Lagi-lagi Haris tersenyum, kemudian dia mendekatkan diri ke telinga Letnan Indra. Laki-laki itu mulai membisikkan sesuatu di telinga Letnan Indra. Seketika ekspresi wajah Letnan Indra berubah, lebih terlihat serius dengan mata terbuka lebar. "Apa anda yakin?" Haris mengangguk tanpa keraguan. "Bagaimana saya harus percaya Anda, sedangkan saya tidak mengenal Anda, Pak Haris?" kata Letnan Indra, menyandarkan tubuhnya di kursi. "Anda memang tidak mengenal saya, tapi saya sangat mengenal gadis itu!" sergah Haris sangat meyakinkan. Letnan Indra menatap Haris, dia masih belum mempercayai perkataannya. "Kenapa Anda menatap saya seperti itu, Pak? Apa Anda masih belum mempercayai saya?" tanya Haris, begitu peka dengan sikap Letnan Indra yang terlihat aneh terhadapnya. "Gak juga, hanya saja sebagai seorang polisi saya butuh bukti apakah ucapan Anda benar atau tidak!" sergah Letnan Indra. "Bapak bisa cari tentang identitasku di kepolisian Bandung. Bapak juga bisa mencari kasusku 13 tahun lal
Dina lamat-lamat mendengar suara ribut-ribut antara Zahra dan Haris di dekatnya. Matanya mulai membuka pelan-pelan, gadis itu cukup kaget saat Haris hendak menusuknya. Tangan gadis itu bergegas menyalip di bawah bantal, dia mengambil garpu. Entah semenjak kapan garpu itu dia simpan, yang jelas Dina menyimpannya untuk melindungi diri dari ketakutan setelah insiden malam itu. "Tidak Haris, jangan lakukan!" pekik Zahra dan suaranya membuat Dina tersadar. Lamat-lamat matanya terbuka. Lalu ... Jleb. Mata Zahra melotot, mata gadis itupun sama. Haris pun demikian. Kaget. "D-Dina ... ?" kata Zahra menutup mulutnya. "S-sial ... kenapa bisa begini?" gumam Haris. Melihat darah di tangannya. Garpu itu menancap di lengan bawah tangan Haris. Darah pun menetes dari setiap luka tusukan garpu itu. Dina menariknya secara kasar. "Aaargh!" pekiknya. Dina bergegas bangun dan mendorong tubuh Haris hingga terjatuh. Kemudian dia menarik tangan Zahra, menarik untuk keluar dari ruangan itu. Tangannya ma
Di kantor polisi. "Apa? Jadi laki-laki itu pelaku pencabulan pada anak kecil alias pedofil?" Letnan Indra tersentak kaget. "Dia melakukan itu pada Dina?" Aipda Buyung mengiyakan. "Sialan! Untung saja aku tidak begitu saja percaya padanya. Dan seharusnya dialah yang harus dicurigai!" umpat Letnan Indra kesal. "Aipda Buyung, kita harus ikuti dan awasi dia. Aku takut dia melakukan hal buruk pada Dina!" usul Letnan Indra. "Siap Pak!" kata Aipda Buyung. Kedua polisi itu mengikuti taksi yang Haris tumpangi dengan mobil biasa. Letnan Indra tidak mau curiga, rencananya akan gagal bila menggunakan mobil dinas kepolisian. "Mau ke mana taksi itu?" gumam Letnan Indra tak berhenti melihat taksi di depannya bergerak. "Sepertinya dia menuju rumah sakit, Pak!" "Sial! Dia memang berencana ingin membunuh gadis itu," ujar Letnan Indra kesal. Dahinya mengkerut. "Terus ikuti dia, Aipda Buyung!" Roda terus berputar, lalu berhenti ketika taksi yang Haris tumpangi berhenti. Mobilnya berhenti menjaga
Tangannya mendekap Dina dan dia mengacungkan mata pisau ke leher Dina, sangat dekat hingga setetes darah keluar dari kulit lehernya. "Jangan mendekat, atau kubunuh perempuan iblis ini!" ancam Haris. Keadaan ruangan itu semakin tegang. Zahra ketakutan dengan menutup mulutnya dengan kedua tangan. "CEPAT TURUNKAN SENJATA KALIAN! ATAU PEREMPUAN INI BENAR-BENAR MATI!" teriak Haris, suaranya menggema di ruangan itu. Letnan Indra ragu-ragu menurunkan senjatanya, begitu juga Aipda Buyung. Mau tidak mau mereka berdua harus mementingkan keselamatan sandera. Zahra berjalan mendekati Haris. "Lepaskan dia Haris!" pinta wanita itu. Tubuhnya sedikit gemetaran melihat apa yang terjadi pada anaknya. Dia mengingat dulu, saat Dina masih kecil di rumah Haris. Laki-laki itu mencekik gadis itu saat berusia 7 tahun. "Lepaskan? Kau gila, Zahra? Jangan terlalu naif dengan sikapnya yang sok polos ini. Dia adalah pembunuhnya, pembunuh dengan licik setiap korbannya. Dia ini iblis yang memfitnahku, Zahra!" "
Riko bergegas masuk ketika sudah sampai di markas. Wajahnya ketakutan, dia juga sudah menghubungi pihak kepolisian untuk di identifikasi dan otopsi mayat kedua rekannya. Riko menyambar tas di meja. Dia memasukkan beberapa barang miliknya. Suara Riko yang membereskan barang-barangnya membuat Pasha dan Wanto terbangun dari tidurnya. "Lho, Ko, elu mau kemana?" "Gue mau pergi, di sini sudah gak aman!" jawab Riko tanpa melirik sedikitpun pada Pasha yang lebih dulu bangun. "Pergi? Pergi ke mana? Dan emangnya ada apa, Ko?" Pasha dan Wanto terbangun mendengar suara Riko yang ketakutan. "Iya, bicara yang jelas biar kami mengerti!" protes Wanto belum paham maksud ucapan Riko. "Perempuan itu ...." kata Riko terhenti. Dia telah membunuh Jerry dan Damar dengan sadis! Dan kalian tau di mana mereka terbunuh?" kata Riko bertanya. Kedua temannya menggeleng "Emangnya di mana?" Wanto sangat penasaran. "Tempat kita memperkosa gadis itu! Dan aku yakin banget, perempuan itulah yang membunuh mereka b
"Dasar bodoh! Kalian berjumlah sangat banyak, tapi bagaimana bisa kalian tidak mampu menangkap wanita itu?" Tyo berteriak kencang, dia tidak bisa menahan emosinya. Dona berusaha menenangkan suaminya agar tenang saat di rumah sakit. "Pah, sudah Pah, sabar! Jangan marah-marah terus!" "Gak bisa, Mah! Ini menyangkut keselamatan anak kita. Dan mereka sangat bodoh sampai-sampai kecolongan dengan perempuan tak dikenal!" Riko, Wanto dan Pasha, ketiga pemuda itu berdiri menundukkan kepala di hadapan Tyo. Laki-laki berumur itu terlihat marah besar pada ketiga pemuda yang sudah dipercaya untuk menjaga anaknya. "Mamah tau, Pah, cuma Roy kecelakan karena dia mengebut! Jadi Papah jangan terus-menerus menyalahkan mereka, dan juga perhatikan jantung Papah itu. Lagi pula ini rumah sakit, bukan tempat marah-marah!" tukas Dona. Namun Tyo tetap dalam emosinya. "Sudah, Mamah diam saja! Biar Papah yang urus mereka bertiga!" bentak Tyo. Dona hanya mendengus dan kembali duduk di samping ranjang Tyo. "J
Riko, Wanto dan Pasha terus mencari perempuan yang tidak mereka ketahui. Sebab, mereka bertiga tidak tau siapa perempuan itu dan juga wajahnya, bahkan mereka pun tidak mengetahui di mana rumah perempuan itu. Motor ketiga anak buah Roy terus melaju lambat. "Ko, kita harus ke mana lagi mencari perempuan itu? Kita juga gak tau bagaimana wajahnya dan di mana rumahnya? Ini akan jadi pencarian percuma buat kita!" seru Pasha ragu-ragu dengan pencarian tak jelas ini. "Ya, benar! Kita juga belum istirahat sama sekali, bisa-bisa kita mati karena kelelahan bukan mati oleh perempuan itu!" Wanto ikut-ikutan berpendapat. "Hei, bisakah kalian diam? Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menjalankan perintah bos besar!" sergah Riko. "Kita cari saja sampai ketemu!" "Tunggu!" henti Pasha. Dia memperlambat laju motornya dan berhenti di tepi jalan. Riko dan Wanto ikut menepi di belakang dan depan Pasha. "Ada apa? Kita jangan banyak membuang waktu lagi, Pasha!" usul Riko. "Elu bilang, perempuan itu
"M-mau apa kau?" tanya Pasha bersuara tinggi, namun terdengar sangat ketakutan. Lagi, gadis itu tak akan menjawab. Dia hanya tersenyum dan tersenyum. Setelah itu .... Buaak. Dina menginjak keras dada Pasha hingga pemuda itu berteriak sangat kencang. "Aaaarhk" pekik Pasha kesakitan. Gadis itu, mengangkat kakinya sekali lagi. Tetapi, kali ini pemuda itu menangkap kaki Dina. Pasha mempelintir kaki gadis itu dan tubuhnya terpelanting, tubuhnya beradu keras ke tanah dan terjatuh. Dina bangun, posisinya kini terbalik. Pemuda itu melihat Dina dengan rendah, kemudian dia membungkukkan badannya. "Elu pikir bisa mengalahkan gue dengan mudah?" racaunya dengan sombong sambil menekan dua pipi gadis itu. Lalu mengambil batang pohon lainnya di dekat kaki Pasha. "Kali ini, gue yang menang perempuan gila!" Pasha mengangkat batang pohon itu, lalu .... "Ampuni aku, maafkan aku ... aku hanya ingin kalian merasakan apa yang aku rasakan!" kata Dina menggerakkan tangannya sambil meneteskan airmata. Ak