[Maaf. Barusan habis dari kamar mandi.]
Aku tersenyum seraya menghela napas lega setelah membaca balasan darinya tersebut. Tadinya aku sempat berpikir dia marah dan tersinggung.
[Boleh, Dok?] tanyaku lagi.
[Boleh. Hati-hati.]
[Makasih.] Aku mengirimkan pesan lagi yang hanya dibalasnya dengan emot tersenyum.
Setelahnya, aku bergegas keluar kamar untuk menghampiri Mas Aldi yang sudah menunggu sembari menggendong Alan.
"Sudah izin sama Dokter Widi, Nur? Takutnya ada salah paham," tanya Ibu berbisik ketika Mas Aldi sudah berjalan lebih dulu menuju mobil.
"Sudah, Bu. Dibolehin, kok."
"Syukurlah. Ya sudah sana. Ingat pesan ibu, ya. Jangan pulang sore-sore."
"Iya, Bu." Aku mengangguk, lalu menoleh pada Bapak yang baru keluar dari kamar. "Pak, aku pergi dulu."
Bapak menga
Aku terdiam memandangi kalung dengan liontin bulan bintang yang disodorkan Mas Aldi. Kalung yang pernah dihadiahkannya setelah kelahiran Alan dulu."Dek?""Aku enggak bisa terima itu, Mas. Aku ....""Komohon ...," potongnya dengan raut wajah memelas. "Ini memang sudah seharusnya jadi milikmu. Meskipun saat itu kamu memilih pergi, harusnya kamu enggak perlu kembalikan ini.""Tapi, Mas. Aku ....""Please ...," mohonnya lagi dengan tatapan sendu.Kuhela napas panjang dan akhirnya satu tangan ini bergerak perlahan menyentuh kalung yang dipegangnya. Senyum Mas Aldi kembali merekah ketika kalung tersebut sudah berpindah ke tanganku."Kamu masih ingat 'kan, dengan niat baikku untuk kembali meminangmu?" tanyanya seraya merogoh kantung celana.Aku membisu."Ambillah ini, Dek." Mas Aldi menyodorkan sebuah kotak cincin merah dan lagi-lagi aku terpaksa menerimanya."Pakailah cincn itu kalau jawabanmu adalah iya," ujarnya sambil tersenyum tipis. "Dan aku sangat berharap akan mendapatkan jawaban ya
Kami tiba di rumah bertepatan dengan azan ashar yang berkumandang. Aku bergegas ke rumah, sedangkan Mas Aldi pamit ke musala yang terdekat."Assalamu'alaikum," salamku."Wa'alaikumsalam," jawab Ibu yang tengah memotong-motong sayuran sambil menonton televisi. "Aldinya mana, Nur?""Mas Aldi ke musala, Bu. Bapak mana?" tanyaku, lalu mencium tangan Ibu dan ikut duduk bersamanya."Ada di kamar. Lagi tiduran. Katanya pusing.""Pusing? Udah dibawa ke klinik, Bu?""Udah. Tadi Dokter Widi yang antar pulang ke sini pas habis diperiksa. Katanya darah tinggi Bapak kumat. Asam lambungnya juga naik. Tapi udah dikasih obat, kok.""Aku lihat Bapak dulu, ya, Bu."Ibu mengangguk."Sini sama nenek dulu." Ibu mengambil alih Alan dari gendonganku.Bergegas aku pergi menuju kamar Bapak, membuka pintu dengan perlahan dan mendapatinya tengah tidur dalam posisi miring membelakangi. Kuayunkan kaki mendekatinya, lalu duduk di tepi ranjang.
Mas Aldi hanya menjawab pertanyaanku itu dengan seulas senyum. Setelah itu, dia tak lagi mengajakku bicara. Mas Aldi menyibukkan dirinya bermain bersama Alan sampai tiba waktunya makan malam."Bu, Pak, aku mau pamit pulang," ujarnya. Membuatku yang baru saja hendak mencuci piring ini, jadi urung dan bergegas menghampiri mereka di ruang tamu."Pulang? Tapi katanya kamu sudah ambil cuti tiga hari, Aldi," kata Ibu."Iya, Bu. Maaf. Tapi aku harus pulang sekarang.""Apa enggak bisa ditunda sampai besok pagi saja? Ini sudah malam. Ibu takut ada apa-apa.""Insyaallah enggak apa-apa, Bu. Aku bawa mobilnya enggak ngebut, kok.""Ya sudah kalau memang maunya begitu. Hati-hati, ya. Kabari kalau sudah sampai," pesan Ibu.Mas Aldi mengangguk dan tersenyum, lalu beralih menatapku yang sedari tadi hanya diam. "Boleh aku lihat Alan dulu, Dek?"Aku mengangguk, lalu mengekorinya yang berjalan ke kamar di mana Alan sudah tertidur pulas."Pa
"Masaknya banyak banget, Nur? Ada acara apa?" Ibu menghampiriku ke dapur sembari menggendong Alan."Enggak ada acara apa-apa, kok, Bu.""Masa?""Buat makan siang Dokter Widi sekalian.""Ooh." Ibu mengulum senyum.Aku menunduk menahan senyum malu dengan pipi yang terasa menghangat. Mulai hari ini, aku harus mulai memperbaiki sikapku terhadap pria itu. Pun meminta maaf jika pertemuanku dengan Mas Aldi sering tanpa sengaja menyakitinya."Aldi sudah ngabarin belum, Nur? Sampai jam berapa dia semalam?"Aku menggeleng. "Tadi pagi udah coba kutelepon, Bu. Tapi enggak aktif. Pesan wa juga cuma ceklis satu. Mungkin Mas Aldi masih tidur karena capek nyetir semalaman.""Benar juga. Tapi kamu sudah coba tanya ke orangtuanya belum? Ibu khawatir saja.""Udah, Bu. Tapi enggak diangkat-angkat juga. Mungkin sibuk. Nanti kucoba telepon lagi agak sorean. Pasti udah bangun.""Ya sudah. Kamu mau antar makan siang itu ke klinik, kan?"Aku mengangguk."Tidurin dulu Alannya, ya. Dia udah ngantuk kayaknya. Re
"I–iya. Kayaknya lagi bicara serius. Mending Teteh sama aku dulu aja di sini," saran Intan."Ah, pentingan mana tamu sama calon istri? Udah sana, Nur. Jangan dengerin Intan!" Teh Iis lagi-lagi mendorongku setelah menarik Intan ke samping agar tak menghalangi."Tapi, Teh ... anu ....""Ssstt. Orang mau ketemu calon suaminya kok malah kamu halangin," cicit Teh Iis.Aku tersenyum mendengar perdebatan kecil keduanya, dan terus melangkah mendekati pintu halaman belakang yang terbuka lebar. Kugenggam erat rantang bekal di tangan seiring detak jantung yang kembali berulah. Padahal, detaknya tadi sempat tenang kembali ketika bicara dengan Teh Iis.Semakin kaki ini mendekat, semakin terdengar jelas suara Dokter Widi yang tengah berdebat dengan seorang wanita. Bertepatan dengan aku yang tiba di sana, wanita itu terlihat sedang menarik-narik lengan Dokter Widi. Mereka ser
"Nur."Aku terkesiap kaget dan spontan mengucap istighfar ketika pundak ini ditepuk pelan."Ngelamunin apa?" Dia tertawa kecil melihat raut wajah kagetku."Dokter jangan ngagetin begitu. Nanti kalau jantungku copot gimana?" protesku pelan dengan wajah cemberut."Nanti kupasangin lagi," jawabnya santai yang membuatku menatapnya dengan kening berkerut."Bercanda, Nur." Dia kembali tertawa kecil. "Ayo sini duduk! Nanti keburu jam istirahatku habis," ajaknya, kemudian berjalan lebih dulu menuju bangku kayu yang ada di teras belakang gedung ini."Wanita tadi ....""Akan kujelaskan semuanya." Dokter Widi tersenyum. "Tapi kamunya ke sini dulu. Duduk." Dokter Widi menepuk area bangku yang kosong. "Masa mau berdiri terus di situ?"Kuhela napas pelan, lalu berjalan mendekat dan ikut duduk bersamanya dengan rantang
Hari demi hari telah berlalu. Tak terasa waktu pernikahanku dengan Dokter Widi akhirnya tiba juga. Detak jantungku berdentum kencang di dalam sana. Bahkan berkali-kali perias harus dengan sabar menyeka perlahan keringat yang menetes di kening ini.Air mataku menetes tak tertahan menyaksikan dari layar saat Dokter Widi mengucap ijab kabul dalam satu kali tarikan napas dengan suara lantang. Semakin deras mengalir ketika mendengarnya melantunkan surah Ar-Rahman. Perasaanku saat ini campur aduk. Bahagia, tak percaya, sedih dan menjadi satu. Aku hanya takut akan kembali mengalami kegagalan untuk kedua kalinya.Dengan lembut perias membantuku menyeka air mata, lalu memperbaiki sedikit riasannya lagi.Kupandangi pantulan diri melalui cermin. Gaun putih dipadukan brokat tosca muda yang kainnya menjuntai hingga mata kaki melekat sempurna di tubuh. Tak lupa kerudung warna senada yang dihiasi dengan siger khas sunda, dan untaian melati yang jatuh ke samping tubuh, juga punggung tangan yang dihia
Dengan perlahan aku kembali berdiri seraya menelan ludah. Aku menoleh ketika merasakan tangan ini digenggam lembut pria yang telah sah menjadi suamiku ini."Tenanglah. Ada aku," ujarnya dengan senyum manis yang selalu berhasil menghipnotisku dan menghadirkan debaran-debaran di dada.Aku mengangguk, lalu kembali menatap Kirana yang semakin mendekat bersama dua wanita lainnya. Pandangan mata itu kini mengarah pada tangan kami yang saling bertautan."Tangan kamu dingin," bisiknya yang membuatku langsung menunduk malu."Selamat untuk pernikahan kalian," ucap wanita itu dingin seraya mengulurk