Tiga
"Larasati ...!"
Sia-sia seruan Mahendra, toh Larasati tidak menghiraukan. Wanita itu terus berjalan dengan hati yang mantap menuju kamar mertuanya yang berada di lantai bawah.
Mau tidak mau Mahendra harus mengejar Larasati, Istrinya itu sekarang sudah terlihat berada di lantai bawah, cepat sekali dia, apa ia terbang? Umpat Hati kecil Mahendra.
Maka dengan secepat kilat juga, Mahendra tergesa menuruni anak-anak tangga, ia hampir saja terjerembab karena melangkahi beberapa anak tangga sekaligus, untung saja ia sigap berpegangan pada pagar besi.
"Si*lan!" Jantung Mahendra berdebar keras, ia harus cepat, sebelum Larasati mencapai pintu kamar orang tuanya.
"Hei Larasati, tunggu!" Dikeremangan ruangan yang hanya berpenerangan lampu-lampu neon lima Watt yang di pasang di sudut tangga Mahendra dapat melihat bayangan Larasati yang sempat menoleh pada nya.
"Baiklah, Larasati ... kemarilah, aku akan ikuti kemauanmu."
Larasati yang sudah mengangkat tangan untuk mengetuk pintu mertua, mengentikan pergerakannya.
Ia menoleh, Mahendra berada tidak jauh darinya, menyandarkan bahu pada pintu kamar yang kelihatan tidak berpenghuni, dengan keringat bercucuran di dahi serta nafas yang ngos-ngosan.
Senyum ragu menghiasi bibir Larasati, ia tidak percaya sebenarnya, tapi kilat di mata Mahendra sepertinya tidak main-main.
Larasati mengurungkan niatnya untuk sementara, lalu ia bergerak menuju Mahendra.
"Kalau begitu, lakukan sekarang." ucap Larasati pelan. Kedua tangannya di silang ke dada.
"Ayo ke kamar, aku tidak bawa ponsel." Mahendra menangkap pergelangan tangan Larasati.
"Ini, kamu pasti ingat nomornya bukan?"
Larasati menepis pegangan Mahendra, lantas menyodorkan ponsel yang sedari tadi si pegangnya.
Mahendra menatap ponsel itu dengan gemas. Wanita ini benar-benar membuat aku gila! gumamnya.
"Ayo, atau kamu ingin aku melanjutkan untuk mengetuk pintu Papa?" Larasati sengaja tidak menambahkan kata 'mu' saat mengucapkan Papa.
"Ini!" Larasati sungguh tidak sabaran, ujung ponselnya sudah menyentuh dada Mahendra.
Mahendra sungguh ingin melemparkan saja ponsel yang menurutnya sangat murahan itu, tapi mengingat ancaman Larasati, ia hanya bisa menarik napas sedalam-dalamnya.
Ponsel sekarang sudah berada dalam genggaman Mahendra.
Ibu jari Mahendra mengusap layar, sebelah tangannya menyugar rambutnya bolak-balik. Sementara Larasati menatap dengan tidak sabaran.
"Cepatlah, mas ..." tuntut Larasati.
Kemudian Larasati sedikit merasa lega ketika melihat Mahendra telah mengetik beberapa angka.
Mahendra dengan perasaan tidak menentu memang telah memasukkan nomor kekasihnya.
Ya ini adalah satu satunya pilihan yang tepat. Mahendra akan memutuskan Zara malam ini demi memenangkan hati Larasati, setelah Mahendra akan mengirimkan pesan pada wanita yang dicintainya itu kalau ia terpaksa melakukannya dan bukan keinginanmya sendiri. Ia melakukan karena ancaman Larasati. Dan Mahendra sangat yakin Zara akan mengerti.
Mata Larasati mengawasi Mehendra dengan ketat, ponselnya sekarang sudah menempel di telinga. Rahang yang ditumbuhi bulu-bulu halus terlihat mengeras pertanda geraham yang saling beradu dengan kuat, sorot mata tajam tapi sayangnya sekarang mau tidak mau harus tunduk pada tatapan lembut Larasati.
Larasati tersenyum geli dalam hati. Mari kita lihat Bung ar*gan, bagaimana cara kau berkelit menghadapiku?
Terdengar nada sambung dari seberang sana, Mahendra gugup. Sesungguhnya ia tidak bisa melakukannya, bagaimana mungkin ia sanggup menyakiti hati wanita yang selama ini sangat ia cintai.
Tetapi, gara-gara wanita yang berdiri di depannya ini, ia harus melakukan hal tersebut ...
Lihatlah, wanita ini sekarang terus menatapku dengan tatapan egois, tanpa rasa bersalah atau sungkan. Seharusnya wanita ini ada sedikit rasa segan bukan? Bukankah kami baru saja bertemu tadi siang, yah walaupun sudah sah menjadi istriku ... tapi tetap saja seharusnya ia mempunyai adab dan rasa malu ... hati Mahendra tidak berhenti berkata-kata.
"Halo ..."
Mahendra tersentak, jawaban parau dari seberang sana mencelos hatinya.
"Zara, ini aku ..." bergetar suara Mahendra.
"Nyalakan spikernya." Larasati memberi kode pada Mahendra dari gerakan mulut. Tetapi Mahendra tidak memperdulikannya.
Dengan gemas, Larasati merampas ponsel tersebut, menekan tombol spiker lalu menaruhnya kembali di telapak tangan Mahendra.
"Ada apa lagi Mahendra? ... tidak cukupkah kau membuatku h*‹ncur? Apa lagi yang kau mau?" isak tangis kembali pecah di telinga Mahendra. Larasati melengos mendengarnya.
Mahendra mengehela napas putus asa berkali-kali. Ia tidak sanggup melakukan apa yang diinginkan Larasati.
"Sayang aku sangat men ..."
Ogh ... Larasati kesal. Sepertinya Mahendra memang ingin menguji dirinya. Dengan cepat ia menghamburkan langkah menuju pintu kamar mertuanya.
Mahendra terkesiap. Larasati dengan ringan mengetukkan dua jarinya ke pintu.
Tok ...
"Zara ... kita putus, mulai sekarang hubungan kita berakhir."
Larasati tersenyum simpul ... dalam hati bersorak senang. Ini bukan tentang ia merasa hebat bisa mengintimidasi Mahendra dalam sekejap, tetapi ia bangga pada keberaniannya yang membuat Mahendra tidak macam-macam atas pernikahan mereka.
Bagaimanapun Larasati berpikir pernikahan bukanlah sesuatu hal yang bisa dianggap sandiwara atau permainan. Walaupun ia tahu kalau tidak ada sedikitpun rasa suka Mahendra untuknya.
Namun setidaknya untuk malam ini ia berhasil menunjukkan pada seseorang di seberang sana yang katanya adalah kekasih suaminya, di mana tempat Larasati sebenarnya. Ia berhasil mempertahankan harga diri seorang istri yang semestinya.
"Mahendra ... aku tidak mengerti dengan apa yang kau katakan. Sudah cukup kau menyakitiku hari ini, jangan kau tambahkan lagi luka..."
"Makanya daripada aku terus melukaimu lebih baik kita berpisah..."
"Tidak Mahendra ... ini tidak mungkin, jangan begini. Apa kau sudah lupa dengan segala janji yang kau ucapkan. Jangan lupakan dengan apa yang telah kita rencanakan dan lakukan ... kita sudah bersama dalam waktu yang panjang Mahendra. Aku tidak akan sanggup hidup tanpamu."
Mahendra memejamkan mata mendengar kata-kata dari seberang sana. Sementara Larasati menyaksikan dengan sangat teliti seakan-akan itu adalah drama yang sangat seru.
"Baiklah ... aku akan berusaha menerima kalau kau telah menikah. Aku tahu ini cuma karena permintaan Papamu bukan? Maafkan aku karena terlalu kekanak-kanakan. Aku janji akan dengan sabar menunggumu, aku akan selalu bersamamu Mahendra ... "
Larasati geram mendengar ucapan demi ucapan tersebut. Ia perhatikan mimik wajah Mahendra yang begitu prustasi.
Mahendra menatap Larasati, memohon melalui sorot mata agar Larasati mau mengubah keputusannya.
Seolah mengerti dengan permohonan tatapan Mahendra, Larasati menggeleng dengan cepat, walau sebenarnya ia cukup tersentuh. Oh jadi seperti ini rupanya kalau seorang pria benar-benar mencintai kekasihnya ... tapi jauh di lubuk hatinya entah kenapa seperti ada ribaun jarum yang menusuk.
Membuat jiwa Larasati sesak, dan ingin mencari pelampiasan.
"Kau mau akau mengetuk lebih keras pintu ini? Cepat selesaikan sekarang juga, atau aku akan bikin keributan di sini, bukan orang tuamu saja yang akan tahu, tapi semua orang yang tinggal di sini ...!"
Untuk sekarang Mahendra takhluk pada keegoisan Larasati, tapi ia berjanji dalam hati ini adalah yang pertama dan terakhir wanita ini berlaku semena-mena atas dirinya.
Tidak ada siapapun selama ini yang berani mengintimidasi seorang Mahendra Malik, jangan mengintimidasi, selama ini siapapun yang berhadapan dengannya, hanya akan menundukkan kepala. Namun gadis ini, ia sudah melewati batas, dan Mahendra tidak akan memaafkannya.
Geraham Mahendra bergemertuk menahan kemarahan yang menggumpal di dada.
"Kita putus, Zara. Aku tidak mencintaimu lagi, mari kita jalani hidup masing-masing."
Setelah kata-kata itu, meluncur dari bibir tipisnya, Mahendra langsung mematikan ponsel itu, tidak sanggup hatinya mendengar isakan pilu dari hati yang telah sengaja ia lukai.
"Kau puas sekarang?" Mahendra mengansurkan ponsel itu pada pemiliknya.
"Ya ... untuk sekarang ..." Entah kenapa Larasati merasa suaranya tercekat di tenggorokan.
"Tidak lagi ... jangan harap kamu akan mendapatkan apapun lagi dariku, baiklah, terserah kamu mau hidup bagaimana sekarang. Karena bagiku, di sisiku kau ibarat debu... kotor dan tidak berguna ...
Larasati menggigit bibir mendengar ucapan Mahendra yang menatapnya penuh kebencian.
"Lihat dirimu ... begitu jelek dan kampungan, bagaimana mungkin orang-orang tua itu menyandingkan dirimu denganmu? Apa mereka tidak berpikir bagaimana aku akan mengahadapi cemoohan para kolega, karyawan dan teman-temanku?
Kau adalah sampah dalam kehidupanku, maka jangan pernah berpikir untuk mendapatkan diriku.
Ingat di ot*kmu ini, kau adalah samp*h di sisiku."
Mahendra menekan kening Larasati dengan telunjuknya.
"Kalau aku sampah, maka kau adalah tempat sampah!"
Larasati balik menuding kepala Mahendra, tapi ia melakukannya dengan keras sehingga lelaki itu terhunyung ke belakang.
Empat"Beraninya kau!" Mahendra sungguh tidak akan pernah menduga kalau akan ada seseorang yang dengan sangat berani men*yor kepalanya tanpa rasa sungkan sedikitpun, dan tentu saja hal itu membuat pria yang seumur hidupnya hanya selalu mendapatkan rasa hormat dan kekaguman dari semua orang tersebut begitu terkejut, sehingga membuat tubuhnya limbung hampir terjerembab, untung saja tangannya masih sempat berpegangan pada kursi yang ada di sana.Dan Larasati hampir saja menyemburkan tawanya melihat hal itu."Ya, aku akan lebih sangat berani lagi Mahendra, kalau kau tidak menurut apa yang aku katakan." Aha, sepertinya Larasati belum usai dengan segala hal yang telah membuat Mahendra mati kesal itu."Jangan lagi, Laras! Sudah kubilang kau tidak akan bisa lagi!" Mahendra telah sepenuhnya menguasai diri, sekarang telunjuknya telah disejajarkan dengan wajah Larasati, sebagai sebuah isyarat agar wanita itu segera berhenti."Aku bisa Mahendra. Aku bisa, kau pikir tidak?" Dengan enteng Larasati
LimaUntuk pertama kalinya dalam hidup seorang Mahendra Malik, ia merasa benar-benar tidak berdaya. Hanya satu alasan yang membuatnya begini, yaitu baktinya sebagai seorang anak, kalau tidak, entah apa yang akan ia lakukan ...Tentu dunia tidak akan percaya begitu saja jika seseorang yang selama ini dikenal sebagai pribadi yang ar0gan penuh intimidasi itu telah takhluk begitu saja, tanpa melihatnya dengan mata kepala sendiri.Lihatlah sekarang, pria yang biasanya penuh aura kepemimpinan, kepala selalu terangkat dan dada yang membusung, kini hanya bisa tertunduk dengan bahu melorot. Kedua tangannya terkepal erat sehingga buku-buku jemarinya memutih, nafasnya terdengar berat dan memburu.Pria berusia 30 tahun itu, duduk di sofa empuk bernuansa putih gading di ujung ranjang, kedua tangannya yang terkepal itu tertumpu pada kedua lutut, mata itu yang semakin berkobar karena emosi terpendam terasa begitu panas seakan siap menghanguskan apa saja, tapi hanya berakhir tanpa daya pada karpet
Enam"Bagaimana kau bisa tidur senyenyak itu setelah bertindak seenaknya?" Mahendra bergumam sambil menatap tubuh di atas ranjang yang terbungkus selimut dari ujung kaki ke ujung kepala. Sesekali pendengarannya terusik oleh bunyi dengkuran halus.Sementara Mahendra, ia tidak mengerti kenapa harus begitu patuh dengan semua ancaman wanita itu, kenapa bisa-bisanya ia tahkluk begitu saja? Padahal segalanya telah terencana dengan matang.Di tengah malam yang semakin merayap, mata pria itu masih belum jua terpejam, bukan karena tubuhnya yang tidak terbiasa dengan lantai tempat ia bergelung sekarang, tapi permintaan tak masuk akal dari Larasati terus berputar di kepalanya.Dan bukan itu saja, nyatanya Larasati telah me rong-rong segala pertahanannya sebagai seorang lelaki, gadis itu dengan mudahnya telah memanipulasinya, dari mengancam, menyita ponsel, dan gilanya lagi dia akan membatasi gerak Mahendra, akan ada GPS di mobil dan ponselnya akan disadap.Oh! Mahendra benar-benar tidak bisa me
Tujuh"Kau wanita gila!" umpat Mahendra diantara nafas yang menyesak, dadanya turun naik menahan kesal.Larasati hanya tersenyum kecut, menoleh sekilas pada raut yang marah padam itu.Bukannya merasa simpati atau ciut nyali melihat bara api yang berpendar di mata tajam itu, Larasati malah memberi isyarat lewat gerakan dagunya agar Mahendra segera menjawab ponsel yang masih saja terus berdering.Mahendra benar-benar tidak punya pilihan, selain menuruti perintah dari wanita yang telah mengklaim diri sebagai Ratu itu, dan seenak jidatnya menjadikan Mahendra ajudan.Sungguh di luar nalar kelakuan wanita itu, tapi Mahendra bisa apa selain menurutinnya.Lalu Mahendra pun menggeser tombol hijau di layar, segera pendengaran mendengar isak parau dari sana, Mahendra memperkirakan kalau Zaranya telah melewati malam dengan tangisan tiada henti."Sttt ... lodspeakernya jangan lupa."Mahendra pun patuh dan segera menekan tombol yang di maksud sang Ratu."Mahendra ... apakah kau menikmati malammu
DelapanSetelah Mahendra memasuki kamar mandi, Larasati bergerak menuju koper berisi pakaiannya yang belum sempat diberes ke dalam lemari.Koper itu tergeletak di sudut kamar berdekatan dengan pintu, tapi entah kenapa Larasati merasa begitu jauh, langkah terlihat limbung mungkin karena lututnya yang gemetaran, sehingga sesaat kakinya mencapai tempat yang dituju, tubuh itu pun luruh ke lantai.Larasati menekan dada sebelah kirinya dengan kuat, bukan hanya menekan, sesaat kemudian ia juga memukul bagian itu dengan kepalan tangannya ... entahlah, bahkan dia sendiri tidak bisa menjabarkan apa yang dirasakannya saat ini.Larasati hanya tersedu beberapa saat, lalu ia segera menyusup air mata dengan cepat, kemudian mulai memilah pakaiannya di dalam koper.Setelah menemukan sesuatu yang menurutnya cocok untuk dipakai hari ini, setidaknya menjelang ia membeli pakaian-pakaian baru. Sebuah gaun terusan sederhana hijau toska di bawah lutut dengan renda putih di bagian dada.Memakainya dengan
9"Akhirnya, pengantin baru kita keluar juga..."Mahendra dan Larasati langsung di sambut oleh suara riang bersahutan dari anggota keluarga ketika kaki mereka belum juga mencapai anak tangga paling bawah.Fabian Malik, Papanya Mahendra terlihat sumbringah sekali menadapati putra kebanggaannya merangkul mesra menantu pilihannya."Baguslah, Nak. Rasanya aku ingin hidup berpuluh-puluh tahun lagi setelah menyaksikan kebersamaan kalian ini." Pria setengah baya dengan wajah yang terlihat agak lelah dan pucat itu memegang bahu anak menantunya bersamaan.Larasati tersipu, sementara Mahendra , tentu saja ia sudah diwanti-wanti oleh istrinya itu, untuk bersikap sebaik mungkin."Tentu Pa, papa harus hidup sangat lama. Tugas kita masih panjang, tidak lama lagi, melihat dari kedekatan mereka yang lebih cepat dari perkiraan kita, tidak lama lagi semoga kita akan segera di berkahi cucu." Rieta Malik, Mama Mahendra juga terlihat bahagia, apalagi melihat wajah putranya yang terlihat begitu enjoy, tida
10.Mahendra Malik dan Ruhan Pratama sejatinya selama ini mereka adalah lawan bisnis yang bersaing secara sehat, sesekali bisa juga menjadi partner yang saling menyokong satu sama lain.Mahendra dan Ruhan secara garis besar terlihat sebagai dua orang yang setara. Baik dari segi kekayaan, kepintaran, prestasi maupun ketampanan. Raut mereka yang sama-sama memiliki garis-garis yang telah ditakdirkan untuk memikat pandangan kaum hawa, tapi tentu dengan karakter wajah masing-masing. Ruhan berkulit coklat sementara Mahendra sawo matang. Begitupun postur tubuh, sama-sama tinggi, tegap dan berotot liat.Hanya saja yang membedakannya adalah, Ruhan dan segalanya kekayaannya itu adalah hasil kemandiriannya sendiri, bukan dari usaha keluarga seperti yang dilakukan Mahendra.Untuk itulah, seringkali Mahendra merasa kagum akan kemandirian Ruhan, bahkan cenderung segan pada pria yang sebenarnya sebaya dengannya itu, kadang tanpa malu ia sering meminta saran Ruhan bagaimana baiknya menjalankan
11Merah padam wajah Mahendra menerima segala perlakuan tiba-tiba dari Ruhan, bukannya malu dengan para pengunjung lain yang tentu otomatis telah menjadikannya sebagai tontonan tapi karena kenyataan yang tidak bisa diterima oleh nalarnya.Bagaimana mungkin? Ruhan Pratama menyukai gadis sesederhana Larasati? Bagaimana awalnya itu terjadi dan entah di mana mereka bertemu? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam diri Mehendra sehingga ia lupa untuk menepis cengkraman Ruhan yang masih terpaut di leher bajunya."Jaga kelakuan anda Pak Ruhan, di sini bukan hanya kita, jangan sampai nanti ada berita yang tersebar kalau seorang Ruhan berbuat kasar pada seorang suami karena menginginkan istrinya," ujarnya setelah beberapa saat.Ruhan segera melepaskan cengkramannya, kemudian ia mengusap wajahnya berikut menyugar rambut bolak-balik, sangat jelas Mahendra menangkap ada begitu besar kekecewaan pada Ruhan."Berhenti memikirkan istriku, Pak Ruhan. Anda berhak mendapatkan yang lebih baik dari dia .
Bab 28"Hufft ... aku tentu saja tidak akan mengalami semua ini jika tidak menikah dengan pria itu. Entah apa yang harus kulakukan di sini? Entah kenapa juga aku harus melarikan diri ke sini?!"Larasati terus saja menggerutu kesal, sambil menaruh sapu ijuk yang telah sebagaian rontok di makan waktu di balik pintu. Larasati baru saja selesai bersih-bersih di rumah sederhana yang telah ditinggalkan 10 tahun yang lalu.Tadinya Larasati khawatir akankah rumah itu masih ada, jikapun ada, pastinya sudah merimba oleh semak belukar. Tetapi ternyata tidak seperti yang Larasati pikirkan, rumah itu masih begitu bersih dan terawat. Karena ternyata ada tetangga yang begitu baik hatinya membersihkan rumah itu sekali seminggu.Yang sebenarnya adalah, tanpa sepengetahuan Larasati, Ayahnya telah menitipkan rumah itu pada Pak Karsa beserta istrinya. Tentu saja dengan imbalan sepetak kebun yang ada dibelakang rumah tersebut bebas dikelola oleh Pak Karsa.Tidak seperti perkiraan Larasati juga, ternyata
Bab 27Larasati baru saja menapakkan kaki kejalanan aspal yang basah, sesaat setelah ia turun dari bus yang baru saja ditumpanginya.Larasati menyeret tasnya yang lumayan besar menuju kedai tepi jalan. Ia tersenyum sopan pada pemilik kedai."Numpang sebentar Bu," serunya, meminta izin sebelum menaruh tas pada bangku panjang. Pemilik kedai perempuan paruh baya yang membungkus tubuhnya dengan kain sarung itu menggangguk ramah.Larasati mulai memasang resleting jaketnya. Giginya bergemertuk menahan dingin yang begitu menusuk ke tulang. Hujan memang tidak deras, hanya gerimis tipis terbawa semilir angin, tapi cuaca di daerah dataran tinggi memang selalu bersuhu rendah. Larasati berniat duduk sejenak di bangku panjang itu, sekedar melepas penat karena telah duduk dalam bus yang sempit selama kurang lebih 6 jam. Setelahnya baru Larasati akan berbelanja untuk keperluannya nanti.Lalu matanya mulai meneliti keadaan sekitar. Tempat ini masih sama saat ia pergi sekitar 10 tahun yang lalu, ke
Bab 26Mahendra tidak memberikan kesempatan pada Ruhan untuk mencerna apa yang terjadi, kembali ia meraih Ruhan dan kembali ingin melesakkan tinjunya.Tetapi Ruhan, walau belum mengerti apa yang membuat Mahendra datang seperti orang gila, ia segera menangkis pukulan yang akan kembali bersarang pada wajahnya."Apa yang sedang kau perbuat, brengsek!" Kini giliran Ruhan yang mencengkram krah baju Mahendra. Lebih tepatnya mereka saling mencengkram satu sama lain."Kau yang brengsek, Ruhan. Kau pria rendahan! Tidak punya attitude! Sebagaimana pun kau menyukai seorang wanita, kau dilarang untuk menghasutnya untuk meninggalkan suaminya!""Apa?!" Sungguh Ruhan terkejut mendengar perkataan Mahendra. "Kau tidak punya malu, Ruhan. Apa nama besar yang kau punya membuatmu merasa bisa melakukan apa saja? Kau menciptakan neraka di rumah tanggaku, kau tanpa malu bermesraan dengan isteriku. Dan sekarang kau malah membawanya, mengomporinya agar meninggalkanku?!""Jaga bicaramu, Mahendra ...." Ruhan me
Bab 25 "Ini lelucon ...!" Mahendra mencengkram ponsel begitu keras, seakan kalau benda itu remuk di jemarinya maka semua yang tertera di layar juga akan tiada arti. Mahendra membaca pesan itu berulang-ulang, berharap matanya salah mengeja huruf-huruf yang tertera di sana, lalu ketika ia sudah tidak tahan lagi, segera ponsel tersebut melayang, untungnya jatuh tepat di atas sofa empuk yang ada satu sisi ruangan Berkali-kali Mahendra menghirup nafas lalu menghempaskan lagi. Sekarang dasinya benar-benar telah terlepas dari lehernya dan berceceran di lantai, beberapa kancing kemeja bagian atas pun telah terbebaskan, tapi itu sama sekali tidak mengurangi rasa sesak yang menderanya. Mahendra berusaha untuk menenangkan diri sebelum bertindak, ia kembali membawa punggungnya untuk bersandar, sementara jemarinya saling bertaut menutupi wajah. Namun semua usaha pengendalian dirinya itu agaknya sia-sia, ketika ia teringat akan sesuatu ... dan membuatnya segera bangkit, menyambar ponselnya
Part 24 Mahendra seperti biasa_walau keterlambatannya sempat membuat para bawahanya begitu khawatir_ ia tetap menguasai rapat dengan begitu lancar, dan berakhir dengan tepuk kagum para investor yang berasal dari berbagai Negara. Mahendra menghirup nafas lega, ia kemudian memasuki ruangannya sembari melonggarkan dasi, membuka jas,. menaruh di sandaran kursi, lantas mendudukkan diri, merilekskan punggung. "Pak, jadwal dengan calon klien dari Arcanda Group satu jam lagi." Angga sang asisten menyusulnya masuk. "Batalkan semua itu. Aku ingin mengajak istriku makan siang." Mahendra menjawab sekenanya, tanpa melirik asistennya yang melebar mata. "Pak anda menikah? Kapan?" Mahendra tertawa pelan menyadari bahwa bahkan sang asistennya pun tidak tahu kalau ia telah menikah. Sebegitu inginnya ia menyembunyikan pernikahannya dari khalayak, tetapi sekarang entah kenapa pikirannya hanya tertuju pada istrinya itu. "Seminggu yang lalu." Angga hanya ternganga sesaat, matanya yang masih m
part 23Larasati pura-pura masih belum terjaga ketika sekitar jam 7,30 Mahendra yang masih saja mendekapnya dengan posesif, tiba-tiba saja terbangun.Pria itu segera bangkit diiringi gumamam tidak jelas."Sial ..." hanya itu kata yang dimengerti Larasati, lalu didengarmya pria itu sudah buru-buru ke kamar mandi.Tidak lama setelah itu lengkingan ponsel Mahendra terdengar bertubi-tubi dan hanya berakhir ketika dia sudah selesai membersihkan diri."Ya, hallo ..." "Pak, kenapa anda belum muncul juga?" Mahendra mengehela nafas dalam ketika mendengar nada panik asistennya dari seberang sana."Aku segera berangkat Angga." Mahendra membuka lemari."Cepatlah Pak. Anda sudah begitu terlambat, semua orang sudah menunggu di sini.""Kau alihkan perhatian mereka dulu, aku kesiangan. Tapi aku usahakan sekitar 15 menit aku akan sampai." Mahendra tidak menunggu lagi jawaban dari seberang. Ia memencet tombol merah menaruh ponsel di meja rias lantas berpakaian dengan tergesa.Sembari membereskan dir
part 22"Aku mohon Mahendra. Jangan begini, jangan lakukan ini ..." Demi mendengar perkiraan nalurinya, Larasati kembali membuka suara.Kali ini ia meraup rahang Mahendra yang hampir melewati segala batasan, membawanya untuk saling bertatapan mata.Manik mata mereka saling beradu, membuat kata-kata yang akan menjadi pemungkas dari segala hal yang akan terjadi itu tertahan di ujung lidah.Iris mata tajam itu menggelap kemerahan, menruntuhkan segala kekuatan yang tersisa pada Larasati, menatap penuh damba, menghantarkan sengat menggetarkan ke relung terdalam hati Larasati."Kita boleh melakukannya, sayang ....kita diharuskan melakukan ini, ini kewajiban suami istri...." Mahendra mengecup dagu Larasati, kembali menatap kedalaman mata yang tiada henti mengeluarkan bulir bening."Aku anggap airmatamu ini adalah penyerahan dirimu, karena sedari tadi tidak kutemukan reaksi tubuhmu menolak diriku. Kau begitu siap menerimaku."Mahendra kembali mengecup wajah itu seluruh bagian wajah istrinya
bab 21Malam semakin merangkak dengan segala misteri yang ada di dalamnya, mengantar jiwa-jiwa lelah ke peraduan ternyaman, untuk melupakan sejenak letihnya kehidupan.Tetapi tidak begitu yang terjadi di sebuah kamar mewah yang di tempati oleh sepasang jiwa yang membara. Mereka terlihat larut dalam indahnya gelora. Bersiap menuju puncak asmara.Tetapi di saat kain terakhir penutup tubuh sang wanita akan terenggut, tiba-tiba tubuh sang pria terdorong kuat, punggungnya yang liat terhempas pada kasur empuk, tapi menciptakan rasa sakit yang luar biasa dalam setiap denyut nadinya.Larasati dengan panik bergegas meraup selimut yang hampir sebagian terjurai ke lantai, lalu meraupkan cepat pada bagian dirinya yang telah begitu terekspos.Terekspos dengan sangat jelas di mata Mahendra, di bawah penerangan lampu kamar berdaya 25 watt. Mahendra yang telah begitu tersulut hasrat kelelakiannya, tidak dapat lagi menahan segala deraan yang melanda diri, lantas secepat kilat ia meraih jemari yang s
20"Mahendra ..."Mahendra tidak jua memperlihatkan tanda-tanda ia akan mengubah posisi mereka, hingga seperempat jam telah berlalu.Larasati tidak tahu lagi akan berbuat apa, meronta pun percuma, karena sedikit saja ia bergerak, maka dekapan Mahendra akan terasa semakin mengerat.Dan akhirnya, Larasati hanya bisa terisak, entah karena apa, ia pun tak mengerti.Karena kesal dan marah atau karena sesuatu yang seakan meledak-ledak dalam dadanya."Mahendra, Papa sudah menunggu kita. Ayolah ..."Larasati berusaha lagi membujuk pria yang menurutnya telah berubah menjadi sangat aneh itu, isakan Mahendra memang tidak terdengar lagi, juga tetesan-tetesan hangat pun sudah tiada terasa. Namun jantung Larasati seakan berhenti bekerja ketika ia merasakan sesuatu yang begitu lain di sekitar lehernya.Larasati gelisah dan cemas. Tetapi ia hanya bisa menahan napas saat semua itu terjadi. "Mahendra, apa yang kau lakukan. Sadarlah, aku bukan kekasihmu!" Larasati tidak tahan lagi, ia berteriak hister