Malam semakin larut. Sudah tepat tengah malam. Sisa anak buah Roy berhenti mencari mereka bertemu di markas dan sudah di sepakati bersama sebelum mereka berangkat mencari perempuan yang di maksud adalah Dina. "Bagaimana? Apa kalian sudah menemukan perempuan itu?" tanya Riko, pemuda tinggi besar berambut gondrong melepas helmnya. Dua temannya baru saja sampai setelah Riko. Pasha dan Wanto menggeleng, rupanya mereka membagi grup lagi menjadi tiga. Kedua pemuda itu duduk, melepas lelah. "Kami sudah mencari ke mana-mana, tapi gak menemukan perempuan yang dimaksud Bos Besar!" keluh Pasha. Mendinginkan diri di depan kipas angin. "Elu sendiri bagaimana, Riko? Apa elu menemukan perempuan itu?" tanya Wanto ikut bergabung mendinginkan diri di depan kipas angin. Riko pun sama, menggeleng. "Kita minim informasi tentang perempuan itu, jadi pasti akan kesulitan menemukannya!" seru Riko. "Oiya, apa kalian dapat informasi tentang Damar dan Jerry? Mereka belum sampai sampai sekarang? Mereka juga g
Lagi-lagi Haris tersenyum, kemudian dia mendekatkan diri ke telinga Letnan Indra. Laki-laki itu mulai membisikkan sesuatu di telinga Letnan Indra. Seketika ekspresi wajah Letnan Indra berubah, lebih terlihat serius dengan mata terbuka lebar. "Apa anda yakin?" Haris mengangguk tanpa keraguan. "Bagaimana saya harus percaya Anda, sedangkan saya tidak mengenal Anda, Pak Haris?" kata Letnan Indra, menyandarkan tubuhnya di kursi. "Anda memang tidak mengenal saya, tapi saya sangat mengenal gadis itu!" sergah Haris sangat meyakinkan. Letnan Indra menatap Haris, dia masih belum mempercayai perkataannya. "Kenapa Anda menatap saya seperti itu, Pak? Apa Anda masih belum mempercayai saya?" tanya Haris, begitu peka dengan sikap Letnan Indra yang terlihat aneh terhadapnya. "Gak juga, hanya saja sebagai seorang polisi saya butuh bukti apakah ucapan Anda benar atau tidak!" sergah Letnan Indra. "Bapak bisa cari tentang identitasku di kepolisian Bandung. Bapak juga bisa mencari kasusku 13 tahun lal
Dina lamat-lamat mendengar suara ribut-ribut antara Zahra dan Haris di dekatnya. Matanya mulai membuka pelan-pelan, gadis itu cukup kaget saat Haris hendak menusuknya. Tangan gadis itu bergegas menyalip di bawah bantal, dia mengambil garpu. Entah semenjak kapan garpu itu dia simpan, yang jelas Dina menyimpannya untuk melindungi diri dari ketakutan setelah insiden malam itu. "Tidak Haris, jangan lakukan!" pekik Zahra dan suaranya membuat Dina tersadar. Lamat-lamat matanya terbuka. Lalu ... Jleb. Mata Zahra melotot, mata gadis itupun sama. Haris pun demikian. Kaget. "D-Dina ... ?" kata Zahra menutup mulutnya. "S-sial ... kenapa bisa begini?" gumam Haris. Melihat darah di tangannya. Garpu itu menancap di lengan bawah tangan Haris. Darah pun menetes dari setiap luka tusukan garpu itu. Dina menariknya secara kasar. "Aaargh!" pekiknya. Dina bergegas bangun dan mendorong tubuh Haris hingga terjatuh. Kemudian dia menarik tangan Zahra, menarik untuk keluar dari ruangan itu. Tangannya ma
Di kantor polisi. "Apa? Jadi laki-laki itu pelaku pencabulan pada anak kecil alias pedofil?" Letnan Indra tersentak kaget. "Dia melakukan itu pada Dina?" Aipda Buyung mengiyakan. "Sialan! Untung saja aku tidak begitu saja percaya padanya. Dan seharusnya dialah yang harus dicurigai!" umpat Letnan Indra kesal. "Aipda Buyung, kita harus ikuti dan awasi dia. Aku takut dia melakukan hal buruk pada Dina!" usul Letnan Indra. "Siap Pak!" kata Aipda Buyung. Kedua polisi itu mengikuti taksi yang Haris tumpangi dengan mobil biasa. Letnan Indra tidak mau curiga, rencananya akan gagal bila menggunakan mobil dinas kepolisian. "Mau ke mana taksi itu?" gumam Letnan Indra tak berhenti melihat taksi di depannya bergerak. "Sepertinya dia menuju rumah sakit, Pak!" "Sial! Dia memang berencana ingin membunuh gadis itu," ujar Letnan Indra kesal. Dahinya mengkerut. "Terus ikuti dia, Aipda Buyung!" Roda terus berputar, lalu berhenti ketika taksi yang Haris tumpangi berhenti. Mobilnya berhenti menjaga
Tangannya mendekap Dina dan dia mengacungkan mata pisau ke leher Dina, sangat dekat hingga setetes darah keluar dari kulit lehernya. "Jangan mendekat, atau kubunuh perempuan iblis ini!" ancam Haris. Keadaan ruangan itu semakin tegang. Zahra ketakutan dengan menutup mulutnya dengan kedua tangan. "CEPAT TURUNKAN SENJATA KALIAN! ATAU PEREMPUAN INI BENAR-BENAR MATI!" teriak Haris, suaranya menggema di ruangan itu. Letnan Indra ragu-ragu menurunkan senjatanya, begitu juga Aipda Buyung. Mau tidak mau mereka berdua harus mementingkan keselamatan sandera. Zahra berjalan mendekati Haris. "Lepaskan dia Haris!" pinta wanita itu. Tubuhnya sedikit gemetaran melihat apa yang terjadi pada anaknya. Dia mengingat dulu, saat Dina masih kecil di rumah Haris. Laki-laki itu mencekik gadis itu saat berusia 7 tahun. "Lepaskan? Kau gila, Zahra? Jangan terlalu naif dengan sikapnya yang sok polos ini. Dia adalah pembunuhnya, pembunuh dengan licik setiap korbannya. Dia ini iblis yang memfitnahku, Zahra!" "
Riko bergegas masuk ketika sudah sampai di markas. Wajahnya ketakutan, dia juga sudah menghubungi pihak kepolisian untuk di identifikasi dan otopsi mayat kedua rekannya. Riko menyambar tas di meja. Dia memasukkan beberapa barang miliknya. Suara Riko yang membereskan barang-barangnya membuat Pasha dan Wanto terbangun dari tidurnya. "Lho, Ko, elu mau kemana?" "Gue mau pergi, di sini sudah gak aman!" jawab Riko tanpa melirik sedikitpun pada Pasha yang lebih dulu bangun. "Pergi? Pergi ke mana? Dan emangnya ada apa, Ko?" Pasha dan Wanto terbangun mendengar suara Riko yang ketakutan. "Iya, bicara yang jelas biar kami mengerti!" protes Wanto belum paham maksud ucapan Riko. "Perempuan itu ...." kata Riko terhenti. Dia telah membunuh Jerry dan Damar dengan sadis! Dan kalian tau di mana mereka terbunuh?" kata Riko bertanya. Kedua temannya menggeleng "Emangnya di mana?" Wanto sangat penasaran. "Tempat kita memperkosa gadis itu! Dan aku yakin banget, perempuan itulah yang membunuh mereka b
"Dasar bodoh! Kalian berjumlah sangat banyak, tapi bagaimana bisa kalian tidak mampu menangkap wanita itu?" Tyo berteriak kencang, dia tidak bisa menahan emosinya. Dona berusaha menenangkan suaminya agar tenang saat di rumah sakit. "Pah, sudah Pah, sabar! Jangan marah-marah terus!" "Gak bisa, Mah! Ini menyangkut keselamatan anak kita. Dan mereka sangat bodoh sampai-sampai kecolongan dengan perempuan tak dikenal!" Riko, Wanto dan Pasha, ketiga pemuda itu berdiri menundukkan kepala di hadapan Tyo. Laki-laki berumur itu terlihat marah besar pada ketiga pemuda yang sudah dipercaya untuk menjaga anaknya. "Mamah tau, Pah, cuma Roy kecelakan karena dia mengebut! Jadi Papah jangan terus-menerus menyalahkan mereka, dan juga perhatikan jantung Papah itu. Lagi pula ini rumah sakit, bukan tempat marah-marah!" tukas Dona. Namun Tyo tetap dalam emosinya. "Sudah, Mamah diam saja! Biar Papah yang urus mereka bertiga!" bentak Tyo. Dona hanya mendengus dan kembali duduk di samping ranjang Tyo. "J
Riko, Wanto dan Pasha terus mencari perempuan yang tidak mereka ketahui. Sebab, mereka bertiga tidak tau siapa perempuan itu dan juga wajahnya, bahkan mereka pun tidak mengetahui di mana rumah perempuan itu. Motor ketiga anak buah Roy terus melaju lambat. "Ko, kita harus ke mana lagi mencari perempuan itu? Kita juga gak tau bagaimana wajahnya dan di mana rumahnya? Ini akan jadi pencarian percuma buat kita!" seru Pasha ragu-ragu dengan pencarian tak jelas ini. "Ya, benar! Kita juga belum istirahat sama sekali, bisa-bisa kita mati karena kelelahan bukan mati oleh perempuan itu!" Wanto ikut-ikutan berpendapat. "Hei, bisakah kalian diam? Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menjalankan perintah bos besar!" sergah Riko. "Kita cari saja sampai ketemu!" "Tunggu!" henti Pasha. Dia memperlambat laju motornya dan berhenti di tepi jalan. Riko dan Wanto ikut menepi di belakang dan depan Pasha. "Ada apa? Kita jangan banyak membuang waktu lagi, Pasha!" usul Riko. "Elu bilang, perempuan itu
"BUNUH DIA SEKARANG, BODOH!" bentaknya dengan nada tinggi. "Tidak! Aku tidak mau melakukannya lagi!" Dina menahan tangannya agar tidak mengacungkan pada Dandy. Pemuda itu bingung melihat Dina berbicara pada dirinya sendiri. "Ada apa dengan gadis ini?" pikir Dandy, dia hanya bisa mengamati. "Bodoh ... kenapa aku malah melihat gadis gila itu berbicara sendirian? Bukankah ini kesempatanku untuk kabur?" pikirnya melihat ke arah pintu penjara. Pemuda itu berjalan pelan sambil mengawasi terus ke arah Dina. "Berhenti!" teriak Dina pada Dandy pemuda itu tak berkutik. Diam mematung di tengah-tengah. Lalu .... Dor. Dor. Dua peluru melesat cepat dari moncong senjatanya. Peluru itu meleset ke arah sasaran, tangan kiri Dina menghalangi senjata itu membunuh pemuda gondrong yang mematung. Dandy sangat kaget. Dengar suara tembakan yang begitu keras di telinganya. Dia menoleh, peluruh itu hampir saja mengenai dirinya. "Gila! Untung saja peluru itu meleset. Kalau tidak, bisa mampus," bisik bati
Tubuh Dina penuh luka, tanpa sadar di dalam mobil tahanan tersebut. Bensin keluar dari tangki, tak lama percikan api yang berasal dari kabel yang mengelupas mulai membakar sedikit demi sedikit bagian badan mobil tahanan yang terkena bensin. Sopir mobil tahanan pun tak sadarkan diri. Luka parah. Pecahan beling dari kaca depan memperparah wajah sopir itu. Apipun mulai membesar ... Doar. Ledakan kecil membuat kobaran semakin besar dan cepat menjalar. Warga yang melihat kejadian itu, bergegas menghampiri mobil itu. Jalanan menjadi sangat macet. Tak lama, Dina mengerjapkan netranya. Lambat laun terbuka pelan-pelan. Dia baru menyadari bahwa dirinya terhimpit besi, dan rasanya sangat sakit. Gadis itu mulai menyingkirkan besi itu, di kaki Dina luka itu membekas parah. Membiru. "Sial! Ada apa ini?" Sesaat di dalam tubuhnya tidak ada sosok hitam yang mempengaruhinya. Tubuhnya melemah tak bertenaga. "Semua badanku sakit semua," bisik batinnya lagi. Dia teringat, bahwa sosok hitam mengusain
Dina melakukan pukulan cepat, pemuda itu tidak bisa menghindari pukulan gadis itu. Hidungnya pun meneteskan darah segar yang cukup banyak. Ketiga pemuda lain membiarkannya. "Aaargh ... Sialan!" Pemuda bernama Lalu, dia merebut senjata yang masih digenggam sipir penjara itu dan mengarahkan ke kepala sipir penjaga yang terkena pukulannya. Jari telunjuknya mulai menarik pelatuk senjata itu. "Jatuhkan senjatamu, perempuan iblis!" salah satu polisi muda bangun dari duduk dan menodongkan senjatanya di samping kepala Dina. "Jangan macam-macam, kami berempat tidak ada segan-segan membunuhmu!" katanya lagi, ikut menarik pelatuk agar Dina tidak gegabah mengambil tindakan itu. Dina melirik, tatapan serius polisi di sampingnya tidak sedang main-main dengan ancamannya pada dia. "CEPAT! JATUHKAN SENJATAMU BANGSAT!" teriak polisi itu hilang kesabarannya. Pelan-pelan gadis itu merunduk, meletakan senjata di lantai mobil tahanan. Sekali lagi, matanya melirik ke polisi muda yang tampaknta belum be
Satu pukulan keras melayang dengan cepat. Tetapi bukan dari arah Dina ke sosok hitam itu, melainkan tinju sipir penjara yang waspada akan gerak-gerik Dina hendak memukulnya. Pipi Dina memar, berwarna kebiruan. Dia tersungkur di lantai mobil tahanan. "Sialan! Berani-beraninya kamu mau mukul seorang sipir penjara!" katanya memaki. "Hajar terus, jangan diberi ampun, perempuan gila seperti dia jangan diberi ampun!" Salah satu polisi itu memprovokasinya. Sosok hitam menghampiri gadis malang yang saat ini masih tersungkur. "Lihat, mereka meremehkanmu. Andai saja kamu tidak menciptakanku, mungkin saja kamu mati dengan seluruh rasa penasaranmu itu, Dina!" kata Sosok hitam berbisik. "Kamu benar-benar menyedihkan!" Dina menggeram, bangun sambil mengepal tangannya. Menatap nanar ke arah dua sipir penjara yang kini bersikap arogan dan sok berkuasa. "Kau tidak akan bisa melawannya, hanya aku yang bisa membantunya, Dina! Apa kau mau aku bantu, gadis lemah?" tanya Sosok hitam yang sudah tak saba
Dina terdiam, kemudian dia melepaskan jari jemarinya pelan-pelan setelah dia puas membunuh Roy dengan caranya sendiri. Sosok hitam keluar dari tubuhnya, keadaan Dina kembali tenang setelah membunuh keluarga Roy. Namun, dia terlihat bingung kala kondisinya kembali seperti semula. Netranya melihat keadaan dirinya sendiri, sambil melihat telapak tangannya. Hanya ada darah segar yang lambat laun berubah kering. "Ada apa denganku? Kenapa semua darah ada di tubuhku? Apa yang sudah aku lakukan?" bisik batinnya bingung. Dia merasa tidak melakukan apapun, hanya raganya saja yang bergerak mengikuti naluri yang dikendalikan oleh sosok hitam yang berdiri di sampingnya. Perkataan Aipda Buyung diabaikan, dia masih berkutat pada dirinya sendiri. "Ayo ikut kami, dan Anda berhak di dampingi pengacara!" kata Aipda Buyung mulai menyentuh tangan gadis itu. Dina menoleh, dia menatap Aipda Buyung dengan tatapan bingung. "Ada apa?" tanya Dina menepis tangan Aipda Buyung. "Anda kami tetapkan sebagai pemb
Dina gelagapan, walau dia berhasil menahan selang yang hampir menjerat lehernya, dia tetap kesulitan untuk membebaskan diri dari jeratan selang. "Aaah ... aku harus bisa membebaskan diri dari laki-laki bejat ini!" bisik batin Dina. Sayangnya tak ada hasil, namun gadis itu tidak kehabisan akal, dia membenturkan kepalanya ke dahi Roy sambil mendorong tubuhnya ke belakang. Debuk. "Aaargh" pekik Roy kesakitan. Dina terlalu keras membenturkannya hingga kepala Roy terasa pusing. Gadis itu melakukannya berulang-ulang kali. Roy tetap mempertahankan genggaman erat jari-jarinya pada rantai. Kakinya terus mundur ketika Dina membenturkan kepala dan mendorong tubuh Roy. Sayangnya, kaki pemuda itu tidak lagi bisa melangkah. Tubuhnya terhimpit tembok. Dia tidak bisa bergerak ke mana-mana lagi. Buuak. Gadis itu membenturkan kepalanya lagi, lagi dan lagi hingga kepala bagian belakang Roy harus beradu dengan tembok. Darah membekas di tembok, luka di kepala Roy sangat parah. Dina membebaskan diri
Senyuman itu mengembang, sangat mengerikan bagi Roy. Gadis itu menunggu Roy melangkah sejauh mungkin dari rumah. Lalu bibirnya bergerak. "Satu!" Gadis itu mulai berhitung kala Roy sudah sedikit jauh jaraknya. "Dua!" Lanjutnya, berhitung di dalam hati. Roy melihat ke belakang. Dia tidak tau harus pergi ke mana. Pemuda itu sangat yakin Dina akan menemukannya, sebab, tubuh Roy sudah sangat lemah dan tak bertenaga. Tatapan seram Dina membuat Roy memalingkan wajahnya, melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. "Tiga!" Bibirnya melanjutkan berhitung. Roy keluar rumah, lalu berlari pelan di sisa-sisa tenaganya. Roy bingung harus ke mana, dia tidak mungkin ke luar. Sebab, jarak antar pintu rumahnya dan pintu gerbang pagar terlalu jauh untuk bisa dia jangkau dengan kaki yang saat ini sedang gemetaran. Dia celingukkan, kemudian dia berlari ke arah mobil Dona yang terparkir tak jauh dari pintu rumah. Roy masuk, sayangnya kunci mobil itu tidak ada di tempatnya. "Sial, bagaimana gue bis
"Gue akan membunuh elu!" teriak Roy lagi sambil berlari. Air mata menetes mengiringi langkah kakinya itu. Ada perasaan sakit yang tergurat di hatinya, perasaan kehilangan dan marah penuh emosi kala mata itu melihat kematian kedua orang tuanya secara bergantian. Dina tersenyum lebar, walaupun begitu, masih saja terlihat menyeramkan buat Roy. Pemuda itu menyerang dengan tubuh lemah dan pandangan mata yang kabur. Tidak begitu jelas saat tinjunya melayang. Dina merunduk, menghindari serangan Roy yang mudah terbaca. Kemudian gadis itu memiringkan tubuhnya kala serangan Roy datang kembali padanya. Perempuan muda itu mendorong tongkatnya, Duk. Tepat mengenai perut Roy yang tak terlindungi oleh apapun. Roy dibuat mundur beberapa langkah, kakinya bergemetaran saat serangan itu menyakiti perutnya lagi. Pemuda malang itu mengeluarkan isi perutnya yang hanya tinggal cairan bercampur sedikit makanan yang dia telan tadi siang. Napasnya diambang batas, hanya tinggal sisa-sisa. Dia sudah tidak k
Dona bangun dengan perut terasa keram dan perih. Dia mengambil kembali palu yang sempat terlepas dari tangannya. Lalu wanita itu berjalan tertatih, rasa sakit di perutnya membuat dia tidak bisa bergerak bebas. Dia melihat Roy sedang menyerang Dina dengan kayu. "Roy?" bisiknya. Netranya mendapati serpihan kaca yang berantakan di lantai, pecahan kaca itu bercampur darah Roy yang sudah mengotori lantai. Wanita itu memperhatikan gerakan Dina, gadis itu rupanya sudah terdesak oleh serangan demi serangan dari putranya. Gadis itu juga terlihat gugup walau kemarahan terlihat jelas di sorot mata berwarna hitam legam itu. Dona mendadak menutup mulutnya. Roy hampir saja menusuk perut perempuan muda itu. Dia cukup terkejut, dia juga tidak bisa membayangkan bila matanya harus melihat darah muncrat darinperut gadia itu. Akan tetapi serangan Roy di tahan oleh Dina dengan tangannya. "Gadis itu? Dia ... dia bisa menahan serangan Roy yang cepat itu? T-tapi bagaimana bisa dia melakukannya?" pikir Don