PULSA @10K UNTUK 2 KOMENTAR PERTAMA
146 Dengan bersemangat, sepasang ayah dan anak turun dari kendaraan roda empat yang mengantar mereka hingga di depan teras rumah. Seorang pelayan langsung membukakan pintu sebelum mereka mendekat. “Aku tidak sabar kejutan apa yang akan diberikan nenek tua itu, Pa.” Bastian tersenyum berjalan di samping Benny. “Berhenti memanggilnya seperti itu, Bas. Sekali saja tangannya bergerak menghapus nama Papa dari daftar ahli waris, maka tamat riwayat kita.” “Dan itu tidak akan terjadi, kan, Pa. Papa satu-satunya anaknya yang mengelola perusahaan. Papa juga satu-satunya anak nenek yang punya keturunan. Memangnya kalau bukan Papa, siapa yang akan mengelola aset nenek sebaik ini? Si Payah itu?” Dengan terus mengobrol, keduanya berjalan memasuki rumah. Pelayan yang tadi membukakan pintu membimbing mereka menuju ruangan di mana Nenek Widya menunggu. “Sekarang ini kita tidak bisa meremehkan Samudra, Bas. Lihatlah, bahkan perusahaan yang mati suri bisa ia hidupkan.” “Tapi tetap dia tidak
147Mata Benny memicing tajam memperhatikan benda di tangannya. Pun dengan Bastian. Keduanya saling melempar tatapan sebelum kompak mengalihkan pandangan ke arah Esther yang masih dengan posisi sama. Duduk tanpa berani mengangkat kepala.“Mama?” Bastian bergumam, kemudian mengambil alih benda di tangan Benny. Memisahkan satu per satu karena ternyata benda itu adalah setumpuk foto-foto ukuran 4R.Mata Bastian yang semula memicing, pelan-pelan kian melebar seiring pemandangan di foto-foto itu. Pun dengan mulutnya yang ikut menganga. Tanganya yang semula bergerak pelan memisahkan setumpuk foto itu kian cepat seiring gemuruh di dadanya.“Pa …,” panggilnya pelan pada pria di sampingnya yang justru berdiam. Ditatapanya wajah pria yang sangat ia sayangi dan banggakan itu dengan tatapan nanar. Setelahnya, karena Benny masih mengatupkan mulutnya, ia beralih menatap sang ibu. Tatapannya jelas menuntut penjelasan.“Apa ini, Ma …?” tanyanya dengan suara bergetar. Tangannya menyodorkan foto-foto d
148Keheningan masih memerangkap mereka di ruangan yang cukup luas itu. Beberapa raga hanya dapat berkedip dan menghirup oksigen tanpa beraksi apa pun. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing.Ekspresi dua laki-laki yang mengerubungi Esther, serupa. Keduanya masih dikuasai kekagetan. Tatapan mereka tak lepas dari wanita yang barusan bicara, sama-sama menyiratkan penyangkalan. Raut tak terima tergambar jelas di wajah-wajah itu. Hingga terdengar suara tawa sumbang Bastian. Jelas sangat dipaksakan.“Jangan ngelantur, Ma. Mama bicara apa? Apa karena pukulan Papa, Mama jadi mabuk? Atau otak Mama sudah bergeser?”“Mama tidak mabuk, Bas. Mama bicara apa adanya. Ayah kamu—”“Ayahku jelas-jelas Papa Benny Hanggara. Itu kenyataannya.” Bastian kukuh.Esther menggeleng. “Ayahmu laki-laki dalam foto itu, Bastian! Bukan dia!” Esther memekik, suaranya penuh penekanan. Telunjuknya menuding wajah Benny yang masih menarik kerah baju dan menjambak rambutnya.“Jangan mengada-ngada, Ma! Sepertinya Mama b
Suami149Wanita itu mengerjap berkali-kali hingga pandangannya dapat melihat jelas. Setidaknya dapat mengenali di mana ia berada. Sedetik berikutnya ia meringis, merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Bahkan bibirnya begitu perih, padahal hanya dipakai untuk meringis.Mata wanita itu kembali memejam. Ingin menggerakkan tubuh, tapi ngilu di setiap inci tubuh melarangnya. Pada akhirnya hanya desisan pelan yang keluar dari mulutnya.Terdengar suara langkah kaki menjauh.“Tuan, Nyonya Esther sudah bangun.” Terdengar suara wanita melapor. Meski tidak keras, tetapi cukup bagi wanita yang tergolek lemah itu mencerna situasi. Ia yakin jika pria yang membuat luka di sekujur tubuhnya ada di ruangan itu juga. Dan yang melapor barusan pelayan pribadinya. Mereka kini berada di kamar pribadi Esther.Tadi, meski dalam keadaan lelembut belum terkumpul, tetapi ia merasakan seseorang mengobati lukanya.Ternyata hanya ini yang dilakukan Benny setelah menyiksanya. Hanya menyuruh pelayan membersihkan dan me
150“Aku belum bisa ke sana, Lu, tolonglah handle dulu semuanya. Aku percaya sama kamu.” Samudra memasang handfree di telinganya. Sebenarnya ia sudah menunda mengangkat panggilan dari orang kepercayaannya itu karena toh sebentar lagi tiba di apartemen. Namun, ponselnya yang tergeletak di dashboard mobil terus saja meraung-raung.Ia tahu dirinya salah karena sudah membebankan segala sesuatu terhadap orang kepercayaan juga sahabat lamanya itu. Namun, kondisinya memang belum memungkinkan dirinya untuk datang ke sana. Saat ini perusahaan ayah Mentari membutuhkan lebih banyak perhatian walaupun belum tahu mau dibawa ke mana nantinya mengingat hubungan dengan pemiliknya sudah berantakan. Belum lagi urusan pribadi dan keluarganya menyita waktu dan pikiran Samudra. Semua membuatnya kacau.“Iya, nanti kalau Bumi Jaya sudah stabil, aku akan percayakan untuk di-handle orang juga. Yang pasti untuk sekarang ini aku belum bisa datang ke sana. Kamu yang sabar dulu, ya.”Dengan mengemudikan mobil dal
151Jangan bayangkan bagaimana perasaan Samudra saat ini. Ia bahkan melajukan kendaraan roda empatnya bagai kesetanan. Berkali-kali hampir menyerempet atau bahkan beradu dengan pengguna lain di jalan. Tak terhitung sumpah serapah dari mereka yang kesal dengan cara mengemudinya yang ugal-ugalan.Namun, ia tidak peduli semua itu. Tujuannya hanya satu, segera sampai di kediaman sang ibu. Ia sangat mengkhawatirkan wanita itu.Serangkaian doa terus terpanjat agar Tuhan masih memberikan keselamatan dan umur panjang pada wanita yang sangat disayanginya itu. Saat ini, sang ibu adalah satu-satunya keluarga yang tersisa yang masih ia miliki, jika Tuhan mengambilnya juga, artinya ia tidak lagi memiliki siapa pun.Karenanya memanjatkan doa agar sang ibu diberi keselamat dan kesehaan serta umur yang panjang terus ia lakukan. Berharap Tuhan masih memberinya kesempatan untuk memenuhi permintaannya.**Kediaman Hanggara beberapa saat sebelumnya.“Apa kamu sudah mengurusnya, Benny?”Pria lebih setengah
152“Esther!” Benny maju. Tangannya bergerak cepat ingin merebut benda di tangan istrinya. Namun, Esther sudah bersiap dengan kondisi itu.Bergegas wanita itu menghindarkan tangannya, kemudian kembali menyunggingkan senyum sinis.“Lihatlah, Bu, betapa putramu sangat ketakutan.” Esther menyindir seraya menatap mertuanya. “Tahu kenapa?” lanjutnya seraya memiringkan kepala.Nenek Widya yang tidak mengerti dengan semua ucapan Esther, sejak tadi terus memperhatikan menantu pertamanya itu dengan kening berkerut. Mulutnya tetap terkatup, tapi kecurigaan mulai berkelindan melihat perubahan gestur dan raut wajah anak sulungnya.“Esther, jangan macam-macam. Ingat, kondisi kesehatan ibuku tidak stabil.” Benny melotot tajam. Berharap dengan begitu Esther takut dan menghentikan aksi gilanya.“Kenapa Benny Hanggara? Bukankah itu yang kamu harapkan? Ibumu segera menyusul ayahmu ke alam lain, agar kamu bisa bebas menguasai hartanya, bukan?”“Esther! Apa kamu sudah gila?” Benny membentak, lalu hendak
153“Ibu ….” Samudra berlari saat dari kejauhan melihat Ratri, asisten ibunya duduk terpekur di depan sebuah ruangan. Awalnya Samudra berniat pulang ke rumah sang ibu, hanya saja saat wanita yang sudah puluhan tahun mengabdi kepada Widya itu mengabarkan ibunya sudah dibawa ke rumah sakit, ia memutar laju mobilnya.“Bagaimana kondisi ibu?” tanyanya begitu tiba di hadapan Ratri. Sudah tak dapat dilukiskan bagaimana kekhawatirannya.Ratri yang semula hanya duduk terpekur, langsung berdiri tatkala mendengar suara anak majikannya. Kemudian mengangguk hormat dengan tubuh tegak layaknya seorang ajudan. Tadi juga dirinya yang menelepon Samudra dan mengabarkan kondisi Widya.“Masih ditangani dokter, Pak. Saya masih menunggu informasi,” jawab wanita usia tiga puluhan yang selalu memakai pakaian serba gelap itu.“Apa kondisi ibu sangat serius?” kejar sang pria tidak sabar. Berharap Ratri menyampaikan berita yang tidak terlalu mengkhawatirkan.“Kepala Bu Widya terbentur pinggiran meja nakas, ada