Pria itu kini berbalik menghadap ke sini setelah sebelumnya terlihat membagikan cokelat pada anak-anak di sini. Dia berjalan santai menghampiriku dengan senyuman yang menghiasi wajahnya.
"Aku pergi main lagi, ya, Teh!"
"Eh? Aziz!" panggilku, tapi anak itu sudah berlari menjauh bersama teman-temannya lagi. "Dokter," sapaku canggung saat dia sudah berdiri di sini.
"Suka dengan bunganya?" tanyanya masih dengan senyuman.
Aku mengangguk canggung. "Jadi, yang selama ini kirimin aku bunga itu pak dokter?"
Dokter Widi mengangguk.
"Untuk apa?"
"Sebagai simbol perasaanku untukmu."
Aku tertegun dan membisu. Tak tahu harus berekspresi atau menjawab apa dengan pengutaraannya yang tiba-tiba ini.
"Kupikir kamu akan dengan cepat menyadari perasaanku, tapi ternyata enggak. Jadi, mau enggak mau aku har
"Sudah jangan bengong begitu, Nur. Sana ganti baju.""T–tapi, Pak ....""Enggak ada tapi-tapian. Bapak tunggu di sini," tegasnya, kemudian berjalan mendekati Ibu yang tengah menata hidangan di karpet.Pantas saja tadi Ibu membuat beberapa macam kue, ternyata ....Aku masih tertegun di ambang pintu. Ibu menatap ke sini, tapi kembali melanjutkan menata makanan ketika Bapak menegurnya.Melamar? Kenapa harus secepat ini? Aku bahkan belum yakin dengan perasaanku sendiri.Setelah menyusui Alan, kuganti pakaian kami seperti yang diperintahkan Bapak. Aku merenung di kamar dengan jemari yang saling meremas dan perasaan tak karuan.Dering notifikasi pesan wa membuyarkan lamunan. Kuraih ponsel yang tergeletak dekat kaki ranjang dan mendapati ada sebuah pesan masuk dari Mas Aldi.[Lagi apa, Dek? Alan sudah tidur belum?]Kutatap dalam diam layar chat kami, lalu menengadahkan wajah dengan helaan napas panjang.Dokter Widi ataukah Mas Aldi?Siapa yang sebaiknya kupilih? Aku tidak mau mengalami kegag
Aku menggantungkan ucapan dengan pandangan menyapu ke setiap orang yang ada di sini. Tatapan ini berhenti tepat di Bapak dan membuatku menelan ludah gugup.Melihat wajah renta dan tatapan memohonnya aku jadi tak tega. Hanya saja, sudut hati ini juga tidak bisa berbohong kalau aku belum yakin ingin memilih Dokter Widi sebagai pendamping hidup."Nur?" panggil Ibu lagi."Aku ... aku terserah Bapak saja," jawabku pelan dengan wajah tertunduk."Lho, kok terserah Bapak? Kan, yang nikah itu kamu, Nur. Kamu harus tegas. Ya atau enggak," kata Ibu."Benar, Nak. Jangan takut! Kami juga enggak akan maksa. Kalau memang kamu keberatan, enggak apa-apa. Mungkin memang belum jodohnya Widi," timpal mamanya.Kugigit sudut bibir, lalu kembali mengangkat wajah dengan perlahan. Dokter Widi membalas tatapan ini dengan senyuman. Sementara, Bapak kini terlihat menunduk s
Tak perlu menunggu lama, keesokan harinya gosip soal Dokter Widi yang datang melamar sudah tersebar di desa ini. Beberapa hari ke depannya, aku pun menjadi bahan perbincangan. Banyak yang mendukung dan bicara hal positif, tapi tak sedikit pula yang menyebarkam berita miring, terutama para wanita single yang sudah lama mengincar Dokter Widi.Aku yang tengah tidur ini seketika terlonjak kaget, saat mendengar kaca jendela kamar dilempar sesuatu hingga pecah. Alan pun sampai menangis kaget karenanya."Nur! Itu apa, Nur?" Ibu mengetuk-ngetuk pintu kamar ini."Buka dulu pintunya, Nur!" titah Bapak.Bergegas aku beranjak turun sambil menggendong Alan yang masih menangis, lalu membuka pintu."Itu tadi suara apa?" Ibu menatapku khawatir."Ada yang lempar sesuatu, Bu.""Biar bapak periksa."Bapak masuk ke dalam kamar dengan tergesa-gesa. Sementara, aku dan Ibu mengekorinya di belakang. Benar saja. Ada batu seukuran setengah kepalan tangan tergeletak di lantai dekat jendela."Waduh, gimana ini,
Aku tersenyum walau hati berdesir perih."Biar waktu yang menjawab semuanya, Bu. Kalau memang aku dan Dokter Widi berjodoh, insyaallah semuanya akan dilancarkan sampai hari pernikahan. Begitu juga sebaliknya. Doakan yang terbaik saja, ya, Bu."Ibu tersenyum dengan helaan napasnya."Aku tidur, ya, Bu," kataku seraya ikut membaringkan tubuh bersama Alan yang sudah kembali terlelap sejak tadi.Ibu mengangguk dan ikut berbaring juga.Pada kenyataannya, mata ini belum bisa terpejam kembali. Aku termenung memandangi langit-langit kamar. Ucapan Ibu berhasil menggoyahkan hati.Aku yang sudah bertekad takkan memikirkan Mas Aldi lagi nyatanya gagal. Semua kenangan kami di masa lalu, kini hadir lagi memenuhi pikiran. Begitu juga dengan kenangan saat pertemuan kami setelah lama berpisah. Teringat dengan semua sikap manis, lembut dan perhatiannya, berhasil membuat hatiku bergetar.Tolong kuatkan hati ini, ya Allah. Jika memang aku ditakdirkan bers
Sesaat sebelum berbelok, langkah ini sontak terhenti saat mendengar perkataan terakhir Silvi. Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum dan kembali melanjutkan langkah. Membuat Silvi kembali berteriak memanggilku dengan geram.Tak ada gunanya meladeni wanita itu. Bukan karena takut, tapi semua akan menjadi lebih buruk ketika api dibalas dengan api. Aku takut tidak bisa mengontrol apa yang terucap dari mulut ini. Seseorang yang sedang emosi, seringkali tanpa sadar mengucapkan kata-kata yang sangat menyakitkan bahkan kasar.Aku tidak akan menyesali diamku ini, justru akan menyesali ketika bicaraku melewati batas dan tak terkendali. Jika Silvi diibaratkan api, setidaknya aku harus bisa menjadi air.Lagipula, aku tidak perlu menjelaskan alasan tentang pernikahan ini pada siapa pun. Mereka yang benci dan tidak suka, tidak akan mungkin mau mendengar dan percaya itu. Di mata mereka, tetaplah aku yang salah. Akulah sang p
Mendengar nama itu, Mas Aldi yang sudah kembali berdiri pun sontak ikut berbalik menatapnya. Semakin dia mendekat, semakin jantung ini berdetak cepat. Bagaimanapun juga, aku tidak mau ada kesalahpahaman di antara kami."Dokter, aku ....""Apa kabar?" Dokter Widi menyela ucapanku. Dengan senyuman ramah dia mengulurkan tangan pada Mas Aldi yang menatapnya sedari tadi."Baik, terima kasih. Kamu sendiri?""Alhamdulillah baik juga. Sangat baik malah," jawabnya sembari melempar senyum padaku yang masih mematung dan sesekali menelan ludah. "Tumben ke sininya malam-malam.""Mas Aldi ....""Aku ...."Ucapanku dan Mas Aldi serempak terhenti dan saling melempar pandang, saat menyadari kami menjawab dalam waktu yang bersamaan."Keren. Jawabnya bisa kompakan begitu, ya. Sehati." Dokter Widi tertawa."Yaa, begitulah," sahutnya santai dengan tawa kecil seraya menggaruk kepala. "Kalau udah kangen, sih, enggak mandang malam atau siang, pasti aku datang.""Memangnya enggak kerja?""Ambil cuti.""Ooh."
Spontan aku berhenti melangkah dan menelan ludah, lalu menggeleng pelan."Perlu aku bantu bicara sama dia?""Jangan!" larangku cepat. "Anu, maksudku ... biar nanti aku aja yang bilang sendiri sama Mas Aldi."Dokter Widi tersenyum, lalu kembali melanjutkan langkah dengan aku yang mengekorinya."Dokter enggak bawa motor?" Mataku celingukan menyadari tak ada sepeda motornya di sini."Enggak. Lagi pengen jalan kaki."Pantas s
Kuhela napas panjang, lalu meletakkan kembali kertas tersebut ke dalam kotaknya. Jujur saja, setiap kata yang diucapkan Dokter Widi selalu berhasil menyentu hati, tapi kenapa aku masih ragu?Aku takut akan menyakitinya jika kami menikah, tapi hati ini masih menyimpan rasa untuk pria lain. Aku pernah mengalami itu dan tahu bagaimana sakitnya. Aku tidak ingin pria sebaik Dokter Widi mengalami hal yang sama.Bunga ....Bergegas aku keluar kamar saat teringat dengan bunga pemberian Mas Aldi yang diletakkan di bufet televisi. Akan tetapi, bunga itu tak terlihat lagi berada di sana. Aku celingukan ke sekeliling rumah, tapi tetap tak menemukannya."Cari apa, Nur?"Aku menoleh. Bapak baru saja kembali dari halaman belakang."Enggak cari apa-apa, Pak.""Cari bunga dari Aldi?" tanyanya tepat sasaran.Aku terdiam seraya menelan ludah."Ingat, Nur. Sebentar lagi kamu itu menikah dengan Dokter Widi. Jaga perasaan calon suamimu walaupun kamu belum mencintainya. Dokter Widi mungkin terlihat santai d