Aera mengerjapkan matanya pelan. Aroma karbol yang kuat membuatnya mendesah. Walau belum sadar sempurna, tetapi ia dapat mengetahui di mana keberadaannya saat ini.
Ada sedikit nyeri di bagian belakang kepalanya. Ia yakin, bahwa kepalanya terbentur cukup keras sebelum dirinya kehilangan kesadaran. Lengan kirinya terasa berdenyut saat ia mencoba mengangkat tangannya. Sebuah selang infus terpasang sempurna yang membuatnya meringis.
“Kau sudah sadar?”
Secara otomatis ia menghadap pintu masuk. Seorang pria berjubah putih mendekatinya. Itu wajah yang familiar, yang sudah lama tidak ia lihat karena kesibukan.
“Menurutmu? Apakah aku terlihat sedang sekarat saat ini?” jawab Aera kepadanya sambil kembali memejamkan mata.
“Sepertinya kau sudah membaik. Aku akan mengijinkanmu untuk pulang,” seloroh pria itu lagi sambil dengan cermat memperhatikan laju cairan infus. “Apa yang kau rasakan sekarang?”
“Badanku seperti babak belur. Seluruh tubuhku terasa nyeri.”
Pria itu mengangguk. “Sebentar,” ucapnya kemudian melakukan pemeriksaan menyeluruh kepada Aera.
“Kak Seojin.”
Seojin, sepupu Aera yang juga merupakan seorang dokter umum, hanya menggumam sambil terus melanjutkan pemeriksaannya.
“Apakah Sagara tahu aku masuk rumah sakit?”
Pertanyaan Aera membuat Seojin berhenti sejenak, namun gelengan dari pria itu berhasil membuat Aera bernapas lega.
“Sebegitu takutnya kau jika sampai membuat Sagara khawatir?” Seojin selesai dengan pemeriksaannya, dan menarik sebuah kursi hingga sampai di samping tempat Aera terbaring.
Aera mengalihkan pandangannya. “Aku hanya tidak ingin dia membuat kegaduhan. Apalagi ini adalah akibat kecerobohanku sendiri.”
Sebuah jentikan tepat di dahinya membuat Aera terkejut dan meringis. “Aw!”
“Kau tidak perlu mengkhawatirkan Sagara. Justru kau harus khawatir pada dirimu sendiri.”
Aera memandang kakak sepupunya itu dengan tatapan tidak mengerti. Apakah sakitnya separah itu?
“Apakah aku akan segera meninggal?”
Dugaannya semakin kuat ketika Seojin tidak memberikan reaksi apapun. Pria itu hanya menatapnya.
“Kak, berbicaralah.”
Aera sangat takut mendengar apa yang ingin dikatakan Seojin. Pria itu memang terkesan agak sedikit konyol, tetapi justru itu yang membuat ketika Seojin sudah serius mengeluarkan aura menakutkan.
“Kau hamil.”
Aera bergeming. Lidahnya terasa kelu. Berita tentang penyakit ganas yang mengerogotinya terdengar lebih baik daripada apa yang barusan yang ia dengar dari Seojin.
“Sekarang kau tidak hanya bertanggung jawab pada dirimu sendiri. Ada makhluk hidup lain yang bersamamu, jadi—"
“Sebentar,” potong Aera. “Aku… apa?”
Seojin terdiam sejenak, dan melanjutkan ucapannya tadi. “Usianya tiga minggu. Kau hampir membunuhnya dengan alkohol kemarin.”
Dengan gemetar, Aera mengelus perutnya yang masih rata dengan tangan kanannya yang bebas. Bulir bening tak dapat lagi ia tahan. Mengapa dia hadir di saat yang tepat? Lalu, apa yang harus ia lakukan sekarang?
“Dan kau juga harus memberitahu Sagara.”
Deg.
Mendengar hal itu, tangis Aera semakin pecah. Ia benar-benar merasa hancur. Ia tidak punya keberanian untuk berharap Sagara mau menerima kehamilannya.
Apalagi kenyataan yang baru ia ketahui akhir-akhir ini. Sagara sering meninggalkannya, berkata kasar, bahkan… dia sudah punya anak dengan wanita lain.
‘Maafkan Mama, Nak… kau hadir dengan keadaanku yang seperti ini….”
Hampir satu jam Aera menangis seorang diri, dan Seojin hanya berdiri di sana sambil memeluknya tanpa bicara apa pun. Baru ketika Aera mulai tenang, Seojin menodongkan susu pisang kesukaan Aera.
Hingga saat ini, Sagara belum menghubungi Aera. Begitu pun sebaliknya. Aera tidak mau menghubungi Sagara. Semua situasi ini pasti sudah memberikan petunjuk bagi Seojin, walaupun pria itu tidak bertanya.
“Aku mau pergi dari kota ini,” ucap Aera dingin.
Seojin menatap Aera bingung. Namun, manik cokelat itu tidak terlihat keraguan sedikit pun. “Kau serius? Bagaimana dengan Sagara?”
“Aku akan meninggalkannya.”
“Aera, ini bukan hal kecil. Walau kau bisa dan mampu menghidupi anakmu kelak, namun Sagara juga harus bertanggung jawab.”
Aera menatap Seojin dengan tatapan yang tak terartikan. “Walau dia sudah mengkhianatiku? Walau dia sudah memiliki wanita dan anak yang lain?”
“Apa maksudnya?” Seojin mengerutkan dahi.
Walaupun tersendat akibat isak, Aera berusaha menceritakan semuanya pada Seojin. Mulai dari hubungan mereka yang merenggang setelah hari jadi kesepuluh, tindakan kasar Sagara yang tiba-tiba, sampai kenyataan pahit yang ia temukan di supermarket.
Terlihat gelegak amarah menyelimuti Seojin. Pria yang memiliki aura tenang itu mengepalkan diam-diam kedua tangannya. Sejak awal ia memang tidak menyukai Sagara. Namun, apalah daya dirinya jika Aera sangat menyukai Sagara.
“Kumohon, Kak….” Aera menatap Seojin dengan tatapan berkaca-kaca. “Jangan suruh aku bersabar dan bertahan… aku lelah….”
Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis keras. Benar, ini keputusannya demi si calon anak. Ia tidak mau dia hadir tanpa kasih sayang orang tuanya.
“Aera,” panggil Seojin. “Aku akan membantumu untuk pergi dari kota ini.”
Aera menggeret kopernya memasuki sebuah apartemen sederhana yang telah disiapkan untuknya. Ia merebahkan dirinya di atas kasur yang terbalut seprai berwarna mint. Mencoba memejamkan matanya. Ia terlalu lelah, berharap hari ini dapat segera berakhir. Bahkan air matanya sudah mengering. Perjalanan Seoul-Jeonju yang selama empat jam ia habiskan di bus sedikit menghibur dirinya. Aera bangkit dan menyibak tirainya, langit senja terlihat indah dengan beberapa kawanan burung yang terbang kembali pulang. "Bahkan mereka memiliki rumah untuk kembali pulang," lirihnya. "Mama mengambil keputusan yang benar kan? Kita berdua bisa melewatinya bersama." Aera mengelus perutnya dengan lembut. Sumber kekuatannya saat ini. Ia tidak boleh mengorbankan anaknya yang tidak tahu apapun. Karenaa ia sadar, bahwa yang ia miliki hanya ini adalah janin yang berada dalam kandungannya. Perjalanannya akan sedikit lebih berat mulai saat ini. “Mama akan sekuat tenaga untuk tidak membiarkanmu kesusahan,” gumamnya
Tiga Tahun Kemudian. "Yoonji-ya, hari ini baik-baik ya sama Jiwoo imo. Mama janji akan pulang cepat." Aera mengecup kedua pipi balita yang berada di gendongan seorang wanita. Balita itu hanya tertawa sambil bertepuk tangan, seakan mengatakan bahwa ia akan menjadi anak yang baik hari ini. "Jangan khawatir. Nikmati saja acaramu. Ini kali pertama kau mengikutinya, bersenang-senanglah. Karena aku dan Yoonji juga akan bersenang-senang hari ini," ujar wanita itu meyakinkan Aera. "Terima kasih banyak, unnie. Aku titip Yoonji, semua kebutuhannya sudah aku siapkan disini," ucap Aera sambil menyerahkan sebuah tas yang berisi susu dan segala kebutuhan Yoonji. Karena company gathering tahun ini tidak menginap, Aera akhirnya memutuskan untuk ikut. Walaupun awalnya Aera mempertimbangkan untuk kembali absen, Jiwoo berhasil membujuknya dengan mengajukan diri untuk mengasuh Yoonji. Pasalnya Aera selalu absen di kegiatan company gathering dengan beralasan mengurus Yoonji. "Hubungan di tempat kerja
"Jadi, lusa kakak akan berangkat ke Amerika?" tanya Aera setelah meletakkan cangkir kopi di atas meja dan duduk di sofa.Seojin yang sedang asik bermain dengan Yoonji hanya mengangguk. Seojin kemudian membawa Yoonji dalam gendongannya ketika gadis kecil itu terlihat merengek bosan dengan mainannya."Seharusnya Kak Seojin bisa meneleponku saja. Tidak perlu jauh-jauh kemari," ucap Aera. Ia merasa sangat tidak enak karena bukannya beristirahat atau mempersiapkan keberangkatanya, Seojin malah menemuinya."Tidak masalah, aku tidak menggunakan mobil pribadi, jadi aku bisa sambil beristirahat di kereta. Aku ingin bertemu denganmu dan Yoonji."Selain itu, Seojin juga memiliki satu misi rahasia yang tidak boleh diketahui oleh Aera. "Ah, iya. Ini untukmu." Seojin memberikan sebuah paper bag berwarna putih.Aera dengan bingung menerimanya. "Aku heran, kenapa kau selalu melupakan hari ulang tahunmu? Apakah itu bukan hal yang penting?"Aera tersenyum getir, omelan Seojin mengingatkannya pada Sagar
“Jadi, company gathering kali ini akan ke Jeju?”Aera yang sedang menyuapi Yoonji hanya mengangguk sekilas. Ia tidak tahu apa yang membuat gadis yang telah menjadi tetangganya selama tiga tahun itu terlihat antusias.“Aku akan menjagakan Yoonji untukmu.”Gadis itu beringsut mendekati Aera yang masih tekun menyuapi Yoonji yang asik berceloteh sambil sesekali mengikuti gerakan kartun yang tertayang di televisi.“Tiga hari waktu yang lama, Jiwoo. Aku tidak pernah meninggakalan Yoonji selama itu.” “Aku akan mengosongkan jadwalku.”Aera mengembuskan napas. Ia sangat tidak mengerti dengan jalan pikiran Song Jiwoo. Bagaimana mungkin ia rela mengosongkan jadwal hanya untuk menjaga Yoonji. Apalagi Jiwoo bukanlah seorang gadis pengangguran.“Kak, ini kesempatan untukmu. Mungkin dengan mengikuti kegiatan ini, kakak bisa naik jabatan.”Aera berpikir sejenak. Tidak salah apa yang dikatakan oleh Jiwoo. Selama empat tahun ia bekerja, jabatannya hanya berubah dari pegawai magang menjadi pegawai tet
“Damn, Aera …”Pria itu menggeram tepat di bibir Aera yang menggelora sambil sedikit mendorong pinggulnya ke tubuh Aera.Aera bisa merasakan gairah pria itu dari balik pakaian mereka, dan itu saja sudah cukup membuatnya kewalahan. Walau begitu, ada jutaan kupu-kupu memenuhi dan menggelitik rongga perutnya.Wanita itu telah lama menantikan momen seperti ini setelah sekian lama. Setelah perasaan itu mendingin beberapa bulan terakhir, ini adalah kesempatannya. Sekali lagi, ia mencoba kembali merayu sang pria. Ia sengaja meningkatkan permainannya.“Cepat, Sagara…,” gumam Aera.Ciuman pelan dan menyiksa, berubah menjadi penuh gairah dan menuntut hingga semua sel dalam tubuh Aera melonjak seolah mengatakan bahwa inilah pasangannya yang sempurna.Kehangatan di pangkal pahanya berkumpul menjadi gairah panas yang menyiksa dan menggelora.Jemari lentik Aera turun menjelajahi dan meraba halus membuat erangan Sagara kembali terdengar. Sagara mengambil alih ciuman penuh lumatan itu setelah Aera be
“Saga, jawab aku. Apakah kau berselingkuh?”Sagara mengerutkan dahinya. Aera sempat melihat gurat panik, dan dengan cepat Sagara segera menutupinya. Aera tersenyum miring kemudian memberikan ponsel pria itu.“Siapa itu?” tanya Aera kemudian.“Ini bukanlah apa-apa. Bomi hanya salah satu klienku,” ucapnya setelah membaca pesan yang telah terbuka, lalu meletakkan begitu saja di meja. Sagara pun dengan tenangnya berjalan ke kulkas dan mengambil bir.Aera hanya mampu tersenyum sinis. “Aku baru tahu jika klien bisa langsung menghubungimu seperti itu. Bukankah seharusnya ia harus menghubungi Nona Park, sekeretarismu?”Sagara segera berbalik, dan menatap Aera.Namun, Aera justru semakin sinis mendengar pertanyaan Sagara. “Ah, bukankah kau harus segera pergi untuk menemuinya?” lanjut Aera lagi.Sagara mendudukkan diri di sebelah Aera. “Tidak. Aku akan tetap di sini. Bomi bukanlah siapa-siapa. Percaya padaku.”Aera bergeming. Sagara menggenggam tangan kanan Aera yang bebas. Namun, tetap mengaba
Semua impian dan juga harapannya runtuh seketika. Semuanya menghilang tanpa bekas seperti istana pasir yang lenyap tergelung ombak."Jangan menangis Aera. Dia tidak pantas untuk air matamu yang berharga," lirihnya menguatkan diri.Dengan sisa-sisa kekuatannya, Aera memutuskan untuk kembali ke rumah. Setelah membersihkan diri, Aera menuju dapur untuk memasak makan malamnya yang sudah sangat terlambat.Ia mencampurkan sosis dan sebungkus tteok atau kue beras ke dalam ramen. Setelah matang, ia membawa panci ramen yang masih mengepulkan asap dari kuah merah yang mendidih itu ke meja rendah di depan televisi.Aera memutar radio di aplikasi ponselnya. Beberapa hari ini ia sangat giat mendengarkan siaran dari salah satu saluran. Terkadang Aera suka mendengarkan siaran tersebut kala sedang lembur atau tidak bisa tidur."Rasa tidak ikhlas menerima kenyataan ketika kita ditinggalkan adalah pengalaman yang mungkin sebagian orang pernah merasakan. Beragam emosi akan keluar. Entah itu marah, sedih
“Jadi, company gathering kali ini akan ke Jeju?”Aera yang sedang menyuapi Yoonji hanya mengangguk sekilas. Ia tidak tahu apa yang membuat gadis yang telah menjadi tetangganya selama tiga tahun itu terlihat antusias.“Aku akan menjagakan Yoonji untukmu.”Gadis itu beringsut mendekati Aera yang masih tekun menyuapi Yoonji yang asik berceloteh sambil sesekali mengikuti gerakan kartun yang tertayang di televisi.“Tiga hari waktu yang lama, Jiwoo. Aku tidak pernah meninggakalan Yoonji selama itu.” “Aku akan mengosongkan jadwalku.”Aera mengembuskan napas. Ia sangat tidak mengerti dengan jalan pikiran Song Jiwoo. Bagaimana mungkin ia rela mengosongkan jadwal hanya untuk menjaga Yoonji. Apalagi Jiwoo bukanlah seorang gadis pengangguran.“Kak, ini kesempatan untukmu. Mungkin dengan mengikuti kegiatan ini, kakak bisa naik jabatan.”Aera berpikir sejenak. Tidak salah apa yang dikatakan oleh Jiwoo. Selama empat tahun ia bekerja, jabatannya hanya berubah dari pegawai magang menjadi pegawai tet
"Jadi, lusa kakak akan berangkat ke Amerika?" tanya Aera setelah meletakkan cangkir kopi di atas meja dan duduk di sofa.Seojin yang sedang asik bermain dengan Yoonji hanya mengangguk. Seojin kemudian membawa Yoonji dalam gendongannya ketika gadis kecil itu terlihat merengek bosan dengan mainannya."Seharusnya Kak Seojin bisa meneleponku saja. Tidak perlu jauh-jauh kemari," ucap Aera. Ia merasa sangat tidak enak karena bukannya beristirahat atau mempersiapkan keberangkatanya, Seojin malah menemuinya."Tidak masalah, aku tidak menggunakan mobil pribadi, jadi aku bisa sambil beristirahat di kereta. Aku ingin bertemu denganmu dan Yoonji."Selain itu, Seojin juga memiliki satu misi rahasia yang tidak boleh diketahui oleh Aera. "Ah, iya. Ini untukmu." Seojin memberikan sebuah paper bag berwarna putih.Aera dengan bingung menerimanya. "Aku heran, kenapa kau selalu melupakan hari ulang tahunmu? Apakah itu bukan hal yang penting?"Aera tersenyum getir, omelan Seojin mengingatkannya pada Sagar
Tiga Tahun Kemudian. "Yoonji-ya, hari ini baik-baik ya sama Jiwoo imo. Mama janji akan pulang cepat." Aera mengecup kedua pipi balita yang berada di gendongan seorang wanita. Balita itu hanya tertawa sambil bertepuk tangan, seakan mengatakan bahwa ia akan menjadi anak yang baik hari ini. "Jangan khawatir. Nikmati saja acaramu. Ini kali pertama kau mengikutinya, bersenang-senanglah. Karena aku dan Yoonji juga akan bersenang-senang hari ini," ujar wanita itu meyakinkan Aera. "Terima kasih banyak, unnie. Aku titip Yoonji, semua kebutuhannya sudah aku siapkan disini," ucap Aera sambil menyerahkan sebuah tas yang berisi susu dan segala kebutuhan Yoonji. Karena company gathering tahun ini tidak menginap, Aera akhirnya memutuskan untuk ikut. Walaupun awalnya Aera mempertimbangkan untuk kembali absen, Jiwoo berhasil membujuknya dengan mengajukan diri untuk mengasuh Yoonji. Pasalnya Aera selalu absen di kegiatan company gathering dengan beralasan mengurus Yoonji. "Hubungan di tempat kerja
Aera menggeret kopernya memasuki sebuah apartemen sederhana yang telah disiapkan untuknya. Ia merebahkan dirinya di atas kasur yang terbalut seprai berwarna mint. Mencoba memejamkan matanya. Ia terlalu lelah, berharap hari ini dapat segera berakhir. Bahkan air matanya sudah mengering. Perjalanan Seoul-Jeonju yang selama empat jam ia habiskan di bus sedikit menghibur dirinya. Aera bangkit dan menyibak tirainya, langit senja terlihat indah dengan beberapa kawanan burung yang terbang kembali pulang. "Bahkan mereka memiliki rumah untuk kembali pulang," lirihnya. "Mama mengambil keputusan yang benar kan? Kita berdua bisa melewatinya bersama." Aera mengelus perutnya dengan lembut. Sumber kekuatannya saat ini. Ia tidak boleh mengorbankan anaknya yang tidak tahu apapun. Karenaa ia sadar, bahwa yang ia miliki hanya ini adalah janin yang berada dalam kandungannya. Perjalanannya akan sedikit lebih berat mulai saat ini. “Mama akan sekuat tenaga untuk tidak membiarkanmu kesusahan,” gumamnya
Aera mengerjapkan matanya pelan. Aroma karbol yang kuat membuatnya mendesah. Walau belum sadar sempurna, tetapi ia dapat mengetahui di mana keberadaannya saat ini.Ada sedikit nyeri di bagian belakang kepalanya. Ia yakin, bahwa kepalanya terbentur cukup keras sebelum dirinya kehilangan kesadaran. Lengan kirinya terasa berdenyut saat ia mencoba mengangkat tangannya. Sebuah selang infus terpasang sempurna yang membuatnya meringis.“Kau sudah sadar?”Secara otomatis ia menghadap pintu masuk. Seorang pria berjubah putih mendekatinya. Itu wajah yang familiar, yang sudah lama tidak ia lihat karena kesibukan.“Menurutmu? Apakah aku terlihat sedang sekarat saat ini?” jawab Aera kepadanya sambil kembali memejamkan mata.“Sepertinya kau sudah membaik. Aku akan mengijinkanmu untuk pulang,” seloroh pria itu lagi sambil dengan cermat memperhatikan laju cairan infus. “Apa yang kau rasakan sekarang?”“Badanku seperti babak belur. Seluruh tubuhku terasa nyeri.”Pria itu mengangguk. “Sebentar,” ucapny
Semua impian dan juga harapannya runtuh seketika. Semuanya menghilang tanpa bekas seperti istana pasir yang lenyap tergelung ombak."Jangan menangis Aera. Dia tidak pantas untuk air matamu yang berharga," lirihnya menguatkan diri.Dengan sisa-sisa kekuatannya, Aera memutuskan untuk kembali ke rumah. Setelah membersihkan diri, Aera menuju dapur untuk memasak makan malamnya yang sudah sangat terlambat.Ia mencampurkan sosis dan sebungkus tteok atau kue beras ke dalam ramen. Setelah matang, ia membawa panci ramen yang masih mengepulkan asap dari kuah merah yang mendidih itu ke meja rendah di depan televisi.Aera memutar radio di aplikasi ponselnya. Beberapa hari ini ia sangat giat mendengarkan siaran dari salah satu saluran. Terkadang Aera suka mendengarkan siaran tersebut kala sedang lembur atau tidak bisa tidur."Rasa tidak ikhlas menerima kenyataan ketika kita ditinggalkan adalah pengalaman yang mungkin sebagian orang pernah merasakan. Beragam emosi akan keluar. Entah itu marah, sedih
“Saga, jawab aku. Apakah kau berselingkuh?”Sagara mengerutkan dahinya. Aera sempat melihat gurat panik, dan dengan cepat Sagara segera menutupinya. Aera tersenyum miring kemudian memberikan ponsel pria itu.“Siapa itu?” tanya Aera kemudian.“Ini bukanlah apa-apa. Bomi hanya salah satu klienku,” ucapnya setelah membaca pesan yang telah terbuka, lalu meletakkan begitu saja di meja. Sagara pun dengan tenangnya berjalan ke kulkas dan mengambil bir.Aera hanya mampu tersenyum sinis. “Aku baru tahu jika klien bisa langsung menghubungimu seperti itu. Bukankah seharusnya ia harus menghubungi Nona Park, sekeretarismu?”Sagara segera berbalik, dan menatap Aera.Namun, Aera justru semakin sinis mendengar pertanyaan Sagara. “Ah, bukankah kau harus segera pergi untuk menemuinya?” lanjut Aera lagi.Sagara mendudukkan diri di sebelah Aera. “Tidak. Aku akan tetap di sini. Bomi bukanlah siapa-siapa. Percaya padaku.”Aera bergeming. Sagara menggenggam tangan kanan Aera yang bebas. Namun, tetap mengaba
“Damn, Aera …”Pria itu menggeram tepat di bibir Aera yang menggelora sambil sedikit mendorong pinggulnya ke tubuh Aera.Aera bisa merasakan gairah pria itu dari balik pakaian mereka, dan itu saja sudah cukup membuatnya kewalahan. Walau begitu, ada jutaan kupu-kupu memenuhi dan menggelitik rongga perutnya.Wanita itu telah lama menantikan momen seperti ini setelah sekian lama. Setelah perasaan itu mendingin beberapa bulan terakhir, ini adalah kesempatannya. Sekali lagi, ia mencoba kembali merayu sang pria. Ia sengaja meningkatkan permainannya.“Cepat, Sagara…,” gumam Aera.Ciuman pelan dan menyiksa, berubah menjadi penuh gairah dan menuntut hingga semua sel dalam tubuh Aera melonjak seolah mengatakan bahwa inilah pasangannya yang sempurna.Kehangatan di pangkal pahanya berkumpul menjadi gairah panas yang menyiksa dan menggelora.Jemari lentik Aera turun menjelajahi dan meraba halus membuat erangan Sagara kembali terdengar. Sagara mengambil alih ciuman penuh lumatan itu setelah Aera be