Aku menggantungkan ucapan dengan pandangan menyapu ke setiap orang yang ada di sini. Tatapan ini berhenti tepat di Bapak dan membuatku menelan ludah gugup.
Melihat wajah renta dan tatapan memohonnya aku jadi tak tega. Hanya saja, sudut hati ini juga tidak bisa berbohong kalau aku belum yakin ingin memilih Dokter Widi sebagai pendamping hidup.
"Nur?" panggil Ibu lagi.
"Aku ... aku terserah Bapak saja," jawabku pelan dengan wajah tertunduk.
"Lho, kok terserah Bapak? Kan, yang nikah itu kamu, Nur. Kamu harus tegas. Ya atau enggak," kata Ibu.
"Benar, Nak. Jangan takut! Kami juga enggak akan maksa. Kalau memang kamu keberatan, enggak apa-apa. Mungkin memang belum jodohnya Widi," timpal mamanya.
Kugigit sudut bibir, lalu kembali mengangkat wajah dengan perlahan. Dokter Widi membalas tatapan ini dengan senyuman. Sementara, Bapak kini terlihat menunduk s
Tak perlu menunggu lama, keesokan harinya gosip soal Dokter Widi yang datang melamar sudah tersebar di desa ini. Beberapa hari ke depannya, aku pun menjadi bahan perbincangan. Banyak yang mendukung dan bicara hal positif, tapi tak sedikit pula yang menyebarkam berita miring, terutama para wanita single yang sudah lama mengincar Dokter Widi.Aku yang tengah tidur ini seketika terlonjak kaget, saat mendengar kaca jendela kamar dilempar sesuatu hingga pecah. Alan pun sampai menangis kaget karenanya."Nur! Itu apa, Nur?" Ibu mengetuk-ngetuk pintu kamar ini."Buka dulu pintunya, Nur!" titah Bapak.Bergegas aku beranjak turun sambil menggendong Alan yang masih menangis, lalu membuka pintu."Itu tadi suara apa?" Ibu menatapku khawatir."Ada yang lempar sesuatu, Bu.""Biar bapak periksa."Bapak masuk ke dalam kamar dengan tergesa-gesa. Sementara, aku dan Ibu mengekorinya di belakang. Benar saja. Ada batu seukuran setengah kepalan tangan tergeletak di lantai dekat jendela."Waduh, gimana ini,
Aku tersenyum walau hati berdesir perih."Biar waktu yang menjawab semuanya, Bu. Kalau memang aku dan Dokter Widi berjodoh, insyaallah semuanya akan dilancarkan sampai hari pernikahan. Begitu juga sebaliknya. Doakan yang terbaik saja, ya, Bu."Ibu tersenyum dengan helaan napasnya."Aku tidur, ya, Bu," kataku seraya ikut membaringkan tubuh bersama Alan yang sudah kembali terlelap sejak tadi.Ibu mengangguk dan ikut berbaring juga.Pada kenyataannya, mata ini belum bisa terpejam kembali. Aku termenung memandangi langit-langit kamar. Ucapan Ibu berhasil menggoyahkan hati.Aku yang sudah bertekad takkan memikirkan Mas Aldi lagi nyatanya gagal. Semua kenangan kami di masa lalu, kini hadir lagi memenuhi pikiran. Begitu juga dengan kenangan saat pertemuan kami setelah lama berpisah. Teringat dengan semua sikap manis, lembut dan perhatiannya, berhasil membuat hatiku bergetar.Tolong kuatkan hati ini, ya Allah. Jika memang aku ditakdirkan bers
Sesaat sebelum berbelok, langkah ini sontak terhenti saat mendengar perkataan terakhir Silvi. Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum dan kembali melanjutkan langkah. Membuat Silvi kembali berteriak memanggilku dengan geram.Tak ada gunanya meladeni wanita itu. Bukan karena takut, tapi semua akan menjadi lebih buruk ketika api dibalas dengan api. Aku takut tidak bisa mengontrol apa yang terucap dari mulut ini. Seseorang yang sedang emosi, seringkali tanpa sadar mengucapkan kata-kata yang sangat menyakitkan bahkan kasar.Aku tidak akan menyesali diamku ini, justru akan menyesali ketika bicaraku melewati batas dan tak terkendali. Jika Silvi diibaratkan api, setidaknya aku harus bisa menjadi air.Lagipula, aku tidak perlu menjelaskan alasan tentang pernikahan ini pada siapa pun. Mereka yang benci dan tidak suka, tidak akan mungkin mau mendengar dan percaya itu. Di mata mereka, tetaplah aku yang salah. Akulah sang p
Mendengar nama itu, Mas Aldi yang sudah kembali berdiri pun sontak ikut berbalik menatapnya. Semakin dia mendekat, semakin jantung ini berdetak cepat. Bagaimanapun juga, aku tidak mau ada kesalahpahaman di antara kami."Dokter, aku ....""Apa kabar?" Dokter Widi menyela ucapanku. Dengan senyuman ramah dia mengulurkan tangan pada Mas Aldi yang menatapnya sedari tadi."Baik, terima kasih. Kamu sendiri?""Alhamdulillah baik juga. Sangat baik malah," jawabnya sembari melempar senyum padaku yang masih mematung dan sesekali menelan ludah. "Tumben ke sininya malam-malam.""Mas Aldi ....""Aku ...."Ucapanku dan Mas Aldi serempak terhenti dan saling melempar pandang, saat menyadari kami menjawab dalam waktu yang bersamaan."Keren. Jawabnya bisa kompakan begitu, ya. Sehati." Dokter Widi tertawa."Yaa, begitulah," sahutnya santai dengan tawa kecil seraya menggaruk kepala. "Kalau udah kangen, sih, enggak mandang malam atau siang, pasti aku datang.""Memangnya enggak kerja?""Ambil cuti.""Ooh."
Spontan aku berhenti melangkah dan menelan ludah, lalu menggeleng pelan."Perlu aku bantu bicara sama dia?""Jangan!" larangku cepat. "Anu, maksudku ... biar nanti aku aja yang bilang sendiri sama Mas Aldi."Dokter Widi tersenyum, lalu kembali melanjutkan langkah dengan aku yang mengekorinya."Dokter enggak bawa motor?" Mataku celingukan menyadari tak ada sepeda motornya di sini."Enggak. Lagi pengen jalan kaki."Pantas s
Kuhela napas panjang, lalu meletakkan kembali kertas tersebut ke dalam kotaknya. Jujur saja, setiap kata yang diucapkan Dokter Widi selalu berhasil menyentu hati, tapi kenapa aku masih ragu?Aku takut akan menyakitinya jika kami menikah, tapi hati ini masih menyimpan rasa untuk pria lain. Aku pernah mengalami itu dan tahu bagaimana sakitnya. Aku tidak ingin pria sebaik Dokter Widi mengalami hal yang sama.Bunga ....Bergegas aku keluar kamar saat teringat dengan bunga pemberian Mas Aldi yang diletakkan di bufet televisi. Akan tetapi, bunga itu tak terlihat lagi berada di sana. Aku celingukan ke sekeliling rumah, tapi tetap tak menemukannya."Cari apa, Nur?"Aku menoleh. Bapak baru saja kembali dari halaman belakang."Enggak cari apa-apa, Pak.""Cari bunga dari Aldi?" tanyanya tepat sasaran.Aku terdiam seraya menelan ludah."Ingat, Nur. Sebentar lagi kamu itu menikah dengan Dokter Widi. Jaga perasaan calon suamimu walaupun kamu belum mencintainya. Dokter Widi mungkin terlihat santai d
[Maaf. Barusan habis dari kamar mandi.]Aku tersenyum seraya menghela napas lega setelah membaca balasan darinya tersebut. Tadinya aku sempat berpikir dia marah dan tersinggung.[Boleh, Dok?] tanyaku lagi.[Boleh. Hati-hati.][Makasih.] Aku mengirimkan pesan lagi yang hanya dibalasnya dengan emot tersenyum.Setelahnya, aku bergegas keluar kamar untuk menghampiri Mas Aldi yang sudah menunggu sembari menggendong Alan."Sudah izin sama Dokter Widi, Nur? Takutnya ada salah paham," tanya Ibu berbisik ketika Mas Aldi sudah berjalan lebih dulu menuju mobil."Sudah, Bu. Dibolehin, kok.""Syukurlah. Ya sudah sana. Ingat pesan ibu, ya. Jangan pulang sore-sore.""Iya, Bu." Aku mengangguk, lalu menoleh pada Bapak yang baru keluar dari kamar. "Pak, aku pergi dulu."Bapak menga
Aku terdiam memandangi kalung dengan liontin bulan bintang yang disodorkan Mas Aldi. Kalung yang pernah dihadiahkannya setelah kelahiran Alan dulu."Dek?""Aku enggak bisa terima itu, Mas. Aku ....""Komohon ...," potongnya dengan raut wajah memelas. "Ini memang sudah seharusnya jadi milikmu. Meskipun saat itu kamu memilih pergi, harusnya kamu enggak perlu kembalikan ini.""Tapi, Mas. Aku ....""Please ...," mohonnya lagi dengan tatapan sendu.Kuhela napas panjang dan akhirnya satu tangan ini bergerak perlahan menyentuh kalung yang dipegangnya. Senyum Mas Aldi kembali merekah ketika kalung tersebut sudah berpindah ke tanganku."Kamu masih ingat 'kan, dengan niat baikku untuk kembali meminangmu?" tanyanya seraya merogoh kantung celana.Aku membisu."Ambillah ini, Dek." Mas Aldi menyodorkan sebuah kotak cincin merah dan lagi-lagi aku terpaksa menerimanya."Pakailah cincn itu kalau jawabanmu adalah iya," ujarnya sambil tersenyum tipis. "Dan aku sangat berharap akan mendapatkan jawaban ya