Kami tiba di rumah bertepatan dengan azan ashar yang berkumandang. Aku bergegas ke rumah, sedangkan Mas Aldi pamit ke musala yang terdekat."Assalamu'alaikum," salamku."Wa'alaikumsalam," jawab Ibu yang tengah memotong-motong sayuran sambil menonton televisi. "Aldinya mana, Nur?""Mas Aldi ke musala, Bu. Bapak mana?" tanyaku, lalu mencium tangan Ibu dan ikut duduk bersamanya."Ada di kamar. Lagi tiduran. Katanya pusing.""Pusing? Udah dibawa ke klinik, Bu?""Udah. Tadi Dokter Widi yang antar pulang ke sini pas habis diperiksa. Katanya darah tinggi Bapak kumat. Asam lambungnya juga naik. Tapi udah dikasih obat, kok.""Aku lihat Bapak dulu, ya, Bu."Ibu mengangguk."Sini sama nenek dulu." Ibu mengambil alih Alan dari gendonganku.Bergegas aku pergi menuju kamar Bapak, membuka pintu dengan perlahan dan mendapatinya tengah tidur dalam posisi miring membelakangi. Kuayunkan kaki mendekatinya, lalu duduk di tepi ranjang.
Mas Aldi hanya menjawab pertanyaanku itu dengan seulas senyum. Setelah itu, dia tak lagi mengajakku bicara. Mas Aldi menyibukkan dirinya bermain bersama Alan sampai tiba waktunya makan malam."Bu, Pak, aku mau pamit pulang," ujarnya. Membuatku yang baru saja hendak mencuci piring ini, jadi urung dan bergegas menghampiri mereka di ruang tamu."Pulang? Tapi katanya kamu sudah ambil cuti tiga hari, Aldi," kata Ibu."Iya, Bu. Maaf. Tapi aku harus pulang sekarang.""Apa enggak bisa ditunda sampai besok pagi saja? Ini sudah malam. Ibu takut ada apa-apa.""Insyaallah enggak apa-apa, Bu. Aku bawa mobilnya enggak ngebut, kok.""Ya sudah kalau memang maunya begitu. Hati-hati, ya. Kabari kalau sudah sampai," pesan Ibu.Mas Aldi mengangguk dan tersenyum, lalu beralih menatapku yang sedari tadi hanya diam. "Boleh aku lihat Alan dulu, Dek?"Aku mengangguk, lalu mengekorinya yang berjalan ke kamar di mana Alan sudah tertidur pulas."Pa
"Masaknya banyak banget, Nur? Ada acara apa?" Ibu menghampiriku ke dapur sembari menggendong Alan."Enggak ada acara apa-apa, kok, Bu.""Masa?""Buat makan siang Dokter Widi sekalian.""Ooh." Ibu mengulum senyum.Aku menunduk menahan senyum malu dengan pipi yang terasa menghangat. Mulai hari ini, aku harus mulai memperbaiki sikapku terhadap pria itu. Pun meminta maaf jika pertemuanku dengan Mas Aldi sering tanpa sengaja menyakitinya."Aldi sudah ngabarin belum, Nur? Sampai jam berapa dia semalam?"Aku menggeleng. "Tadi pagi udah coba kutelepon, Bu. Tapi enggak aktif. Pesan wa juga cuma ceklis satu. Mungkin Mas Aldi masih tidur karena capek nyetir semalaman.""Benar juga. Tapi kamu sudah coba tanya ke orangtuanya belum? Ibu khawatir saja.""Udah, Bu. Tapi enggak diangkat-angkat juga. Mungkin sibuk. Nanti kucoba telepon lagi agak sorean. Pasti udah bangun.""Ya sudah. Kamu mau antar makan siang itu ke klinik, kan?"Aku mengangguk."Tidurin dulu Alannya, ya. Dia udah ngantuk kayaknya. Re
"I–iya. Kayaknya lagi bicara serius. Mending Teteh sama aku dulu aja di sini," saran Intan."Ah, pentingan mana tamu sama calon istri? Udah sana, Nur. Jangan dengerin Intan!" Teh Iis lagi-lagi mendorongku setelah menarik Intan ke samping agar tak menghalangi."Tapi, Teh ... anu ....""Ssstt. Orang mau ketemu calon suaminya kok malah kamu halangin," cicit Teh Iis.Aku tersenyum mendengar perdebatan kecil keduanya, dan terus melangkah mendekati pintu halaman belakang yang terbuka lebar. Kugenggam erat rantang bekal di tangan seiring detak jantung yang kembali berulah. Padahal, detaknya tadi sempat tenang kembali ketika bicara dengan Teh Iis.Semakin kaki ini mendekat, semakin terdengar jelas suara Dokter Widi yang tengah berdebat dengan seorang wanita. Bertepatan dengan aku yang tiba di sana, wanita itu terlihat sedang menarik-narik lengan Dokter Widi. Mereka ser
"Nur."Aku terkesiap kaget dan spontan mengucap istighfar ketika pundak ini ditepuk pelan."Ngelamunin apa?" Dia tertawa kecil melihat raut wajah kagetku."Dokter jangan ngagetin begitu. Nanti kalau jantungku copot gimana?" protesku pelan dengan wajah cemberut."Nanti kupasangin lagi," jawabnya santai yang membuatku menatapnya dengan kening berkerut."Bercanda, Nur." Dia kembali tertawa kecil. "Ayo sini duduk! Nanti keburu jam istirahatku habis," ajaknya, kemudian berjalan lebih dulu menuju bangku kayu yang ada di teras belakang gedung ini."Wanita tadi ....""Akan kujelaskan semuanya." Dokter Widi tersenyum. "Tapi kamunya ke sini dulu. Duduk." Dokter Widi menepuk area bangku yang kosong. "Masa mau berdiri terus di situ?"Kuhela napas pelan, lalu berjalan mendekat dan ikut duduk bersamanya dengan rantang
Hari demi hari telah berlalu. Tak terasa waktu pernikahanku dengan Dokter Widi akhirnya tiba juga. Detak jantungku berdentum kencang di dalam sana. Bahkan berkali-kali perias harus dengan sabar menyeka perlahan keringat yang menetes di kening ini.Air mataku menetes tak tertahan menyaksikan dari layar saat Dokter Widi mengucap ijab kabul dalam satu kali tarikan napas dengan suara lantang. Semakin deras mengalir ketika mendengarnya melantunkan surah Ar-Rahman. Perasaanku saat ini campur aduk. Bahagia, tak percaya, sedih dan menjadi satu. Aku hanya takut akan kembali mengalami kegagalan untuk kedua kalinya.Dengan lembut perias membantuku menyeka air mata, lalu memperbaiki sedikit riasannya lagi.Kupandangi pantulan diri melalui cermin. Gaun putih dipadukan brokat tosca muda yang kainnya menjuntai hingga mata kaki melekat sempurna di tubuh. Tak lupa kerudung warna senada yang dihiasi dengan siger khas sunda, dan untaian melati yang jatuh ke samping tubuh, juga punggung tangan yang dihia
Dengan perlahan aku kembali berdiri seraya menelan ludah. Aku menoleh ketika merasakan tangan ini digenggam lembut pria yang telah sah menjadi suamiku ini."Tenanglah. Ada aku," ujarnya dengan senyum manis yang selalu berhasil menghipnotisku dan menghadirkan debaran-debaran di dada.Aku mengangguk, lalu kembali menatap Kirana yang semakin mendekat bersama dua wanita lainnya. Pandangan mata itu kini mengarah pada tangan kami yang saling bertautan."Tangan kamu dingin," bisiknya yang membuatku langsung menunduk malu."Selamat untuk pernikahan kalian," ucap wanita itu dingin seraya mengulurk
Pukul sekitar sembilan malam, acara resepsi selesai digelar. Aku langsung diboyong ke rumah Mas Widi. Semua barang-barang milikku dan Alan memang sudah dipindahkan dari dua hari yang lalu. Sementara, orangtuanya akan menginap di rumah Bapak dengan menggunakan kamarku."Ayo masuk!" ajaknya setelah membukakan pintu.Kuhela napas panjang seiring mengucap basmalah dalam hati, lalu mulai mengayunkan kaki ke dalam rumah dengan dua kamar tidur ini. Rumah sementara yang digunakannya selama bertugas di desa ini. Rumah milik pribadinya bukanlah di sini, melainkan di kota yang sama dengan Mas Aldi."Kamar mandinya udah kupasang heater, Nur. Biar kamu enggak dingin kalau mandi malam."Aku sontak menoleh, dan segera membuang muka lagi saat merasakan wajah ini memanas seiring jantung yang kembali berdegup kencang."Ehm, anu ... maksudnya ... biar enggak usah rebus air dulu kalau Alan mau mandi." Mas Widi meralat perkataannya. "Ayo sini masuk. Tidurin Alannya dulu. Kasihan." Dia membuka pintu kamar
Aku dan Mas Widi sontak terdiam. Saling melempar pandang, lalu cekikikan bersama saat mendengar Mama berseru dari luar kamar. Memang selama tiga hari ke depan, Mama Papa akan menginap di sini. Baru siang tadi keduanya datang."Mas, sih!" Aku melepaskan diri, lalu mencubit pinggangnya dengan gemas hingga gantian dia yang menggeliat geli."Kamu duluan yang mulai," balasnya tak mau kalah. "Pokoknya kamu masih utang ciuman plus bonusnya. Ayo sini!" Dia menarikku menuju ranjang."Aduh-aduh ... aku kebelet, Mas. Mau ke kamar mandi dulu.""Kamu pikir mas percaya?" Dia malah tertawa dan terus menarikku. Hingga akhirnya, tubuh ini sudah berada dalam kendalinya tanpa bisa aku melawan.🌺🌺🌺Hari yang ditunggu pun tiba. Sebenarnya meminta jalan-jalan hanyalah alasan semata. Ada kejutan yang ingin kuberikan biarpun ini lebih cepat satu minggu dari hari ulan
"Eungh." Aku bergumam pelan, menggeliat malas saat merasakan sentuhan lembut beberapa kali di pipi.Tanpa mengindahkan sentuhan itu, aku malah semakin merapatkan selimut dan memeluk guling erat. Cukup lama menghabiskan waktu bersama Mas Widi tadi, membuat mata ini enggan untuk terbuka.Namun, lagi-lagi tidurku terganggu dan bergidik geli ketika merasakan tiupan di dekat telinga."Bangun, Sayang," bisiknya lembut.Aku berbalik, mengucek mata yang masih terasa lengket dan mendapati Mas Widi sedang duduk di tepi ranjang sambil tersenyum. Senyum manis dengan kedua tangannya memegang kue ulang tahun berukuran kecil tanpa lilin."Mas ...." Aku beranjak bangun, lalu duduk bersandar kepala ranjang."Memilikimu adalah hal terbaik yang enggak akan rela mas tukar dengan apa pun. Terima kasih sudah menjadi duniaku, Istriku Sayang. Selamat ulang tahun."
"Rumah ini 'kan kosong. Kok, rapi dan bersih, Mas?" tanyaku seraya duduk di tepi ranjang. Sementara, Mas Widi tengah berbaring miring sembari menepuk-nepuk pantat Alan yang sempat terbangun dari tidurnya."Kan, seminggu sekali ada yang bersihin, Sayang. Aku udah bayar orang untuk merawat rumah ini. Kalau enggak begitu, nanti lama-lama rumahnya bisa hancur dan rusak.""Ooh." Aku mengangguk paham."Kamu kalau mau buat sesuatu bisa langsung ke dapur, Sayang. Mas udah minta tolong sama yang merawat rumah ini supaya siapin kebutuhan dari dua hari yang lalu.""Iyakah?"
"Papa, janais.""Apa katanya, Nur?" tanya Mama."Papa jangan nangis katanya, Ma," jelasku."Enggak. Papa ... papa enggak nangis, kok." Mas Aldi tersenyum, tapi air matanya masih belum bisa berhenti menetes di pipi."Alan sayang Papa?" tanya Mama seraya mengusap kepalanya."Cayang," jawabnya dengan riang. "Papa uwa," imbuhnya sembari mengangkat jari-jari mungilnya, lalu menatap Mas Widi yang berdiri di samping Mas Aldi."Iya, papa Alan ada dua," kataku seraya
"Masuklah," ucap Mama pelan.Aku mengangguk, lalu membuka pintu kamar Mas Aldi dengan hati-hati. Melihatnya duduk termenung di dekat jendela membuat tubuh ini meremang. Aku sungguh tak tega hingga harus berhenti melangkah lagi saat air mata ini tak mampu ditahan."Ma," panggil Mas Aldi. "Aku lupa simpan foto Alan di mana. Bisa Mama bantu aku cariin fotonya?"Ya Allah ....Aku membekap mulut, lalu kembali melangkah dengan Mas Widi yang merangkul bahu ini. Seolah paham, Alan pun hanya diam saja ketika kuisyaratkan agar tidak bersuara."Ma," panggilnya lagi.Aku mengangguk. Memberi isyarat pada Mas Widi agar mendekatkan Alan padanya."Ma, foto Al ...." Mas Aldi seketika membeku saat tangan mungil Alan menyentuh pipinya yang sudah ditumbuhi jambang. Begitu pun ketika Alan sudah didudukkan di pangkuan. Mas Aldi masih terpaku, tapi matanya berembun."Papa?" panggil Alan dengan suara khas anak kecil.Air mata Mas Aldi seketika bercucuran dengan tangannya yang bergerak perlahan menyusuri tubu
Aku kembali terisak di pelukan Mas Widi ketika pintu kamar itu sudah tertutup rapat."Aku ... aku berdosa, Mas," lirihku dengan hati yang berdenyut nyeri. "Aku berdosa karena sudah berburuk sangka sama Mas Aldi. Aku ... aku ....""Ssstt." Mas Widi mengusap kepalaku dan mengeratkan dekapannya. "Kamu enggak sepenuhnya salah. Kalau saja Aldi jujur, kamu atau siapa pun juga pasti enggak akan berpikir negatif.""Aku harus tanya Mama. Aku mau tahu kenapa Mas Aldi bisa seperti itu," lirihku seraya mengurai pelukan.Mas Widi mengusap lembut air mataku dengan kedua ibu jarinya. "Kita akan tanyakan
Mama sehat, kan?" tanyaku seraya mengurai pelukan."Alhamdulillah mama sehat," jawabnya seraya menyeka air mata. "Maaf mama sama Papa enggak bisa datang ke pernikahan kalian," sesalnya seraya menatapku dan Mas Widi bergantian."Enggak apa-apa, Ma. Doa Mama dan Papa juga udah cukup."Mama tersenyum, lalu beralih menatap Alan di pangkuan Mas Widi."Alan ... cucu Nenek." Air matanya kembali menetes."Aaah." Alan merengek dan langsung melingkarkan kedua tangannya di leher Mas Widi ketika Mama hendak menggendong
"Cari siapa?" tanyanya sedikit ketus."Maaf, kami mencari Aldi. Dia tinggal di sini," jawab Mas Widi."Aldi? Aldi siapa?" Wanita itu malah terlihat bingung mendengar nama itu disebutkan.Kami saling melempar pandang, lalu kembali menatap wanita berkulit sawo matang itu."Mas Aldi yang punya rumah ini, Mbak," kataku."Pemilik rumah ini? Enak saja kalau bicara. Rumah ini punya suamiku!" sergahnya tidak terima."Boleh kami bicara dengan suaminya, Mbak?" tanya Mas Widi tenang."Sebentar," sahutnya ketus. "Mas! Mas Fikri!" Wanita itu berteriak kencang dan tak lama kemudian, muncul pria paruh baya dengan perutnya yang sedikit buncit."Ada apa, sih, Ma, teriak-teriak segala?""Nih, ada yang mau ketemu. Katanya mereka ini nyariin Aldi pemilik rumah ini. Lha, kan ini rumah milik Mas Fikri.""Aldi?" Pria bernama Fikri itu terlihat berpikir sejenak, lalu kembali menatap kami. "Oh, Aldi pemilik rumah ini sebelum kami, ya?"Pemilik sebelumnya?"Maksudnya?" tanyaku bingung."Iya. Rumah ini sudah sa
"Hari ini ke klinik atau masih gantiin teman Mas di rumah sakit?" tanyaku seraya menyendokkan nasi ke piringnya."Enggak dua-duanya," sahutnya, lalu meneguk sedikit air putih."Kok?""Iya, hari ini mas libur. Mas ambil cuti tiga hari ke depan.""Terus, yang tugas di klinik?" tanyaku seraya menarik satu kursi di sampingnya, lalu duduk."Ada teman yang gantiin jaga.""Ooh." Aku mengangguk paham, lalu menyendokkan nasi ke piring