "Kamu sudah pulang, Mas?" "Jangan suka mengalihkan pembicaraan. Nih lihat, aku bisa ngerasain bekas air mata kamu." Kevin mengusap wajah Reyna. "Kenapa, Bun? Coba cerita sama aku selagi aku di sini. Ntar kalau aku udah terbang jauh, kamu malah suka rindu." Reyna mencubit perut Kevin dengan gemas. "Ge-er kamu!" Kevin tertawa. "Kamu tahu apa yang Aydan biang waktu denger kamu nangis?" Reyna diam. "Aydan sedih karena dia gagal bikin kamu bahagia. Ketika kamu menangisi satu anak yang sama sekali nggak mikirin kamu, tanpa kamu sadari ada anak lain yang sedang menangis karena kamu." Lalu yang terjadi, Reyna justru kembali terisak. "Aku kangen Aisha, Mas. Aku kangen dia. Kenapa dia nggak pernah angkat telepon
Tantri benar-benar malu harus dipanggil ke sekolah akibat kenakalan bukan karena prestasi Aisha. "Kamu itu udah gede, Aisha. Memangnya nggak malu berantem kayak sinetron di sekolah?" ujarnya saat mereka berada di parkiran sekolah Aisha. "Bukan aku yang mulai duluan, tapi cewek sok kecakepan itu." Aisha menjawab dengan kesal. "Kenapa lo belain gue?" tanya sebuah suara dari belakang mereka. Aisha dan Tantri berbalik, lalu mendapati Widuri berdiri dengan mata sembab. "Gue bukan belain lo. Gue cuma nggak suka ada yang ikut campur sama masalah orang lain. Merasa dirinya itu udah paling benar aja," balas Aisha ketus. "Gue pikir lo bakal balas dendam sama gue, untuk apa yang udah gue lakuin ke lo," ujar Widuri lagi sambil kedua tangannya mengepal. Malu rasanya dibela oleh orang yang sudah dia buat rumit hidupnya. Jika saja, Widuri tidak memberitahu teman-teman bahwa Aisha adalah anak pungut, mungkin gadis itu masih tinggal bersama keluarganya. Kau tahu, rasa iri memang sangat berbahaya
Sesampainya di rumah, Reyna langsung duduk di sofa. Hati, perasaan, dan pikirannya sudah teramat lelah. Mbok Imah masuk ke ruang tengah sambil membawa nampan berisi dia gelas air putih. "Sepertinya Ibu capek banget, ya. Mau tak pijitin ndak? Kebetulan kemarin saya habis bawa minyak urut paling yahud dari kampung." Mbok Imah langsung mengambil posisi di hadapan Reyna. Membungkuk sampai berhadapan dengan sepasang kaki Reyna. "Minyak urut ini terkenal mahal lho, Bu. Saya belinya sama Mbah Erot. Konon katanya si Mbah Erot punya kekuatan magic yang super duper ampuh!" "Jangan mau dipijitin pake minyak urutnya Mbok Imah, Bunda." Aydan ikut nimbrung duduk di sofa sebelah Reyna. "Kalau Mbok percaya sama hal-hal magis, itu namanya syirik. Pasti di dalam botol minyak urutnya Mbok Imah banyak setan dan jin yang lagi berenang." ", moso sih, Den? Emang mereka bisa berenang?" Wajah Mbok Imah teramat polos ketika memperhatikan botol minyak urut tersebut. Aydan mengangguk, semakin mengelabui Mbok
"Maafin Reyna, ya. Dia bersikap seperti itu karena dia terlalu menyayangi Aisha." Kevin mengambil posisi duduk di sebelah Tantri. "Aku mengerti, Vin. Aku juga ingin melakukan yang terbaik untuk Aisha." Suara Tantri bergetar. "Aku sayang sama Aisha, sudah menganggapnya seperti anakku sendiri." "Kamu tahu, Tan ...." Kevin mulai memberinya nasihat, "butuh waktu bertahun-tahun bagi Reyna untuk bikin Aisha nyaman dengannya. Tapi, sampai saat ini pun, Reyna masih saja merasa gagal. Padahal menurutku, semua ini hanya masalah waktu. Aisha masih belum beranjak dewasa. Maka dari itu mengapa kesabaran orang tua itu begitu penting." "Mungkin, aku memang nggak lantas menjadi seorang ibu, Vin." Tantri mengelap matanya yang terus basah. Ada rasa sakit yang tiba-tiba mengimpit dadanya mengingat kenyataan itu. Sejujurnya Kevin tidak tega melihat hal ini. Ia berusaha menenangkan Tantri, mengangkat tangan kanannya untuk mengusap punggung Tantri. "Nggak ada perempuan yang nggak lantas menjadi seoran
Di kelas lain, gosip tentang Aisha ikut jadi pembicaraan dan beredar luas. Bahkan gosipnya sampai heboh ke kelas 12. Lebih tepatnya, dibicarakan oleh rombongan cowok yang mengidolakan Aisha. "Jadi benar, kalau Aisha anak kelas 10 itu anak adopsi, ya?" tanya Arjun pada Bima --- yang selama ini dikenal sebagai fans berat Aisha. "Menurut kabar yang beredar sih, begitu. Katanya Aisha itu cuma anak pungut, bukan anak kandung ayahnya yang pilot itu. Intinya, gue nggak perlu punya Alphard dulu kalau suka sama dia, hahaha." Bima tertawa pelan. "Serius lo?" Ardian meninggalkan buku yang sedang dia baca, lalu menatap temannya lekat-lekat. "Jangan pada gosipin oranglah, dosa. Lagian, mau dia anak adopsi atau bukan, dia tetap cewek manis yang pintar kan, Bim." sambung Yudi lagi, yang langsung dibalas anggukan oleh Bima. Pada saat semua teman-temannya sibuk menceritakan Aisha, di tempat yang sama, Widyo justru melakukan hal yang berbeda. Dia hanya diam. Meskipun memakai earphone, dia masih bi