“Saga, jawab aku. Apakah kau berselingkuh?”
Sagara mengerutkan dahinya. Aera sempat melihat gurat panik, dan dengan cepat Sagara segera menutupinya. Aera tersenyum miring kemudian memberikan ponsel pria itu.
“Siapa itu?” tanya Aera kemudian.
“Ini bukanlah apa-apa. Bomi hanya salah satu klienku,” ucapnya setelah membaca pesan yang telah terbuka, lalu meletakkan begitu saja di meja. Sagara pun dengan tenangnya berjalan ke kulkas dan mengambil bir.
Aera hanya mampu tersenyum sinis. “Aku baru tahu jika klien bisa langsung menghubungimu seperti itu. Bukankah seharusnya ia harus menghubungi Nona Park, sekeretarismu?”
Sagara segera berbalik, dan menatap Aera.
Namun, Aera justru semakin sinis mendengar pertanyaan Sagara. “Ah, bukankah kau harus segera pergi untuk menemuinya?” lanjut Aera lagi.
Sagara mendudukkan diri di sebelah Aera. “Tidak. Aku akan tetap di sini. Bomi bukanlah siapa-siapa. Percaya padaku.”
Aera bergeming. Sagara menggenggam tangan kanan Aera yang bebas. Namun, tetap mengabaikan Sagara. Bahkan ia menarik tangannya.
Ponsel Sagara kembali berdering. Kali ini sebuah panggilan masuk, yang membuat pria itu beranjak dari duduknya.
“Ternyata si Bomi itu lebih mudah untuk menyuruhmu datang dibandingkan aku.” Aera mendengus, lalu menegak birnya sampai tandas.
Perkataan Aera sukses membuat Sagara menghentikan langkahnya. “Apa maksudmu?”
“Kemarin, aku bahkan harus menunggu lama di kencan yang kau atur. Kau yang mengajakku, tetapi kau yang tidak datang,” ucap Aera sinis.
“Bisakah berhenti mengungkit hal itu? Tak bisakah kau mengerti aku? Kau hanya menunggu beberapa menit saja saat itu.”
Aera menatap Sagara tidak percaya. “Beberapa menit? Beberapa menit kau bilang? Kau terlambat hampir tiga jam, Sagara!”
“Meetingnya berjalan lebih lama. Itu pertemuan penting, jadi aku tidak bisa menghentikannya sesukaku.”
Aera terkekeh pahit. “Setidaknya kau bisa menghubungiku, Sagara Balamani. Kau keterlaluan! Kau pikir aku boneka mainanmu? Atau aku hanya pemuas nafsumu Sagara?”
“Aera, bukan seperti itu. Dengarkan aku, aku …”
“Apa? Kau ingin melakukan pembelaan apa lagi? Aku lelah Sagara. Aku lelah dengan semua ini.” Aera menghempaskan tubuhnya ke atas sofa.
“Kau pikir aku tidak lelah? Aku hanya meminta pengertianmu kali ini! Besok, besok kita akan bertemu ibuku.” Sagara berlutut di hadapan Aera.
Aera hanya mampu menggeleng pelan. “Aku tidak akan pergi.”
Tanpa Aera prediksi sebelumnya, Sagara berjalan mendekatinya dengan cepat. Raut wajah pria itu sudah jauh dari kata ramah. Terlihat guratan amarah pada pelipisnya.
“Kau selalu menuntutku seperti ini dan seperti itu. Tetapi mengapa hanya satu kali aku mengikari janji, kau jadi seperti ini? Sesulit itukah memberikan pengertian padaku?”
Aera mencoba mengatur napasnya yang naik turun. Walau ia merasa matanya mulai memanas, namun gadis itu berusaha untuk menjaga suaranya agar tidak bergetar.
“Hanya satu kali kau bilang?” Seperti tidak percaya Aera pun bangkit berdiri.
“Bagaimana dengan janji yang kau bilang dua bulan yang lalu? Bagaimana dengan janji yang kau katakan saat aku berulang tahun? Kau bahkan gak pernah memperkenalkan orang tuamu denganku.”
“Kau pikir itu mudah!? Membawamu menghadap orangtuaku tidak semudah itu!”
Aera tersentak. Tatapannya berubah nanar. Hatinya benar-benar hancur berantakan. Seperti mendapatkan kekuatan, Aera mendorong Sagara hingga ke depan pintu.
“Keluar dari rumahku sekarang!” ucapnya penuh dengan tekanan.
***
Aera pikir, setelah pertengkaran malam itu, Sagara akan kembali datang ke aparatemennya dan meminta maaf sambil membawa buket bunga mawar seperti dahulu setiap dirinya merajuk. Namun, sampai dua hari setelahnya, pria itu sama sekali tidak menghubunginya.
Saat dirinya ingin kembali mencari bir di kulkasnya, ia mendesah pelan. Akibat kesibukannya beberapa hari ini, ia sampai lupa untuk mengisi kulkasnya. Wanita itu meringis kala melihat kulkasnya yang hampir kosong. Hanya tersisa beberapa botol air mineral.
Aera yang merasa suntuk dan dirundung sakit hati itu memutuskan untuk membeli beberapa kaleng bir dan juga kebutuhannya yang lain di supermarket. Karena katanya belanja dapat mengobati rasa kecewanya.
Namun, ternyata, sebuah kejutan menunggunya. Saat dirinya sudah tenggelam diantara jejeran rak-rak barang di supermarket, ia dapat melihat sebuah punggung tegap yang sangat ia kenali.
Sagara Balamani. Namun prianya tidaklah sendiri. Ada seorang wanita dan juga seorang balita menemani sesi belanja Sagara.
Dengan sedikit gemetar, Aera segera menghubungi Sagara.
"Kau di mana?" tanya Aera berusaha ceria ketika Sagara mengangkat panggilannya. Berharap seseorang yang sedang menggendong balita itu bukanlah Sagara Balamani-nya.
"Aku sedang memantau pembangunan di Gangnam, ada apa dengan suaramu?" Suara Sagara terdengar khawatir.
Aera tersenyum miris, netranya menatap lurus sebuah rombongan keluarga kecil yang berjarak tak jauh dari tempatnya berdiri. Tangannya meremas pegangan troli yang berada di depannya.
"Aku hanya terlalu banyak memakan es krim. Hidungku sedikit tersumbat."
Aera mendengar Sagara terkekeh, entah karena ucapannya atau karena seorang balita yang sedang berada di gendongan Sagara sekarang.
“Jangan terlalu banyak makan es krim. Aku akan pulang sebelum makan malam. Kau ingin kubelikan apa?”
Jemari itu meremas ponselnya, namun Aera tetap mencoba untuk terdengar lebih ceria. “Tak perlu. Kau pulang saja lebih cepat.”
Ia menahan mati-matian buliran air yang mendesak ingin meluncur turun. Tatapannya masih lurus kepada punggung Sagara yang terlihat memasukkan sekotak susu di troli belanjaan wanita yang bersamanya.
Aera memberanikan diri untuk mendekati Sagara. Setidaknya ia harus bertanya dan meminta penjelasan siapa yang bersama kekasihnya itu saat ini. Aera lelah dengan berbagai asumsi buruk yang memenuhi kepalanya beberapa hari belakangan.
“Mungkin saja itu sepupu dan keponakannya, Aera. Janganlah berprasangka buruk dahulu,” gumamnya menghibur diri.
Namun saat hanya tersisa tiga langkah untuk sampai pada tujuannya, suara balita itu memadamkan seluruh harapannya.
“Papa!”
Kala itu seluruh dunia Aera menggelap.
Semua impian dan juga harapannya runtuh seketika. Semuanya menghilang tanpa bekas seperti istana pasir yang lenyap tergelung ombak."Jangan menangis Aera. Dia tidak pantas untuk air matamu yang berharga," lirihnya menguatkan diri.Dengan sisa-sisa kekuatannya, Aera memutuskan untuk kembali ke rumah. Setelah membersihkan diri, Aera menuju dapur untuk memasak makan malamnya yang sudah sangat terlambat.Ia mencampurkan sosis dan sebungkus tteok atau kue beras ke dalam ramen. Setelah matang, ia membawa panci ramen yang masih mengepulkan asap dari kuah merah yang mendidih itu ke meja rendah di depan televisi.Aera memutar radio di aplikasi ponselnya. Beberapa hari ini ia sangat giat mendengarkan siaran dari salah satu saluran. Terkadang Aera suka mendengarkan siaran tersebut kala sedang lembur atau tidak bisa tidur."Rasa tidak ikhlas menerima kenyataan ketika kita ditinggalkan adalah pengalaman yang mungkin sebagian orang pernah merasakan. Beragam emosi akan keluar. Entah itu marah, sedih
Aera mengerjapkan matanya pelan. Aroma karbol yang kuat membuatnya mendesah. Walau belum sadar sempurna, tetapi ia dapat mengetahui di mana keberadaannya saat ini.Ada sedikit nyeri di bagian belakang kepalanya. Ia yakin, bahwa kepalanya terbentur cukup keras sebelum dirinya kehilangan kesadaran. Lengan kirinya terasa berdenyut saat ia mencoba mengangkat tangannya. Sebuah selang infus terpasang sempurna yang membuatnya meringis.“Kau sudah sadar?”Secara otomatis ia menghadap pintu masuk. Seorang pria berjubah putih mendekatinya. Itu wajah yang familiar, yang sudah lama tidak ia lihat karena kesibukan.“Menurutmu? Apakah aku terlihat sedang sekarat saat ini?” jawab Aera kepadanya sambil kembali memejamkan mata.“Sepertinya kau sudah membaik. Aku akan mengijinkanmu untuk pulang,” seloroh pria itu lagi sambil dengan cermat memperhatikan laju cairan infus. “Apa yang kau rasakan sekarang?”“Badanku seperti babak belur. Seluruh tubuhku terasa nyeri.”Pria itu mengangguk. “Sebentar,” ucapny
Aera menggeret kopernya memasuki sebuah apartemen sederhana yang telah disiapkan untuknya. Ia merebahkan dirinya di atas kasur yang terbalut seprai berwarna mint. Mencoba memejamkan matanya. Ia terlalu lelah, berharap hari ini dapat segera berakhir. Bahkan air matanya sudah mengering. Perjalanan Seoul-Jeonju yang selama empat jam ia habiskan di bus sedikit menghibur dirinya. Aera bangkit dan menyibak tirainya, langit senja terlihat indah dengan beberapa kawanan burung yang terbang kembali pulang. "Bahkan mereka memiliki rumah untuk kembali pulang," lirihnya. "Mama mengambil keputusan yang benar kan? Kita berdua bisa melewatinya bersama." Aera mengelus perutnya dengan lembut. Sumber kekuatannya saat ini. Ia tidak boleh mengorbankan anaknya yang tidak tahu apapun. Karenaa ia sadar, bahwa yang ia miliki hanya ini adalah janin yang berada dalam kandungannya. Perjalanannya akan sedikit lebih berat mulai saat ini. “Mama akan sekuat tenaga untuk tidak membiarkanmu kesusahan,” gumamnya
Tiga Tahun Kemudian. "Yoonji-ya, hari ini baik-baik ya sama Jiwoo imo. Mama janji akan pulang cepat." Aera mengecup kedua pipi balita yang berada di gendongan seorang wanita. Balita itu hanya tertawa sambil bertepuk tangan, seakan mengatakan bahwa ia akan menjadi anak yang baik hari ini. "Jangan khawatir. Nikmati saja acaramu. Ini kali pertama kau mengikutinya, bersenang-senanglah. Karena aku dan Yoonji juga akan bersenang-senang hari ini," ujar wanita itu meyakinkan Aera. "Terima kasih banyak, unnie. Aku titip Yoonji, semua kebutuhannya sudah aku siapkan disini," ucap Aera sambil menyerahkan sebuah tas yang berisi susu dan segala kebutuhan Yoonji. Karena company gathering tahun ini tidak menginap, Aera akhirnya memutuskan untuk ikut. Walaupun awalnya Aera mempertimbangkan untuk kembali absen, Jiwoo berhasil membujuknya dengan mengajukan diri untuk mengasuh Yoonji. Pasalnya Aera selalu absen di kegiatan company gathering dengan beralasan mengurus Yoonji. "Hubungan di tempat kerja
"Jadi, lusa kakak akan berangkat ke Amerika?" tanya Aera setelah meletakkan cangkir kopi di atas meja dan duduk di sofa.Seojin yang sedang asik bermain dengan Yoonji hanya mengangguk. Seojin kemudian membawa Yoonji dalam gendongannya ketika gadis kecil itu terlihat merengek bosan dengan mainannya."Seharusnya Kak Seojin bisa meneleponku saja. Tidak perlu jauh-jauh kemari," ucap Aera. Ia merasa sangat tidak enak karena bukannya beristirahat atau mempersiapkan keberangkatanya, Seojin malah menemuinya."Tidak masalah, aku tidak menggunakan mobil pribadi, jadi aku bisa sambil beristirahat di kereta. Aku ingin bertemu denganmu dan Yoonji."Selain itu, Seojin juga memiliki satu misi rahasia yang tidak boleh diketahui oleh Aera. "Ah, iya. Ini untukmu." Seojin memberikan sebuah paper bag berwarna putih.Aera dengan bingung menerimanya. "Aku heran, kenapa kau selalu melupakan hari ulang tahunmu? Apakah itu bukan hal yang penting?"Aera tersenyum getir, omelan Seojin mengingatkannya pada Sagar
“Jadi, company gathering kali ini akan ke Jeju?”Aera yang sedang menyuapi Yoonji hanya mengangguk sekilas. Ia tidak tahu apa yang membuat gadis yang telah menjadi tetangganya selama tiga tahun itu terlihat antusias.“Aku akan menjagakan Yoonji untukmu.”Gadis itu beringsut mendekati Aera yang masih tekun menyuapi Yoonji yang asik berceloteh sambil sesekali mengikuti gerakan kartun yang tertayang di televisi.“Tiga hari waktu yang lama, Jiwoo. Aku tidak pernah meninggakalan Yoonji selama itu.” “Aku akan mengosongkan jadwalku.”Aera mengembuskan napas. Ia sangat tidak mengerti dengan jalan pikiran Song Jiwoo. Bagaimana mungkin ia rela mengosongkan jadwal hanya untuk menjaga Yoonji. Apalagi Jiwoo bukanlah seorang gadis pengangguran.“Kak, ini kesempatan untukmu. Mungkin dengan mengikuti kegiatan ini, kakak bisa naik jabatan.”Aera berpikir sejenak. Tidak salah apa yang dikatakan oleh Jiwoo. Selama empat tahun ia bekerja, jabatannya hanya berubah dari pegawai magang menjadi pegawai tet
“Damn, Aera …”Pria itu menggeram tepat di bibir Aera yang menggelora sambil sedikit mendorong pinggulnya ke tubuh Aera.Aera bisa merasakan gairah pria itu dari balik pakaian mereka, dan itu saja sudah cukup membuatnya kewalahan. Walau begitu, ada jutaan kupu-kupu memenuhi dan menggelitik rongga perutnya.Wanita itu telah lama menantikan momen seperti ini setelah sekian lama. Setelah perasaan itu mendingin beberapa bulan terakhir, ini adalah kesempatannya. Sekali lagi, ia mencoba kembali merayu sang pria. Ia sengaja meningkatkan permainannya.“Cepat, Sagara…,” gumam Aera.Ciuman pelan dan menyiksa, berubah menjadi penuh gairah dan menuntut hingga semua sel dalam tubuh Aera melonjak seolah mengatakan bahwa inilah pasangannya yang sempurna.Kehangatan di pangkal pahanya berkumpul menjadi gairah panas yang menyiksa dan menggelora.Jemari lentik Aera turun menjelajahi dan meraba halus membuat erangan Sagara kembali terdengar. Sagara mengambil alih ciuman penuh lumatan itu setelah Aera be
“Jadi, company gathering kali ini akan ke Jeju?”Aera yang sedang menyuapi Yoonji hanya mengangguk sekilas. Ia tidak tahu apa yang membuat gadis yang telah menjadi tetangganya selama tiga tahun itu terlihat antusias.“Aku akan menjagakan Yoonji untukmu.”Gadis itu beringsut mendekati Aera yang masih tekun menyuapi Yoonji yang asik berceloteh sambil sesekali mengikuti gerakan kartun yang tertayang di televisi.“Tiga hari waktu yang lama, Jiwoo. Aku tidak pernah meninggakalan Yoonji selama itu.” “Aku akan mengosongkan jadwalku.”Aera mengembuskan napas. Ia sangat tidak mengerti dengan jalan pikiran Song Jiwoo. Bagaimana mungkin ia rela mengosongkan jadwal hanya untuk menjaga Yoonji. Apalagi Jiwoo bukanlah seorang gadis pengangguran.“Kak, ini kesempatan untukmu. Mungkin dengan mengikuti kegiatan ini, kakak bisa naik jabatan.”Aera berpikir sejenak. Tidak salah apa yang dikatakan oleh Jiwoo. Selama empat tahun ia bekerja, jabatannya hanya berubah dari pegawai magang menjadi pegawai tet
"Jadi, lusa kakak akan berangkat ke Amerika?" tanya Aera setelah meletakkan cangkir kopi di atas meja dan duduk di sofa.Seojin yang sedang asik bermain dengan Yoonji hanya mengangguk. Seojin kemudian membawa Yoonji dalam gendongannya ketika gadis kecil itu terlihat merengek bosan dengan mainannya."Seharusnya Kak Seojin bisa meneleponku saja. Tidak perlu jauh-jauh kemari," ucap Aera. Ia merasa sangat tidak enak karena bukannya beristirahat atau mempersiapkan keberangkatanya, Seojin malah menemuinya."Tidak masalah, aku tidak menggunakan mobil pribadi, jadi aku bisa sambil beristirahat di kereta. Aku ingin bertemu denganmu dan Yoonji."Selain itu, Seojin juga memiliki satu misi rahasia yang tidak boleh diketahui oleh Aera. "Ah, iya. Ini untukmu." Seojin memberikan sebuah paper bag berwarna putih.Aera dengan bingung menerimanya. "Aku heran, kenapa kau selalu melupakan hari ulang tahunmu? Apakah itu bukan hal yang penting?"Aera tersenyum getir, omelan Seojin mengingatkannya pada Sagar
Tiga Tahun Kemudian. "Yoonji-ya, hari ini baik-baik ya sama Jiwoo imo. Mama janji akan pulang cepat." Aera mengecup kedua pipi balita yang berada di gendongan seorang wanita. Balita itu hanya tertawa sambil bertepuk tangan, seakan mengatakan bahwa ia akan menjadi anak yang baik hari ini. "Jangan khawatir. Nikmati saja acaramu. Ini kali pertama kau mengikutinya, bersenang-senanglah. Karena aku dan Yoonji juga akan bersenang-senang hari ini," ujar wanita itu meyakinkan Aera. "Terima kasih banyak, unnie. Aku titip Yoonji, semua kebutuhannya sudah aku siapkan disini," ucap Aera sambil menyerahkan sebuah tas yang berisi susu dan segala kebutuhan Yoonji. Karena company gathering tahun ini tidak menginap, Aera akhirnya memutuskan untuk ikut. Walaupun awalnya Aera mempertimbangkan untuk kembali absen, Jiwoo berhasil membujuknya dengan mengajukan diri untuk mengasuh Yoonji. Pasalnya Aera selalu absen di kegiatan company gathering dengan beralasan mengurus Yoonji. "Hubungan di tempat kerja
Aera menggeret kopernya memasuki sebuah apartemen sederhana yang telah disiapkan untuknya. Ia merebahkan dirinya di atas kasur yang terbalut seprai berwarna mint. Mencoba memejamkan matanya. Ia terlalu lelah, berharap hari ini dapat segera berakhir. Bahkan air matanya sudah mengering. Perjalanan Seoul-Jeonju yang selama empat jam ia habiskan di bus sedikit menghibur dirinya. Aera bangkit dan menyibak tirainya, langit senja terlihat indah dengan beberapa kawanan burung yang terbang kembali pulang. "Bahkan mereka memiliki rumah untuk kembali pulang," lirihnya. "Mama mengambil keputusan yang benar kan? Kita berdua bisa melewatinya bersama." Aera mengelus perutnya dengan lembut. Sumber kekuatannya saat ini. Ia tidak boleh mengorbankan anaknya yang tidak tahu apapun. Karenaa ia sadar, bahwa yang ia miliki hanya ini adalah janin yang berada dalam kandungannya. Perjalanannya akan sedikit lebih berat mulai saat ini. “Mama akan sekuat tenaga untuk tidak membiarkanmu kesusahan,” gumamnya
Aera mengerjapkan matanya pelan. Aroma karbol yang kuat membuatnya mendesah. Walau belum sadar sempurna, tetapi ia dapat mengetahui di mana keberadaannya saat ini.Ada sedikit nyeri di bagian belakang kepalanya. Ia yakin, bahwa kepalanya terbentur cukup keras sebelum dirinya kehilangan kesadaran. Lengan kirinya terasa berdenyut saat ia mencoba mengangkat tangannya. Sebuah selang infus terpasang sempurna yang membuatnya meringis.“Kau sudah sadar?”Secara otomatis ia menghadap pintu masuk. Seorang pria berjubah putih mendekatinya. Itu wajah yang familiar, yang sudah lama tidak ia lihat karena kesibukan.“Menurutmu? Apakah aku terlihat sedang sekarat saat ini?” jawab Aera kepadanya sambil kembali memejamkan mata.“Sepertinya kau sudah membaik. Aku akan mengijinkanmu untuk pulang,” seloroh pria itu lagi sambil dengan cermat memperhatikan laju cairan infus. “Apa yang kau rasakan sekarang?”“Badanku seperti babak belur. Seluruh tubuhku terasa nyeri.”Pria itu mengangguk. “Sebentar,” ucapny
Semua impian dan juga harapannya runtuh seketika. Semuanya menghilang tanpa bekas seperti istana pasir yang lenyap tergelung ombak."Jangan menangis Aera. Dia tidak pantas untuk air matamu yang berharga," lirihnya menguatkan diri.Dengan sisa-sisa kekuatannya, Aera memutuskan untuk kembali ke rumah. Setelah membersihkan diri, Aera menuju dapur untuk memasak makan malamnya yang sudah sangat terlambat.Ia mencampurkan sosis dan sebungkus tteok atau kue beras ke dalam ramen. Setelah matang, ia membawa panci ramen yang masih mengepulkan asap dari kuah merah yang mendidih itu ke meja rendah di depan televisi.Aera memutar radio di aplikasi ponselnya. Beberapa hari ini ia sangat giat mendengarkan siaran dari salah satu saluran. Terkadang Aera suka mendengarkan siaran tersebut kala sedang lembur atau tidak bisa tidur."Rasa tidak ikhlas menerima kenyataan ketika kita ditinggalkan adalah pengalaman yang mungkin sebagian orang pernah merasakan. Beragam emosi akan keluar. Entah itu marah, sedih
“Saga, jawab aku. Apakah kau berselingkuh?”Sagara mengerutkan dahinya. Aera sempat melihat gurat panik, dan dengan cepat Sagara segera menutupinya. Aera tersenyum miring kemudian memberikan ponsel pria itu.“Siapa itu?” tanya Aera kemudian.“Ini bukanlah apa-apa. Bomi hanya salah satu klienku,” ucapnya setelah membaca pesan yang telah terbuka, lalu meletakkan begitu saja di meja. Sagara pun dengan tenangnya berjalan ke kulkas dan mengambil bir.Aera hanya mampu tersenyum sinis. “Aku baru tahu jika klien bisa langsung menghubungimu seperti itu. Bukankah seharusnya ia harus menghubungi Nona Park, sekeretarismu?”Sagara segera berbalik, dan menatap Aera.Namun, Aera justru semakin sinis mendengar pertanyaan Sagara. “Ah, bukankah kau harus segera pergi untuk menemuinya?” lanjut Aera lagi.Sagara mendudukkan diri di sebelah Aera. “Tidak. Aku akan tetap di sini. Bomi bukanlah siapa-siapa. Percaya padaku.”Aera bergeming. Sagara menggenggam tangan kanan Aera yang bebas. Namun, tetap mengaba
“Damn, Aera …”Pria itu menggeram tepat di bibir Aera yang menggelora sambil sedikit mendorong pinggulnya ke tubuh Aera.Aera bisa merasakan gairah pria itu dari balik pakaian mereka, dan itu saja sudah cukup membuatnya kewalahan. Walau begitu, ada jutaan kupu-kupu memenuhi dan menggelitik rongga perutnya.Wanita itu telah lama menantikan momen seperti ini setelah sekian lama. Setelah perasaan itu mendingin beberapa bulan terakhir, ini adalah kesempatannya. Sekali lagi, ia mencoba kembali merayu sang pria. Ia sengaja meningkatkan permainannya.“Cepat, Sagara…,” gumam Aera.Ciuman pelan dan menyiksa, berubah menjadi penuh gairah dan menuntut hingga semua sel dalam tubuh Aera melonjak seolah mengatakan bahwa inilah pasangannya yang sempurna.Kehangatan di pangkal pahanya berkumpul menjadi gairah panas yang menyiksa dan menggelora.Jemari lentik Aera turun menjelajahi dan meraba halus membuat erangan Sagara kembali terdengar. Sagara mengambil alih ciuman penuh lumatan itu setelah Aera be