Dandy berdiri di depan kantor polisi, dia ragu untuk masuk dan melaporkan kejadian malam itu pada polisi. Beberapa kali helaan napasnya terdengar, membiarkan diri berdiri dengan terpaan panas menerpa kulit tubuhnya. "Gak ... gue gak boleh takut. Gue harus melaporkan kejahatan Roy pada polisi, walau gue harus kembali masuk penjara!" bisik batinnya. Kakinya mulai bergerak, memberanikan diri untuk melakukan apa yang dia niatkan. Melaporkan semua kejahatan Roy pada polisi. "S-selamat siang, Pak!" sapa Dandy. Sebagai mantan narapidana, dia gemetaran mengucapkan itu semua. Polisi itu mendongak, menghentikan kegiatan catat-mencatatnya. "Ya, ada yang bisa saya bantu?" tanya polisi itu sambil memperhatikan tiap detail Dandy. Penuh tato, dan di telinganya ada bekas tindakan anting sebanyak lima kali. Lubang di telinganya masih terlihat jelas. "Saya ingin melapor, Pak!" sahut Dandy sedikit takut. Dia melirik ke belakang, melihat luar kantor polisi. Pemuda itu takut ada mata-mata orang suruha
Letnan Indra beserta Aipda Buyung dan dua anak buahnya yang lain bergegas keluar kantor, surat penangkapan Roy sudah di tangan. Mereka berempat menaiko mobil dinas masing-masing. Mobil melintas pagi yang masih sepi. Suara sirene memekak telinga ke seantero jalanan yang luas nan lenggang itu. Lalu tak seberapa lama, tepat di rumah Gubernur kota tempat Dina tinggal kedua mobil dinas polisi berhenti. Aipda Buyung turun dan menemui satpam yang berjaga di rumah itu. "Selamat pagi, Pak!" sapa satpan itu sambil memberi hormat pada Aipda Buyung. "Selamat pagi, saya Aipda Buyung dari kepolisian. Kamk datang ke sini ingin bertemu Roy, apakah dia ada?" "Mas Roy, sepertinya dia masih tidur, Pak!" ujar Satpam itu sambil menoleh ke arah jendela kamar pemuda itu. "Memangnya ada apa ya, Pak?" "Kami membawa surat penangkapan Roy atas tuduhan pemerkosaan serta kekerasan pada seorang gadis!" imbuh Aipda Buyung, menunjukkan surat perintah penangkapan. "A-apa? Ya sudah, saya akan menyampaikan pada P
"Hei ... mau ke mana kamu?" pekik Aipda Buyung yang kebetulan melihat Roy hendak kabur. Aipda Buyung mendorong ayah dari Roy yang menghalang-halangi Aipda Buyung dan lainnya untuk menangkap Roy. Hingga laki-laki itu hampir terjatuh. Roy tersentak, dia bergegas lari melalui pintu belakang rumahnya. Wanita bernama Dona itu menghalangi Aipda Buyung. "Eit ... tunggu dulu, Pak!" "Minggir, Bu! Biarkan kami menangkap anak Ibu itu!" seru Aipda Buyung menyingkirkan tangan Dona yang cukup mengganggunya. Letnan Indra mendorong sedikit tangan Dona, dan berlari mengejar Roy. Begitu juga dengan kedua anak buahnya yang lain. "Saya bisa memenjarakan Ibu karena menpersulit pekerjaan aparat!" Ancam Aipda Buyung. Ikut mengejar Roy. Tyo datang menghampiri Dona. "Kenapa kalian lama sekali kabur dari sini?" tanya Tyo bernada tinggi. "Aaah ... jadi kacau semua, bisa hancur karir dan jabatan papah!" lanjutnya semakin marah. "Roy susah dibangunin, Pah!" sergah Dona mengikuti suaminya yang duduk di sofa ru
Aipda Buyung menatap senang wajah Tyo yang pucat itu. Dia berjalan menghampirinya dan kemudian, "Kali ini, aku akan buat hancur karir Anda, Pak Gubernur!" Berbisik, dan kalimat itu mengganggu pikiran Tyo. Matanya melotot, dia tidak bisa berkata apapun. Netranya melihat Aipda Buyung terus menjauh darinya. "Brengsek! Bagaimanapun caranya, aku akan merendam semua kasus ini demi jabatanku. Aku tidak akan membiarkan siapapun mengusik jabatanku tanpa kecuali!" bisik batinnya, dahinya mengeryit dengan sorot mata yang tajam mengarah ke Aipda Buyung. Baginya, perkataan Aipda Buyung barusan membuatnya terancam. "Mah, coba kamu hubungi pengacara keluarga kita! Bilang padanya, kita harus melakukan agar kasus ini tidak berkembang dan memperburuk keadaan yang membuat jabatanku terancam. Dan suruh dia membebaskan Roy, apapun itu caranya!" seru Tyo berambisi. Tetap ingin mempertahankan jabatannya itu. Matanya menatap lurus ke depan, melihat mobil polisi yang membawa anaknya perlahan-lahan meninggal
Letnan Indra dan Aipda Buyung berjalan berdampingan di koridor rumah sakit. Mereka berdua sedang menuju kamar Dina. Lalu, gadis itu duduk menatap jendela. Pemandangan seperti biasa dia lihat di hari-hari kemarin. Hanya ada taman bunga yang di isi para pasien, suster dan juga pengunjung-pengunjung lainnya. Sedari tadi pagi, Dina tidak banyak berbicara. Apalagi semenjak ingatan-ingatan perlakuan bejat Roy beserta teman-temannya terhadap dia kemarin malam. Dina masih syok dan trauma, dia tidak bisa di dekati pria-pria. Ingatannya langsung menuju kejadian malam laknat yang membuatnya kehilangan keperawanan dan juga lidahnya. Bisu. Sarapan sudah tersedia di atas meja. Lauk pauk yang sudah biasa didapati Dina dengan rasa hambar. Lagipula, makanan itu tetap saja tidak terasa nikmat walau lidahnya masih utuh. "Din ... ayo makan!" ujar Zahra. Dia membawa makanan di nampan yang berada di meja. Lalu, ibu angkatnya duduk di kursi samping tempat tidur. "Ayo sayang, kamu makan sedikit ya. Kamu be
Mata Dina langsung terbelalak. Dia menjadi ketakutan saat foto itu didapati kedua netranya. "Aaargh!" Jeritan Dina jauh lebih histeris dari dia melihat Tony. Gadis itu terus menjerit sambil menutup telinga dan menutup matanya. Dina enggan melihat wajah Roy yang tampak seperti penjahat. Dina turun ke bawah ranjang, ingatan buruk itu membuat dirinya tak stabil. Dia duduk di dekat ranjang dengan tubuh meringkuk, memegang lutut masih menutup mata dan kedua telinga dengan tangannya. Gadis itu berteriak minta disingkirkan foto Roy dari hadapannya. Zahra menghampiri gadis itu. "Din ... Dina, kamu gak apa-apa, Nak?" Zahra begitu kuatir dengan keadaan mentalnya. Pelan-pelan dia mulai menyentuh kepala gadis itu. "Gak apa-apa, Nak! Kamu pasti bisa melalui ini semua. Ibu yakin itu, maka dari itu, kamu gak boleh takut!" ujarnya. Aipda Buyung dan Letnan Indra mulai berspekulasi dengan tatapan kedua mata mereka yang beradu. Letnan Indra beranjak bangun dan ikut menghampiri Dina. "Gak apa-apa, kal
Keesokkan harinya, Letnan Indra dan Aipda Buyung melakukan introgasi ulang pada Dina. Gadis itu jauh lebih tenang saat kedua polisi itu menanyakan langsung pada Dina tentang pelaku-pelaku kejahatan. Perempuan berusia 20 tahun itu menjawab satu persatu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Letnan Indra dan Aipda Buyung secara bergantian. Bukti pun sudah di tangan. Mereka berdua lalu beraksi dan membuat laporan setelah meminta persetujuan. Walau sebenarnya, Tyo sudah melakukan perundingan serta pembicaraan pada komandan dari Letnan Indra dan Aipda Buyung setelah pembicaraan Rizal, pengacara Tyo merasa kesulitan dengan kasus Roy kali ini. Namun sayangnya, hasilnya nihil. Berkas sudah diserahkan pada pihak pengadilan oleh Letnan Indra dan Aipda Buyung setelah mendapatkan tanda tangan dari komandan mereka berdua. "Saya harap kasus kita ini berhasil, Letnan!" Celetuk Aipda Buyung yang geram pada kasus Roy yang sudah sepuluh kali dia tangani bersama Letnan Indra. "Mudah-mudahan, Aipda Buyu
Seluruh audien menatap kedua saksi itu memasuki ruang persidangan. Namun, mata Roy melotot setelah tau siapa Tony sebenarnya. "Pemuda itu? Ternyata dia!" gumam Roy tak percaya. "Sialan, ternyata orang-orang ini yang bikin tertangkap?" lanjutnya masih membatin. "Aku tidak akan membiarkan mereka hidup tenang setelah aku keluar dari sini!" pikirnya licik. "Tony? Kenapa harus Tony? Dia juga salah satu orang yang memperkosaku!" bisiknya. Ada firasat buruk yang membuat Dina kuatir kali ini. "Baik, persidangan akan kita lanjutkan!" seru Hakim Ketua. Martin maju mendekati kursi saksi yang saat ini Tony menjadi saksi. "Anda, sebagai pelaku kejahatan atas klien kami, Nona Dina, bukankah Anda melakukannya atas perintah anak muda itu ...." Jari telunjuk Martin mengarah ke Roy. Pertanyaan to do point yang tidak bisa Tony bantahkan. Tetapi ia terdiam. "Kenapa Anda diam? CEPAT JAWAB PERTANYAAN SAYA!" bentak Tony. Pemuda itu melihat ke arah Dina, sebagai sahabatnya, Tony tentu tau perasaan Dina.
"BUNUH DIA SEKARANG, BODOH!" bentaknya dengan nada tinggi. "Tidak! Aku tidak mau melakukannya lagi!" Dina menahan tangannya agar tidak mengacungkan pada Dandy. Pemuda itu bingung melihat Dina berbicara pada dirinya sendiri. "Ada apa dengan gadis ini?" pikir Dandy, dia hanya bisa mengamati. "Bodoh ... kenapa aku malah melihat gadis gila itu berbicara sendirian? Bukankah ini kesempatanku untuk kabur?" pikirnya melihat ke arah pintu penjara. Pemuda itu berjalan pelan sambil mengawasi terus ke arah Dina. "Berhenti!" teriak Dina pada Dandy pemuda itu tak berkutik. Diam mematung di tengah-tengah. Lalu .... Dor. Dor. Dua peluru melesat cepat dari moncong senjatanya. Peluru itu meleset ke arah sasaran, tangan kiri Dina menghalangi senjata itu membunuh pemuda gondrong yang mematung. Dandy sangat kaget. Dengar suara tembakan yang begitu keras di telinganya. Dia menoleh, peluruh itu hampir saja mengenai dirinya. "Gila! Untung saja peluru itu meleset. Kalau tidak, bisa mampus," bisik bati
Tubuh Dina penuh luka, tanpa sadar di dalam mobil tahanan tersebut. Bensin keluar dari tangki, tak lama percikan api yang berasal dari kabel yang mengelupas mulai membakar sedikit demi sedikit bagian badan mobil tahanan yang terkena bensin. Sopir mobil tahanan pun tak sadarkan diri. Luka parah. Pecahan beling dari kaca depan memperparah wajah sopir itu. Apipun mulai membesar ... Doar. Ledakan kecil membuat kobaran semakin besar dan cepat menjalar. Warga yang melihat kejadian itu, bergegas menghampiri mobil itu. Jalanan menjadi sangat macet. Tak lama, Dina mengerjapkan netranya. Lambat laun terbuka pelan-pelan. Dia baru menyadari bahwa dirinya terhimpit besi, dan rasanya sangat sakit. Gadis itu mulai menyingkirkan besi itu, di kaki Dina luka itu membekas parah. Membiru. "Sial! Ada apa ini?" Sesaat di dalam tubuhnya tidak ada sosok hitam yang mempengaruhinya. Tubuhnya melemah tak bertenaga. "Semua badanku sakit semua," bisik batinnya lagi. Dia teringat, bahwa sosok hitam mengusain
Dina melakukan pukulan cepat, pemuda itu tidak bisa menghindari pukulan gadis itu. Hidungnya pun meneteskan darah segar yang cukup banyak. Ketiga pemuda lain membiarkannya. "Aaargh ... Sialan!" Pemuda bernama Lalu, dia merebut senjata yang masih digenggam sipir penjara itu dan mengarahkan ke kepala sipir penjaga yang terkena pukulannya. Jari telunjuknya mulai menarik pelatuk senjata itu. "Jatuhkan senjatamu, perempuan iblis!" salah satu polisi muda bangun dari duduk dan menodongkan senjatanya di samping kepala Dina. "Jangan macam-macam, kami berempat tidak ada segan-segan membunuhmu!" katanya lagi, ikut menarik pelatuk agar Dina tidak gegabah mengambil tindakan itu. Dina melirik, tatapan serius polisi di sampingnya tidak sedang main-main dengan ancamannya pada dia. "CEPAT! JATUHKAN SENJATAMU BANGSAT!" teriak polisi itu hilang kesabarannya. Pelan-pelan gadis itu merunduk, meletakan senjata di lantai mobil tahanan. Sekali lagi, matanya melirik ke polisi muda yang tampaknta belum be
Satu pukulan keras melayang dengan cepat. Tetapi bukan dari arah Dina ke sosok hitam itu, melainkan tinju sipir penjara yang waspada akan gerak-gerik Dina hendak memukulnya. Pipi Dina memar, berwarna kebiruan. Dia tersungkur di lantai mobil tahanan. "Sialan! Berani-beraninya kamu mau mukul seorang sipir penjara!" katanya memaki. "Hajar terus, jangan diberi ampun, perempuan gila seperti dia jangan diberi ampun!" Salah satu polisi itu memprovokasinya. Sosok hitam menghampiri gadis malang yang saat ini masih tersungkur. "Lihat, mereka meremehkanmu. Andai saja kamu tidak menciptakanku, mungkin saja kamu mati dengan seluruh rasa penasaranmu itu, Dina!" kata Sosok hitam berbisik. "Kamu benar-benar menyedihkan!" Dina menggeram, bangun sambil mengepal tangannya. Menatap nanar ke arah dua sipir penjara yang kini bersikap arogan dan sok berkuasa. "Kau tidak akan bisa melawannya, hanya aku yang bisa membantunya, Dina! Apa kau mau aku bantu, gadis lemah?" tanya Sosok hitam yang sudah tak saba
Dina terdiam, kemudian dia melepaskan jari jemarinya pelan-pelan setelah dia puas membunuh Roy dengan caranya sendiri. Sosok hitam keluar dari tubuhnya, keadaan Dina kembali tenang setelah membunuh keluarga Roy. Namun, dia terlihat bingung kala kondisinya kembali seperti semula. Netranya melihat keadaan dirinya sendiri, sambil melihat telapak tangannya. Hanya ada darah segar yang lambat laun berubah kering. "Ada apa denganku? Kenapa semua darah ada di tubuhku? Apa yang sudah aku lakukan?" bisik batinnya bingung. Dia merasa tidak melakukan apapun, hanya raganya saja yang bergerak mengikuti naluri yang dikendalikan oleh sosok hitam yang berdiri di sampingnya. Perkataan Aipda Buyung diabaikan, dia masih berkutat pada dirinya sendiri. "Ayo ikut kami, dan Anda berhak di dampingi pengacara!" kata Aipda Buyung mulai menyentuh tangan gadis itu. Dina menoleh, dia menatap Aipda Buyung dengan tatapan bingung. "Ada apa?" tanya Dina menepis tangan Aipda Buyung. "Anda kami tetapkan sebagai pemb
Dina gelagapan, walau dia berhasil menahan selang yang hampir menjerat lehernya, dia tetap kesulitan untuk membebaskan diri dari jeratan selang. "Aaah ... aku harus bisa membebaskan diri dari laki-laki bejat ini!" bisik batin Dina. Sayangnya tak ada hasil, namun gadis itu tidak kehabisan akal, dia membenturkan kepalanya ke dahi Roy sambil mendorong tubuhnya ke belakang. Debuk. "Aaargh" pekik Roy kesakitan. Dina terlalu keras membenturkannya hingga kepala Roy terasa pusing. Gadis itu melakukannya berulang-ulang kali. Roy tetap mempertahankan genggaman erat jari-jarinya pada rantai. Kakinya terus mundur ketika Dina membenturkan kepala dan mendorong tubuh Roy. Sayangnya, kaki pemuda itu tidak lagi bisa melangkah. Tubuhnya terhimpit tembok. Dia tidak bisa bergerak ke mana-mana lagi. Buuak. Gadis itu membenturkan kepalanya lagi, lagi dan lagi hingga kepala bagian belakang Roy harus beradu dengan tembok. Darah membekas di tembok, luka di kepala Roy sangat parah. Dina membebaskan diri
Senyuman itu mengembang, sangat mengerikan bagi Roy. Gadis itu menunggu Roy melangkah sejauh mungkin dari rumah. Lalu bibirnya bergerak. "Satu!" Gadis itu mulai berhitung kala Roy sudah sedikit jauh jaraknya. "Dua!" Lanjutnya, berhitung di dalam hati. Roy melihat ke belakang. Dia tidak tau harus pergi ke mana. Pemuda itu sangat yakin Dina akan menemukannya, sebab, tubuh Roy sudah sangat lemah dan tak bertenaga. Tatapan seram Dina membuat Roy memalingkan wajahnya, melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. "Tiga!" Bibirnya melanjutkan berhitung. Roy keluar rumah, lalu berlari pelan di sisa-sisa tenaganya. Roy bingung harus ke mana, dia tidak mungkin ke luar. Sebab, jarak antar pintu rumahnya dan pintu gerbang pagar terlalu jauh untuk bisa dia jangkau dengan kaki yang saat ini sedang gemetaran. Dia celingukkan, kemudian dia berlari ke arah mobil Dona yang terparkir tak jauh dari pintu rumah. Roy masuk, sayangnya kunci mobil itu tidak ada di tempatnya. "Sial, bagaimana gue bis
"Gue akan membunuh elu!" teriak Roy lagi sambil berlari. Air mata menetes mengiringi langkah kakinya itu. Ada perasaan sakit yang tergurat di hatinya, perasaan kehilangan dan marah penuh emosi kala mata itu melihat kematian kedua orang tuanya secara bergantian. Dina tersenyum lebar, walaupun begitu, masih saja terlihat menyeramkan buat Roy. Pemuda itu menyerang dengan tubuh lemah dan pandangan mata yang kabur. Tidak begitu jelas saat tinjunya melayang. Dina merunduk, menghindari serangan Roy yang mudah terbaca. Kemudian gadis itu memiringkan tubuhnya kala serangan Roy datang kembali padanya. Perempuan muda itu mendorong tongkatnya, Duk. Tepat mengenai perut Roy yang tak terlindungi oleh apapun. Roy dibuat mundur beberapa langkah, kakinya bergemetaran saat serangan itu menyakiti perutnya lagi. Pemuda malang itu mengeluarkan isi perutnya yang hanya tinggal cairan bercampur sedikit makanan yang dia telan tadi siang. Napasnya diambang batas, hanya tinggal sisa-sisa. Dia sudah tidak k
Dona bangun dengan perut terasa keram dan perih. Dia mengambil kembali palu yang sempat terlepas dari tangannya. Lalu wanita itu berjalan tertatih, rasa sakit di perutnya membuat dia tidak bisa bergerak bebas. Dia melihat Roy sedang menyerang Dina dengan kayu. "Roy?" bisiknya. Netranya mendapati serpihan kaca yang berantakan di lantai, pecahan kaca itu bercampur darah Roy yang sudah mengotori lantai. Wanita itu memperhatikan gerakan Dina, gadis itu rupanya sudah terdesak oleh serangan demi serangan dari putranya. Gadis itu juga terlihat gugup walau kemarahan terlihat jelas di sorot mata berwarna hitam legam itu. Dona mendadak menutup mulutnya. Roy hampir saja menusuk perut perempuan muda itu. Dia cukup terkejut, dia juga tidak bisa membayangkan bila matanya harus melihat darah muncrat darinperut gadia itu. Akan tetapi serangan Roy di tahan oleh Dina dengan tangannya. "Gadis itu? Dia ... dia bisa menahan serangan Roy yang cepat itu? T-tapi bagaimana bisa dia melakukannya?" pikir Don