"Pengganggu!" Satu kata membuat teka teki besar. "Kau akan mati belakangan!" Sosok itu kemudian sudah berada di dekat Dina yang terlelap, kemudian berpendar dan sedikit-sedikit asap hitam legam itu memasuki tubuh Dina. Mata gadis itu yang semula terpejam, tiba-tiba terbuka sangat lebar. Diam, dan tak lama selimut tersibak tangannya. Gadis itu turun dari ranjang dan berjalan melintasi Zahra yang tertidur. Tidak menoleh. Membuka pintu tanpa terdengar suara. Kaki bertelanjang, melangkah pelan menelusuri lorong rumah sakit yang panjang juga gelap. Lampu-lampu temaram di sepanjang lorong itu berkedap-kedip. Terus melangkah hingga kaki itu sudah berada di luar rumah sakit. Tubuh Dina terus bergerak tanpa ada rasa lelah, dituntun sosok yang saat ini merasuki tubuhnya itu. Entah kemana kaki itu akan mengajak dirinya pergi, Dina saat ini dalam keadaan tak sadarkan diri. Hingga sampai di satu gedung lumayan besar. Berdiri dengan sorot mata dingin tanpa kehidupan, namun terlihat kejam. Lalu d
Kedua laki-laki itu saling memandang satu sama lain, bulu-bulu halus di sekujur tubuh mereka mulai meremang. "Ma ... ti!" Satu kata yang biasa keluar dari bibir Dina dengan terbata itu, membuat Roy dan Vian bergidik ngeri. Roy memaksa melepaskan tangan Dina yang semakin membuatnya sulit bernapas. Tetapi Dina tidak main-main ingin membunuhnya secara perlahan-lahan. "Sial! Tenaga cewek ini terlalu kuat!" bisik batin Roy yang kian melemah. Lalu Roy menendang kuat perut Dina, genggaman tangannya sedikit melonggar. Laki-laki mengambil kesempatan saat Dina lengah. Dia menggenggam tangan perempuan itu dan mempelintir tangan Dina. Begitu juga dengan Vian. Keduanya kemudian mendorong gadis itu ke tembok hingga wajah gadis itu terbentur. Darah pun mengalir dari kedua lubang hidungnya. Dina tersenyum, dan itu membuat bulu kuduk Roy meremang. Sikapnya sangat aneh, tidak ada ketakutan pada perempuan itu saat ini. "Hati-hati bos! Gue ngerasa anak ini ada yang aneh!" Vian merasakan hal yang sam
"Bos awaaas!" teriak Tomo dari kejauhan. Dia mengikuti Roy dan Vian dari dalam klub malam. Dia berlari sekuat tenaga... Namun, Buuak. Roy terlambat menghindar. "Aaaargh!" teriakan itu terdengar sangat memilukan dan dalam kesakitan yang luar biasa. Darah pun muncrat dari dalam mulutnya. Mata Roy terbelalak, gadis itu bereaksi biasa saja. Seolah kesadisan ini adalah hal biasa dia lakukan. Tetapi bukan Roy yang terkena pukulan itu. Tomo, salah satu anak buah Roy lainnya menjadikan dirinya tameng untuk Roy. Balok kayu berisi paku-paku tajam tertancap di tubuh Tomo. Tubuhnya menggelayut di tubuh Roy dengan wajah kesakitan. Roy kian syok, perempuan di hadapannya berubah dua kali lebih kejam di saat dirinya memperkosa dua hari lalu. "L-lari lah, bos!" kata Tomo. Pemuda bertubuh kekar dan gempal itu berdiri berlahan-lahan, menahan sakit di punggungnya. "C-cepat pergi d-dari sini, biar saya yang menghalangi dia!" seru Tomo sekali lagi. Roy sempat bingung. Keganasannya menghilang dalam sek
Kantor polisi, disibukkan oleh laporan salah seorang warga. Pembunuhan sadis di salah satu gang buntu yang di apit dua gedung tinggi. Wajahnya penuh luka gores yang hampir memutuskan urat-urat wajah pemuda malang itu, yang tak lain adalah Tony. Baru saja pemuda itu bebas, namun nasibnya kurang beruntung. Dia harus mati secara mengenaskan hampir tak bisa di identifikasi. "Pak Letnan!" panggil Aipda Buyung dari belakang. Tangannya memegang berkas berisi foto-foto yang sengaja dia cetak di Ms. Word. Letnan Indra menoleh. Wajah lelahnya terlihat jelas dari lingkaran mata yang sedikit menghitam. "Ada apa Aipda Buyung?" Polisi berbadan kekar dan berkulit sawo matang itu menghampiri Letnan Indra. Dia menunjukan gambar-gambat itu. "Saya mendapatkan informasi dari divisi pelayanan, ada pembunuhan sadis yang terjadi di pusat kota. Tepatnya di sebuah gang buntu tanpa penerangan!" Aipda Buyung memberikan bukti-bukti itu pada Letnan Indra, kemudian dia menjelaskan bagian-bagian vital yang terluk
Keduanya saling bertatapan. Menduga-duga pelakunya adalah Dina. Namun, bukti tidak terlalu kuat untuk memenjarakan Dina. Lalu bagaimana nasib Dina? "Apa kita langsung menangkap dia saja, Letnan!" "Jangan! Belum tentu gadis itu yang membunuh Tony. Kau tau, begitu banyak pasien di rumah sakit itu. Jadi, bisa saja bukan gadis malang itu yang membunuhnya!" sergah Letnan Indra. Dia mengamati sekali lagi bukti itu dengan seksama. "Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita akan berdiam diri saja sementara pelaku masih berkeliaran di luar sana?" Aipda Buyung tak bisa menahan diri, terlihat sangat jelas dia sudah gatal ingin menangkap pelaku dan memenjarakannya. Letnan Indra berdeham untuk kedua kalinya. "Saya rasa ... bukti ini belum terlalu kuat untuk memenjarakan pelaku. Tapi ...." Letnan Indra menatap serius wajah Aipda Buyung di hadapannya. "Apakah ada saksi yang melihat kejadian ini, Aipda Buyung?" Laki-laki besar dan berkulit sawo matang itu menggeleng. "Sayangnya tid
Dona cemas melihat keadaan anaknya yang mendadak berhalusinasi. Dia bergegas menghubungi suaminya. "Sayang, cepat angkat teleponnya!" Menunggu terlalu lama membuat Dona tak sabaran. Dia mematikan teleponnya dan lalu mengirimkan pesan pada suaminya itu. 'Cepat pulang! Roy mendadak berhalusinasi seperti orang gila!' Kemudian dia meletakan ponselnya setelah mengirim pesan pada suaminya itu. "Roy, sebenarnya apa yang kamu lihat? Di kamar ini gak ada siapapun selain Mamah sama kamu?" "Dia ...." tunjuk Roy takut menatap ke arah pintu. ".... ada di depan pintu! Berdiri dengan wajah seram, dan sekarang sedanf berjalan mendekatiku!" pungkas Roy menyembunyikan wajahnya. Tatapan mahluk yang hanya terlihat oleh matanya itu melotot, tatapan dingin dan ingin menghabisi nyawa pemuda itu tak pernah berpaling dari Roy yang bersembunyi di balik tubuh Dona saat ini. "Tapi Mamah gak lihat siapapun, Roy! Lebih baik kamu Mamah anter ke psikiater sekarang!" ajak Dona menarik tangan Roy. Dan .... Degh.
Letnan Indra masih serius menyelidiki dua kasus yang tampak mencurigakan. Di tambah kecelakaan Roy yang juga tiba-tiba. Dia melihat satu persatu berkas dan foto yang diberikan tim forensik. "Letnan, ini data yang anda minta!" kata Aipda Buyung. Dia begitu setia menemani atasannya itu memecahkan kasus terumit. Sebab, tak ada bukti untuk mengungkap siapa pelakunya. "Apa yang kau temukan, Aipda Buyung?" tanya Letnan Indra penasaran. Bawahannya itu memberi berkas yang ia temukan dari hasil pencarian jejak digital di Internet. Lalu, dia juga mendapatkan data dari bagian arsip. "Lihat, ada kemiripan kasus yang saya temukan dari ruang arsip dan internet, Pak!" Aipda Buyung kemudian menjelaskan detail setiap berkas dan foto-foto korban yang dia dapatkan dari ruang arsip dan internet. "Kapan kejadiannya, Aipda Buyung?" tanya Letnan Indra. Dia melihat detail-detail yang Aipda Buyung tunjukan. Bekas luka yang cukup parah pada lima bocah sekolah dasar di sebuah gudang bangunan terbengkalai. Ke
Roy dilarikan ke rumah sakit setelah kecelakaan mobil di jalan raya. Cukup parah dan memprihatinkan. Dona dan suaminya berjalan terburu-buru ke kamar rawat Roy. Terlihat putra semata wayangnya itu terbaring lemah, kaki-tangannya di gips. Kepalanya pun di perban. "Ya Tuhan Roy, siapa yang berbuat kayak kami, Nak?" tanya Dona syok. Roy tak mendengar, dia pingsan setelah kepalanya terbentur cukup keras dengan atap mobil. Untungnya, kepala Roy terluka tidak terlalu parah. Pemuda itu juga tidak terkena amnesia akut. "Sialan, siapa yang berani membuat putraku seperti ini? Aku akan membalas semua perbuatannya padamu, Roy!" gumam Tyo. Lalu dia keluar dari kamar rawat dan mengambil ponselnya dari saku celana. Tyo menekan satu nama di daftar nama di ponselnya. Tyo cukup menunggu lama menanti seseorang mengangkat panggilan teleponnya. "Halo bos!" Seseorang akhirnya menjawab panggilan itu. "APA SAJA KERJAAN KALIAN, HUH? BUKANKAH SAYA MEMBAYAR KALIAN UNTUK MELINDUNGI ANAK SAYA?" bentak Tyo deng