Letnan Indra dan Aipda Buyung berjalan berdampingan di koridor rumah sakit. Mereka berdua sedang menuju kamar Dina. Lalu, gadis itu duduk menatap jendela. Pemandangan seperti biasa dia lihat di hari-hari kemarin. Hanya ada taman bunga yang di isi para pasien, suster dan juga pengunjung-pengunjung lainnya. Sedari tadi pagi, Dina tidak banyak berbicara. Apalagi semenjak ingatan-ingatan perlakuan bejat Roy beserta teman-temannya terhadap dia kemarin malam. Dina masih syok dan trauma, dia tidak bisa di dekati pria-pria. Ingatannya langsung menuju kejadian malam laknat yang membuatnya kehilangan keperawanan dan juga lidahnya. Bisu. Sarapan sudah tersedia di atas meja. Lauk pauk yang sudah biasa didapati Dina dengan rasa hambar. Lagipula, makanan itu tetap saja tidak terasa nikmat walau lidahnya masih utuh. "Din ... ayo makan!" ujar Zahra. Dia membawa makanan di nampan yang berada di meja. Lalu, ibu angkatnya duduk di kursi samping tempat tidur. "Ayo sayang, kamu makan sedikit ya. Kamu be
Mata Dina langsung terbelalak. Dia menjadi ketakutan saat foto itu didapati kedua netranya. "Aaargh!" Jeritan Dina jauh lebih histeris dari dia melihat Tony. Gadis itu terus menjerit sambil menutup telinga dan menutup matanya. Dina enggan melihat wajah Roy yang tampak seperti penjahat. Dina turun ke bawah ranjang, ingatan buruk itu membuat dirinya tak stabil. Dia duduk di dekat ranjang dengan tubuh meringkuk, memegang lutut masih menutup mata dan kedua telinga dengan tangannya. Gadis itu berteriak minta disingkirkan foto Roy dari hadapannya. Zahra menghampiri gadis itu. "Din ... Dina, kamu gak apa-apa, Nak?" Zahra begitu kuatir dengan keadaan mentalnya. Pelan-pelan dia mulai menyentuh kepala gadis itu. "Gak apa-apa, Nak! Kamu pasti bisa melalui ini semua. Ibu yakin itu, maka dari itu, kamu gak boleh takut!" ujarnya. Aipda Buyung dan Letnan Indra mulai berspekulasi dengan tatapan kedua mata mereka yang beradu. Letnan Indra beranjak bangun dan ikut menghampiri Dina. "Gak apa-apa, kal
Keesokkan harinya, Letnan Indra dan Aipda Buyung melakukan introgasi ulang pada Dina. Gadis itu jauh lebih tenang saat kedua polisi itu menanyakan langsung pada Dina tentang pelaku-pelaku kejahatan. Perempuan berusia 20 tahun itu menjawab satu persatu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Letnan Indra dan Aipda Buyung secara bergantian. Bukti pun sudah di tangan. Mereka berdua lalu beraksi dan membuat laporan setelah meminta persetujuan. Walau sebenarnya, Tyo sudah melakukan perundingan serta pembicaraan pada komandan dari Letnan Indra dan Aipda Buyung setelah pembicaraan Rizal, pengacara Tyo merasa kesulitan dengan kasus Roy kali ini. Namun sayangnya, hasilnya nihil. Berkas sudah diserahkan pada pihak pengadilan oleh Letnan Indra dan Aipda Buyung setelah mendapatkan tanda tangan dari komandan mereka berdua. "Saya harap kasus kita ini berhasil, Letnan!" Celetuk Aipda Buyung yang geram pada kasus Roy yang sudah sepuluh kali dia tangani bersama Letnan Indra. "Mudah-mudahan, Aipda Buyu
Seluruh audien menatap kedua saksi itu memasuki ruang persidangan. Namun, mata Roy melotot setelah tau siapa Tony sebenarnya. "Pemuda itu? Ternyata dia!" gumam Roy tak percaya. "Sialan, ternyata orang-orang ini yang bikin tertangkap?" lanjutnya masih membatin. "Aku tidak akan membiarkan mereka hidup tenang setelah aku keluar dari sini!" pikirnya licik. "Tony? Kenapa harus Tony? Dia juga salah satu orang yang memperkosaku!" bisiknya. Ada firasat buruk yang membuat Dina kuatir kali ini. "Baik, persidangan akan kita lanjutkan!" seru Hakim Ketua. Martin maju mendekati kursi saksi yang saat ini Tony menjadi saksi. "Anda, sebagai pelaku kejahatan atas klien kami, Nona Dina, bukankah Anda melakukannya atas perintah anak muda itu ...." Jari telunjuk Martin mengarah ke Roy. Pertanyaan to do point yang tidak bisa Tony bantahkan. Tetapi ia terdiam. "Kenapa Anda diam? CEPAT JAWAB PERTANYAAN SAYA!" bentak Tony. Pemuda itu melihat ke arah Dina, sebagai sahabatnya, Tony tentu tau perasaan Dina.
Malam, gadis itu tidur dengan gelisah. Keringatnya begitu banyak. Deras, hingga baju yang dia kenakan basah kuyup. Dahinya mengkerut, bibir meracau tak jelas dengan tangan menggapai-gapai. Tak lama, airmatanya menetes dari celah mata sisi kira dan kanan. "Aaargh!" pekiknya. Terbangun dengan deru napas yang terengah-engah. "Kenapa mimpi ini mendadak muncul? Dan ini sudah dua hari mimpi ini datang ditidurku!" Rupanya Dina mimpi buruk, bangun setelah beberapa jam tidur akibat obat tidur. "Kenapa kau masih belum bertindak? Ayo segera habisi orang-orang yang telah menyakitimu, gadis bodoh!" Bisikan itupun datang lagi di daun telinganya. Memerintahkan Dina agar melakukan aksi balas dendam pada pelaku-pelaku pemerkosaan terhadap dirinya. Dina tak lantas bereaksi, dia merenung kata-kata bisikan yang selalu muncul kala batinnya tidak menyukai seseorang yang telah menyakitinya itu. Kemudian dia melirik ke arah Zahra, ibu angkatnya tertidur pulas. Lalu turun. Kakinya mulai menapaki lantai ker
Pemuda itu berjalan tanpa curiga. Dia sepertinya sangat kelelahan, beberapa kali melakukan gerakkan streching. Badannya juga terasa sakit tidur di lantai setelah beberapa hari ditahan di kantor polisi. "Sial, aku benar-benar sial!" gerutunya sendirian. Terus melangkah menuju rumahnya. "Gara-gara cewek merepotkan itu, aku jadi ketumpuan!" keluhnya. Namun tiba-tiba senyum menjijikan itu terlihat di raut wajahnya. "Tapi, ternyata enak juga ya, nikmati tubuh wanita. Baru kali ini aku merasakannya, jadi ketagihan!" gumamnya lagi. Berangan-angan bisa melakukan perbuatan bejatnya sekali lagi pada wanita lain. Di belakang, Dina mengikutinya. Tatapan bengis dan tidak bersahabat itu tampak jelas saat ini. Mengerikan. Tangannya, sudah memegang balok kayu besar. Orang-orang menatapnya heran, bagaimana tidak, pakaiannya terlihat aneh. Pakaian rumah sakit belum ia lepas dari tubuhnya. "Kayaknya ... ada yang mengikutiku dari belakang?" bisik Tony membatin. Lalu ia menoleh. Ia terbelalak, kaget se
Dina tidak bisa melupakan kejadian itu. Dia sedang berusaha menyusun semua kejadian yang terjadi padanya selama ini. Suara asing yang terdengar di rumah sakit itu menjadi hal nyata yang dia dengar. Mempengaruhi dan mengendalikan dirinya untuk membunuh. Tapi apa? Dan siapa pemilik suara itu? Dina belum mengerti sepenuhnya. Justru kepalanya terasa sakit kala ia memaksa ingatannya untuk mengingat siapa sebenarnya pemilik suara itu. "Aaaargh!" teriak Dina histeris, menarik perhatian dua sipir dan dua polisi yang menjaga Dina selama perpindahannya ke penjara para pembunuh. "Hei ... kamu kenapa?" Dua sipir sedikit ragu-ragu mendekati Dina. Dia berteriak seperti orang gila. "Hei ... berhenti berteriak! Apa kau sudah gila, huh?" Lalu, di sela-sela teriakkannya dia cukup tersiksa kala ingatannya kembali ke masa dia mulai membalaskan dendam pada para pemerkosanya. **** "Sekarang, waktunya elu mati cewek bisu sialan!" Tony mengayunkan tongkat besinya, di arahkan pada Dina. Buk. Pukulan ker
"Ssst ... jangan berisik!" ucap Dina tak begitu jelas. Mata ketakutan Tony terlihat lebih jelas lagi sekarang. Tubuhnya bergemetaran, rasa takut mendadak menghantuinya. Kematian. Dina tersenyum sinis, entah rencana apa lagi yang akan dia lakukan. Jari-jarinya mulai menekan rahang serta mulut Tony, semakin lama semakin membuat Tony kesakitan. Tangannya mulai memegang ke tangan Dina, keringatnya bercucuran sangat deras. Kepala Tony menggeleng, kemudian di pelupuk matanya mulai berembun. Dan embun itu mulai mengeras, membentuk kristal bening. Lalu terjatuh. Suara isak tangis Tony pun terdengar tertahan. Gadis itu menarik rahangnya dan, Debuak. Satu kali lagi, kepala pemuda itu dibenturkan jauh lebih keras. "Aaargh!" Suara tertahan tangan Dina yang menutupi mulut pemuda tak bermoral itu. Darah pun semakin banyak menempel di tembok. Mengalir deras dari luka bolong terkena paku besar nan tajam itu. Dina mendekati wajahnya ke telinga Tony. Gadis itu sengaja mendesah, agar pemuda itu