"Anak itu tidak mau bicara sama sekali. Apa yang harus kita lakukan, Pak, agar bisa mendapatkan informasi di kasus ini?" tanya Aipda Buyung menghampiri Letnan Indra yang sedang meminta berkas pada rekannya. Letnan Indra berpikir sejenak, belum menemukan ide. Kemudian dia berdehem, "Jalan satu-satunya adalah menunggu gadis itu mau dimintai keterangan oleh kita!" sahutnya. Hanya itu ide yang terbaik untuk saat ini. "Terima kasih bripda Dewi!" ucapnya pada wanita di depannya. "Lalu, bagaimana dengan pemuda itu?" Rasa penasaran Aipda Buyung membuat dia terus bertanya. "Mau tidak mau, besok kita harus menemui korban agar segera mendapatkan informasi. Lalu, biarkan saja pemuda itu di penjara beberapa jam lagi. Kemudian Aipda Buyung bisa membebaskan setelah kita mendapatkan informasi dari korban dan juga temannya!" ujar Letnan Indra. "Apa saya harus menanyakannya sekarang? Ke korban dulu atau ke teman pemuda itu misalnya, bukankah lebih baik lebih cepat, Pak?" "Untuk ke korban jangan du
Di tempat lain. Tempat di mana biasanya Roy berkumpul. Pemuda itu asik berpesta pora di sebuah klib malam. Meminum-minuman beralkohol tinggi yang memabukkan, tertawa terbahak-bahak. Tampak rasa puas di raut wajahnya kini. "Ayo kita berpesta sampai mabuk!" pekiknya di tengah-tengah suara musik yang menggema ke seluruh ruangan yang cukup luas itu. "Aku akan mentraktir kalian semua!" lanjutnya. Dia sudah mulai mabuk, beberapa minuman beralkohol itu sudah di tenggak habis hingga botol-botol kosong berjejer di meja. Roy dan ke enam temannya yang lain tampak bersuka ria, namun tidak dengan Dandy. Wajahnya cemberut, tidak menyukai tindakan terakhir Roy terhadap gadis itu. Semua di luar rencana semula yang hanya membuat gadis itu kapok dan menyesali. Memberikan pelajaran agar gadis itu tidak lagi ikut campur. Tetapi, memotong lidah gadis itu sudah sangat keterlaluan. "Hei ... Dan, kenapa elu diam saja, sih? Ayolah kita bersenang-senang!" ajak Roy, menuangkan minuman itu ke dalam gelas Dand
Dandy berdiri di depan kantor polisi, dia ragu untuk masuk dan melaporkan kejadian malam itu pada polisi. Beberapa kali helaan napasnya terdengar, membiarkan diri berdiri dengan terpaan panas menerpa kulit tubuhnya. "Gak ... gue gak boleh takut. Gue harus melaporkan kejahatan Roy pada polisi, walau gue harus kembali masuk penjara!" bisik batinnya. Kakinya mulai bergerak, memberanikan diri untuk melakukan apa yang dia niatkan. Melaporkan semua kejahatan Roy pada polisi. "S-selamat siang, Pak!" sapa Dandy. Sebagai mantan narapidana, dia gemetaran mengucapkan itu semua. Polisi itu mendongak, menghentikan kegiatan catat-mencatatnya. "Ya, ada yang bisa saya bantu?" tanya polisi itu sambil memperhatikan tiap detail Dandy. Penuh tato, dan di telinganya ada bekas tindakan anting sebanyak lima kali. Lubang di telinganya masih terlihat jelas. "Saya ingin melapor, Pak!" sahut Dandy sedikit takut. Dia melirik ke belakang, melihat luar kantor polisi. Pemuda itu takut ada mata-mata orang suruha
Letnan Indra beserta Aipda Buyung dan dua anak buahnya yang lain bergegas keluar kantor, surat penangkapan Roy sudah di tangan. Mereka berempat menaiko mobil dinas masing-masing. Mobil melintas pagi yang masih sepi. Suara sirene memekak telinga ke seantero jalanan yang luas nan lenggang itu. Lalu tak seberapa lama, tepat di rumah Gubernur kota tempat Dina tinggal kedua mobil dinas polisi berhenti. Aipda Buyung turun dan menemui satpam yang berjaga di rumah itu. "Selamat pagi, Pak!" sapa satpan itu sambil memberi hormat pada Aipda Buyung. "Selamat pagi, saya Aipda Buyung dari kepolisian. Kamk datang ke sini ingin bertemu Roy, apakah dia ada?" "Mas Roy, sepertinya dia masih tidur, Pak!" ujar Satpam itu sambil menoleh ke arah jendela kamar pemuda itu. "Memangnya ada apa ya, Pak?" "Kami membawa surat penangkapan Roy atas tuduhan pemerkosaan serta kekerasan pada seorang gadis!" imbuh Aipda Buyung, menunjukkan surat perintah penangkapan. "A-apa? Ya sudah, saya akan menyampaikan pada P
"Hei ... mau ke mana kamu?" pekik Aipda Buyung yang kebetulan melihat Roy hendak kabur. Aipda Buyung mendorong ayah dari Roy yang menghalang-halangi Aipda Buyung dan lainnya untuk menangkap Roy. Hingga laki-laki itu hampir terjatuh. Roy tersentak, dia bergegas lari melalui pintu belakang rumahnya. Wanita bernama Dona itu menghalangi Aipda Buyung. "Eit ... tunggu dulu, Pak!" "Minggir, Bu! Biarkan kami menangkap anak Ibu itu!" seru Aipda Buyung menyingkirkan tangan Dona yang cukup mengganggunya. Letnan Indra mendorong sedikit tangan Dona, dan berlari mengejar Roy. Begitu juga dengan kedua anak buahnya yang lain. "Saya bisa memenjarakan Ibu karena menpersulit pekerjaan aparat!" Ancam Aipda Buyung. Ikut mengejar Roy. Tyo datang menghampiri Dona. "Kenapa kalian lama sekali kabur dari sini?" tanya Tyo bernada tinggi. "Aaah ... jadi kacau semua, bisa hancur karir dan jabatan papah!" lanjutnya semakin marah. "Roy susah dibangunin, Pah!" sergah Dona mengikuti suaminya yang duduk di sofa ru
Aipda Buyung menatap senang wajah Tyo yang pucat itu. Dia berjalan menghampirinya dan kemudian, "Kali ini, aku akan buat hancur karir Anda, Pak Gubernur!" Berbisik, dan kalimat itu mengganggu pikiran Tyo. Matanya melotot, dia tidak bisa berkata apapun. Netranya melihat Aipda Buyung terus menjauh darinya. "Brengsek! Bagaimanapun caranya, aku akan merendam semua kasus ini demi jabatanku. Aku tidak akan membiarkan siapapun mengusik jabatanku tanpa kecuali!" bisik batinnya, dahinya mengeryit dengan sorot mata yang tajam mengarah ke Aipda Buyung. Baginya, perkataan Aipda Buyung barusan membuatnya terancam. "Mah, coba kamu hubungi pengacara keluarga kita! Bilang padanya, kita harus melakukan agar kasus ini tidak berkembang dan memperburuk keadaan yang membuat jabatanku terancam. Dan suruh dia membebaskan Roy, apapun itu caranya!" seru Tyo berambisi. Tetap ingin mempertahankan jabatannya itu. Matanya menatap lurus ke depan, melihat mobil polisi yang membawa anaknya perlahan-lahan meninggal
Letnan Indra dan Aipda Buyung berjalan berdampingan di koridor rumah sakit. Mereka berdua sedang menuju kamar Dina. Lalu, gadis itu duduk menatap jendela. Pemandangan seperti biasa dia lihat di hari-hari kemarin. Hanya ada taman bunga yang di isi para pasien, suster dan juga pengunjung-pengunjung lainnya. Sedari tadi pagi, Dina tidak banyak berbicara. Apalagi semenjak ingatan-ingatan perlakuan bejat Roy beserta teman-temannya terhadap dia kemarin malam. Dina masih syok dan trauma, dia tidak bisa di dekati pria-pria. Ingatannya langsung menuju kejadian malam laknat yang membuatnya kehilangan keperawanan dan juga lidahnya. Bisu. Sarapan sudah tersedia di atas meja. Lauk pauk yang sudah biasa didapati Dina dengan rasa hambar. Lagipula, makanan itu tetap saja tidak terasa nikmat walau lidahnya masih utuh. "Din ... ayo makan!" ujar Zahra. Dia membawa makanan di nampan yang berada di meja. Lalu, ibu angkatnya duduk di kursi samping tempat tidur. "Ayo sayang, kamu makan sedikit ya. Kamu be
Mata Dina langsung terbelalak. Dia menjadi ketakutan saat foto itu didapati kedua netranya. "Aaargh!" Jeritan Dina jauh lebih histeris dari dia melihat Tony. Gadis itu terus menjerit sambil menutup telinga dan menutup matanya. Dina enggan melihat wajah Roy yang tampak seperti penjahat. Dina turun ke bawah ranjang, ingatan buruk itu membuat dirinya tak stabil. Dia duduk di dekat ranjang dengan tubuh meringkuk, memegang lutut masih menutup mata dan kedua telinga dengan tangannya. Gadis itu berteriak minta disingkirkan foto Roy dari hadapannya. Zahra menghampiri gadis itu. "Din ... Dina, kamu gak apa-apa, Nak?" Zahra begitu kuatir dengan keadaan mentalnya. Pelan-pelan dia mulai menyentuh kepala gadis itu. "Gak apa-apa, Nak! Kamu pasti bisa melalui ini semua. Ibu yakin itu, maka dari itu, kamu gak boleh takut!" ujarnya. Aipda Buyung dan Letnan Indra mulai berspekulasi dengan tatapan kedua mata mereka yang beradu. Letnan Indra beranjak bangun dan ikut menghampiri Dina. "Gak apa-apa, kal