139Hampir saja Samudra membatalkan pertemuan dengan calon investornya karena terganggu dengan pesan Mentari yang tiba-tiba dihapus itu. Namun, ia harus memakai logikanya. Kelangsungan perusahaan dipertaruhkan jika ia tidak professional karena alasan pribadi.Dengan mengesampingkan rasa penasarannya yang membungbung tinggi karena nomor Mentari tak kunjung aktif, ia tetap meeting dengan calon investor itu. Walaupun kenyataannya, ia tidak bisa seratus persen mengesampingkan prasangka buruknya. Kecurigaan tetap menghantui selama meeting itu. Samudra ingin menanyakan apa maksud Mentari mengiriminya pesan itu. Apa wanita itu sebenarnya memang ada main dengan Bastian? Hanya saja terlalu pintar bersandiwara? Namun, kebusukan pada akhirnya tetap tercium juga. Buktinya Mentari salah mengirim pesan yang seharusnya untuk Bastian malah terkirim padanya.Ya, itu keyakinan Samudra. Buktinya nomornya langsung tidak aktif begitu ia hubungi balik. Itu artinya Mentari ketakutan setelah ketahuan. Karena
140“Bu ….” Samudra duduk di tepi ranjang tak jauh dari sang ibu, lalu berusaha meraih tangannya. Ia menyesalkan ibunya mengetahui perceraiannya dengan Mentari. Dan itu bukan dari mulutnya. Benny memang keterlaluan. Seharusnya menyerahkan masalah ini menjadi urusannya sendiri.“Apa yang sudah kamu lakukan Samudra Hanggara?” Nenek Widya mendesis seraya melepaskan tangannya. Tatapannya masih tajam menyapu wajah Samudra yang sedikit pucat.Samudra menelan ludahnya sebelum bicara.“Apa pun yang Bang Benny katakan, jangan masukkan hati. Ingat kesehatan ibu. Jangan berpikir terlalu berat.”“Apa gunanya Ibu sehat kalau tidak lagi melihat menantu Ibu.” Suara Nenek Widya meninggi. “Kenapa kamu begitu bodoh, Sam? Kenapa kamu lakukan ini?”Bahkan kini suaranya sudah bercampur getaran. Wajah tuanya memerah. Setelahnya, dadanya terlihat sesak, napasnya terdengar berat. Gegas Samudra meraih tangannya lagi dan menggenggamnya erat.“Bu, Ibu percaya padaku, kan? Aku tidak mungkin mengambil keputusan ta
141“Apa maksud kamu, Bastian?” Nenek Widya memekik. Perubahan wajahnya sangat kentara. Pun dengan Samudra yang kedua bola matanya seakan ingin loncat dari rongganya. Detak jantungnya bahkan terasa berhenti. Tubuhnya membeku bagai patung batu.Sementara Bastian menghampiri sang nenek, lalu bersimpuh di samping tempat tidur. Wajahnya menunduk dalam. Dengan tak mempedulikan perubuhan sikap Nenek Widya yang kaget karena ucapannya, laki-laki muda itu bersuara.“Maafkan jika aku membuat keluarga ini malu dan kesal, Nek. Tapi aku bersumpah sangat mencintai Mentari. Dari dulu hingga sekarang cintaku tidak pernah berubah untuknya. Aku tetap mencintainya meskipun ia menikah dengan orang lain,” katanya seraya mengangkat wajah sebentar.“Aku pikir hanya aku saja yang selama ini mendamba. Aku pikir hanya aku yang bertepuk sebelah tangan. Tanpa aku tahu ternyata Mentari juga merasakan hal yang sama. Ternyata selama ini kami sama-sama tersiksa memendam ini sendirian. Makanya aku seperti mimpi saat M
142“Kalau sampai terjadi sesuatu dengan ibuku, aku akan membuaat perhitungan dengan kalian semua.” Samudra menunjuk wajah Benny dan Bastian bergantian. Kemarahan tertahan di dadanya. Sang ibu jatuh pingsan lagi, dan semua itu karena ulah ayah dan anak itu yang dengan tega bicara hal buruk.Samudra tidak habis pikir degan keluarga kakaknya itu. Kenapa mereka bisa memiliki sifat yang begitu buruk padahal sejak kecil orang tua mereka mendidik dengan sangat baik. Kakak dan keponakannya bahkan masuk sekolah kepribadian. Namun, lihatlah kini, mereka seolah menjelma menjadi manusia-manusia tak punya hati.Bukannya ikut menjaga agar kesehatan ibu mereka tetap stabil dengan menutupi rahasia itu, malah dengan sengaja mengumbar di hadapannya.Kini, mereka semua tengah menunggu di luar kamar pribadi Nenek Widya. Sengaja memanggil dokter pribadi. Biarlah menunggu diagnose dokter Rena saja jika harus ke rumah sakit.Samudra berjalan mondar-mandir dengan wajah tegangnya. Tadi ia ingin menemani di d
143“Shit!” Samudra mengumpat pelan setelah mematikan sambungan telepon yang berulang kali hanya dijawab operator. Ia sangat yakin jika Mentari sudah tidak lagi menggunakan nomor itu. Begitu kuat tekadnya untuk tak lagi terhubung dengannya. Padahal walaupun kata cerai sudah terucap dan status mereka hanya tinggal bergelar mantan, tetapi masih banyak urusan di antara mereka. Masih banyak yang harus mereka bicarakan. Samudra juga berharap wanita itu bertemu dulu dengan sang ibu. Menyampaikan secara baik-baik jika ia akan menikah dengan Bastian setelah putusan cerai secara resmi keluar.Baginya, Mentari keterlaluan. Langsung lari begitu saja setelah kedapatan selingkuh. Pergi setelah berkhianat dengan meninggalkan banyak permasalahan. Paling tidak, pamitlah dengan sang ibu yang begitu menyayangi dan mempercayainya. Katakan baik-baik jika ia akan tetap menjadi menantu ibunya dan juga memberikan keturunan untuk keluarga itu walaupun bukan anaknya.Rasa perih kembali menggodanya bila mengin
144Pundak Samudra meluruh saat tak mendapati Mentari di mana pun. Mungkin wanita itu sudah pergi sebelum ia datang. Atau mungkin masih di sana, hanya sengaja tidak menampakkan diri. Sengaja menghindar darinya.Pria itu kembali menuju ruangannya. Melewati OB yang menatapnya dengan tatapan bercampur aduk. Antara heran dan iba. Mungkin mengira pasangan itu tengah bertengkar.“Kenapa mejanya belum dikeluarkan, Mang?” Sebelum benar-benar masuk ruangannya, Samudra menyempatkan diri menoleh. Lalu menuju mejanya dan duduk di sana dengan menutup wajahnya menggunakan kedua tangan yang sikunya bertumpu di meja. Sungguh, lelah jiwa raga menghadapi permasalahan tak terduga ini. Tidak menyangka jika hidupnya akan kembali ke titik di mana hatinya hampa.Sejak hubungannya dengan Mentari membaik, ia menyangka jika penggalan kisah kelam hidupnya telah berakhir. Semua akan berganti bahagia selamanya. Siapa sangka kini kembali dihadapkan dengan permasalahan yang membuatnya merasa tak memiliki apa pun la
145“Bagaimana, Bas, apa kamu sudah menemukan Mentari?”Setelah berhari-hari Benny tidak bertemu dengan anak semata wayangnya itu, hari ini sang pria mendatangi ruangannya. Sudah beberapa hari ini Bastian tidak terlihat di meja makan. Baik sarapan maupun makan malam. Hanya ada Novita di sana yang menyampaikan jika Bastian jarang pulang ke rumah. Sekali pun pulang sudah lewat tengah malam.Laki-laki muda yang duduk di belakang meja, menurunkan tangannya yang sedang menutup wajah. Hingga tampak dalam pandangan Benny, wajah laki-laki muda itu begitu pucat.“Kamu kenapa?” Kening Benny berkerut saat mendudukkan diri di hadapan Bastian. Diperhatikan dengan seksama wajah anak laki-lakinya yang sama sekali tak memiliki garis wajah serupa dengannya.Benny sadar sejak Bastian lahir, anak itu sama sekali tak ada mirip-miripnya dengannya. Bahkan lebih banyak gen bule yang dibawa Bastian. Namun, Benny sama sekali tidak mempermasalahkan. Esther memang memiliki darah campuran karena ibunya seorang pr
146 Dengan bersemangat, sepasang ayah dan anak turun dari kendaraan roda empat yang mengantar mereka hingga di depan teras rumah. Seorang pelayan langsung membukakan pintu sebelum mereka mendekat. “Aku tidak sabar kejutan apa yang akan diberikan nenek tua itu, Pa.” Bastian tersenyum berjalan di samping Benny. “Berhenti memanggilnya seperti itu, Bas. Sekali saja tangannya bergerak menghapus nama Papa dari daftar ahli waris, maka tamat riwayat kita.” “Dan itu tidak akan terjadi, kan, Pa. Papa satu-satunya anaknya yang mengelola perusahaan. Papa juga satu-satunya anak nenek yang punya keturunan. Memangnya kalau bukan Papa, siapa yang akan mengelola aset nenek sebaik ini? Si Payah itu?” Dengan terus mengobrol, keduanya berjalan memasuki rumah. Pelayan yang tadi membukakan pintu membimbing mereka menuju ruangan di mana Nenek Widya menunggu. “Sekarang ini kita tidak bisa meremehkan Samudra, Bas. Lihatlah, bahkan perusahaan yang mati suri bisa ia hidupkan.” “Tapi tetap dia tidak