Letnan Indra beserta Aipda Buyung dan dua anak buahnya yang lain bergegas keluar kantor, surat penangkapan Roy sudah di tangan. Mereka berempat menaiko mobil dinas masing-masing. Mobil melintas pagi yang masih sepi. Suara sirene memekak telinga ke seantero jalanan yang luas nan lenggang itu. Lalu tak seberapa lama, tepat di rumah Gubernur kota tempat Dina tinggal kedua mobil dinas polisi berhenti. Aipda Buyung turun dan menemui satpam yang berjaga di rumah itu. "Selamat pagi, Pak!" sapa satpan itu sambil memberi hormat pada Aipda Buyung. "Selamat pagi, saya Aipda Buyung dari kepolisian. Kamk datang ke sini ingin bertemu Roy, apakah dia ada?" "Mas Roy, sepertinya dia masih tidur, Pak!" ujar Satpam itu sambil menoleh ke arah jendela kamar pemuda itu. "Memangnya ada apa ya, Pak?" "Kami membawa surat penangkapan Roy atas tuduhan pemerkosaan serta kekerasan pada seorang gadis!" imbuh Aipda Buyung, menunjukkan surat perintah penangkapan. "A-apa? Ya sudah, saya akan menyampaikan pada P
"Hei ... mau ke mana kamu?" pekik Aipda Buyung yang kebetulan melihat Roy hendak kabur. Aipda Buyung mendorong ayah dari Roy yang menghalang-halangi Aipda Buyung dan lainnya untuk menangkap Roy. Hingga laki-laki itu hampir terjatuh. Roy tersentak, dia bergegas lari melalui pintu belakang rumahnya. Wanita bernama Dona itu menghalangi Aipda Buyung. "Eit ... tunggu dulu, Pak!" "Minggir, Bu! Biarkan kami menangkap anak Ibu itu!" seru Aipda Buyung menyingkirkan tangan Dona yang cukup mengganggunya. Letnan Indra mendorong sedikit tangan Dona, dan berlari mengejar Roy. Begitu juga dengan kedua anak buahnya yang lain. "Saya bisa memenjarakan Ibu karena menpersulit pekerjaan aparat!" Ancam Aipda Buyung. Ikut mengejar Roy. Tyo datang menghampiri Dona. "Kenapa kalian lama sekali kabur dari sini?" tanya Tyo bernada tinggi. "Aaah ... jadi kacau semua, bisa hancur karir dan jabatan papah!" lanjutnya semakin marah. "Roy susah dibangunin, Pah!" sergah Dona mengikuti suaminya yang duduk di sofa ru
Aipda Buyung menatap senang wajah Tyo yang pucat itu. Dia berjalan menghampirinya dan kemudian, "Kali ini, aku akan buat hancur karir Anda, Pak Gubernur!" Berbisik, dan kalimat itu mengganggu pikiran Tyo. Matanya melotot, dia tidak bisa berkata apapun. Netranya melihat Aipda Buyung terus menjauh darinya. "Brengsek! Bagaimanapun caranya, aku akan merendam semua kasus ini demi jabatanku. Aku tidak akan membiarkan siapapun mengusik jabatanku tanpa kecuali!" bisik batinnya, dahinya mengeryit dengan sorot mata yang tajam mengarah ke Aipda Buyung. Baginya, perkataan Aipda Buyung barusan membuatnya terancam. "Mah, coba kamu hubungi pengacara keluarga kita! Bilang padanya, kita harus melakukan agar kasus ini tidak berkembang dan memperburuk keadaan yang membuat jabatanku terancam. Dan suruh dia membebaskan Roy, apapun itu caranya!" seru Tyo berambisi. Tetap ingin mempertahankan jabatannya itu. Matanya menatap lurus ke depan, melihat mobil polisi yang membawa anaknya perlahan-lahan meninggal
Letnan Indra dan Aipda Buyung berjalan berdampingan di koridor rumah sakit. Mereka berdua sedang menuju kamar Dina. Lalu, gadis itu duduk menatap jendela. Pemandangan seperti biasa dia lihat di hari-hari kemarin. Hanya ada taman bunga yang di isi para pasien, suster dan juga pengunjung-pengunjung lainnya. Sedari tadi pagi, Dina tidak banyak berbicara. Apalagi semenjak ingatan-ingatan perlakuan bejat Roy beserta teman-temannya terhadap dia kemarin malam. Dina masih syok dan trauma, dia tidak bisa di dekati pria-pria. Ingatannya langsung menuju kejadian malam laknat yang membuatnya kehilangan keperawanan dan juga lidahnya. Bisu. Sarapan sudah tersedia di atas meja. Lauk pauk yang sudah biasa didapati Dina dengan rasa hambar. Lagipula, makanan itu tetap saja tidak terasa nikmat walau lidahnya masih utuh. "Din ... ayo makan!" ujar Zahra. Dia membawa makanan di nampan yang berada di meja. Lalu, ibu angkatnya duduk di kursi samping tempat tidur. "Ayo sayang, kamu makan sedikit ya. Kamu be
Mata Dina langsung terbelalak. Dia menjadi ketakutan saat foto itu didapati kedua netranya. "Aaargh!" Jeritan Dina jauh lebih histeris dari dia melihat Tony. Gadis itu terus menjerit sambil menutup telinga dan menutup matanya. Dina enggan melihat wajah Roy yang tampak seperti penjahat. Dina turun ke bawah ranjang, ingatan buruk itu membuat dirinya tak stabil. Dia duduk di dekat ranjang dengan tubuh meringkuk, memegang lutut masih menutup mata dan kedua telinga dengan tangannya. Gadis itu berteriak minta disingkirkan foto Roy dari hadapannya. Zahra menghampiri gadis itu. "Din ... Dina, kamu gak apa-apa, Nak?" Zahra begitu kuatir dengan keadaan mentalnya. Pelan-pelan dia mulai menyentuh kepala gadis itu. "Gak apa-apa, Nak! Kamu pasti bisa melalui ini semua. Ibu yakin itu, maka dari itu, kamu gak boleh takut!" ujarnya. Aipda Buyung dan Letnan Indra mulai berspekulasi dengan tatapan kedua mata mereka yang beradu. Letnan Indra beranjak bangun dan ikut menghampiri Dina. "Gak apa-apa, kal
Keesokkan harinya, Letnan Indra dan Aipda Buyung melakukan introgasi ulang pada Dina. Gadis itu jauh lebih tenang saat kedua polisi itu menanyakan langsung pada Dina tentang pelaku-pelaku kejahatan. Perempuan berusia 20 tahun itu menjawab satu persatu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Letnan Indra dan Aipda Buyung secara bergantian. Bukti pun sudah di tangan. Mereka berdua lalu beraksi dan membuat laporan setelah meminta persetujuan. Walau sebenarnya, Tyo sudah melakukan perundingan serta pembicaraan pada komandan dari Letnan Indra dan Aipda Buyung setelah pembicaraan Rizal, pengacara Tyo merasa kesulitan dengan kasus Roy kali ini. Namun sayangnya, hasilnya nihil. Berkas sudah diserahkan pada pihak pengadilan oleh Letnan Indra dan Aipda Buyung setelah mendapatkan tanda tangan dari komandan mereka berdua. "Saya harap kasus kita ini berhasil, Letnan!" Celetuk Aipda Buyung yang geram pada kasus Roy yang sudah sepuluh kali dia tangani bersama Letnan Indra. "Mudah-mudahan, Aipda Buyu
Seluruh audien menatap kedua saksi itu memasuki ruang persidangan. Namun, mata Roy melotot setelah tau siapa Tony sebenarnya. "Pemuda itu? Ternyata dia!" gumam Roy tak percaya. "Sialan, ternyata orang-orang ini yang bikin tertangkap?" lanjutnya masih membatin. "Aku tidak akan membiarkan mereka hidup tenang setelah aku keluar dari sini!" pikirnya licik. "Tony? Kenapa harus Tony? Dia juga salah satu orang yang memperkosaku!" bisiknya. Ada firasat buruk yang membuat Dina kuatir kali ini. "Baik, persidangan akan kita lanjutkan!" seru Hakim Ketua. Martin maju mendekati kursi saksi yang saat ini Tony menjadi saksi. "Anda, sebagai pelaku kejahatan atas klien kami, Nona Dina, bukankah Anda melakukannya atas perintah anak muda itu ...." Jari telunjuk Martin mengarah ke Roy. Pertanyaan to do point yang tidak bisa Tony bantahkan. Tetapi ia terdiam. "Kenapa Anda diam? CEPAT JAWAB PERTANYAAN SAYA!" bentak Tony. Pemuda itu melihat ke arah Dina, sebagai sahabatnya, Tony tentu tau perasaan Dina.
Malam, gadis itu tidur dengan gelisah. Keringatnya begitu banyak. Deras, hingga baju yang dia kenakan basah kuyup. Dahinya mengkerut, bibir meracau tak jelas dengan tangan menggapai-gapai. Tak lama, airmatanya menetes dari celah mata sisi kira dan kanan. "Aaargh!" pekiknya. Terbangun dengan deru napas yang terengah-engah. "Kenapa mimpi ini mendadak muncul? Dan ini sudah dua hari mimpi ini datang ditidurku!" Rupanya Dina mimpi buruk, bangun setelah beberapa jam tidur akibat obat tidur. "Kenapa kau masih belum bertindak? Ayo segera habisi orang-orang yang telah menyakitimu, gadis bodoh!" Bisikan itupun datang lagi di daun telinganya. Memerintahkan Dina agar melakukan aksi balas dendam pada pelaku-pelaku pemerkosaan terhadap dirinya. Dina tak lantas bereaksi, dia merenung kata-kata bisikan yang selalu muncul kala batinnya tidak menyukai seseorang yang telah menyakitinya itu. Kemudian dia melirik ke arah Zahra, ibu angkatnya tertidur pulas. Lalu turun. Kakinya mulai menapaki lantai ker