76Dengan rambut dalam jambakan Lucy, tubuh Mentari didorong masuk hingga terhuyung-huyung masuk ruang tamu. Sementara wanita yang sudah diliputi amarah itu menutup pintu dengan kakinya. Tangannya tak melepaskan rambut Mentari sekejap pun.Mentari menjerit nyaring karena merasakan panas di kulit kepalanya. Bahkan yakin berhelai-helai rambut sudah tercerabut dari akarnya. Ia sepenuhnya belum mengerti apa salahnya hingga wanita yang baru datang itu langsung menyerangnya seperti ini.“Lepas … apa yang kau lakukan …? Apa kau sudah gila?” Di antara jeritannya, Mentari berusaha bertanya. Tangannya menangkap pergelangan tangan wanita yang tengah menarik rambutnya. Berharap wanita itu melepaskan jambakannya.“Ya, aku sudah gila! Dan aku akan perlihatkan betapa gilanya aku, Anak kecil!” Lucy berteriak meningkahi jeritan Mentari. Tangannya semakin menarik rambut panjang dalam genggamannya. Bukan hanya itu. Sebelah tangan lainnya masih juga melayang dan mendarat di wajah Mentari, hingga jeritan
77“Apa yang terjadi, Sam?” tanya wanita berambut hampir putih semua begitu sampai di hadapan Samudra. Wajah wanita itu dipenuhi raut khawatir. Ia bahkan berjalan setengah berlari untuk mencapai Samudra padahal asisten sudah mengingatkannya.Tangan sang wanita meraih lengan Samudra dan mengguncangnya cukup kuat. Lengan yang telapak dan punggung tangannya masih tersisa noda darah di sana. Ditatapnya lekat wajah sang anak yang tampak sangat frustrasi.“Wanita itu kembali dan dia menyakiti menantuku?” cecar sang wanita dengan kesal karena Samudra tak kunjung menjawab. Wajah sang anak bahkan semakin terlihat frustrasi.“Apa yang kamu pikirkan, Sam? Kenapa memasukkan lagi wanita gila itu ke dalam kehidupanmu? Apa kamu sudah tertular gila?” Lagi sang wanita mengejar seakan ingin meluapkan kemarahan. Tangannya mengguncang lengan Samudra semakin kuat.“Kalau terjadi sesuatu dengan menantuku, aku tidak akan memaafka
78Mentari mengerjap dan memaksa membuka matanya yang terasa sangat berat. Sebenaranya rasa tidak nyaman di beberapa bagian tubuhnya sangat mengganggu. Memerintahkan untuknya tetap berbaring. Namun, ia penasaran sedang berada di mana dirinya saat ini.Ruangan yang terlampau dingin, aroma khas obat-obatan, suara detak jarum jam yang dinamis, dan yang terpenting usapan lembut di punggung tangan kanannya yang terus-menerus membuatnya ingin segera membuka mata.“Tari, kamu sudah bangun?” Sebuah pertanyaan terdengar seiring usapan di punggung tangan yang berhenti. Lalu derit kursi yang sepertinya ditinggal bangkit. Mungkin pergerakan tubuhnya membuat seseorang yang ada di sana reaktif.Mentari memang menggerakkan tangan dan berusaha menyingkirkan sesuatu yang menempel di lubang hidung dan membuat tidak nyaman.Wanita itu semakin memaksa matanya agar terbuka hingga mendapari searut wajah kusut dengan kantung mata menghitam, tetapi menatap antusias di depannya. Seulas senyum kelegaan tersung
79“Tari ….” Suara Samudra bercampur getar. Tatapannya nanar, dan tangannya terulur ingin meraih Mentari.“Apa Om? Mau minta maaf lagi? Tidak perlu. Aku tidak butuh. Aku hanya ingin terlepas dari semua ini.” Mentari menegaskan walaupun dengan suara lemah. Kini, wanita itu duduk bersandar di brangkarnya yang sengaja sandarannya dibuat tinggi.Samudra menggeleng dengan bibir terkatup. Seolah kehabisan kata-kata. Tangannya lagi-lagi ditepis dengan kasar.Sementara Mentari menggigit bibir dengan kuat seiring dadanya yang semakin sesak.“Aku hanya ingin kita bercerai, Om. Tidak ada yang lain …,” ujar Mentari lagi. Kali ini sudah bercampur tangisan yang sudah tak dapat lagi ditahannya. Tangisan yang awalnya hanya linangan air mata, semakin lama semakin membesar. Ia tergugu dengan pundak yang berguncang. Air mata menganak sungai di pipinya dan mengalir berjatuhan di bawah dagu.Samudra menelan saliva. Mentari yang menangis, tapi hatinya yang teriris. Karena tidak tahan melihat air mata yang
80“Tari, sudah selesai?” tanya pria yang keningnya mengernyit. Dilihatnya Mentari bersandar di dinding dengan wajah pucat pasi.Mentari membuka mata, menelan ludah, dan mengangguk samar.Tidak perlu meminta izin atau bicara apa pun lagi, sang pria langsung mengambi alih tubuh itu ke dalam bopongannya seperti biasa. Dibawanya dengan sangat ringan seolah itu hanya sebuah bantal. Lalu diletakkan tubuh itu di atas brangkar dengan posisi bersandar. Mengaitkan botol infus ke tiangnya, dan terakhir menarik selimut untuk menutupi tubuh Mentari hingga sebatas perutnya.“Kamu mau apa?” tanya Samudra selanjutnya.Mentari menggeleng karena memang tidak menginginkan apa pun.“Apa kamu mau makan camilan?”Lagi Mentari menggeleng.“Wajahmu pucat, mungkin lapar. Dan karena belum tiba jam makan, sebaiknya makan camilam saja, ya biar tidak terlalu pucat.” Samudra membujuk seperti seorang ayah yang tengah membujuk anaknya agar mau makan. Setelahnya pria itu berjalan ke arah rak tertutup tempat menaruh
81Entahlah, kenapa Mentari segusar ini. Padahal jika Samudra terus berada di sana dirinya juga malas melihat wajahnya yang menyebalkan itu. Namun, giliran pria itu tidak datang-datang, ia gelisah menunggunya. Bukan karena merindukannya, bukan. Tapi hatinya mendadak tidak enak. Sejak tadi jantungnya terus berdegup kencang. Padahal tidak melakukan apa pun. Tidak juga makan sesuatu yang memicu. Sejak tadi ia hanya duduk sambil menyaksikan berita di televisi.Mentari menurunkan kakinya hingga menjuntai ke lantai. Ingin berjalan keluar, tapi ribet harus menggeret tiang infus. Akhirnya nenaikkan lagi kakinya. Berbaring, tetapi tak lama kembali menurunkan lagi.Berjalan sebentar sambil menggeret tiang infus. Melongokkan kepala setelah membuka pintu sedikit. Memindai koridor di depan kamar inapnya berharap pria itu cepat kembali. Namun, yang didapatinya hanya lorong sepi yang hanya ada seorang perawat melintas membawa troli kecil berisi obat-obatan di atasnya.Gegas wanita itu menutup lagi p
82 Entah akan dibawa ke mana Mentari. Ia bahkan tidak diberi kesempatan untuk bertanya. Samudra mendorong kursi roda dengan tidak sabar. Seorang perawat wanita menyertai mereka. Dengan memakai lift, mereka turun ke lantai dua. Selama perjalanan itu, hati Mentari tak urung ketar-ketir selain juga terus bertanya-tanya. Ia yakin sesuatu yang serius tengah terjadi. Dan setelah mengenali koridor yang mereka lewati saat ini, hatinya semakin curiga. Detak jantung mulai berpacu lagi. Bagaimana tidak, koridor yang mereka lalui ini adalah koridor yang beberapa hari lalu diakrabinya siang dan malam. Detak jantung Mentari semakin menggila. “Ayah?” gumamnya lirih sebelum mendongak untuk melihat wajah Samudra yang semakin kusut. “Ada apa dengan ayah, Om?” tanya Mentari dengan kepala yang sengaja diputar agar bisa melihat pria yang mendorongnya. Namun, bukan jawaban yang ia dapatkan melainkan hanya elusan di kepala sekilas. Pria itu bahkan tidak ingin berlama-lama melihatnya. Ia hanya menatap l
83 Kosong. Hampa. Hitam. Entah apa lagi yang Mentari rasakan saat ini. Bahkan, suara seorang ustazd yang tengah membacakan doa sebagai penutup rangkaian acara pemakaman ini, bagai angin lalu. Dunianya benar-benar terasa runtuh di atas kepala. Nyawanya terasa ikut tercerabut dari raganya. Ia tidak tahu lagi bagaimana hidupnya setelah ini. Tanpa ibu dan juga ayah. Dulu, kepergian sang ibu tidak dirasakan sesakit ini karena ia masih kecil. Belum begitu mengerti arti kehilangan. Hanya saja saat sang ibu tak kunjung datang menemui dan memeluknya, ia mulai menangisi kehilangan dan kerinduan itu. Terlebih tak lama setelahnya, sang ayah membawa Yulia dan Novita masuk ke dalam kehidungan mereka. Di sana baru Mentari merasa sendiri dan sangat kehilangan. Kini, sang ayah pergi di depan mata kepalanya sendiri. Sakitnya tentu sangat terasa. Terlebih kepergian Bumi di saat rumah tangganya juga tidak jelas nasibnya. Karenanya, rasa sakit itu menjadi berkali-kali lipat. Entah akan seperti apa hidu