75Samudra menarik selimut dan menutupi tubuh yang meringkuk di sofa dengan kain tebal itu hingga hanya menyisakan kepala yang kini matanya terpejam. Ia sendiri duduk di tepi sofa yang lain. Ditatapnya nanar wajah lelah yang masih menyisakan sisa isak itu.Tadi, Lucy mendadak histeris saat ia hendak pergi. Menangis menjerit-jerit seraya melemparkan barang apa pun di dekatnya ke arah Samudra, hingga terpaksa ia mengurungkan niatnya dan bertahan di sana. Setelah beberapa lama dibujuk, akhirnya wanita itu tenang juga dan kini tertidur di sofa karena kelelahan.Samudra memejam dan mengusap wajahnya berkali-kali. Rasanya seperti baru saja terbebas dari kejaran binatang buas. Padahal hanya menenangkan wanita histeris yan kalaf. Ternyata, setelah belasan tahun berlalu, Lucy belum sepenuhnya pulih. Bahkan ia yakin jika penyakit wanita itu semakin memburuk. Buktinya barusan histeris sampai di luar batas.“Bukahkah kamu bilang sudah menemui dokter dan psikiater selama di luar negeri sana? Kenap
76Dengan rambut dalam jambakan Lucy, tubuh Mentari didorong masuk hingga terhuyung-huyung masuk ruang tamu. Sementara wanita yang sudah diliputi amarah itu menutup pintu dengan kakinya. Tangannya tak melepaskan rambut Mentari sekejap pun.Mentari menjerit nyaring karena merasakan panas di kulit kepalanya. Bahkan yakin berhelai-helai rambut sudah tercerabut dari akarnya. Ia sepenuhnya belum mengerti apa salahnya hingga wanita yang baru datang itu langsung menyerangnya seperti ini.“Lepas … apa yang kau lakukan …? Apa kau sudah gila?” Di antara jeritannya, Mentari berusaha bertanya. Tangannya menangkap pergelangan tangan wanita yang tengah menarik rambutnya. Berharap wanita itu melepaskan jambakannya.“Ya, aku sudah gila! Dan aku akan perlihatkan betapa gilanya aku, Anak kecil!” Lucy berteriak meningkahi jeritan Mentari. Tangannya semakin menarik rambut panjang dalam genggamannya. Bukan hanya itu. Sebelah tangan lainnya masih juga melayang dan mendarat di wajah Mentari, hingga jeritan
77“Apa yang terjadi, Sam?” tanya wanita berambut hampir putih semua begitu sampai di hadapan Samudra. Wajah wanita itu dipenuhi raut khawatir. Ia bahkan berjalan setengah berlari untuk mencapai Samudra padahal asisten sudah mengingatkannya.Tangan sang wanita meraih lengan Samudra dan mengguncangnya cukup kuat. Lengan yang telapak dan punggung tangannya masih tersisa noda darah di sana. Ditatapnya lekat wajah sang anak yang tampak sangat frustrasi.“Wanita itu kembali dan dia menyakiti menantuku?” cecar sang wanita dengan kesal karena Samudra tak kunjung menjawab. Wajah sang anak bahkan semakin terlihat frustrasi.“Apa yang kamu pikirkan, Sam? Kenapa memasukkan lagi wanita gila itu ke dalam kehidupanmu? Apa kamu sudah tertular gila?” Lagi sang wanita mengejar seakan ingin meluapkan kemarahan. Tangannya mengguncang lengan Samudra semakin kuat.“Kalau terjadi sesuatu dengan menantuku, aku tidak akan memaafka
78Mentari mengerjap dan memaksa membuka matanya yang terasa sangat berat. Sebenaranya rasa tidak nyaman di beberapa bagian tubuhnya sangat mengganggu. Memerintahkan untuknya tetap berbaring. Namun, ia penasaran sedang berada di mana dirinya saat ini.Ruangan yang terlampau dingin, aroma khas obat-obatan, suara detak jarum jam yang dinamis, dan yang terpenting usapan lembut di punggung tangan kanannya yang terus-menerus membuatnya ingin segera membuka mata.“Tari, kamu sudah bangun?” Sebuah pertanyaan terdengar seiring usapan di punggung tangan yang berhenti. Lalu derit kursi yang sepertinya ditinggal bangkit. Mungkin pergerakan tubuhnya membuat seseorang yang ada di sana reaktif.Mentari memang menggerakkan tangan dan berusaha menyingkirkan sesuatu yang menempel di lubang hidung dan membuat tidak nyaman.Wanita itu semakin memaksa matanya agar terbuka hingga mendapari searut wajah kusut dengan kantung mata menghitam, tetapi menatap antusias di depannya. Seulas senyum kelegaan tersung
79“Tari ….” Suara Samudra bercampur getar. Tatapannya nanar, dan tangannya terulur ingin meraih Mentari.“Apa Om? Mau minta maaf lagi? Tidak perlu. Aku tidak butuh. Aku hanya ingin terlepas dari semua ini.” Mentari menegaskan walaupun dengan suara lemah. Kini, wanita itu duduk bersandar di brangkarnya yang sengaja sandarannya dibuat tinggi.Samudra menggeleng dengan bibir terkatup. Seolah kehabisan kata-kata. Tangannya lagi-lagi ditepis dengan kasar.Sementara Mentari menggigit bibir dengan kuat seiring dadanya yang semakin sesak.“Aku hanya ingin kita bercerai, Om. Tidak ada yang lain …,” ujar Mentari lagi. Kali ini sudah bercampur tangisan yang sudah tak dapat lagi ditahannya. Tangisan yang awalnya hanya linangan air mata, semakin lama semakin membesar. Ia tergugu dengan pundak yang berguncang. Air mata menganak sungai di pipinya dan mengalir berjatuhan di bawah dagu.Samudra menelan saliva. Mentari yang menangis, tapi hatinya yang teriris. Karena tidak tahan melihat air mata yang
80“Tari, sudah selesai?” tanya pria yang keningnya mengernyit. Dilihatnya Mentari bersandar di dinding dengan wajah pucat pasi.Mentari membuka mata, menelan ludah, dan mengangguk samar.Tidak perlu meminta izin atau bicara apa pun lagi, sang pria langsung mengambi alih tubuh itu ke dalam bopongannya seperti biasa. Dibawanya dengan sangat ringan seolah itu hanya sebuah bantal. Lalu diletakkan tubuh itu di atas brangkar dengan posisi bersandar. Mengaitkan botol infus ke tiangnya, dan terakhir menarik selimut untuk menutupi tubuh Mentari hingga sebatas perutnya.“Kamu mau apa?” tanya Samudra selanjutnya.Mentari menggeleng karena memang tidak menginginkan apa pun.“Apa kamu mau makan camilan?”Lagi Mentari menggeleng.“Wajahmu pucat, mungkin lapar. Dan karena belum tiba jam makan, sebaiknya makan camilam saja, ya biar tidak terlalu pucat.” Samudra membujuk seperti seorang ayah yang tengah membujuk anaknya agar mau makan. Setelahnya pria itu berjalan ke arah rak tertutup tempat menaruh
81Entahlah, kenapa Mentari segusar ini. Padahal jika Samudra terus berada di sana dirinya juga malas melihat wajahnya yang menyebalkan itu. Namun, giliran pria itu tidak datang-datang, ia gelisah menunggunya. Bukan karena merindukannya, bukan. Tapi hatinya mendadak tidak enak. Sejak tadi jantungnya terus berdegup kencang. Padahal tidak melakukan apa pun. Tidak juga makan sesuatu yang memicu. Sejak tadi ia hanya duduk sambil menyaksikan berita di televisi.Mentari menurunkan kakinya hingga menjuntai ke lantai. Ingin berjalan keluar, tapi ribet harus menggeret tiang infus. Akhirnya nenaikkan lagi kakinya. Berbaring, tetapi tak lama kembali menurunkan lagi.Berjalan sebentar sambil menggeret tiang infus. Melongokkan kepala setelah membuka pintu sedikit. Memindai koridor di depan kamar inapnya berharap pria itu cepat kembali. Namun, yang didapatinya hanya lorong sepi yang hanya ada seorang perawat melintas membawa troli kecil berisi obat-obatan di atasnya.Gegas wanita itu menutup lagi p
82 Entah akan dibawa ke mana Mentari. Ia bahkan tidak diberi kesempatan untuk bertanya. Samudra mendorong kursi roda dengan tidak sabar. Seorang perawat wanita menyertai mereka. Dengan memakai lift, mereka turun ke lantai dua. Selama perjalanan itu, hati Mentari tak urung ketar-ketir selain juga terus bertanya-tanya. Ia yakin sesuatu yang serius tengah terjadi. Dan setelah mengenali koridor yang mereka lewati saat ini, hatinya semakin curiga. Detak jantung mulai berpacu lagi. Bagaimana tidak, koridor yang mereka lalui ini adalah koridor yang beberapa hari lalu diakrabinya siang dan malam. Detak jantung Mentari semakin menggila. “Ayah?” gumamnya lirih sebelum mendongak untuk melihat wajah Samudra yang semakin kusut. “Ada apa dengan ayah, Om?” tanya Mentari dengan kepala yang sengaja diputar agar bisa melihat pria yang mendorongnya. Namun, bukan jawaban yang ia dapatkan melainkan hanya elusan di kepala sekilas. Pria itu bahkan tidak ingin berlama-lama melihatnya. Ia hanya menatap l
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau