Keira tidak bisa tidur setelah percakapannya dengan Adrian. Kata-katanya terus terngiang di benaknya, terutama bagian di mana Adrian mengatakan bahwa semua yang ia lakukan adalah untuk melindunginya. Melindungi dari apa? Keira memandang ke arah jendela kamarnya, melihat bayangan kota yang sepi. Udara malam terasa dingin, namun pikirannya terus berkecamuk. Ia memutuskan untuk mencari jawaban, meskipun itu berarti melanggar batas. Ia membuka laptopnya dan mencoba mencari informasi tentang Adrian lagi. Kali ini, ia mencoba mencari dengan lebih mendalam. Namun, sekali lagi, hasilnya nihil. Keira menghela napas panjang. "Bagaimana mungkin seseorang yang terlihat begitu berpendidikan dan penuh pengalaman tidak meninggalkan jejak digital sama sekali?" gumamnya. Namun, saat ia membuka folder lamanya, matanya tertuju pada sebuah foto keluarganya. Di foto itu, ia masih kecil, berdiri di antara kedua orang tuanya. Ibunya memeluknya erat, sementara ayahnya tampak seperti biasa—dingin dan
Keira menatap Adrian dengan pandangan serius ketika pria itu memasuki ruang tamu di rumahnya. Di atas meja, peta besar kota terbuka dengan beberapa tanda merah. Adrian terkejut melihat keberanian baru dalam diri Keira. “Kau yakin tentang ini, Nona Keira?” tanya Adrian dengan nada tenang, tetapi penuh peringatan. Keira mengangguk, meskipun hatinya masih gemetar. “Jika mereka mengincarku, aku tidak akan duduk diam. Kita harus mencari tahu siapa mereka, apa rencana mereka, dan menghentikannya sebelum mereka menghancurkan keluargaku.” Adrian menatap gadis itu dalam-dalam. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya sejak percakapan terakhir mereka. Keira bukan lagi gadis manja yang hanya peduli pada kemewahan. Kini ia terlihat seperti seorang pejuang yang menemukan keberanian baru dalam dirinya. “Baiklah,” kata Adrian akhirnya. “Tapi jika kita akan melangkah ke dunia ini, Anda harus siap. Dunia mereka tidak kenal belas kasihan.” “Kalau begitu, kau harus mengajarkanku,” jawab Keira teg
Keira duduk di kamar kerjanya, menatap dokumen yang mereka ambil dari gudang semalam. Tulisan-tulisan di atas kertas itu penuh dengan simbol aneh, nama-nama yang ia tidak kenali, dan beberapa angka yang tampaknya merupakan koordinat. "Adrian, apa ini sebenarnya?" tanyanya, suaranya bergetar sedikit saat Adrian memasuki ruangan. Pria itu berjalan mendekat, mengenakan ekspresi serius yang membuat suasana semakin tegang. "Ini peta aktivitas mereka. Tempat-tempat ini adalah lokasi yang sering mereka gunakan untuk rapat atau menyembunyikan operasi mereka." Keira meremas tangannya, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya terus-menerus membayangkan bahaya yang mengintai. "Jika mereka tahu kita mengambil ini, apa yang akan mereka lakukan?" Adrian menatapnya, matanya menunjukkan rasa empati sekaligus peringatan. "Mereka akan mencoba menghentikan kita. Mereka tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi tujuan mereka." Ucapan itu membuat darah Keira membeku. Namun, ia menguatkan dir
Pagi setelah serangan di gudang, Keira terbangun dengan kepala yang berat. Malam itu terus membayangi pikirannya, terutama ketika ia melihat Adrian terluka saat melindunginya. Namun, perhatian Keira langsung teralihkan ketika seorang pelayan mengetuk pintu kamarnya dengan surat di tangan. "Surat ini baru saja dikirimkan, Nona Keira," kata pelayan itu dengan wajah bingung. Keira mengambil surat itu. Kertasnya tampak biasa, tetapi ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Ketika ia membukanya, sebuah tulisan tangan rapi tertulis di atasnya: "Kami tahu apa yang kau lakukan. Berhentilah, atau kau akan kehilangan lebih banyak dari yang pernah kau bayangkan." Tangannya gemetar saat membaca surat itu. Ia segera berlari ke ruang tamu, di mana Adrian sedang duduk sambil memeriksa lukanya. "Adrian!" serunya, melemparkan surat itu ke atas meja. Adrian membaca surat itu dengan tenang, tetapi Keira bisa melihat ketegangan di rahangnya. "Mereka mulai mengawasi kita," katanya akh
Malam itu, Keira duduk sendirian di kamarnya. Surat ancaman, luka-luka Adrian, dan pengkhianatan di perusahaan ayahnya bercampur menjadi satu di pikirannya. Ia merasa dikhianati oleh dunia yang selama ini dianggap aman. Dulu, rumahnya adalah tempat berlindung. Kini, setiap sudut rumah tampak seperti jebakan. Setiap wajah, bahkan yang paling ramah sekalipun, terasa penuh dengan kebohongan. Ketika Adrian mengetuk pintu dan masuk, ia melihat Keira duduk di lantai, memeluk lututnya. Wajah gadis itu terlihat lelah dan putus asa. "Keira," panggil Adrian dengan lembut. Namun, Keira tidak menoleh. "Semua ini terlalu banyak, Adrian." Suaranya pelan, nyaris berbisik, tetapi penuh dengan rasa sakit. Adrian mendekat dan duduk di sampingnya. "Saya tahu ini sulit. Tapi kita harus tetap kuat." Keira mendongak, matanya penuh air mata. "Kuat? Bagaimana aku bisa kuat, Adrian? Keluargaku sedang dihancurkan. Orang-orang yang aku percayai mungkin pengkhianat. Dan aku… aku hanya seorang gadis ya
Keira terbangun di tengah malam dengan tubuh basah oleh keringat dingin. Dalam mimpinya, ia terus mendengar suara tembakan dan melihat wajah pria yang hampir ia tembak di jalan tadi. Meski ia tahu itu tindakan untuk bertahan hidup, rasa bersalah terus menghantui dirinya. Ia memeluk lutut di tempat tidur, menatap jendela kamar yang gelap. “Apa aku benar-benar berubah menjadi seseorang yang tidak aku kenal?” gumamnya pelan. Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. “Keira, ini saya, Adrian,” suara Adrian terdengar dari luar. Keira mengusap air matanya dan mencoba menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. "Masuk." Adrian membuka pintu dan menatap Keira dengan ekspresi khawatir. "Saya mendengar sesuatu. Anda baik-baik saja?" Keira berusaha tersenyum, tetapi gagal. "Aku hanya tidak bisa tidur. Semua yang terjadi hari ini... terlalu banyak untukku." Adrian duduk di kursi dekat tempat tidur, menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Apa yang Anda rasakan itu normal. A
Keesokan harinya, suasana di rumah keluarga Hartono terasa semakin serius. Keira, Adrian, dan Lina berkumpul di ruang kerja untuk menyusun rencana besar: menyusup ke kantor pribadi Raymond Setiawan. Di atas meja besar, cetak biru gedung milik Raymond terbentang. Lina, dengan wajah serius, menjelaskan rencana mereka. “Raymond memiliki sistem keamanan sangat ketat,” katanya sambil menunjuk detail di peta. “Ada pengawasan ketat, akses biometrik, dan penjagaan penuh. Ini bukan sesuatu yang bisa dilakukan tanpa persiapan matang.” Keira menatap peta itu dengan rahang terkatup. “Apa pun yang diperlukan, kita harus melakukannya. Dia harus dihentikan.” Adrian, yang berdiri di sudut ruangan, menatap Keira dengan pandangan tajam. “Kamu tidak tahu seberapa berbahaya ini. Kalau kamu tidak siap mental, lebih baik jangan ikut.” Keira menatap Adrian, suaranya tegas meski sedikit bergetar. “Ini keluargaku. Aku tidak akan mundur.” Ketegangan di ruangan itu membuat Lina merasa tidak nyaman. I
Di ruang tamu yang gelap dan sunyi, Keira duduk di sofa dengan pandangan kosong. Di tangannya, sebuah dokumen penting yang berhasil mereka curi dari kantor Raymond. Namun, matanya tidak tertuju pada tulisan itu. Ia tenggelam dalam pikirannya, memutar ulang kejadian malam sebelumnya. “Aku benar-benar hampir kehilangan semuanya,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Adrian, yang berdiri di dekat jendela, menatapnya dengan cemas. “Keira, kamu tidak bisa terus menyalahkan dirimu. Kamu sudah melakukan yang terbaik.” Keira mendongak, matanya yang basah bertemu dengan tatapan Adrian. “Benarkah? Aku hampir membuat semuanya berantakan. Kalau aku tidak terdiam tadi...” Suara Keira pecah di tengah kalimat. Ia memejamkan matanya, mencoba menahan tangis yang mulai menguasainya. Adrian mendekat, duduk di sampingnya. Ia berbicara dengan nada lembut, tapi tegas. “Kamu menghadapi situasi yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya. Itu wajar. Kita semua punya kelemahan, Keira. Yang
Gua kecil yang mereka tempati terasa sunyi. Hanya suara napas mereka yang masih terengah setelah pelarian panjang tadi. Di luar, angin malam berembus, membawa suara dedaunan yang berbisik samar. Alexander duduk bersandar pada dinding batu, sorot matanya kosong, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kata-katanya barusan masih menggema di kepala mereka semua. "Ada lebih banyak sepertiku." Adrian menyandarkan punggungnya ke dinding gua, kedua tangannya terlipat di depan dada. “Jelaskan lebih lanjut, Alexander. Maksudmu... ada eksperimen lain selain dirimu?” Alexander menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Ya. Aku bukan satu-satunya yang diciptakan. Ada yang lain. Dan mereka masih tertidur.” Keira menelan ludah. “Tertidur?” Alexander menarik napas dalam sebelum menjelaskan. “Sebelum aku kabur dari laboratorium, aku sempat melihat sesuatu di database mereka. Ada total lima eksperimen yang berhasil. Aku adalah yang keempat. Tapi tiga lainnya masih dalam kondisi stasi
Adrian dan timnya berlari melewati jalan setapak yang tersembunyi di tengah hutan. Nafas mereka memburu, tetapi mereka tidak bisa berhenti. Ledakan di pabrik tua tadi masih menggema di kejauhan, sementara Viktor dan pasukannya pasti sudah mulai memburu mereka. “Terus maju! Jangan berhenti!” seru Adrian. Keira membantu Alexander yang hampir tersandung akar pohon. “Kita harus cepat! Mereka pasti sudah mengepung jalan keluar utama!” Natasha memeriksa peta digital di perangkatnya. “Ada jalur ke arah barat yang bisa kita gunakan, tapi…” “Tapi apa?” tanya Gabriel dari belakang. Natasha menghela napas. “Jalur itu melewati reruntuhan laboratorium lama. Tidak ada yang tahu kondisinya sekarang.” Adrian langsung mengambil keputusan. “Kita ke sana. Setidaknya Viktor tidak akan menduga kita memilih jalur yang paling berbahaya.” Mereka bergegas menuju reruntuhan laboratorium yang tersembunyi di balik pepohonan rimbun. Saat mereka tiba di lokasi, suasana berubah drastis. Bangunan b
Gua kecil yang mereka tempati terasa sunyi. Hanya suara napas mereka yang masih terengah setelah pelarian panjang tadi. Di luar, angin malam berembus, membawa suara dedaunan yang berbisik samar. Alexander duduk bersandar pada dinding batu, sorot matanya kosong, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kata-katanya barusan masih menggema di kepala mereka semua. "Ada lebih banyak sepertiku." Adrian menyandarkan punggungnya ke dinding gua, kedua tangannya terlipat di depan dada. “Jelaskan lebih lanjut, Alexander. Maksudmu... ada eksperimen lain selain dirimu?” Alexander menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Ya. Aku bukan satu-satunya yang diciptakan. Ada yang lain. Dan mereka masih tertidur.” Keira menelan ludah. “Tertidur?” Alexander menarik napas dalam sebelum menjelaskan. “Sebelum aku kabur dari laboratorium, aku sempat melihat sesuatu di database mereka. Ada total lima eksperimen yang berhasil. Aku adalah yang keempat. Tapi tiga lainnya masih dalam kondisi stasis
Suara alarm bergema di seluruh ruangan, memantul di dinding logam dan menciptakan suasana tegang. Lampu merah darurat berkedip-kedip, memberikan efek bayangan yang berubah-ubah. Di tengah ruangan, Alexander berdiri diam, dikelilingi oleh cahaya biru yang berputar perlahan di sekitarnya. Adrian melangkah mendekat dengan hati-hati. “Alexander... kau bisa mendengarku?” Mata Alexander yang bersinar biru tajam menatap Adrian, sorotannya bercampur kebingungan dan keheranan. Namun, sebelum ia sempat menjawab, pintu ruangan terbuka dengan cepat. Beberapa petugas keamanan memasuki ruangan, membawa alat pertahanan canggih. “Jangan bergerak!” suara perintah terdengar tegas. Gabriel segera menarik Keira ke balik meja untuk perlindungan. Natasha, yang sejak awal bersiaga, mengeluarkan perangkat kecil dari sakunya, siap menghadapi situasi yang lebih buruk. Namun, sebelum situasi memanas, Alexander tiba-tiba mengangkat tangannya. Energi biru di sekelilingnya bergetar, lalu dal
Mobil melaju melewati jalan bersalju, menuju pegunungan yang tersembunyi. Adrian duduk di kursi belakang bersama Keira, sementara Natasha mengemudikan dengan penuh konsentrasi. Gabriel, yang duduk di sampingnya, terus memperhatikan peta digital. “Laboratorium K-17 hanya beberapa kilometer lagi,” kata Gabriel, suaranya tegang. Adrian memandang ke luar jendela. Kabut tebal menyelimuti pegunungan, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Hawa dingin masuk melalui celah kecil di jendela, menusuk kulit. Keira menarik mantel lebih erat. “Bagaimana kita bisa masuk ke dalam tanpa ketahuan?” Natasha tersenyum tipis sambil tetap fokus mengemudi. “Aku punya cara.” Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah titik di mana jalan aspal berubah menjadi jalur berbatu yang tertutup salju. Natasha menghentikan mobil, lalu mengeluarkan teropong dari tasnya. Di kejauhan, di antara pepohonan yang tertutup salju, tampak bangunan besar dengan tembok beton tebal. Lampu sorot sesek
Adrian menatap Gabriel dengan tatapan penuh kebingungan dan kemarahan. Kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya. "Kau bukan hanya anak Nathaniel Alvaro. Kau adalah bagian dari eksperimen yang dia biayai." Dada Adrian naik turun, napasnya memburu. Keira yang duduk di sampingnya, bisa merasakan ketegangan yang memancar dari tubuhnya. “Apa maksudmu dengan ‘eksperimen’?” suara Adrian terdengar rendah, nyaris seperti desisan. Gabriel menghela napas panjang sebelum menjawab. “Nathaniel tidak hanya membangun kerajaan bisnis. Dia juga terlibat dalam proyek rahasia. Sebuah penelitian yang melibatkan manipulasi genetik, peningkatan kognitif, dan peningkatan fisik.” Adrian mengerutkan dahi. “Itu terdengar seperti fiksi ilmiah.” “Tapi ini nyata.” Gabriel mendorong sebuah flash drive ke atas meja. “Di dalamnya ada data dari proyek itu. Aku mencurinya bertahun-tahun lalu sebelum semua bukti dihapus.” Keira menatap flash drive itu dengan ragu. “Jadi kau ingin mengatakan bahwa
Malam terus beranjak larut, tetapi hati Adrian dan Keira masih belum menemukan ketenangan. Gedung tua yang berdiri kokoh di belakang mereka seolah menjadi saksi bisu atas pergulatan batin yang mereka alami. Dokumen yang tadi ditemukan Adrian bukan hanya sekadar kertas bertuliskan nama dan angka, tetapi sebuah kenyataan yang mengubah segalanya. "Aku harus menemui ibuku," suara Adrian terdengar dalam keheningan. Keira menoleh, mencoba membaca ekspresi lelaki itu. "Sekarang?" Adrian mengangguk. "Aku butuh jawaban. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa menjelaskan semuanya." Mereka pun masuk ke dalam mobil, melaju melewati jalanan kota yang lengang. Di sepanjang perjalanan, Keira bisa merasakan ketegangan di udara. Tangan Adrian mencengkeram kemudi lebih erat dari biasanya, rahangnya mengeras menahan emosi yang berkecamuk. "Kau yakin siap untuk ini?" tanya Keira pelan. Adrian menoleh sekilas. "Aku harus siap." Sesampainya di rumah keluarga Adrian, suasana terasa lebi
Langit sore mulai meredup saat Adrian berdiri di depan sebuah bangunan tua yang tertutup debu. Cahaya jingga matahari yang hampir tenggelam menyorot kaca jendela yang retak, memantulkan bayangan samar-samar wajahnya. Hatinya berdebar. Ini adalah tempat yang selama ini hanya ada dalam potongan-potongan ingatannya. Keira berdiri di sampingnya, menggenggam tangan Adrian erat. Tatapannya tajam, penuh tanya. “Kau yakin ini tempatnya?” Adrian mengangguk perlahan. “Aku ingat setiap detailnya. Pintu kayu dengan ukiran ini… jendela yang sedikit miring… Bahkan bau tanah yang lembap ini. Tempat ini pernah menjadi saksi sesuatu yang penting.” Keira menghela napas panjang. “Kalau begitu, mari kita masuk.” Mereka mendorong pintu kayu yang berderit keras. Ruangan di dalamnya gelap dan berdebu. Cahaya matahari yang tersisa masuk melalui celah di atap, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang bergerak pelan di dinding. Adrian melangkah ke tengah ruangan, matanya menyapu setiap s
Kilatan cahaya dari lampu jalan berpendar di genangan air hujan yang masih tersisa di trotoar. Malam ini, udara dingin menggigit, tapi bagi Adrian, Keira, dan Zane, ini adalah waktu yang tepat untuk bergerak. Mereka berdiri di seberang gedung target—pusat keuangan organisasi bayangan yang selama ini mereka buru. Bangunan itu tinggi dengan kaca hitam mengilap, dikelilingi pengamanan ketat. Zane mengetik sesuatu di tablet kecilnya, lalu menoleh ke Adrian. "Sistem keamanan utama ada di lantai 15. Kita harus masuk dari sisi utara, ada jalur ventilasi yang bisa kita manfaatkan." Adrian mengangguk. "Keira, kau tetap di luar untuk memantau. Jika ada pergerakan mencurigakan, beri kami sinyal." Keira tidak langsung menjawab. Ia menatap gedung itu, lalu menoleh ke Adrian dengan ekspresi serius. "Kau yakin ini tidak terlalu berisiko? Jika kita ketahuan, kita bisa kehilangan semua yang sudah kita kumpulkan." Adrian tersenyum tipis. "Justru karena itu kita harus melakukannya