82 Entah akan dibawa ke mana Mentari. Ia bahkan tidak diberi kesempatan untuk bertanya. Samudra mendorong kursi roda dengan tidak sabar. Seorang perawat wanita menyertai mereka. Dengan memakai lift, mereka turun ke lantai dua. Selama perjalanan itu, hati Mentari tak urung ketar-ketir selain juga terus bertanya-tanya. Ia yakin sesuatu yang serius tengah terjadi. Dan setelah mengenali koridor yang mereka lewati saat ini, hatinya semakin curiga. Detak jantung mulai berpacu lagi. Bagaimana tidak, koridor yang mereka lalui ini adalah koridor yang beberapa hari lalu diakrabinya siang dan malam. Detak jantung Mentari semakin menggila. “Ayah?” gumamnya lirih sebelum mendongak untuk melihat wajah Samudra yang semakin kusut. “Ada apa dengan ayah, Om?” tanya Mentari dengan kepala yang sengaja diputar agar bisa melihat pria yang mendorongnya. Namun, bukan jawaban yang ia dapatkan melainkan hanya elusan di kepala sekilas. Pria itu bahkan tidak ingin berlama-lama melihatnya. Ia hanya menatap l
83 Kosong. Hampa. Hitam. Entah apa lagi yang Mentari rasakan saat ini. Bahkan, suara seorang ustazd yang tengah membacakan doa sebagai penutup rangkaian acara pemakaman ini, bagai angin lalu. Dunianya benar-benar terasa runtuh di atas kepala. Nyawanya terasa ikut tercerabut dari raganya. Ia tidak tahu lagi bagaimana hidupnya setelah ini. Tanpa ibu dan juga ayah. Dulu, kepergian sang ibu tidak dirasakan sesakit ini karena ia masih kecil. Belum begitu mengerti arti kehilangan. Hanya saja saat sang ibu tak kunjung datang menemui dan memeluknya, ia mulai menangisi kehilangan dan kerinduan itu. Terlebih tak lama setelahnya, sang ayah membawa Yulia dan Novita masuk ke dalam kehidungan mereka. Di sana baru Mentari merasa sendiri dan sangat kehilangan. Kini, sang ayah pergi di depan mata kepalanya sendiri. Sakitnya tentu sangat terasa. Terlebih kepergian Bumi di saat rumah tangganya juga tidak jelas nasibnya. Karenanya, rasa sakit itu menjadi berkali-kali lipat. Entah akan seperti apa hidu
84“Maaf, istri saya masih recovery, butuh istirahat.”Mentari memejam setelah melirik sekilas kaca spion di mana tertangkap penglihatannya, Yulia menaiki mobil Bastian.Tadi, setelah Samudra berkata demikian, pria itu langsung mendorong kursi rodanya tanpa mempedulikan Yulia. Mentari tidak tahu bagaimana reaksi atau mimik wajah ibu tirinya itu. Tapi memang tidak ada aksi apa pun setelah itu.Mentari sendiri tidak berminat untuk menanggapi ucapan wanita tidak tahu malu itu. Baginya, saat ini hidupnya saja entah mau dibawa ke mana. Tidak ingin memikirkan orang lain yang nyata-nyata tidak pernah punya andil dalam hidupnya selain memberi penderitaan.Atas permintaan Mentari, Samudra langsung membawanya pulang. Untuk pemeriksaan lanjutan lukanya bisa dibicarakan lagi dengan dokter. Melihat kondisi istrinya yang sangat terguncang, tidak mungkin kembali ke rumah sakit. Terlebih di sana Mentari melihat langsung ayahnya melepas nyawa.Nenek Widya ikut serta mengantar hingga rumah untuk memast
85Mentari menggigit bibirnya dengan kuat. Untuk kedua kalinya Samudra menyebut nama itu saat menyentuhnya.Siapa sebenarnya Luna? Apa itu panggilan sayangnya untuk Lucy? Apa saat ia menyentuh Lucy seperti ini, juga memanggilnya dengan nama Luna?Ya, Mentari yakin jika hubungan Samudra dengan Lucy sudah sejauh itu. Mereka dua orang dewasa yang sudah mengenal lama satu sama lain. Tidak mungkin belum ada sentuhan intim.Tiba-tiba rasa jijik itu menyergapnya lagi, tapi karena terlanjur pura-pura tidur sejak tadi, terpaksa ia hanya bisa menahan mual saat pria itu memeluk dan menciuminya seperti ini. Hingga suara dengkuran halus dari mulut Samudra terdengar dan menyapu lembut kulit lehernya, Mentari baru beranjak dengan pelan.Wanita itu menyingkirkan tangan besar yang melingkari perutnya dengan sangat hati-hati agar tidak mengganggu tidur sang pria. Padahal jauh di lubuk hati terdalam ingin sekali menghentakkan tangan dan tubuh itu dengan kasar saking jijik membayangkan jika tangan itu su
86Mentari memejam dan membuang muka. Sementara Samudra melemparkan tatapan tidak suka.“Tari, apa kamu tidak kasihan dengan istri ayahmu ini?” Lagi Yulia mengiba.“Bukankah Tante ini pengganti ibumu?” Wanita itu menghampiri dan berdiri lebih dekat dengan Mentari.Rasanya perut Mentari mulai diaduk-aduk. Mual. Bagaimana bisa Yulia dengan tidak tahu malu menyebut dirinya pengganti sang ibu padahal sejak menikah dengan ayahnya tidak pernah bersikap layaknya seorang ibu terhadapa dirinya.“Maaf, Tante. Sejak ibuku meninggal, aku merasa tidak lagi punya ibu. Lagipula, ibuku tidak akan pernah tergantikan sampai kapan pun.” Mentari menjawab santai seraya melipat tangan di dada.“Tapi kamu tidak bisa mengelak kalau Tante ini istri ayahmu sampai dia meninggal. Ayahmu tidak pernah menceraikan Tante. Itu artinya Tante ibu sambung kamu sampai saat ini. Apa begini sikap seorang anak?”Ingin rasanya Mentari berteriak di depan wajah wanita tidak malu itu, bahwa sikapnya adalah buah yang dipanen Yul
87Jleb.Mentari membuang pandangan keluar jendela mobil.Kenapa tiba-tiba Samudra menanyakan itu? Ia harus menjawab apa? Karena jauh di lubuk hati terdalamnya cinta itu sudah tumbuh untuk sang pria sejak beberapa waktu lalu. Hanya saja setelah beberapa kejadian terakhir, ia merasa tidak mesti memupuk rasa itu hingga mati-matian membunuhnya kembali.Semua dilakukannya agar tidak ada harapan untuk melanjutkan pernikahan itu. Rasanya terlalu menyakitkan mengetahui laki-laki yang sudah berusaha untuk dicintai, ternyata menyimpan nama wanita lain di hatinya.Terlalu tinggi mungkin ekspektasinya terhadap sang pria. Ia berharap menjadi satu-satunya wanita dalam hidup Samudra, padahal seharusnya ia memakai logika. Pria matang seperti Samudra tidak mungkin tidak memiliki wanita spesial dalam hidupnya. Bahkan mungkin jauh sebelum ia tumbuh menjadi gadis remaja, pria itu sudah jatuh cinta dan memiliki hubungan khusus dengan seseorang.Bodoh saja tiba-tiba dirinya ingin menjadi satu-satunya wani
88“Mama bikin malu aku aja!” Seseorang yang baru duduk di kursi sebelah kiri pengemudi langsung menggerutu. Tangannya menutup pintu mobil di sampingnya cukup keras. Sementara seorang wanita usia empat lima tahun yang sudah duduk lebih dulu di jok belakang, hanya memutar bola mata malas.“Kenapa sih, harus ngemis-ngemis minta tinggal sama Mentari, Ma? Kalau Mama mau, Bastian bisa memberikan sebuah rumah buat Mama,” lanjut wanita muda yang wajahnya ditekuk. Ia melirik laki-laki muda yang sudah siap di belakang kemudi.Mobil yang mereka tumpangi mulai bergerak meninggalkan area apartemen, tapi wajah-wajah di dalamnya masih sama seperti tadi. Masih ditekuk. Terlebih laki-laki muda yang mengemudi, ia terlihat sangat jengah, hingga tak ada kata keluar dari mulutnya.“Mama tahu, ini bikin malu Bastian. Akan ditaruh di mana muka suamiku nanti? Apalagi kemarin nangis-nangis di makam ayah. Apa sih, yang Mama pikirkan?” Wanita muda yang tidak lain Novita terus saja meluapkan kekesalan. Sementar
89 Mentari menghempaskan bokong di atas kursi kerjanya dengan lemah setelah menaruh tas di meja. Penat sebenarnya, memberikan keterangan di kantor polisi berjam-jam, lanjut berdebat lagi dengan Samudra. Padahal apa susahnya pria itu membiarkannya naik taxi sendiri untuk pulang, lalu ia bebas menemui Lunanya itu. Namun, yang ada sang pria malah ikut keluar dari mobil, lalu memaksanya untuk masuk kembali. Saat ia menolak, sang pria malah membopong dan membawanya kembali ke mobil. Ia ingin meronta, tapi sadar itu akan menarik perhatian banyak orang. Karenanya, ia terpaksa mengalah Sepanjang jalan pulang, ia tidak bicara apa pun lagi dan hanya membuang pandangan ke luar jendela. Dongkol terasa menyesak di dada bahkan terasa bercokol di tenggorokan. Yang membuat Mentari semakin kesal, tidak ada raut bersalah atau apa pun di wajah Samudra setelah ia menyebut nama wanita itu. Bahkan kalau tidak salah lihat, saat terlirik melalui ekor mata, pria itu malah menahan senyum geli. Dan raut itu
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau