Keesokkan harinya, Letnan Indra dan Aipda Buyung melakukan introgasi ulang pada Dina. Gadis itu jauh lebih tenang saat kedua polisi itu menanyakan langsung pada Dina tentang pelaku-pelaku kejahatan. Perempuan berusia 20 tahun itu menjawab satu persatu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Letnan Indra dan Aipda Buyung secara bergantian. Bukti pun sudah di tangan. Mereka berdua lalu beraksi dan membuat laporan setelah meminta persetujuan. Walau sebenarnya, Tyo sudah melakukan perundingan serta pembicaraan pada komandan dari Letnan Indra dan Aipda Buyung setelah pembicaraan Rizal, pengacara Tyo merasa kesulitan dengan kasus Roy kali ini. Namun sayangnya, hasilnya nihil. Berkas sudah diserahkan pada pihak pengadilan oleh Letnan Indra dan Aipda Buyung setelah mendapatkan tanda tangan dari komandan mereka berdua. "Saya harap kasus kita ini berhasil, Letnan!" Celetuk Aipda Buyung yang geram pada kasus Roy yang sudah sepuluh kali dia tangani bersama Letnan Indra. "Mudah-mudahan, Aipda Buyu
Seluruh audien menatap kedua saksi itu memasuki ruang persidangan. Namun, mata Roy melotot setelah tau siapa Tony sebenarnya. "Pemuda itu? Ternyata dia!" gumam Roy tak percaya. "Sialan, ternyata orang-orang ini yang bikin tertangkap?" lanjutnya masih membatin. "Aku tidak akan membiarkan mereka hidup tenang setelah aku keluar dari sini!" pikirnya licik. "Tony? Kenapa harus Tony? Dia juga salah satu orang yang memperkosaku!" bisiknya. Ada firasat buruk yang membuat Dina kuatir kali ini. "Baik, persidangan akan kita lanjutkan!" seru Hakim Ketua. Martin maju mendekati kursi saksi yang saat ini Tony menjadi saksi. "Anda, sebagai pelaku kejahatan atas klien kami, Nona Dina, bukankah Anda melakukannya atas perintah anak muda itu ...." Jari telunjuk Martin mengarah ke Roy. Pertanyaan to do point yang tidak bisa Tony bantahkan. Tetapi ia terdiam. "Kenapa Anda diam? CEPAT JAWAB PERTANYAAN SAYA!" bentak Tony. Pemuda itu melihat ke arah Dina, sebagai sahabatnya, Tony tentu tau perasaan Dina.
Malam, gadis itu tidur dengan gelisah. Keringatnya begitu banyak. Deras, hingga baju yang dia kenakan basah kuyup. Dahinya mengkerut, bibir meracau tak jelas dengan tangan menggapai-gapai. Tak lama, airmatanya menetes dari celah mata sisi kira dan kanan. "Aaargh!" pekiknya. Terbangun dengan deru napas yang terengah-engah. "Kenapa mimpi ini mendadak muncul? Dan ini sudah dua hari mimpi ini datang ditidurku!" Rupanya Dina mimpi buruk, bangun setelah beberapa jam tidur akibat obat tidur. "Kenapa kau masih belum bertindak? Ayo segera habisi orang-orang yang telah menyakitimu, gadis bodoh!" Bisikan itupun datang lagi di daun telinganya. Memerintahkan Dina agar melakukan aksi balas dendam pada pelaku-pelaku pemerkosaan terhadap dirinya. Dina tak lantas bereaksi, dia merenung kata-kata bisikan yang selalu muncul kala batinnya tidak menyukai seseorang yang telah menyakitinya itu. Kemudian dia melirik ke arah Zahra, ibu angkatnya tertidur pulas. Lalu turun. Kakinya mulai menapaki lantai ker
Pemuda itu berjalan tanpa curiga. Dia sepertinya sangat kelelahan, beberapa kali melakukan gerakkan streching. Badannya juga terasa sakit tidur di lantai setelah beberapa hari ditahan di kantor polisi. "Sial, aku benar-benar sial!" gerutunya sendirian. Terus melangkah menuju rumahnya. "Gara-gara cewek merepotkan itu, aku jadi ketumpuan!" keluhnya. Namun tiba-tiba senyum menjijikan itu terlihat di raut wajahnya. "Tapi, ternyata enak juga ya, nikmati tubuh wanita. Baru kali ini aku merasakannya, jadi ketagihan!" gumamnya lagi. Berangan-angan bisa melakukan perbuatan bejatnya sekali lagi pada wanita lain. Di belakang, Dina mengikutinya. Tatapan bengis dan tidak bersahabat itu tampak jelas saat ini. Mengerikan. Tangannya, sudah memegang balok kayu besar. Orang-orang menatapnya heran, bagaimana tidak, pakaiannya terlihat aneh. Pakaian rumah sakit belum ia lepas dari tubuhnya. "Kayaknya ... ada yang mengikutiku dari belakang?" bisik Tony membatin. Lalu ia menoleh. Ia terbelalak, kaget se
Dina tidak bisa melupakan kejadian itu. Dia sedang berusaha menyusun semua kejadian yang terjadi padanya selama ini. Suara asing yang terdengar di rumah sakit itu menjadi hal nyata yang dia dengar. Mempengaruhi dan mengendalikan dirinya untuk membunuh. Tapi apa? Dan siapa pemilik suara itu? Dina belum mengerti sepenuhnya. Justru kepalanya terasa sakit kala ia memaksa ingatannya untuk mengingat siapa sebenarnya pemilik suara itu. "Aaaargh!" teriak Dina histeris, menarik perhatian dua sipir dan dua polisi yang menjaga Dina selama perpindahannya ke penjara para pembunuh. "Hei ... kamu kenapa?" Dua sipir sedikit ragu-ragu mendekati Dina. Dia berteriak seperti orang gila. "Hei ... berhenti berteriak! Apa kau sudah gila, huh?" Lalu, di sela-sela teriakkannya dia cukup tersiksa kala ingatannya kembali ke masa dia mulai membalaskan dendam pada para pemerkosanya. **** "Sekarang, waktunya elu mati cewek bisu sialan!" Tony mengayunkan tongkat besinya, di arahkan pada Dina. Buk. Pukulan ker
"Ssst ... jangan berisik!" ucap Dina tak begitu jelas. Mata ketakutan Tony terlihat lebih jelas lagi sekarang. Tubuhnya bergemetaran, rasa takut mendadak menghantuinya. Kematian. Dina tersenyum sinis, entah rencana apa lagi yang akan dia lakukan. Jari-jarinya mulai menekan rahang serta mulut Tony, semakin lama semakin membuat Tony kesakitan. Tangannya mulai memegang ke tangan Dina, keringatnya bercucuran sangat deras. Kepala Tony menggeleng, kemudian di pelupuk matanya mulai berembun. Dan embun itu mulai mengeras, membentuk kristal bening. Lalu terjatuh. Suara isak tangis Tony pun terdengar tertahan. Gadis itu menarik rahangnya dan, Debuak. Satu kali lagi, kepala pemuda itu dibenturkan jauh lebih keras. "Aaargh!" Suara tertahan tangan Dina yang menutupi mulut pemuda tak bermoral itu. Darah pun semakin banyak menempel di tembok. Mengalir deras dari luka bolong terkena paku besar nan tajam itu. Dina mendekati wajahnya ke telinga Tony. Gadis itu sengaja mendesah, agar pemuda itu
"Pengganggu!" Satu kata membuat teka teki besar. "Kau akan mati belakangan!" Sosok itu kemudian sudah berada di dekat Dina yang terlelap, kemudian berpendar dan sedikit-sedikit asap hitam legam itu memasuki tubuh Dina. Mata gadis itu yang semula terpejam, tiba-tiba terbuka sangat lebar. Diam, dan tak lama selimut tersibak tangannya. Gadis itu turun dari ranjang dan berjalan melintasi Zahra yang tertidur. Tidak menoleh. Membuka pintu tanpa terdengar suara. Kaki bertelanjang, melangkah pelan menelusuri lorong rumah sakit yang panjang juga gelap. Lampu-lampu temaram di sepanjang lorong itu berkedap-kedip. Terus melangkah hingga kaki itu sudah berada di luar rumah sakit. Tubuh Dina terus bergerak tanpa ada rasa lelah, dituntun sosok yang saat ini merasuki tubuhnya itu. Entah kemana kaki itu akan mengajak dirinya pergi, Dina saat ini dalam keadaan tak sadarkan diri. Hingga sampai di satu gedung lumayan besar. Berdiri dengan sorot mata dingin tanpa kehidupan, namun terlihat kejam. Lalu d
Kedua laki-laki itu saling memandang satu sama lain, bulu-bulu halus di sekujur tubuh mereka mulai meremang. "Ma ... ti!" Satu kata yang biasa keluar dari bibir Dina dengan terbata itu, membuat Roy dan Vian bergidik ngeri. Roy memaksa melepaskan tangan Dina yang semakin membuatnya sulit bernapas. Tetapi Dina tidak main-main ingin membunuhnya secara perlahan-lahan. "Sial! Tenaga cewek ini terlalu kuat!" bisik batin Roy yang kian melemah. Lalu Roy menendang kuat perut Dina, genggaman tangannya sedikit melonggar. Laki-laki mengambil kesempatan saat Dina lengah. Dia menggenggam tangan perempuan itu dan mempelintir tangan Dina. Begitu juga dengan Vian. Keduanya kemudian mendorong gadis itu ke tembok hingga wajah gadis itu terbentur. Darah pun mengalir dari kedua lubang hidungnya. Dina tersenyum, dan itu membuat bulu kuduk Roy meremang. Sikapnya sangat aneh, tidak ada ketakutan pada perempuan itu saat ini. "Hati-hati bos! Gue ngerasa anak ini ada yang aneh!" Vian merasakan hal yang sam
"BUNUH DIA SEKARANG, BODOH!" bentaknya dengan nada tinggi. "Tidak! Aku tidak mau melakukannya lagi!" Dina menahan tangannya agar tidak mengacungkan pada Dandy. Pemuda itu bingung melihat Dina berbicara pada dirinya sendiri. "Ada apa dengan gadis ini?" pikir Dandy, dia hanya bisa mengamati. "Bodoh ... kenapa aku malah melihat gadis gila itu berbicara sendirian? Bukankah ini kesempatanku untuk kabur?" pikirnya melihat ke arah pintu penjara. Pemuda itu berjalan pelan sambil mengawasi terus ke arah Dina. "Berhenti!" teriak Dina pada Dandy pemuda itu tak berkutik. Diam mematung di tengah-tengah. Lalu .... Dor. Dor. Dua peluru melesat cepat dari moncong senjatanya. Peluru itu meleset ke arah sasaran, tangan kiri Dina menghalangi senjata itu membunuh pemuda gondrong yang mematung. Dandy sangat kaget. Dengar suara tembakan yang begitu keras di telinganya. Dia menoleh, peluruh itu hampir saja mengenai dirinya. "Gila! Untung saja peluru itu meleset. Kalau tidak, bisa mampus," bisik bati
Tubuh Dina penuh luka, tanpa sadar di dalam mobil tahanan tersebut. Bensin keluar dari tangki, tak lama percikan api yang berasal dari kabel yang mengelupas mulai membakar sedikit demi sedikit bagian badan mobil tahanan yang terkena bensin. Sopir mobil tahanan pun tak sadarkan diri. Luka parah. Pecahan beling dari kaca depan memperparah wajah sopir itu. Apipun mulai membesar ... Doar. Ledakan kecil membuat kobaran semakin besar dan cepat menjalar. Warga yang melihat kejadian itu, bergegas menghampiri mobil itu. Jalanan menjadi sangat macet. Tak lama, Dina mengerjapkan netranya. Lambat laun terbuka pelan-pelan. Dia baru menyadari bahwa dirinya terhimpit besi, dan rasanya sangat sakit. Gadis itu mulai menyingkirkan besi itu, di kaki Dina luka itu membekas parah. Membiru. "Sial! Ada apa ini?" Sesaat di dalam tubuhnya tidak ada sosok hitam yang mempengaruhinya. Tubuhnya melemah tak bertenaga. "Semua badanku sakit semua," bisik batinnya lagi. Dia teringat, bahwa sosok hitam mengusain
Dina melakukan pukulan cepat, pemuda itu tidak bisa menghindari pukulan gadis itu. Hidungnya pun meneteskan darah segar yang cukup banyak. Ketiga pemuda lain membiarkannya. "Aaargh ... Sialan!" Pemuda bernama Lalu, dia merebut senjata yang masih digenggam sipir penjara itu dan mengarahkan ke kepala sipir penjaga yang terkena pukulannya. Jari telunjuknya mulai menarik pelatuk senjata itu. "Jatuhkan senjatamu, perempuan iblis!" salah satu polisi muda bangun dari duduk dan menodongkan senjatanya di samping kepala Dina. "Jangan macam-macam, kami berempat tidak ada segan-segan membunuhmu!" katanya lagi, ikut menarik pelatuk agar Dina tidak gegabah mengambil tindakan itu. Dina melirik, tatapan serius polisi di sampingnya tidak sedang main-main dengan ancamannya pada dia. "CEPAT! JATUHKAN SENJATAMU BANGSAT!" teriak polisi itu hilang kesabarannya. Pelan-pelan gadis itu merunduk, meletakan senjata di lantai mobil tahanan. Sekali lagi, matanya melirik ke polisi muda yang tampaknta belum be
Satu pukulan keras melayang dengan cepat. Tetapi bukan dari arah Dina ke sosok hitam itu, melainkan tinju sipir penjara yang waspada akan gerak-gerik Dina hendak memukulnya. Pipi Dina memar, berwarna kebiruan. Dia tersungkur di lantai mobil tahanan. "Sialan! Berani-beraninya kamu mau mukul seorang sipir penjara!" katanya memaki. "Hajar terus, jangan diberi ampun, perempuan gila seperti dia jangan diberi ampun!" Salah satu polisi itu memprovokasinya. Sosok hitam menghampiri gadis malang yang saat ini masih tersungkur. "Lihat, mereka meremehkanmu. Andai saja kamu tidak menciptakanku, mungkin saja kamu mati dengan seluruh rasa penasaranmu itu, Dina!" kata Sosok hitam berbisik. "Kamu benar-benar menyedihkan!" Dina menggeram, bangun sambil mengepal tangannya. Menatap nanar ke arah dua sipir penjara yang kini bersikap arogan dan sok berkuasa. "Kau tidak akan bisa melawannya, hanya aku yang bisa membantunya, Dina! Apa kau mau aku bantu, gadis lemah?" tanya Sosok hitam yang sudah tak saba
Dina terdiam, kemudian dia melepaskan jari jemarinya pelan-pelan setelah dia puas membunuh Roy dengan caranya sendiri. Sosok hitam keluar dari tubuhnya, keadaan Dina kembali tenang setelah membunuh keluarga Roy. Namun, dia terlihat bingung kala kondisinya kembali seperti semula. Netranya melihat keadaan dirinya sendiri, sambil melihat telapak tangannya. Hanya ada darah segar yang lambat laun berubah kering. "Ada apa denganku? Kenapa semua darah ada di tubuhku? Apa yang sudah aku lakukan?" bisik batinnya bingung. Dia merasa tidak melakukan apapun, hanya raganya saja yang bergerak mengikuti naluri yang dikendalikan oleh sosok hitam yang berdiri di sampingnya. Perkataan Aipda Buyung diabaikan, dia masih berkutat pada dirinya sendiri. "Ayo ikut kami, dan Anda berhak di dampingi pengacara!" kata Aipda Buyung mulai menyentuh tangan gadis itu. Dina menoleh, dia menatap Aipda Buyung dengan tatapan bingung. "Ada apa?" tanya Dina menepis tangan Aipda Buyung. "Anda kami tetapkan sebagai pemb
Dina gelagapan, walau dia berhasil menahan selang yang hampir menjerat lehernya, dia tetap kesulitan untuk membebaskan diri dari jeratan selang. "Aaah ... aku harus bisa membebaskan diri dari laki-laki bejat ini!" bisik batin Dina. Sayangnya tak ada hasil, namun gadis itu tidak kehabisan akal, dia membenturkan kepalanya ke dahi Roy sambil mendorong tubuhnya ke belakang. Debuk. "Aaargh" pekik Roy kesakitan. Dina terlalu keras membenturkannya hingga kepala Roy terasa pusing. Gadis itu melakukannya berulang-ulang kali. Roy tetap mempertahankan genggaman erat jari-jarinya pada rantai. Kakinya terus mundur ketika Dina membenturkan kepala dan mendorong tubuh Roy. Sayangnya, kaki pemuda itu tidak lagi bisa melangkah. Tubuhnya terhimpit tembok. Dia tidak bisa bergerak ke mana-mana lagi. Buuak. Gadis itu membenturkan kepalanya lagi, lagi dan lagi hingga kepala bagian belakang Roy harus beradu dengan tembok. Darah membekas di tembok, luka di kepala Roy sangat parah. Dina membebaskan diri
Senyuman itu mengembang, sangat mengerikan bagi Roy. Gadis itu menunggu Roy melangkah sejauh mungkin dari rumah. Lalu bibirnya bergerak. "Satu!" Gadis itu mulai berhitung kala Roy sudah sedikit jauh jaraknya. "Dua!" Lanjutnya, berhitung di dalam hati. Roy melihat ke belakang. Dia tidak tau harus pergi ke mana. Pemuda itu sangat yakin Dina akan menemukannya, sebab, tubuh Roy sudah sangat lemah dan tak bertenaga. Tatapan seram Dina membuat Roy memalingkan wajahnya, melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. "Tiga!" Bibirnya melanjutkan berhitung. Roy keluar rumah, lalu berlari pelan di sisa-sisa tenaganya. Roy bingung harus ke mana, dia tidak mungkin ke luar. Sebab, jarak antar pintu rumahnya dan pintu gerbang pagar terlalu jauh untuk bisa dia jangkau dengan kaki yang saat ini sedang gemetaran. Dia celingukkan, kemudian dia berlari ke arah mobil Dona yang terparkir tak jauh dari pintu rumah. Roy masuk, sayangnya kunci mobil itu tidak ada di tempatnya. "Sial, bagaimana gue bis
"Gue akan membunuh elu!" teriak Roy lagi sambil berlari. Air mata menetes mengiringi langkah kakinya itu. Ada perasaan sakit yang tergurat di hatinya, perasaan kehilangan dan marah penuh emosi kala mata itu melihat kematian kedua orang tuanya secara bergantian. Dina tersenyum lebar, walaupun begitu, masih saja terlihat menyeramkan buat Roy. Pemuda itu menyerang dengan tubuh lemah dan pandangan mata yang kabur. Tidak begitu jelas saat tinjunya melayang. Dina merunduk, menghindari serangan Roy yang mudah terbaca. Kemudian gadis itu memiringkan tubuhnya kala serangan Roy datang kembali padanya. Perempuan muda itu mendorong tongkatnya, Duk. Tepat mengenai perut Roy yang tak terlindungi oleh apapun. Roy dibuat mundur beberapa langkah, kakinya bergemetaran saat serangan itu menyakiti perutnya lagi. Pemuda malang itu mengeluarkan isi perutnya yang hanya tinggal cairan bercampur sedikit makanan yang dia telan tadi siang. Napasnya diambang batas, hanya tinggal sisa-sisa. Dia sudah tidak k
Dona bangun dengan perut terasa keram dan perih. Dia mengambil kembali palu yang sempat terlepas dari tangannya. Lalu wanita itu berjalan tertatih, rasa sakit di perutnya membuat dia tidak bisa bergerak bebas. Dia melihat Roy sedang menyerang Dina dengan kayu. "Roy?" bisiknya. Netranya mendapati serpihan kaca yang berantakan di lantai, pecahan kaca itu bercampur darah Roy yang sudah mengotori lantai. Wanita itu memperhatikan gerakan Dina, gadis itu rupanya sudah terdesak oleh serangan demi serangan dari putranya. Gadis itu juga terlihat gugup walau kemarahan terlihat jelas di sorot mata berwarna hitam legam itu. Dona mendadak menutup mulutnya. Roy hampir saja menusuk perut perempuan muda itu. Dia cukup terkejut, dia juga tidak bisa membayangkan bila matanya harus melihat darah muncrat darinperut gadia itu. Akan tetapi serangan Roy di tahan oleh Dina dengan tangannya. "Gadis itu? Dia ... dia bisa menahan serangan Roy yang cepat itu? T-tapi bagaimana bisa dia melakukannya?" pikir Don