"Bos awaaas!" teriak Tomo dari kejauhan. Dia mengikuti Roy dan Vian dari dalam klub malam. Dia berlari sekuat tenaga... Namun, Buuak. Roy terlambat menghindar. "Aaaargh!" teriakan itu terdengar sangat memilukan dan dalam kesakitan yang luar biasa. Darah pun muncrat dari dalam mulutnya. Mata Roy terbelalak, gadis itu bereaksi biasa saja. Seolah kesadisan ini adalah hal biasa dia lakukan. Tetapi bukan Roy yang terkena pukulan itu. Tomo, salah satu anak buah Roy lainnya menjadikan dirinya tameng untuk Roy. Balok kayu berisi paku-paku tajam tertancap di tubuh Tomo. Tubuhnya menggelayut di tubuh Roy dengan wajah kesakitan. Roy kian syok, perempuan di hadapannya berubah dua kali lebih kejam di saat dirinya memperkosa dua hari lalu. "L-lari lah, bos!" kata Tomo. Pemuda bertubuh kekar dan gempal itu berdiri berlahan-lahan, menahan sakit di punggungnya. "C-cepat pergi d-dari sini, biar saya yang menghalangi dia!" seru Tomo sekali lagi. Roy sempat bingung. Keganasannya menghilang dalam sek
Kantor polisi, disibukkan oleh laporan salah seorang warga. Pembunuhan sadis di salah satu gang buntu yang di apit dua gedung tinggi. Wajahnya penuh luka gores yang hampir memutuskan urat-urat wajah pemuda malang itu, yang tak lain adalah Tony. Baru saja pemuda itu bebas, namun nasibnya kurang beruntung. Dia harus mati secara mengenaskan hampir tak bisa di identifikasi. "Pak Letnan!" panggil Aipda Buyung dari belakang. Tangannya memegang berkas berisi foto-foto yang sengaja dia cetak di Ms. Word. Letnan Indra menoleh. Wajah lelahnya terlihat jelas dari lingkaran mata yang sedikit menghitam. "Ada apa Aipda Buyung?" Polisi berbadan kekar dan berkulit sawo matang itu menghampiri Letnan Indra. Dia menunjukan gambar-gambat itu. "Saya mendapatkan informasi dari divisi pelayanan, ada pembunuhan sadis yang terjadi di pusat kota. Tepatnya di sebuah gang buntu tanpa penerangan!" Aipda Buyung memberikan bukti-bukti itu pada Letnan Indra, kemudian dia menjelaskan bagian-bagian vital yang terluk
Keduanya saling bertatapan. Menduga-duga pelakunya adalah Dina. Namun, bukti tidak terlalu kuat untuk memenjarakan Dina. Lalu bagaimana nasib Dina? "Apa kita langsung menangkap dia saja, Letnan!" "Jangan! Belum tentu gadis itu yang membunuh Tony. Kau tau, begitu banyak pasien di rumah sakit itu. Jadi, bisa saja bukan gadis malang itu yang membunuhnya!" sergah Letnan Indra. Dia mengamati sekali lagi bukti itu dengan seksama. "Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita akan berdiam diri saja sementara pelaku masih berkeliaran di luar sana?" Aipda Buyung tak bisa menahan diri, terlihat sangat jelas dia sudah gatal ingin menangkap pelaku dan memenjarakannya. Letnan Indra berdeham untuk kedua kalinya. "Saya rasa ... bukti ini belum terlalu kuat untuk memenjarakan pelaku. Tapi ...." Letnan Indra menatap serius wajah Aipda Buyung di hadapannya. "Apakah ada saksi yang melihat kejadian ini, Aipda Buyung?" Laki-laki besar dan berkulit sawo matang itu menggeleng. "Sayangnya tid
Dona cemas melihat keadaan anaknya yang mendadak berhalusinasi. Dia bergegas menghubungi suaminya. "Sayang, cepat angkat teleponnya!" Menunggu terlalu lama membuat Dona tak sabaran. Dia mematikan teleponnya dan lalu mengirimkan pesan pada suaminya itu. 'Cepat pulang! Roy mendadak berhalusinasi seperti orang gila!' Kemudian dia meletakan ponselnya setelah mengirim pesan pada suaminya itu. "Roy, sebenarnya apa yang kamu lihat? Di kamar ini gak ada siapapun selain Mamah sama kamu?" "Dia ...." tunjuk Roy takut menatap ke arah pintu. ".... ada di depan pintu! Berdiri dengan wajah seram, dan sekarang sedanf berjalan mendekatiku!" pungkas Roy menyembunyikan wajahnya. Tatapan mahluk yang hanya terlihat oleh matanya itu melotot, tatapan dingin dan ingin menghabisi nyawa pemuda itu tak pernah berpaling dari Roy yang bersembunyi di balik tubuh Dona saat ini. "Tapi Mamah gak lihat siapapun, Roy! Lebih baik kamu Mamah anter ke psikiater sekarang!" ajak Dona menarik tangan Roy. Dan .... Degh.
Letnan Indra masih serius menyelidiki dua kasus yang tampak mencurigakan. Di tambah kecelakaan Roy yang juga tiba-tiba. Dia melihat satu persatu berkas dan foto yang diberikan tim forensik. "Letnan, ini data yang anda minta!" kata Aipda Buyung. Dia begitu setia menemani atasannya itu memecahkan kasus terumit. Sebab, tak ada bukti untuk mengungkap siapa pelakunya. "Apa yang kau temukan, Aipda Buyung?" tanya Letnan Indra penasaran. Bawahannya itu memberi berkas yang ia temukan dari hasil pencarian jejak digital di Internet. Lalu, dia juga mendapatkan data dari bagian arsip. "Lihat, ada kemiripan kasus yang saya temukan dari ruang arsip dan internet, Pak!" Aipda Buyung kemudian menjelaskan detail setiap berkas dan foto-foto korban yang dia dapatkan dari ruang arsip dan internet. "Kapan kejadiannya, Aipda Buyung?" tanya Letnan Indra. Dia melihat detail-detail yang Aipda Buyung tunjukan. Bekas luka yang cukup parah pada lima bocah sekolah dasar di sebuah gudang bangunan terbengkalai. Ke
Roy dilarikan ke rumah sakit setelah kecelakaan mobil di jalan raya. Cukup parah dan memprihatinkan. Dona dan suaminya berjalan terburu-buru ke kamar rawat Roy. Terlihat putra semata wayangnya itu terbaring lemah, kaki-tangannya di gips. Kepalanya pun di perban. "Ya Tuhan Roy, siapa yang berbuat kayak kami, Nak?" tanya Dona syok. Roy tak mendengar, dia pingsan setelah kepalanya terbentur cukup keras dengan atap mobil. Untungnya, kepala Roy terluka tidak terlalu parah. Pemuda itu juga tidak terkena amnesia akut. "Sialan, siapa yang berani membuat putraku seperti ini? Aku akan membalas semua perbuatannya padamu, Roy!" gumam Tyo. Lalu dia keluar dari kamar rawat dan mengambil ponselnya dari saku celana. Tyo menekan satu nama di daftar nama di ponselnya. Tyo cukup menunggu lama menanti seseorang mengangkat panggilan teleponnya. "Halo bos!" Seseorang akhirnya menjawab panggilan itu. "APA SAJA KERJAAN KALIAN, HUH? BUKANKAH SAYA MEMBAYAR KALIAN UNTUK MELINDUNGI ANAK SAYA?" bentak Tyo deng
"Mampus elu ... cewek sialaan!" teriak Damar ketika dirinya sudah sangat dekat. Jleb. Pisau menancap tepat di punggung Dina. Tanpa suara, tanpa reaksi, gadis itu hanya menatap datar tanpa ekspresi ke arah Damar. Justru wajah Damar lah yang terlihat memutih layaknya orang yang baru saja melihat hantu. "E-elu??" Mata Damar terbelalak saat tau cewek itu adalah Dina. "Ternyata elu cewek brengsek itu?" Dina tak menjawab, dia hanya menyeringai. Damar semakin takut saat tau bahu Dina tak berdarah sama sekali. "Bahunya? Kenapa tidak berdarah sama sekali?" ujarnya. Damar kemudian menoleh ke arah cewek itu. Wajah Dina berubah menjadi hitam legam seperti hangus terbakar. "Aaarkh!" pekik Damar hingga terduduk di lantai. "Damar ada apa, Bro?" tanya Jerry tidak terlalu jelas melihat wujud perempuan yang di hadapan Damar. Pemuda itu tak menjawabnya. "S-siapa elu sebenarnya?" tanya Damar terbata. Tak lama wujud itupun memendar, hilang dari hadapannya. Di saat itu juga suara tertawa cekikikan t
Tubuh itu terbelah dua. Darah muncrat mengenai wajah Damar. Isi perut Jerry terurai keluar dan menggelantung. Sebagian lain berhamburan di lantai gubuk yang mulai ditumbuhi rumput. Damar cukup bergidik dan syok melihat kematian Jerry dengan cara mengenaskan juga sangat sadis. Bibirnya kelu dan ter-nganga. "G-gak mungkin!" ucapnya. Pemuda itu kemudian kabur meninggalkan jasad Jerry yang terbelah dua. Sosok itu mulai membentuk kembali menjadi Dina. Lalu menyeringai, sangat menyeramkan. Mengejar Damar dengan bentuk asap tebal. Damar berlari di antara ilalang-ilalang yang tumbuh subur di tanah kosong itu. Napasnya menderu, sesekali dia menoleh. Keringat mengucur di antara lelah yang menghias wajahnya. "Sial ... sial! Kalau tau perempuan sialan itu sudah menjadi iblis, lebih baik gue gak ikut mencarinya!" gumam Damar di sela-sela napasnya yang mulai terengah-engah. "Aaarhk!" teriak Damar. Suara teriakkannya menggaung di luasnya tanah kosong itu. Damar terjatuh, sesuatu menarik kakinya.
"BUNUH DIA SEKARANG, BODOH!" bentaknya dengan nada tinggi. "Tidak! Aku tidak mau melakukannya lagi!" Dina menahan tangannya agar tidak mengacungkan pada Dandy. Pemuda itu bingung melihat Dina berbicara pada dirinya sendiri. "Ada apa dengan gadis ini?" pikir Dandy, dia hanya bisa mengamati. "Bodoh ... kenapa aku malah melihat gadis gila itu berbicara sendirian? Bukankah ini kesempatanku untuk kabur?" pikirnya melihat ke arah pintu penjara. Pemuda itu berjalan pelan sambil mengawasi terus ke arah Dina. "Berhenti!" teriak Dina pada Dandy pemuda itu tak berkutik. Diam mematung di tengah-tengah. Lalu .... Dor. Dor. Dua peluru melesat cepat dari moncong senjatanya. Peluru itu meleset ke arah sasaran, tangan kiri Dina menghalangi senjata itu membunuh pemuda gondrong yang mematung. Dandy sangat kaget. Dengar suara tembakan yang begitu keras di telinganya. Dia menoleh, peluruh itu hampir saja mengenai dirinya. "Gila! Untung saja peluru itu meleset. Kalau tidak, bisa mampus," bisik bati
Tubuh Dina penuh luka, tanpa sadar di dalam mobil tahanan tersebut. Bensin keluar dari tangki, tak lama percikan api yang berasal dari kabel yang mengelupas mulai membakar sedikit demi sedikit bagian badan mobil tahanan yang terkena bensin. Sopir mobil tahanan pun tak sadarkan diri. Luka parah. Pecahan beling dari kaca depan memperparah wajah sopir itu. Apipun mulai membesar ... Doar. Ledakan kecil membuat kobaran semakin besar dan cepat menjalar. Warga yang melihat kejadian itu, bergegas menghampiri mobil itu. Jalanan menjadi sangat macet. Tak lama, Dina mengerjapkan netranya. Lambat laun terbuka pelan-pelan. Dia baru menyadari bahwa dirinya terhimpit besi, dan rasanya sangat sakit. Gadis itu mulai menyingkirkan besi itu, di kaki Dina luka itu membekas parah. Membiru. "Sial! Ada apa ini?" Sesaat di dalam tubuhnya tidak ada sosok hitam yang mempengaruhinya. Tubuhnya melemah tak bertenaga. "Semua badanku sakit semua," bisik batinnya lagi. Dia teringat, bahwa sosok hitam mengusain
Dina melakukan pukulan cepat, pemuda itu tidak bisa menghindari pukulan gadis itu. Hidungnya pun meneteskan darah segar yang cukup banyak. Ketiga pemuda lain membiarkannya. "Aaargh ... Sialan!" Pemuda bernama Lalu, dia merebut senjata yang masih digenggam sipir penjara itu dan mengarahkan ke kepala sipir penjaga yang terkena pukulannya. Jari telunjuknya mulai menarik pelatuk senjata itu. "Jatuhkan senjatamu, perempuan iblis!" salah satu polisi muda bangun dari duduk dan menodongkan senjatanya di samping kepala Dina. "Jangan macam-macam, kami berempat tidak ada segan-segan membunuhmu!" katanya lagi, ikut menarik pelatuk agar Dina tidak gegabah mengambil tindakan itu. Dina melirik, tatapan serius polisi di sampingnya tidak sedang main-main dengan ancamannya pada dia. "CEPAT! JATUHKAN SENJATAMU BANGSAT!" teriak polisi itu hilang kesabarannya. Pelan-pelan gadis itu merunduk, meletakan senjata di lantai mobil tahanan. Sekali lagi, matanya melirik ke polisi muda yang tampaknta belum be
Satu pukulan keras melayang dengan cepat. Tetapi bukan dari arah Dina ke sosok hitam itu, melainkan tinju sipir penjara yang waspada akan gerak-gerik Dina hendak memukulnya. Pipi Dina memar, berwarna kebiruan. Dia tersungkur di lantai mobil tahanan. "Sialan! Berani-beraninya kamu mau mukul seorang sipir penjara!" katanya memaki. "Hajar terus, jangan diberi ampun, perempuan gila seperti dia jangan diberi ampun!" Salah satu polisi itu memprovokasinya. Sosok hitam menghampiri gadis malang yang saat ini masih tersungkur. "Lihat, mereka meremehkanmu. Andai saja kamu tidak menciptakanku, mungkin saja kamu mati dengan seluruh rasa penasaranmu itu, Dina!" kata Sosok hitam berbisik. "Kamu benar-benar menyedihkan!" Dina menggeram, bangun sambil mengepal tangannya. Menatap nanar ke arah dua sipir penjara yang kini bersikap arogan dan sok berkuasa. "Kau tidak akan bisa melawannya, hanya aku yang bisa membantunya, Dina! Apa kau mau aku bantu, gadis lemah?" tanya Sosok hitam yang sudah tak saba
Dina terdiam, kemudian dia melepaskan jari jemarinya pelan-pelan setelah dia puas membunuh Roy dengan caranya sendiri. Sosok hitam keluar dari tubuhnya, keadaan Dina kembali tenang setelah membunuh keluarga Roy. Namun, dia terlihat bingung kala kondisinya kembali seperti semula. Netranya melihat keadaan dirinya sendiri, sambil melihat telapak tangannya. Hanya ada darah segar yang lambat laun berubah kering. "Ada apa denganku? Kenapa semua darah ada di tubuhku? Apa yang sudah aku lakukan?" bisik batinnya bingung. Dia merasa tidak melakukan apapun, hanya raganya saja yang bergerak mengikuti naluri yang dikendalikan oleh sosok hitam yang berdiri di sampingnya. Perkataan Aipda Buyung diabaikan, dia masih berkutat pada dirinya sendiri. "Ayo ikut kami, dan Anda berhak di dampingi pengacara!" kata Aipda Buyung mulai menyentuh tangan gadis itu. Dina menoleh, dia menatap Aipda Buyung dengan tatapan bingung. "Ada apa?" tanya Dina menepis tangan Aipda Buyung. "Anda kami tetapkan sebagai pemb
Dina gelagapan, walau dia berhasil menahan selang yang hampir menjerat lehernya, dia tetap kesulitan untuk membebaskan diri dari jeratan selang. "Aaah ... aku harus bisa membebaskan diri dari laki-laki bejat ini!" bisik batin Dina. Sayangnya tak ada hasil, namun gadis itu tidak kehabisan akal, dia membenturkan kepalanya ke dahi Roy sambil mendorong tubuhnya ke belakang. Debuk. "Aaargh" pekik Roy kesakitan. Dina terlalu keras membenturkannya hingga kepala Roy terasa pusing. Gadis itu melakukannya berulang-ulang kali. Roy tetap mempertahankan genggaman erat jari-jarinya pada rantai. Kakinya terus mundur ketika Dina membenturkan kepala dan mendorong tubuh Roy. Sayangnya, kaki pemuda itu tidak lagi bisa melangkah. Tubuhnya terhimpit tembok. Dia tidak bisa bergerak ke mana-mana lagi. Buuak. Gadis itu membenturkan kepalanya lagi, lagi dan lagi hingga kepala bagian belakang Roy harus beradu dengan tembok. Darah membekas di tembok, luka di kepala Roy sangat parah. Dina membebaskan diri
Senyuman itu mengembang, sangat mengerikan bagi Roy. Gadis itu menunggu Roy melangkah sejauh mungkin dari rumah. Lalu bibirnya bergerak. "Satu!" Gadis itu mulai berhitung kala Roy sudah sedikit jauh jaraknya. "Dua!" Lanjutnya, berhitung di dalam hati. Roy melihat ke belakang. Dia tidak tau harus pergi ke mana. Pemuda itu sangat yakin Dina akan menemukannya, sebab, tubuh Roy sudah sangat lemah dan tak bertenaga. Tatapan seram Dina membuat Roy memalingkan wajahnya, melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. "Tiga!" Bibirnya melanjutkan berhitung. Roy keluar rumah, lalu berlari pelan di sisa-sisa tenaganya. Roy bingung harus ke mana, dia tidak mungkin ke luar. Sebab, jarak antar pintu rumahnya dan pintu gerbang pagar terlalu jauh untuk bisa dia jangkau dengan kaki yang saat ini sedang gemetaran. Dia celingukkan, kemudian dia berlari ke arah mobil Dona yang terparkir tak jauh dari pintu rumah. Roy masuk, sayangnya kunci mobil itu tidak ada di tempatnya. "Sial, bagaimana gue bis
"Gue akan membunuh elu!" teriak Roy lagi sambil berlari. Air mata menetes mengiringi langkah kakinya itu. Ada perasaan sakit yang tergurat di hatinya, perasaan kehilangan dan marah penuh emosi kala mata itu melihat kematian kedua orang tuanya secara bergantian. Dina tersenyum lebar, walaupun begitu, masih saja terlihat menyeramkan buat Roy. Pemuda itu menyerang dengan tubuh lemah dan pandangan mata yang kabur. Tidak begitu jelas saat tinjunya melayang. Dina merunduk, menghindari serangan Roy yang mudah terbaca. Kemudian gadis itu memiringkan tubuhnya kala serangan Roy datang kembali padanya. Perempuan muda itu mendorong tongkatnya, Duk. Tepat mengenai perut Roy yang tak terlindungi oleh apapun. Roy dibuat mundur beberapa langkah, kakinya bergemetaran saat serangan itu menyakiti perutnya lagi. Pemuda malang itu mengeluarkan isi perutnya yang hanya tinggal cairan bercampur sedikit makanan yang dia telan tadi siang. Napasnya diambang batas, hanya tinggal sisa-sisa. Dia sudah tidak k
Dona bangun dengan perut terasa keram dan perih. Dia mengambil kembali palu yang sempat terlepas dari tangannya. Lalu wanita itu berjalan tertatih, rasa sakit di perutnya membuat dia tidak bisa bergerak bebas. Dia melihat Roy sedang menyerang Dina dengan kayu. "Roy?" bisiknya. Netranya mendapati serpihan kaca yang berantakan di lantai, pecahan kaca itu bercampur darah Roy yang sudah mengotori lantai. Wanita itu memperhatikan gerakan Dina, gadis itu rupanya sudah terdesak oleh serangan demi serangan dari putranya. Gadis itu juga terlihat gugup walau kemarahan terlihat jelas di sorot mata berwarna hitam legam itu. Dona mendadak menutup mulutnya. Roy hampir saja menusuk perut perempuan muda itu. Dia cukup terkejut, dia juga tidak bisa membayangkan bila matanya harus melihat darah muncrat darinperut gadia itu. Akan tetapi serangan Roy di tahan oleh Dina dengan tangannya. "Gadis itu? Dia ... dia bisa menahan serangan Roy yang cepat itu? T-tapi bagaimana bisa dia melakukannya?" pikir Don