144Pundak Samudra meluruh saat tak mendapati Mentari di mana pun. Mungkin wanita itu sudah pergi sebelum ia datang. Atau mungkin masih di sana, hanya sengaja tidak menampakkan diri. Sengaja menghindar darinya.Pria itu kembali menuju ruangannya. Melewati OB yang menatapnya dengan tatapan bercampur aduk. Antara heran dan iba. Mungkin mengira pasangan itu tengah bertengkar.“Kenapa mejanya belum dikeluarkan, Mang?” Sebelum benar-benar masuk ruangannya, Samudra menyempatkan diri menoleh. Lalu menuju mejanya dan duduk di sana dengan menutup wajahnya menggunakan kedua tangan yang sikunya bertumpu di meja. Sungguh, lelah jiwa raga menghadapi permasalahan tak terduga ini. Tidak menyangka jika hidupnya akan kembali ke titik di mana hatinya hampa.Sejak hubungannya dengan Mentari membaik, ia menyangka jika penggalan kisah kelam hidupnya telah berakhir. Semua akan berganti bahagia selamanya. Siapa sangka kini kembali dihadapkan dengan permasalahan yang membuatnya merasa tak memiliki apa pun la
145“Bagaimana, Bas, apa kamu sudah menemukan Mentari?”Setelah berhari-hari Benny tidak bertemu dengan anak semata wayangnya itu, hari ini sang pria mendatangi ruangannya. Sudah beberapa hari ini Bastian tidak terlihat di meja makan. Baik sarapan maupun makan malam. Hanya ada Novita di sana yang menyampaikan jika Bastian jarang pulang ke rumah. Sekali pun pulang sudah lewat tengah malam.Laki-laki muda yang duduk di belakang meja, menurunkan tangannya yang sedang menutup wajah. Hingga tampak dalam pandangan Benny, wajah laki-laki muda itu begitu pucat.“Kamu kenapa?” Kening Benny berkerut saat mendudukkan diri di hadapan Bastian. Diperhatikan dengan seksama wajah anak laki-lakinya yang sama sekali tak memiliki garis wajah serupa dengannya.Benny sadar sejak Bastian lahir, anak itu sama sekali tak ada mirip-miripnya dengannya. Bahkan lebih banyak gen bule yang dibawa Bastian. Namun, Benny sama sekali tidak mempermasalahkan. Esther memang memiliki darah campuran karena ibunya seorang pr
146 Dengan bersemangat, sepasang ayah dan anak turun dari kendaraan roda empat yang mengantar mereka hingga di depan teras rumah. Seorang pelayan langsung membukakan pintu sebelum mereka mendekat. “Aku tidak sabar kejutan apa yang akan diberikan nenek tua itu, Pa.” Bastian tersenyum berjalan di samping Benny. “Berhenti memanggilnya seperti itu, Bas. Sekali saja tangannya bergerak menghapus nama Papa dari daftar ahli waris, maka tamat riwayat kita.” “Dan itu tidak akan terjadi, kan, Pa. Papa satu-satunya anaknya yang mengelola perusahaan. Papa juga satu-satunya anak nenek yang punya keturunan. Memangnya kalau bukan Papa, siapa yang akan mengelola aset nenek sebaik ini? Si Payah itu?” Dengan terus mengobrol, keduanya berjalan memasuki rumah. Pelayan yang tadi membukakan pintu membimbing mereka menuju ruangan di mana Nenek Widya menunggu. “Sekarang ini kita tidak bisa meremehkan Samudra, Bas. Lihatlah, bahkan perusahaan yang mati suri bisa ia hidupkan.” “Tapi tetap dia tidak
147Mata Benny memicing tajam memperhatikan benda di tangannya. Pun dengan Bastian. Keduanya saling melempar tatapan sebelum kompak mengalihkan pandangan ke arah Esther yang masih dengan posisi sama. Duduk tanpa berani mengangkat kepala.“Mama?” Bastian bergumam, kemudian mengambil alih benda di tangan Benny. Memisahkan satu per satu karena ternyata benda itu adalah setumpuk foto-foto ukuran 4R.Mata Bastian yang semula memicing, pelan-pelan kian melebar seiring pemandangan di foto-foto itu. Pun dengan mulutnya yang ikut menganga. Tanganya yang semula bergerak pelan memisahkan setumpuk foto itu kian cepat seiring gemuruh di dadanya.“Pa …,” panggilnya pelan pada pria di sampingnya yang justru berdiam. Ditatapanya wajah pria yang sangat ia sayangi dan banggakan itu dengan tatapan nanar. Setelahnya, karena Benny masih mengatupkan mulutnya, ia beralih menatap sang ibu. Tatapannya jelas menuntut penjelasan.“Apa ini, Ma …?” tanyanya dengan suara bergetar. Tangannya menyodorkan foto-foto d
148Keheningan masih memerangkap mereka di ruangan yang cukup luas itu. Beberapa raga hanya dapat berkedip dan menghirup oksigen tanpa beraksi apa pun. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing.Ekspresi dua laki-laki yang mengerubungi Esther, serupa. Keduanya masih dikuasai kekagetan. Tatapan mereka tak lepas dari wanita yang barusan bicara, sama-sama menyiratkan penyangkalan. Raut tak terima tergambar jelas di wajah-wajah itu. Hingga terdengar suara tawa sumbang Bastian. Jelas sangat dipaksakan.“Jangan ngelantur, Ma. Mama bicara apa? Apa karena pukulan Papa, Mama jadi mabuk? Atau otak Mama sudah bergeser?”“Mama tidak mabuk, Bas. Mama bicara apa adanya. Ayah kamu—”“Ayahku jelas-jelas Papa Benny Hanggara. Itu kenyataannya.” Bastian kukuh.Esther menggeleng. “Ayahmu laki-laki dalam foto itu, Bastian! Bukan dia!” Esther memekik, suaranya penuh penekanan. Telunjuknya menuding wajah Benny yang masih menarik kerah baju dan menjambak rambutnya.“Jangan mengada-ngada, Ma! Sepertinya Mama b
Suami149Wanita itu mengerjap berkali-kali hingga pandangannya dapat melihat jelas. Setidaknya dapat mengenali di mana ia berada. Sedetik berikutnya ia meringis, merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Bahkan bibirnya begitu perih, padahal hanya dipakai untuk meringis.Mata wanita itu kembali memejam. Ingin menggerakkan tubuh, tapi ngilu di setiap inci tubuh melarangnya. Pada akhirnya hanya desisan pelan yang keluar dari mulutnya.Terdengar suara langkah kaki menjauh.“Tuan, Nyonya Esther sudah bangun.” Terdengar suara wanita melapor. Meski tidak keras, tetapi cukup bagi wanita yang tergolek lemah itu mencerna situasi. Ia yakin jika pria yang membuat luka di sekujur tubuhnya ada di ruangan itu juga. Dan yang melapor barusan pelayan pribadinya. Mereka kini berada di kamar pribadi Esther.Tadi, meski dalam keadaan lelembut belum terkumpul, tetapi ia merasakan seseorang mengobati lukanya.Ternyata hanya ini yang dilakukan Benny setelah menyiksanya. Hanya menyuruh pelayan membersihkan dan me
150“Aku belum bisa ke sana, Lu, tolonglah handle dulu semuanya. Aku percaya sama kamu.” Samudra memasang handfree di telinganya. Sebenarnya ia sudah menunda mengangkat panggilan dari orang kepercayaannya itu karena toh sebentar lagi tiba di apartemen. Namun, ponselnya yang tergeletak di dashboard mobil terus saja meraung-raung.Ia tahu dirinya salah karena sudah membebankan segala sesuatu terhadap orang kepercayaan juga sahabat lamanya itu. Namun, kondisinya memang belum memungkinkan dirinya untuk datang ke sana. Saat ini perusahaan ayah Mentari membutuhkan lebih banyak perhatian walaupun belum tahu mau dibawa ke mana nantinya mengingat hubungan dengan pemiliknya sudah berantakan. Belum lagi urusan pribadi dan keluarganya menyita waktu dan pikiran Samudra. Semua membuatnya kacau.“Iya, nanti kalau Bumi Jaya sudah stabil, aku akan percayakan untuk di-handle orang juga. Yang pasti untuk sekarang ini aku belum bisa datang ke sana. Kamu yang sabar dulu, ya.”Dengan mengemudikan mobil dal
151Jangan bayangkan bagaimana perasaan Samudra saat ini. Ia bahkan melajukan kendaraan roda empatnya bagai kesetanan. Berkali-kali hampir menyerempet atau bahkan beradu dengan pengguna lain di jalan. Tak terhitung sumpah serapah dari mereka yang kesal dengan cara mengemudinya yang ugal-ugalan.Namun, ia tidak peduli semua itu. Tujuannya hanya satu, segera sampai di kediaman sang ibu. Ia sangat mengkhawatirkan wanita itu.Serangkaian doa terus terpanjat agar Tuhan masih memberikan keselamatan dan umur panjang pada wanita yang sangat disayanginya itu. Saat ini, sang ibu adalah satu-satunya keluarga yang tersisa yang masih ia miliki, jika Tuhan mengambilnya juga, artinya ia tidak lagi memiliki siapa pun.Karenanya memanjatkan doa agar sang ibu diberi keselamat dan kesehaan serta umur yang panjang terus ia lakukan. Berharap Tuhan masih memberinya kesempatan untuk memenuhi permintaannya.**Kediaman Hanggara beberapa saat sebelumnya.“Apa kamu sudah mengurusnya, Benny?”Pria lebih setengah
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau