Tujuh"Kau wanita gila!" umpat Mahendra diantara nafas yang menyesak, dadanya turun naik menahan kesal.Larasati hanya tersenyum kecut, menoleh sekilas pada raut yang marah padam itu.Bukannya merasa simpati atau ciut nyali melihat bara api yang berpendar di mata tajam itu, Larasati malah memberi isyarat lewat gerakan dagunya agar Mahendra segera menjawab ponsel yang masih saja terus berdering.Mahendra benar-benar tidak punya pilihan, selain menuruti perintah dari wanita yang telah mengklaim diri sebagai Ratu itu, dan seenak jidatnya menjadikan Mahendra ajudan.Sungguh di luar nalar kelakuan wanita itu, tapi Mahendra bisa apa selain menurutinnya.Lalu Mahendra pun menggeser tombol hijau di layar, segera pendengaran mendengar isak parau dari sana, Mahendra memperkirakan kalau Zaranya telah melewati malam dengan tangisan tiada henti."Sttt ... lodspeakernya jangan lupa."Mahendra pun patuh dan segera menekan tombol yang di maksud sang Ratu."Mahendra ... apakah kau menikmati malammu
DelapanSetelah Mahendra memasuki kamar mandi, Larasati bergerak menuju koper berisi pakaiannya yang belum sempat diberes ke dalam lemari.Koper itu tergeletak di sudut kamar berdekatan dengan pintu, tapi entah kenapa Larasati merasa begitu jauh, langkah terlihat limbung mungkin karena lututnya yang gemetaran, sehingga sesaat kakinya mencapai tempat yang dituju, tubuh itu pun luruh ke lantai.Larasati menekan dada sebelah kirinya dengan kuat, bukan hanya menekan, sesaat kemudian ia juga memukul bagian itu dengan kepalan tangannya ... entahlah, bahkan dia sendiri tidak bisa menjabarkan apa yang dirasakannya saat ini.Larasati hanya tersedu beberapa saat, lalu ia segera menyusup air mata dengan cepat, kemudian mulai memilah pakaiannya di dalam koper.Setelah menemukan sesuatu yang menurutnya cocok untuk dipakai hari ini, setidaknya menjelang ia membeli pakaian-pakaian baru. Sebuah gaun terusan sederhana hijau toska di bawah lutut dengan renda putih di bagian dada.Memakainya dengan
9"Akhirnya, pengantin baru kita keluar juga..."Mahendra dan Larasati langsung di sambut oleh suara riang bersahutan dari anggota keluarga ketika kaki mereka belum juga mencapai anak tangga paling bawah.Fabian Malik, Papanya Mahendra terlihat sumbringah sekali menadapati putra kebanggaannya merangkul mesra menantu pilihannya."Baguslah, Nak. Rasanya aku ingin hidup berpuluh-puluh tahun lagi setelah menyaksikan kebersamaan kalian ini." Pria setengah baya dengan wajah yang terlihat agak lelah dan pucat itu memegang bahu anak menantunya bersamaan.Larasati tersipu, sementara Mahendra , tentu saja ia sudah diwanti-wanti oleh istrinya itu, untuk bersikap sebaik mungkin."Tentu Pa, papa harus hidup sangat lama. Tugas kita masih panjang, tidak lama lagi, melihat dari kedekatan mereka yang lebih cepat dari perkiraan kita, tidak lama lagi semoga kita akan segera di berkahi cucu." Rieta Malik, Mama Mahendra juga terlihat bahagia, apalagi melihat wajah putranya yang terlihat begitu enjoy, tida
10.Mahendra Malik dan Ruhan Pratama sejatinya selama ini mereka adalah lawan bisnis yang bersaing secara sehat, sesekali bisa juga menjadi partner yang saling menyokong satu sama lain.Mahendra dan Ruhan secara garis besar terlihat sebagai dua orang yang setara. Baik dari segi kekayaan, kepintaran, prestasi maupun ketampanan. Raut mereka yang sama-sama memiliki garis-garis yang telah ditakdirkan untuk memikat pandangan kaum hawa, tapi tentu dengan karakter wajah masing-masing. Ruhan berkulit coklat sementara Mahendra sawo matang. Begitupun postur tubuh, sama-sama tinggi, tegap dan berotot liat.Hanya saja yang membedakannya adalah, Ruhan dan segalanya kekayaannya itu adalah hasil kemandiriannya sendiri, bukan dari usaha keluarga seperti yang dilakukan Mahendra.Untuk itulah, seringkali Mahendra merasa kagum akan kemandirian Ruhan, bahkan cenderung segan pada pria yang sebenarnya sebaya dengannya itu, kadang tanpa malu ia sering meminta saran Ruhan bagaimana baiknya menjalankan
11Merah padam wajah Mahendra menerima segala perlakuan tiba-tiba dari Ruhan, bukannya malu dengan para pengunjung lain yang tentu otomatis telah menjadikannya sebagai tontonan tapi karena kenyataan yang tidak bisa diterima oleh nalarnya.Bagaimana mungkin? Ruhan Pratama menyukai gadis sesederhana Larasati? Bagaimana awalnya itu terjadi dan entah di mana mereka bertemu? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam diri Mehendra sehingga ia lupa untuk menepis cengkraman Ruhan yang masih terpaut di leher bajunya."Jaga kelakuan anda Pak Ruhan, di sini bukan hanya kita, jangan sampai nanti ada berita yang tersebar kalau seorang Ruhan berbuat kasar pada seorang suami karena menginginkan istrinya," ujarnya setelah beberapa saat.Ruhan segera melepaskan cengkramannya, kemudian ia mengusap wajahnya berikut menyugar rambut bolak-balik, sangat jelas Mahendra menangkap ada begitu besar kekecewaan pada Ruhan."Berhenti memikirkan istriku, Pak Ruhan. Anda berhak mendapatkan yang lebih baik dari dia .
12"Hentikan kekasaranmu ini Mahendra. Kau tidak malu?" bisik Larasati berusaha menyadarkan Mahendra dari kemarahannya.Sementara penata rias yang tadi mendampingi Larasati hanya berusaha pura-pura tidak peduli dengan membereskan alat-alat kecantikan yang berserakan di meja rias."Malu? Kau bicara malu denganku? Bagaimana denganmu, lalu apa kau tidak malu memeluk laki-laki lain di depan semua orang?" Mahendra semakin naik pitam, walau nada suaranya tidak terdengar sekeras tadi, tapi gelap kemerahan di matanya adalah perwakilan dari emosinya yang memuncak.Larasati berusaha tidak terpengaruh dengan kebenaran yang dikatakan Mahendra, dalam hati kecil ia sungguh memaki perbuatan spontan memalukan barusan yang di luar kesadaran telah memeluk seseorang yang terlarang untuk disentuhnya."Sudahlah Mahendra, kau terlalu melebih-lebihkan, hal yang kulakukan tadi bersama Mas Ruhan adalah sesuatu yang tidak disengaja, aku hanya terbawa perasaan." Larasati menekan rasa malu dalam dada, bagaimana
13"Ruhanmu? Kau benar-benar tidak tahu malu, bagaimana kau mengklaim pria lain sebagai milikmu, padahal kau adalah wanita yang sudah menikah?" Mahendra mengunci Larasati dengan manik mata yang memancarkan sorot tiada percaya.Mahendra benar-benar tidak mengerti lagi, wanita ini benar-benar sudah keterlaluan menurut-nya. Lagi-lagi ia terdengar sengaja mengancam, mamajukan kesepakatan menjadi satu bulan? Larasati benar-benar mengunci pergerakan Mahendra, tapi pria itu memutuskan seolah-olah ia tidak mendengarnya."Kenapa? Ayolah jangan pasang tampang menyedihkanmu itu padaku, jangan sampai aku berpikir kalau kau tengah cemburu, Mahendra." Larasati meninggikan dagu, membuat jarak mereka kian menipis."Cemburu? Aku cemburu? Padamu? Jangan bermimpi terlalu tinggi ...""Lalu apa kalau bukan? Emosimu langsung meledak saat aku becira tentang Mas Ruhanku, begitupun tadi, kau tiada malu memarahiku di depan orang banyak hanya karena aku berpelukan dengan pria baik itu. Seharusnya kau sepertiku
14"Kau berasal dari keluarga mana?" Tanpa basa-basi Zara langsung melontarkan pertanyaan pada Larasati, ia terlihat begitu menganggap remeh istri kekasihnya itu.Larasati tidak terkejut, ia sudah menyiapkan diri, karena ia sudah bisa membaca kalau orang seperti Zara tidak akan bisa menghargai siapapun yang terlihat kurang darinya."Apa profesimu, ah seharusnya aku tidak bertanya itu, sudah jelas terlihat dari penampilanmu. Ngomong-ngomong gaun itu sangat tidak cocok untukmu, maksudku tubuhmu itu tidak layak memakainya." Zara kembali menuturkan kalimat pedas, tapi Larasati tidak mau terpancing."Ehm ... sebaiknya kita pesan makan dulu." Mahendra merasa suasana akan segera memanas, dan ia mencoba untuk menyegarkannya."Tidak perlu. Aku tidak akan berselera jika se meja dengan dia." ujar Zara culas, jemarinya yang lentik dengan cat kuku merah menyala memijat-mijat keningnya. Sudut matanya melirik jengah pada Larasati.Larasati diam, sebenarnya bukan karena ia tidak bisa membalas kata-k
Bab 28"Hufft ... aku tentu saja tidak akan mengalami semua ini jika tidak menikah dengan pria itu. Entah apa yang harus kulakukan di sini? Entah kenapa juga aku harus melarikan diri ke sini?!"Larasati terus saja menggerutu kesal, sambil menaruh sapu ijuk yang telah sebagaian rontok di makan waktu di balik pintu. Larasati baru saja selesai bersih-bersih di rumah sederhana yang telah ditinggalkan 10 tahun yang lalu.Tadinya Larasati khawatir akankah rumah itu masih ada, jikapun ada, pastinya sudah merimba oleh semak belukar. Tetapi ternyata tidak seperti yang Larasati pikirkan, rumah itu masih begitu bersih dan terawat. Karena ternyata ada tetangga yang begitu baik hatinya membersihkan rumah itu sekali seminggu.Yang sebenarnya adalah, tanpa sepengetahuan Larasati, Ayahnya telah menitipkan rumah itu pada Pak Karsa beserta istrinya. Tentu saja dengan imbalan sepetak kebun yang ada dibelakang rumah tersebut bebas dikelola oleh Pak Karsa.Tidak seperti perkiraan Larasati juga, ternyata
Bab 27Larasati baru saja menapakkan kaki kejalanan aspal yang basah, sesaat setelah ia turun dari bus yang baru saja ditumpanginya.Larasati menyeret tasnya yang lumayan besar menuju kedai tepi jalan. Ia tersenyum sopan pada pemilik kedai."Numpang sebentar Bu," serunya, meminta izin sebelum menaruh tas pada bangku panjang. Pemilik kedai perempuan paruh baya yang membungkus tubuhnya dengan kain sarung itu menggangguk ramah.Larasati mulai memasang resleting jaketnya. Giginya bergemertuk menahan dingin yang begitu menusuk ke tulang. Hujan memang tidak deras, hanya gerimis tipis terbawa semilir angin, tapi cuaca di daerah dataran tinggi memang selalu bersuhu rendah. Larasati berniat duduk sejenak di bangku panjang itu, sekedar melepas penat karena telah duduk dalam bus yang sempit selama kurang lebih 6 jam. Setelahnya baru Larasati akan berbelanja untuk keperluannya nanti.Lalu matanya mulai meneliti keadaan sekitar. Tempat ini masih sama saat ia pergi sekitar 10 tahun yang lalu, ke
Bab 26Mahendra tidak memberikan kesempatan pada Ruhan untuk mencerna apa yang terjadi, kembali ia meraih Ruhan dan kembali ingin melesakkan tinjunya.Tetapi Ruhan, walau belum mengerti apa yang membuat Mahendra datang seperti orang gila, ia segera menangkis pukulan yang akan kembali bersarang pada wajahnya."Apa yang sedang kau perbuat, brengsek!" Kini giliran Ruhan yang mencengkram krah baju Mahendra. Lebih tepatnya mereka saling mencengkram satu sama lain."Kau yang brengsek, Ruhan. Kau pria rendahan! Tidak punya attitude! Sebagaimana pun kau menyukai seorang wanita, kau dilarang untuk menghasutnya untuk meninggalkan suaminya!""Apa?!" Sungguh Ruhan terkejut mendengar perkataan Mahendra. "Kau tidak punya malu, Ruhan. Apa nama besar yang kau punya membuatmu merasa bisa melakukan apa saja? Kau menciptakan neraka di rumah tanggaku, kau tanpa malu bermesraan dengan isteriku. Dan sekarang kau malah membawanya, mengomporinya agar meninggalkanku?!""Jaga bicaramu, Mahendra ...." Ruhan me
Bab 25 "Ini lelucon ...!" Mahendra mencengkram ponsel begitu keras, seakan kalau benda itu remuk di jemarinya maka semua yang tertera di layar juga akan tiada arti. Mahendra membaca pesan itu berulang-ulang, berharap matanya salah mengeja huruf-huruf yang tertera di sana, lalu ketika ia sudah tidak tahan lagi, segera ponsel tersebut melayang, untungnya jatuh tepat di atas sofa empuk yang ada satu sisi ruangan Berkali-kali Mahendra menghirup nafas lalu menghempaskan lagi. Sekarang dasinya benar-benar telah terlepas dari lehernya dan berceceran di lantai, beberapa kancing kemeja bagian atas pun telah terbebaskan, tapi itu sama sekali tidak mengurangi rasa sesak yang menderanya. Mahendra berusaha untuk menenangkan diri sebelum bertindak, ia kembali membawa punggungnya untuk bersandar, sementara jemarinya saling bertaut menutupi wajah. Namun semua usaha pengendalian dirinya itu agaknya sia-sia, ketika ia teringat akan sesuatu ... dan membuatnya segera bangkit, menyambar ponselnya
Part 24 Mahendra seperti biasa_walau keterlambatannya sempat membuat para bawahanya begitu khawatir_ ia tetap menguasai rapat dengan begitu lancar, dan berakhir dengan tepuk kagum para investor yang berasal dari berbagai Negara. Mahendra menghirup nafas lega, ia kemudian memasuki ruangannya sembari melonggarkan dasi, membuka jas,. menaruh di sandaran kursi, lantas mendudukkan diri, merilekskan punggung. "Pak, jadwal dengan calon klien dari Arcanda Group satu jam lagi." Angga sang asisten menyusulnya masuk. "Batalkan semua itu. Aku ingin mengajak istriku makan siang." Mahendra menjawab sekenanya, tanpa melirik asistennya yang melebar mata. "Pak anda menikah? Kapan?" Mahendra tertawa pelan menyadari bahwa bahkan sang asistennya pun tidak tahu kalau ia telah menikah. Sebegitu inginnya ia menyembunyikan pernikahannya dari khalayak, tetapi sekarang entah kenapa pikirannya hanya tertuju pada istrinya itu. "Seminggu yang lalu." Angga hanya ternganga sesaat, matanya yang masih m
part 23Larasati pura-pura masih belum terjaga ketika sekitar jam 7,30 Mahendra yang masih saja mendekapnya dengan posesif, tiba-tiba saja terbangun.Pria itu segera bangkit diiringi gumamam tidak jelas."Sial ..." hanya itu kata yang dimengerti Larasati, lalu didengarmya pria itu sudah buru-buru ke kamar mandi.Tidak lama setelah itu lengkingan ponsel Mahendra terdengar bertubi-tubi dan hanya berakhir ketika dia sudah selesai membersihkan diri."Ya, hallo ..." "Pak, kenapa anda belum muncul juga?" Mahendra mengehela nafas dalam ketika mendengar nada panik asistennya dari seberang sana."Aku segera berangkat Angga." Mahendra membuka lemari."Cepatlah Pak. Anda sudah begitu terlambat, semua orang sudah menunggu di sini.""Kau alihkan perhatian mereka dulu, aku kesiangan. Tapi aku usahakan sekitar 15 menit aku akan sampai." Mahendra tidak menunggu lagi jawaban dari seberang. Ia memencet tombol merah menaruh ponsel di meja rias lantas berpakaian dengan tergesa.Sembari membereskan dir
part 22"Aku mohon Mahendra. Jangan begini, jangan lakukan ini ..." Demi mendengar perkiraan nalurinya, Larasati kembali membuka suara.Kali ini ia meraup rahang Mahendra yang hampir melewati segala batasan, membawanya untuk saling bertatapan mata.Manik mata mereka saling beradu, membuat kata-kata yang akan menjadi pemungkas dari segala hal yang akan terjadi itu tertahan di ujung lidah.Iris mata tajam itu menggelap kemerahan, menruntuhkan segala kekuatan yang tersisa pada Larasati, menatap penuh damba, menghantarkan sengat menggetarkan ke relung terdalam hati Larasati."Kita boleh melakukannya, sayang ....kita diharuskan melakukan ini, ini kewajiban suami istri...." Mahendra mengecup dagu Larasati, kembali menatap kedalaman mata yang tiada henti mengeluarkan bulir bening."Aku anggap airmatamu ini adalah penyerahan dirimu, karena sedari tadi tidak kutemukan reaksi tubuhmu menolak diriku. Kau begitu siap menerimaku."Mahendra kembali mengecup wajah itu seluruh bagian wajah istrinya
bab 21Malam semakin merangkak dengan segala misteri yang ada di dalamnya, mengantar jiwa-jiwa lelah ke peraduan ternyaman, untuk melupakan sejenak letihnya kehidupan.Tetapi tidak begitu yang terjadi di sebuah kamar mewah yang di tempati oleh sepasang jiwa yang membara. Mereka terlihat larut dalam indahnya gelora. Bersiap menuju puncak asmara.Tetapi di saat kain terakhir penutup tubuh sang wanita akan terenggut, tiba-tiba tubuh sang pria terdorong kuat, punggungnya yang liat terhempas pada kasur empuk, tapi menciptakan rasa sakit yang luar biasa dalam setiap denyut nadinya.Larasati dengan panik bergegas meraup selimut yang hampir sebagian terjurai ke lantai, lalu meraupkan cepat pada bagian dirinya yang telah begitu terekspos.Terekspos dengan sangat jelas di mata Mahendra, di bawah penerangan lampu kamar berdaya 25 watt. Mahendra yang telah begitu tersulut hasrat kelelakiannya, tidak dapat lagi menahan segala deraan yang melanda diri, lantas secepat kilat ia meraih jemari yang s
20"Mahendra ..."Mahendra tidak jua memperlihatkan tanda-tanda ia akan mengubah posisi mereka, hingga seperempat jam telah berlalu.Larasati tidak tahu lagi akan berbuat apa, meronta pun percuma, karena sedikit saja ia bergerak, maka dekapan Mahendra akan terasa semakin mengerat.Dan akhirnya, Larasati hanya bisa terisak, entah karena apa, ia pun tak mengerti.Karena kesal dan marah atau karena sesuatu yang seakan meledak-ledak dalam dadanya."Mahendra, Papa sudah menunggu kita. Ayolah ..."Larasati berusaha lagi membujuk pria yang menurutnya telah berubah menjadi sangat aneh itu, isakan Mahendra memang tidak terdengar lagi, juga tetesan-tetesan hangat pun sudah tiada terasa. Namun jantung Larasati seakan berhenti bekerja ketika ia merasakan sesuatu yang begitu lain di sekitar lehernya.Larasati gelisah dan cemas. Tetapi ia hanya bisa menahan napas saat semua itu terjadi. "Mahendra, apa yang kau lakukan. Sadarlah, aku bukan kekasihmu!" Larasati tidak tahan lagi, ia berteriak hister