Aku tersenyum walau hati berdesir perih."Biar waktu yang menjawab semuanya, Bu. Kalau memang aku dan Dokter Widi berjodoh, insyaallah semuanya akan dilancarkan sampai hari pernikahan. Begitu juga sebaliknya. Doakan yang terbaik saja, ya, Bu."Ibu tersenyum dengan helaan napasnya."Aku tidur, ya, Bu," kataku seraya ikut membaringkan tubuh bersama Alan yang sudah kembali terlelap sejak tadi.Ibu mengangguk dan ikut berbaring juga.Pada kenyataannya, mata ini belum bisa terpejam kembali. Aku termenung memandangi langit-langit kamar. Ucapan Ibu berhasil menggoyahkan hati.Aku yang sudah bertekad takkan memikirkan Mas Aldi lagi nyatanya gagal. Semua kenangan kami di masa lalu, kini hadir lagi memenuhi pikiran. Begitu juga dengan kenangan saat pertemuan kami setelah lama berpisah. Teringat dengan semua sikap manis, lembut dan perhatiannya, berhasil membuat hatiku bergetar.Tolong kuatkan hati ini, ya Allah. Jika memang aku ditakdirkan bers
Sesaat sebelum berbelok, langkah ini sontak terhenti saat mendengar perkataan terakhir Silvi. Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum dan kembali melanjutkan langkah. Membuat Silvi kembali berteriak memanggilku dengan geram.Tak ada gunanya meladeni wanita itu. Bukan karena takut, tapi semua akan menjadi lebih buruk ketika api dibalas dengan api. Aku takut tidak bisa mengontrol apa yang terucap dari mulut ini. Seseorang yang sedang emosi, seringkali tanpa sadar mengucapkan kata-kata yang sangat menyakitkan bahkan kasar.Aku tidak akan menyesali diamku ini, justru akan menyesali ketika bicaraku melewati batas dan tak terkendali. Jika Silvi diibaratkan api, setidaknya aku harus bisa menjadi air.Lagipula, aku tidak perlu menjelaskan alasan tentang pernikahan ini pada siapa pun. Mereka yang benci dan tidak suka, tidak akan mungkin mau mendengar dan percaya itu. Di mata mereka, tetaplah aku yang salah. Akulah sang p
Mendengar nama itu, Mas Aldi yang sudah kembali berdiri pun sontak ikut berbalik menatapnya. Semakin dia mendekat, semakin jantung ini berdetak cepat. Bagaimanapun juga, aku tidak mau ada kesalahpahaman di antara kami."Dokter, aku ....""Apa kabar?" Dokter Widi menyela ucapanku. Dengan senyuman ramah dia mengulurkan tangan pada Mas Aldi yang menatapnya sedari tadi."Baik, terima kasih. Kamu sendiri?""Alhamdulillah baik juga. Sangat baik malah," jawabnya sembari melempar senyum padaku yang masih mematung dan sesekali menelan ludah. "Tumben ke sininya malam-malam.""Mas Aldi ....""Aku ...."Ucapanku dan Mas Aldi serempak terhenti dan saling melempar pandang, saat menyadari kami menjawab dalam waktu yang bersamaan."Keren. Jawabnya bisa kompakan begitu, ya. Sehati." Dokter Widi tertawa."Yaa, begitulah," sahutnya santai dengan tawa kecil seraya menggaruk kepala. "Kalau udah kangen, sih, enggak mandang malam atau siang, pasti aku datang.""Memangnya enggak kerja?""Ambil cuti.""Ooh."
Spontan aku berhenti melangkah dan menelan ludah, lalu menggeleng pelan."Perlu aku bantu bicara sama dia?""Jangan!" larangku cepat. "Anu, maksudku ... biar nanti aku aja yang bilang sendiri sama Mas Aldi."Dokter Widi tersenyum, lalu kembali melanjutkan langkah dengan aku yang mengekorinya."Dokter enggak bawa motor?" Mataku celingukan menyadari tak ada sepeda motornya di sini."Enggak. Lagi pengen jalan kaki."Pantas s
Kuhela napas panjang, lalu meletakkan kembali kertas tersebut ke dalam kotaknya. Jujur saja, setiap kata yang diucapkan Dokter Widi selalu berhasil menyentu hati, tapi kenapa aku masih ragu?Aku takut akan menyakitinya jika kami menikah, tapi hati ini masih menyimpan rasa untuk pria lain. Aku pernah mengalami itu dan tahu bagaimana sakitnya. Aku tidak ingin pria sebaik Dokter Widi mengalami hal yang sama.Bunga ....Bergegas aku keluar kamar saat teringat dengan bunga pemberian Mas Aldi yang diletakkan di bufet televisi. Akan tetapi, bunga itu tak terlihat lagi berada di sana. Aku celingukan ke sekeliling rumah, tapi tetap tak menemukannya."Cari apa, Nur?"Aku menoleh. Bapak baru saja kembali dari halaman belakang."Enggak cari apa-apa, Pak.""Cari bunga dari Aldi?" tanyanya tepat sasaran.Aku terdiam seraya menelan ludah."Ingat, Nur. Sebentar lagi kamu itu menikah dengan Dokter Widi. Jaga perasaan calon suamimu walaupun kamu belum mencintainya. Dokter Widi mungkin terlihat santai d
[Maaf. Barusan habis dari kamar mandi.]Aku tersenyum seraya menghela napas lega setelah membaca balasan darinya tersebut. Tadinya aku sempat berpikir dia marah dan tersinggung.[Boleh, Dok?] tanyaku lagi.[Boleh. Hati-hati.][Makasih.] Aku mengirimkan pesan lagi yang hanya dibalasnya dengan emot tersenyum.Setelahnya, aku bergegas keluar kamar untuk menghampiri Mas Aldi yang sudah menunggu sembari menggendong Alan."Sudah izin sama Dokter Widi, Nur? Takutnya ada salah paham," tanya Ibu berbisik ketika Mas Aldi sudah berjalan lebih dulu menuju mobil."Sudah, Bu. Dibolehin, kok.""Syukurlah. Ya sudah sana. Ingat pesan ibu, ya. Jangan pulang sore-sore.""Iya, Bu." Aku mengangguk, lalu menoleh pada Bapak yang baru keluar dari kamar. "Pak, aku pergi dulu."Bapak menga
Aku terdiam memandangi kalung dengan liontin bulan bintang yang disodorkan Mas Aldi. Kalung yang pernah dihadiahkannya setelah kelahiran Alan dulu."Dek?""Aku enggak bisa terima itu, Mas. Aku ....""Komohon ...," potongnya dengan raut wajah memelas. "Ini memang sudah seharusnya jadi milikmu. Meskipun saat itu kamu memilih pergi, harusnya kamu enggak perlu kembalikan ini.""Tapi, Mas. Aku ....""Please ...," mohonnya lagi dengan tatapan sendu.Kuhela napas panjang dan akhirnya satu tangan ini bergerak perlahan menyentuh kalung yang dipegangnya. Senyum Mas Aldi kembali merekah ketika kalung tersebut sudah berpindah ke tanganku."Kamu masih ingat 'kan, dengan niat baikku untuk kembali meminangmu?" tanyanya seraya merogoh kantung celana.Aku membisu."Ambillah ini, Dek." Mas Aldi menyodorkan sebuah kotak cincin merah dan lagi-lagi aku terpaksa menerimanya."Pakailah cincn itu kalau jawabanmu adalah iya," ujarnya sambil tersenyum tipis. "Dan aku sangat berharap akan mendapatkan jawaban ya
Kami tiba di rumah bertepatan dengan azan ashar yang berkumandang. Aku bergegas ke rumah, sedangkan Mas Aldi pamit ke musala yang terdekat."Assalamu'alaikum," salamku."Wa'alaikumsalam," jawab Ibu yang tengah memotong-motong sayuran sambil menonton televisi. "Aldinya mana, Nur?""Mas Aldi ke musala, Bu. Bapak mana?" tanyaku, lalu mencium tangan Ibu dan ikut duduk bersamanya."Ada di kamar. Lagi tiduran. Katanya pusing.""Pusing? Udah dibawa ke klinik, Bu?""Udah. Tadi Dokter Widi yang antar pulang ke sini pas habis diperiksa. Katanya darah tinggi Bapak kumat. Asam lambungnya juga naik. Tapi udah dikasih obat, kok.""Aku lihat Bapak dulu, ya, Bu."Ibu mengangguk."Sini sama nenek dulu." Ibu mengambil alih Alan dari gendonganku.Bergegas aku pergi menuju kamar Bapak, membuka pintu dengan perlahan dan mendapatinya tengah tidur dalam posisi miring membelakangi. Kuayunkan kaki mendekatinya, lalu duduk di tepi ranjang.
Aku dan Mas Widi sontak terdiam. Saling melempar pandang, lalu cekikikan bersama saat mendengar Mama berseru dari luar kamar. Memang selama tiga hari ke depan, Mama Papa akan menginap di sini. Baru siang tadi keduanya datang."Mas, sih!" Aku melepaskan diri, lalu mencubit pinggangnya dengan gemas hingga gantian dia yang menggeliat geli."Kamu duluan yang mulai," balasnya tak mau kalah. "Pokoknya kamu masih utang ciuman plus bonusnya. Ayo sini!" Dia menarikku menuju ranjang."Aduh-aduh ... aku kebelet, Mas. Mau ke kamar mandi dulu.""Kamu pikir mas percaya?" Dia malah tertawa dan terus menarikku. Hingga akhirnya, tubuh ini sudah berada dalam kendalinya tanpa bisa aku melawan.🌺🌺🌺Hari yang ditunggu pun tiba. Sebenarnya meminta jalan-jalan hanyalah alasan semata. Ada kejutan yang ingin kuberikan biarpun ini lebih cepat satu minggu dari hari ulan
"Eungh." Aku bergumam pelan, menggeliat malas saat merasakan sentuhan lembut beberapa kali di pipi.Tanpa mengindahkan sentuhan itu, aku malah semakin merapatkan selimut dan memeluk guling erat. Cukup lama menghabiskan waktu bersama Mas Widi tadi, membuat mata ini enggan untuk terbuka.Namun, lagi-lagi tidurku terganggu dan bergidik geli ketika merasakan tiupan di dekat telinga."Bangun, Sayang," bisiknya lembut.Aku berbalik, mengucek mata yang masih terasa lengket dan mendapati Mas Widi sedang duduk di tepi ranjang sambil tersenyum. Senyum manis dengan kedua tangannya memegang kue ulang tahun berukuran kecil tanpa lilin."Mas ...." Aku beranjak bangun, lalu duduk bersandar kepala ranjang."Memilikimu adalah hal terbaik yang enggak akan rela mas tukar dengan apa pun. Terima kasih sudah menjadi duniaku, Istriku Sayang. Selamat ulang tahun."
"Rumah ini 'kan kosong. Kok, rapi dan bersih, Mas?" tanyaku seraya duduk di tepi ranjang. Sementara, Mas Widi tengah berbaring miring sembari menepuk-nepuk pantat Alan yang sempat terbangun dari tidurnya."Kan, seminggu sekali ada yang bersihin, Sayang. Aku udah bayar orang untuk merawat rumah ini. Kalau enggak begitu, nanti lama-lama rumahnya bisa hancur dan rusak.""Ooh." Aku mengangguk paham."Kamu kalau mau buat sesuatu bisa langsung ke dapur, Sayang. Mas udah minta tolong sama yang merawat rumah ini supaya siapin kebutuhan dari dua hari yang lalu.""Iyakah?"
"Papa, janais.""Apa katanya, Nur?" tanya Mama."Papa jangan nangis katanya, Ma," jelasku."Enggak. Papa ... papa enggak nangis, kok." Mas Aldi tersenyum, tapi air matanya masih belum bisa berhenti menetes di pipi."Alan sayang Papa?" tanya Mama seraya mengusap kepalanya."Cayang," jawabnya dengan riang. "Papa uwa," imbuhnya sembari mengangkat jari-jari mungilnya, lalu menatap Mas Widi yang berdiri di samping Mas Aldi."Iya, papa Alan ada dua," kataku seraya
"Masuklah," ucap Mama pelan.Aku mengangguk, lalu membuka pintu kamar Mas Aldi dengan hati-hati. Melihatnya duduk termenung di dekat jendela membuat tubuh ini meremang. Aku sungguh tak tega hingga harus berhenti melangkah lagi saat air mata ini tak mampu ditahan."Ma," panggil Mas Aldi. "Aku lupa simpan foto Alan di mana. Bisa Mama bantu aku cariin fotonya?"Ya Allah ....Aku membekap mulut, lalu kembali melangkah dengan Mas Widi yang merangkul bahu ini. Seolah paham, Alan pun hanya diam saja ketika kuisyaratkan agar tidak bersuara."Ma," panggilnya lagi.Aku mengangguk. Memberi isyarat pada Mas Widi agar mendekatkan Alan padanya."Ma, foto Al ...." Mas Aldi seketika membeku saat tangan mungil Alan menyentuh pipinya yang sudah ditumbuhi jambang. Begitu pun ketika Alan sudah didudukkan di pangkuan. Mas Aldi masih terpaku, tapi matanya berembun."Papa?" panggil Alan dengan suara khas anak kecil.Air mata Mas Aldi seketika bercucuran dengan tangannya yang bergerak perlahan menyusuri tubu
Aku kembali terisak di pelukan Mas Widi ketika pintu kamar itu sudah tertutup rapat."Aku ... aku berdosa, Mas," lirihku dengan hati yang berdenyut nyeri. "Aku berdosa karena sudah berburuk sangka sama Mas Aldi. Aku ... aku ....""Ssstt." Mas Widi mengusap kepalaku dan mengeratkan dekapannya. "Kamu enggak sepenuhnya salah. Kalau saja Aldi jujur, kamu atau siapa pun juga pasti enggak akan berpikir negatif.""Aku harus tanya Mama. Aku mau tahu kenapa Mas Aldi bisa seperti itu," lirihku seraya mengurai pelukan.Mas Widi mengusap lembut air mataku dengan kedua ibu jarinya. "Kita akan tanyakan
Mama sehat, kan?" tanyaku seraya mengurai pelukan."Alhamdulillah mama sehat," jawabnya seraya menyeka air mata. "Maaf mama sama Papa enggak bisa datang ke pernikahan kalian," sesalnya seraya menatapku dan Mas Widi bergantian."Enggak apa-apa, Ma. Doa Mama dan Papa juga udah cukup."Mama tersenyum, lalu beralih menatap Alan di pangkuan Mas Widi."Alan ... cucu Nenek." Air matanya kembali menetes."Aaah." Alan merengek dan langsung melingkarkan kedua tangannya di leher Mas Widi ketika Mama hendak menggendong
"Cari siapa?" tanyanya sedikit ketus."Maaf, kami mencari Aldi. Dia tinggal di sini," jawab Mas Widi."Aldi? Aldi siapa?" Wanita itu malah terlihat bingung mendengar nama itu disebutkan.Kami saling melempar pandang, lalu kembali menatap wanita berkulit sawo matang itu."Mas Aldi yang punya rumah ini, Mbak," kataku."Pemilik rumah ini? Enak saja kalau bicara. Rumah ini punya suamiku!" sergahnya tidak terima."Boleh kami bicara dengan suaminya, Mbak?" tanya Mas Widi tenang."Sebentar," sahutnya ketus. "Mas! Mas Fikri!" Wanita itu berteriak kencang dan tak lama kemudian, muncul pria paruh baya dengan perutnya yang sedikit buncit."Ada apa, sih, Ma, teriak-teriak segala?""Nih, ada yang mau ketemu. Katanya mereka ini nyariin Aldi pemilik rumah ini. Lha, kan ini rumah milik Mas Fikri.""Aldi?" Pria bernama Fikri itu terlihat berpikir sejenak, lalu kembali menatap kami. "Oh, Aldi pemilik rumah ini sebelum kami, ya?"Pemilik sebelumnya?"Maksudnya?" tanyaku bingung."Iya. Rumah ini sudah sa
"Hari ini ke klinik atau masih gantiin teman Mas di rumah sakit?" tanyaku seraya menyendokkan nasi ke piringnya."Enggak dua-duanya," sahutnya, lalu meneguk sedikit air putih."Kok?""Iya, hari ini mas libur. Mas ambil cuti tiga hari ke depan.""Terus, yang tugas di klinik?" tanyaku seraya menarik satu kursi di sampingnya, lalu duduk."Ada teman yang gantiin jaga.""Ooh." Aku mengangguk paham, lalu menyendokkan nasi ke piring