Pemuda itu berjalan tanpa curiga. Dia sepertinya sangat kelelahan, beberapa kali melakukan gerakkan streching. Badannya juga terasa sakit tidur di lantai setelah beberapa hari ditahan di kantor polisi. "Sial, aku benar-benar sial!" gerutunya sendirian. Terus melangkah menuju rumahnya. "Gara-gara cewek merepotkan itu, aku jadi ketumpuan!" keluhnya. Namun tiba-tiba senyum menjijikan itu terlihat di raut wajahnya. "Tapi, ternyata enak juga ya, nikmati tubuh wanita. Baru kali ini aku merasakannya, jadi ketagihan!" gumamnya lagi. Berangan-angan bisa melakukan perbuatan bejatnya sekali lagi pada wanita lain. Di belakang, Dina mengikutinya. Tatapan bengis dan tidak bersahabat itu tampak jelas saat ini. Mengerikan. Tangannya, sudah memegang balok kayu besar. Orang-orang menatapnya heran, bagaimana tidak, pakaiannya terlihat aneh. Pakaian rumah sakit belum ia lepas dari tubuhnya. "Kayaknya ... ada yang mengikutiku dari belakang?" bisik Tony membatin. Lalu ia menoleh. Ia terbelalak, kaget se
Dina tidak bisa melupakan kejadian itu. Dia sedang berusaha menyusun semua kejadian yang terjadi padanya selama ini. Suara asing yang terdengar di rumah sakit itu menjadi hal nyata yang dia dengar. Mempengaruhi dan mengendalikan dirinya untuk membunuh. Tapi apa? Dan siapa pemilik suara itu? Dina belum mengerti sepenuhnya. Justru kepalanya terasa sakit kala ia memaksa ingatannya untuk mengingat siapa sebenarnya pemilik suara itu. "Aaaargh!" teriak Dina histeris, menarik perhatian dua sipir dan dua polisi yang menjaga Dina selama perpindahannya ke penjara para pembunuh. "Hei ... kamu kenapa?" Dua sipir sedikit ragu-ragu mendekati Dina. Dia berteriak seperti orang gila. "Hei ... berhenti berteriak! Apa kau sudah gila, huh?" Lalu, di sela-sela teriakkannya dia cukup tersiksa kala ingatannya kembali ke masa dia mulai membalaskan dendam pada para pemerkosanya. **** "Sekarang, waktunya elu mati cewek bisu sialan!" Tony mengayunkan tongkat besinya, di arahkan pada Dina. Buk. Pukulan ker
"Ssst ... jangan berisik!" ucap Dina tak begitu jelas. Mata ketakutan Tony terlihat lebih jelas lagi sekarang. Tubuhnya bergemetaran, rasa takut mendadak menghantuinya. Kematian. Dina tersenyum sinis, entah rencana apa lagi yang akan dia lakukan. Jari-jarinya mulai menekan rahang serta mulut Tony, semakin lama semakin membuat Tony kesakitan. Tangannya mulai memegang ke tangan Dina, keringatnya bercucuran sangat deras. Kepala Tony menggeleng, kemudian di pelupuk matanya mulai berembun. Dan embun itu mulai mengeras, membentuk kristal bening. Lalu terjatuh. Suara isak tangis Tony pun terdengar tertahan. Gadis itu menarik rahangnya dan, Debuak. Satu kali lagi, kepala pemuda itu dibenturkan jauh lebih keras. "Aaargh!" Suara tertahan tangan Dina yang menutupi mulut pemuda tak bermoral itu. Darah pun semakin banyak menempel di tembok. Mengalir deras dari luka bolong terkena paku besar nan tajam itu. Dina mendekati wajahnya ke telinga Tony. Gadis itu sengaja mendesah, agar pemuda itu
"Pengganggu!" Satu kata membuat teka teki besar. "Kau akan mati belakangan!" Sosok itu kemudian sudah berada di dekat Dina yang terlelap, kemudian berpendar dan sedikit-sedikit asap hitam legam itu memasuki tubuh Dina. Mata gadis itu yang semula terpejam, tiba-tiba terbuka sangat lebar. Diam, dan tak lama selimut tersibak tangannya. Gadis itu turun dari ranjang dan berjalan melintasi Zahra yang tertidur. Tidak menoleh. Membuka pintu tanpa terdengar suara. Kaki bertelanjang, melangkah pelan menelusuri lorong rumah sakit yang panjang juga gelap. Lampu-lampu temaram di sepanjang lorong itu berkedap-kedip. Terus melangkah hingga kaki itu sudah berada di luar rumah sakit. Tubuh Dina terus bergerak tanpa ada rasa lelah, dituntun sosok yang saat ini merasuki tubuhnya itu. Entah kemana kaki itu akan mengajak dirinya pergi, Dina saat ini dalam keadaan tak sadarkan diri. Hingga sampai di satu gedung lumayan besar. Berdiri dengan sorot mata dingin tanpa kehidupan, namun terlihat kejam. Lalu d
Kedua laki-laki itu saling memandang satu sama lain, bulu-bulu halus di sekujur tubuh mereka mulai meremang. "Ma ... ti!" Satu kata yang biasa keluar dari bibir Dina dengan terbata itu, membuat Roy dan Vian bergidik ngeri. Roy memaksa melepaskan tangan Dina yang semakin membuatnya sulit bernapas. Tetapi Dina tidak main-main ingin membunuhnya secara perlahan-lahan. "Sial! Tenaga cewek ini terlalu kuat!" bisik batin Roy yang kian melemah. Lalu Roy menendang kuat perut Dina, genggaman tangannya sedikit melonggar. Laki-laki mengambil kesempatan saat Dina lengah. Dia menggenggam tangan perempuan itu dan mempelintir tangan Dina. Begitu juga dengan Vian. Keduanya kemudian mendorong gadis itu ke tembok hingga wajah gadis itu terbentur. Darah pun mengalir dari kedua lubang hidungnya. Dina tersenyum, dan itu membuat bulu kuduk Roy meremang. Sikapnya sangat aneh, tidak ada ketakutan pada perempuan itu saat ini. "Hati-hati bos! Gue ngerasa anak ini ada yang aneh!" Vian merasakan hal yang sam
"Bos awaaas!" teriak Tomo dari kejauhan. Dia mengikuti Roy dan Vian dari dalam klub malam. Dia berlari sekuat tenaga... Namun, Buuak. Roy terlambat menghindar. "Aaaargh!" teriakan itu terdengar sangat memilukan dan dalam kesakitan yang luar biasa. Darah pun muncrat dari dalam mulutnya. Mata Roy terbelalak, gadis itu bereaksi biasa saja. Seolah kesadisan ini adalah hal biasa dia lakukan. Tetapi bukan Roy yang terkena pukulan itu. Tomo, salah satu anak buah Roy lainnya menjadikan dirinya tameng untuk Roy. Balok kayu berisi paku-paku tajam tertancap di tubuh Tomo. Tubuhnya menggelayut di tubuh Roy dengan wajah kesakitan. Roy kian syok, perempuan di hadapannya berubah dua kali lebih kejam di saat dirinya memperkosa dua hari lalu. "L-lari lah, bos!" kata Tomo. Pemuda bertubuh kekar dan gempal itu berdiri berlahan-lahan, menahan sakit di punggungnya. "C-cepat pergi d-dari sini, biar saya yang menghalangi dia!" seru Tomo sekali lagi. Roy sempat bingung. Keganasannya menghilang dalam sek
Kantor polisi, disibukkan oleh laporan salah seorang warga. Pembunuhan sadis di salah satu gang buntu yang di apit dua gedung tinggi. Wajahnya penuh luka gores yang hampir memutuskan urat-urat wajah pemuda malang itu, yang tak lain adalah Tony. Baru saja pemuda itu bebas, namun nasibnya kurang beruntung. Dia harus mati secara mengenaskan hampir tak bisa di identifikasi. "Pak Letnan!" panggil Aipda Buyung dari belakang. Tangannya memegang berkas berisi foto-foto yang sengaja dia cetak di Ms. Word. Letnan Indra menoleh. Wajah lelahnya terlihat jelas dari lingkaran mata yang sedikit menghitam. "Ada apa Aipda Buyung?" Polisi berbadan kekar dan berkulit sawo matang itu menghampiri Letnan Indra. Dia menunjukan gambar-gambat itu. "Saya mendapatkan informasi dari divisi pelayanan, ada pembunuhan sadis yang terjadi di pusat kota. Tepatnya di sebuah gang buntu tanpa penerangan!" Aipda Buyung memberikan bukti-bukti itu pada Letnan Indra, kemudian dia menjelaskan bagian-bagian vital yang terluk
Keduanya saling bertatapan. Menduga-duga pelakunya adalah Dina. Namun, bukti tidak terlalu kuat untuk memenjarakan Dina. Lalu bagaimana nasib Dina? "Apa kita langsung menangkap dia saja, Letnan!" "Jangan! Belum tentu gadis itu yang membunuh Tony. Kau tau, begitu banyak pasien di rumah sakit itu. Jadi, bisa saja bukan gadis malang itu yang membunuhnya!" sergah Letnan Indra. Dia mengamati sekali lagi bukti itu dengan seksama. "Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita akan berdiam diri saja sementara pelaku masih berkeliaran di luar sana?" Aipda Buyung tak bisa menahan diri, terlihat sangat jelas dia sudah gatal ingin menangkap pelaku dan memenjarakannya. Letnan Indra berdeham untuk kedua kalinya. "Saya rasa ... bukti ini belum terlalu kuat untuk memenjarakan pelaku. Tapi ...." Letnan Indra menatap serius wajah Aipda Buyung di hadapannya. "Apakah ada saksi yang melihat kejadian ini, Aipda Buyung?" Laki-laki besar dan berkulit sawo matang itu menggeleng. "Sayangnya tid