79“Tari ….” Suara Samudra bercampur getar. Tatapannya nanar, dan tangannya terulur ingin meraih Mentari.“Apa Om? Mau minta maaf lagi? Tidak perlu. Aku tidak butuh. Aku hanya ingin terlepas dari semua ini.” Mentari menegaskan walaupun dengan suara lemah. Kini, wanita itu duduk bersandar di brangkarnya yang sengaja sandarannya dibuat tinggi.Samudra menggeleng dengan bibir terkatup. Seolah kehabisan kata-kata. Tangannya lagi-lagi ditepis dengan kasar.Sementara Mentari menggigit bibir dengan kuat seiring dadanya yang semakin sesak.“Aku hanya ingin kita bercerai, Om. Tidak ada yang lain …,” ujar Mentari lagi. Kali ini sudah bercampur tangisan yang sudah tak dapat lagi ditahannya. Tangisan yang awalnya hanya linangan air mata, semakin lama semakin membesar. Ia tergugu dengan pundak yang berguncang. Air mata menganak sungai di pipinya dan mengalir berjatuhan di bawah dagu.Samudra menelan saliva. Mentari yang menangis, tapi hatinya yang teriris. Karena tidak tahan melihat air mata yang
80“Tari, sudah selesai?” tanya pria yang keningnya mengernyit. Dilihatnya Mentari bersandar di dinding dengan wajah pucat pasi.Mentari membuka mata, menelan ludah, dan mengangguk samar.Tidak perlu meminta izin atau bicara apa pun lagi, sang pria langsung mengambi alih tubuh itu ke dalam bopongannya seperti biasa. Dibawanya dengan sangat ringan seolah itu hanya sebuah bantal. Lalu diletakkan tubuh itu di atas brangkar dengan posisi bersandar. Mengaitkan botol infus ke tiangnya, dan terakhir menarik selimut untuk menutupi tubuh Mentari hingga sebatas perutnya.“Kamu mau apa?” tanya Samudra selanjutnya.Mentari menggeleng karena memang tidak menginginkan apa pun.“Apa kamu mau makan camilan?”Lagi Mentari menggeleng.“Wajahmu pucat, mungkin lapar. Dan karena belum tiba jam makan, sebaiknya makan camilam saja, ya biar tidak terlalu pucat.” Samudra membujuk seperti seorang ayah yang tengah membujuk anaknya agar mau makan. Setelahnya pria itu berjalan ke arah rak tertutup tempat menaruh
81Entahlah, kenapa Mentari segusar ini. Padahal jika Samudra terus berada di sana dirinya juga malas melihat wajahnya yang menyebalkan itu. Namun, giliran pria itu tidak datang-datang, ia gelisah menunggunya. Bukan karena merindukannya, bukan. Tapi hatinya mendadak tidak enak. Sejak tadi jantungnya terus berdegup kencang. Padahal tidak melakukan apa pun. Tidak juga makan sesuatu yang memicu. Sejak tadi ia hanya duduk sambil menyaksikan berita di televisi.Mentari menurunkan kakinya hingga menjuntai ke lantai. Ingin berjalan keluar, tapi ribet harus menggeret tiang infus. Akhirnya nenaikkan lagi kakinya. Berbaring, tetapi tak lama kembali menurunkan lagi.Berjalan sebentar sambil menggeret tiang infus. Melongokkan kepala setelah membuka pintu sedikit. Memindai koridor di depan kamar inapnya berharap pria itu cepat kembali. Namun, yang didapatinya hanya lorong sepi yang hanya ada seorang perawat melintas membawa troli kecil berisi obat-obatan di atasnya.Gegas wanita itu menutup lagi p
82 Entah akan dibawa ke mana Mentari. Ia bahkan tidak diberi kesempatan untuk bertanya. Samudra mendorong kursi roda dengan tidak sabar. Seorang perawat wanita menyertai mereka. Dengan memakai lift, mereka turun ke lantai dua. Selama perjalanan itu, hati Mentari tak urung ketar-ketir selain juga terus bertanya-tanya. Ia yakin sesuatu yang serius tengah terjadi. Dan setelah mengenali koridor yang mereka lewati saat ini, hatinya semakin curiga. Detak jantung mulai berpacu lagi. Bagaimana tidak, koridor yang mereka lalui ini adalah koridor yang beberapa hari lalu diakrabinya siang dan malam. Detak jantung Mentari semakin menggila. “Ayah?” gumamnya lirih sebelum mendongak untuk melihat wajah Samudra yang semakin kusut. “Ada apa dengan ayah, Om?” tanya Mentari dengan kepala yang sengaja diputar agar bisa melihat pria yang mendorongnya. Namun, bukan jawaban yang ia dapatkan melainkan hanya elusan di kepala sekilas. Pria itu bahkan tidak ingin berlama-lama melihatnya. Ia hanya menatap l
83 Kosong. Hampa. Hitam. Entah apa lagi yang Mentari rasakan saat ini. Bahkan, suara seorang ustazd yang tengah membacakan doa sebagai penutup rangkaian acara pemakaman ini, bagai angin lalu. Dunianya benar-benar terasa runtuh di atas kepala. Nyawanya terasa ikut tercerabut dari raganya. Ia tidak tahu lagi bagaimana hidupnya setelah ini. Tanpa ibu dan juga ayah. Dulu, kepergian sang ibu tidak dirasakan sesakit ini karena ia masih kecil. Belum begitu mengerti arti kehilangan. Hanya saja saat sang ibu tak kunjung datang menemui dan memeluknya, ia mulai menangisi kehilangan dan kerinduan itu. Terlebih tak lama setelahnya, sang ayah membawa Yulia dan Novita masuk ke dalam kehidungan mereka. Di sana baru Mentari merasa sendiri dan sangat kehilangan. Kini, sang ayah pergi di depan mata kepalanya sendiri. Sakitnya tentu sangat terasa. Terlebih kepergian Bumi di saat rumah tangganya juga tidak jelas nasibnya. Karenanya, rasa sakit itu menjadi berkali-kali lipat. Entah akan seperti apa hidu
84“Maaf, istri saya masih recovery, butuh istirahat.”Mentari memejam setelah melirik sekilas kaca spion di mana tertangkap penglihatannya, Yulia menaiki mobil Bastian.Tadi, setelah Samudra berkata demikian, pria itu langsung mendorong kursi rodanya tanpa mempedulikan Yulia. Mentari tidak tahu bagaimana reaksi atau mimik wajah ibu tirinya itu. Tapi memang tidak ada aksi apa pun setelah itu.Mentari sendiri tidak berminat untuk menanggapi ucapan wanita tidak tahu malu itu. Baginya, saat ini hidupnya saja entah mau dibawa ke mana. Tidak ingin memikirkan orang lain yang nyata-nyata tidak pernah punya andil dalam hidupnya selain memberi penderitaan.Atas permintaan Mentari, Samudra langsung membawanya pulang. Untuk pemeriksaan lanjutan lukanya bisa dibicarakan lagi dengan dokter. Melihat kondisi istrinya yang sangat terguncang, tidak mungkin kembali ke rumah sakit. Terlebih di sana Mentari melihat langsung ayahnya melepas nyawa.Nenek Widya ikut serta mengantar hingga rumah untuk memast
85Mentari menggigit bibirnya dengan kuat. Untuk kedua kalinya Samudra menyebut nama itu saat menyentuhnya.Siapa sebenarnya Luna? Apa itu panggilan sayangnya untuk Lucy? Apa saat ia menyentuh Lucy seperti ini, juga memanggilnya dengan nama Luna?Ya, Mentari yakin jika hubungan Samudra dengan Lucy sudah sejauh itu. Mereka dua orang dewasa yang sudah mengenal lama satu sama lain. Tidak mungkin belum ada sentuhan intim.Tiba-tiba rasa jijik itu menyergapnya lagi, tapi karena terlanjur pura-pura tidur sejak tadi, terpaksa ia hanya bisa menahan mual saat pria itu memeluk dan menciuminya seperti ini. Hingga suara dengkuran halus dari mulut Samudra terdengar dan menyapu lembut kulit lehernya, Mentari baru beranjak dengan pelan.Wanita itu menyingkirkan tangan besar yang melingkari perutnya dengan sangat hati-hati agar tidak mengganggu tidur sang pria. Padahal jauh di lubuk hati terdalam ingin sekali menghentakkan tangan dan tubuh itu dengan kasar saking jijik membayangkan jika tangan itu su
86Mentari memejam dan membuang muka. Sementara Samudra melemparkan tatapan tidak suka.“Tari, apa kamu tidak kasihan dengan istri ayahmu ini?” Lagi Yulia mengiba.“Bukankah Tante ini pengganti ibumu?” Wanita itu menghampiri dan berdiri lebih dekat dengan Mentari.Rasanya perut Mentari mulai diaduk-aduk. Mual. Bagaimana bisa Yulia dengan tidak tahu malu menyebut dirinya pengganti sang ibu padahal sejak menikah dengan ayahnya tidak pernah bersikap layaknya seorang ibu terhadapa dirinya.“Maaf, Tante. Sejak ibuku meninggal, aku merasa tidak lagi punya ibu. Lagipula, ibuku tidak akan pernah tergantikan sampai kapan pun.” Mentari menjawab santai seraya melipat tangan di dada.“Tapi kamu tidak bisa mengelak kalau Tante ini istri ayahmu sampai dia meninggal. Ayahmu tidak pernah menceraikan Tante. Itu artinya Tante ibu sambung kamu sampai saat ini. Apa begini sikap seorang anak?”Ingin rasanya Mentari berteriak di depan wajah wanita tidak malu itu, bahwa sikapnya adalah buah yang dipanen Yul