Hari itu, Keira merasa ada yang aneh. Sejak pagi, ia tidak bisa berhenti memikirkan Adrian. Bukan karena rasa kagum, tapi lebih kepada rasa penasaran yang mengusik. “Apa sih yang sebenarnya dia sembunyikan?” Keira bergumam sambil menyesap teh di ruang makannya. Pikirannya kembali pada momen ketika Adrian dengan mudah menenangkan situasi di butik. Itu bukan sesuatu yang biasa dilakukan seorang sopir. Dia tidak hanya tenang, tetapi juga memiliki kehadiran yang memengaruhi orang lain. Keira menghela napas berat. Ia tidak suka perasaan ini—perasaan kehilangan kendali atas pikirannya sendiri. Ia terbiasa menjadi pusat perhatian, orang yang mengendalikan situasi, tetapi Adrian? Kehadirannya justru membuat Keira merasa sebaliknya. “Nona Keira, mobil sudah siap,” suara Adrian yang tenang membuyarkan lamunannya. Keira menoleh ke arah pintu. Adrian berdiri di sana dengan sikap sempurna seperti biasa, seragamnya rapi tanpa cela. Senyum kecil itu masih ada di wajahnya, dan itu membuat
Keira tidak bisa tidur setelah percakapannya dengan Adrian. Kata-katanya terus terngiang di benaknya, terutama bagian di mana Adrian mengatakan bahwa semua yang ia lakukan adalah untuk melindunginya. Melindungi dari apa? Keira memandang ke arah jendela kamarnya, melihat bayangan kota yang sepi. Udara malam terasa dingin, namun pikirannya terus berkecamuk. Ia memutuskan untuk mencari jawaban, meskipun itu berarti melanggar batas. Ia membuka laptopnya dan mencoba mencari informasi tentang Adrian lagi. Kali ini, ia mencoba mencari dengan lebih mendalam. Namun, sekali lagi, hasilnya nihil. Keira menghela napas panjang. "Bagaimana mungkin seseorang yang terlihat begitu berpendidikan dan penuh pengalaman tidak meninggalkan jejak digital sama sekali?" gumamnya. Namun, saat ia membuka folder lamanya, matanya tertuju pada sebuah foto keluarganya. Di foto itu, ia masih kecil, berdiri di antara kedua orang tuanya. Ibunya memeluknya erat, sementara ayahnya tampak seperti biasa—dingin
Keira menatap Adrian dengan pandangan serius ketika pria itu memasuki ruang tamu di rumahnya. Di atas meja, peta besar kota terbuka dengan beberapa tanda merah. Adrian terkejut melihat keberanian baru dalam diri Keira. “Kau yakin tentang ini, Nona Keira?” tanya Adrian dengan nada tenang, tetapi penuh peringatan. Keira mengangguk, meskipun hatinya masih gemetar. “Jika mereka mengincarku, aku tidak akan duduk diam. Kita harus mencari tahu siapa mereka, apa rencana mereka, dan menghentikannya sebelum mereka menghancurkan keluargaku.” Adrian menatap gadis itu dalam-dalam. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya sejak percakapan terakhir mereka. Keira bukan lagi gadis manja yang hanya peduli pada kemewahan. Kini ia terlihat seperti seorang pejuang yang menemukan keberanian baru dalam dirinya. “Baiklah,” kata Adrian akhirnya. “Tapi jika kita akan melangkah ke dunia ini, Anda harus siap. Dunia mereka tidak kenal belas kasihan.” “Kalau begitu, kau harus mengajarkanku,” jawab Keira
Keira duduk di kamar kerjanya, menatap dokumen yang mereka ambil dari gudang semalam. Tulisan-tulisan di atas kertas itu penuh dengan simbol aneh, nama-nama yang ia tidak kenali, dan beberapa angka yang tampaknya merupakan koordinat. "Adrian, apa ini sebenarnya?" tanyanya, suaranya bergetar sedikit saat Adrian memasuki ruangan. Pria itu berjalan mendekat, mengenakan ekspresi serius yang membuat suasana semakin tegang. "Ini peta aktivitas mereka. Tempat-tempat ini adalah lokasi yang sering mereka gunakan untuk rapat atau menyembunyikan operasi mereka." Keira meremas tangannya, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya terus-menerus membayangkan bahaya yang mengintai. "Jika mereka tahu kita mengambil ini, apa yang akan mereka lakukan?" Adrian menatapnya, matanya menunjukkan rasa empati sekaligus peringatan. "Mereka akan mencoba menghentikan kita. Mereka tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi tujuan mereka." Ucapan itu membuat darah Keira membeku. Namun, ia menguatkan diriny
Pagi setelah serangan di gudang, Keira terbangun dengan kepala yang berat. Malam itu terus membayangi pikirannya, terutama ketika ia melihat Adrian terluka saat melindunginya. Namun, perhatian Keira langsung teralihkan ketika seorang pelayan mengetuk pintu kamarnya dengan surat di tangan. "Surat ini baru saja dikirimkan, Nona Keira," kata pelayan itu dengan wajah bingung. Keira mengambil surat itu. Kertasnya tampak biasa, tetapi ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Ketika ia membukanya, sebuah tulisan tangan rapi tertulis di atasnya: "Kami tahu apa yang kau lakukan. Berhentilah, atau kau akan kehilangan lebih banyak dari yang pernah kau bayangkan." Tangannya gemetar saat membaca surat itu. Ia segera berlari ke ruang tamu, di mana Adrian sedang duduk sambil memeriksa lukanya. "Adrian!" serunya, melemparkan surat itu ke atas meja. Adrian membaca surat itu dengan tenang, tetapi Keira bisa melihat ketegangan di rahangnya. "Mereka mulai mengawasi kita," katanya akhirnya
Malam itu, Keira duduk sendirian di kamarnya. Surat ancaman, luka-luka Adrian, dan pengkhianatan di perusahaan ayahnya bercampur menjadi satu di pikirannya. Ia merasa dikhianati oleh dunia yang selama ini dianggap aman. Dulu, rumahnya adalah tempat berlindung. Kini, setiap sudut rumah tampak seperti jebakan. Setiap wajah, bahkan yang paling ramah sekalipun, terasa penuh dengan kebohongan. Ketika Adrian mengetuk pintu dan masuk, ia melihat Keira duduk di lantai, memeluk lututnya. Wajah gadis itu terlihat lelah dan putus asa. "Keira," panggil Adrian dengan lembut. Namun, Keira tidak menoleh. "Semua ini terlalu banyak, Adrian." Suaranya pelan, nyaris berbisik, tetapi penuh dengan rasa sakit. Adrian mendekat dan duduk di sampingnya. "Saya tahu ini sulit. Tapi kita harus tetap kuat." Keira mendongak, matanya penuh air mata. "Kuat? Bagaimana aku bisa kuat, Adrian? Keluargaku sedang dihancurkan. Orang-orang yang aku percayai mungkin pengkhianat. Dan aku… aku hanya seorang gadis
Keira terbangun di tengah malam dengan tubuh basah oleh keringat dingin. Dalam mimpinya, ia terus mendengar suara tembakan dan melihat wajah pria yang hampir ia tembak di jalan tadi. Meski ia tahu itu tindakan untuk bertahan hidup, rasa bersalah terus menghantui dirinya. Ia memeluk lutut di tempat tidur, menatap jendela kamar yang gelap. “Apa aku benar-benar berubah menjadi seseorang yang tidak aku kenal?” gumamnya pelan. Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. “Keira, ini saya, Adrian,” suara Adrian terdengar dari luar. Keira mengusap air matanya dan mencoba menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. "Masuk." Adrian membuka pintu dan menatap Keira dengan ekspresi khawatir. "Saya mendengar sesuatu. Anda baik-baik saja?" Keira berusaha tersenyum, tetapi gagal. "Aku hanya tidak bisa tidur. Semua yang terjadi hari ini... terlalu banyak untukku." Adrian duduk di kursi dekat tempat tidur, menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Apa yang Anda rasakan itu normal
Keesokan harinya, suasana di rumah keluarga Hartono terasa semakin serius. Keira, Adrian, dan Lina berkumpul di ruang kerja untuk menyusun rencana besar: menyusup ke kantor pribadi Raymond Setiawan. Di atas meja besar, cetak biru gedung milik Raymond terbentang. Lina, dengan wajah serius, menjelaskan rencana mereka. “Raymond memiliki sistem keamanan sangat ketat,” katanya sambil menunjuk detail di peta. “Ada pengawasan ketat, akses biometrik, dan penjagaan penuh. Ini bukan sesuatu yang bisa dilakukan tanpa persiapan matang.” Keira menatap peta itu dengan rahang terkatup. “Apa pun yang diperlukan, kita harus melakukannya. Dia harus dihentikan.” Adrian, yang berdiri di sudut ruangan, menatap Keira dengan pandangan tajam. “Kamu tidak tahu seberapa berbahaya ini. Kalau kamu tidak siap mental, lebih baik jangan ikut.” Keira menatap Adrian, suaranya tegas meski sedikit bergetar. “Ini keluargaku. Aku tidak akan mundur.” Ketegangan di ruangan itu membuat Lina merasa tidak nyaman. Ia me
Keira memegang erat kendali kendaraan, matanya fokus pada jalan di depannya. Malam itu, jalanan kota terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah dunia di luar sana sedang menunggu sesuatu yang akan terjadi. Udara malam yang dingin menyelinap ke dalam mobil, menambah ketegangan yang sudah mencekam hatinya."Keira," suara Adrian terdengar dari kursi penumpang sebelah, memecah keheningan yang sudah terjalin lama. "Apakah kau yakin dengan keputusanmu?"Keira menatapnya sekilas, mencoba membaca ekspresi wajahnya, namun Adrian menjaga wajahnya tetap datar. Keira tahu bahwa pria ini bukan tipe yang mudah terpengaruh oleh keadaan, namun hari itu, ia bisa melihat kegelisahan yang samar. Keira pun merasakan hal yang sama. Keputusan yang ia buat untuk bergerak maju—untuk melawan mereka—adalah langkah yang sangat berisiko. Tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk orang-orang yang terlibat di dalamnya. Terutama Adrian dan Elena."Sudah tidak ada jalan kembali," Keira menjawab dengan suara yang te
Keira duduk di depan jendela besar yang menghadap ke kota, memandangi pemandangan yang tidak lagi memberinya kenyamanan seperti dulu. Seiring dengan malam yang semakin larut, pikirannya terus berputar-putar tentang segala yang baru saja terungkap. Sebuah organisasi rahasia yang menculiknya, eksperimen yang mengubah hidupnya, dan sekarang, pilihan sulit yang harus diambil.Hatinya berdebar keras, seolah-olah setiap detakan jantungnya menggema dalam keheningan ruang itu. Seorang pria dan wanita, dua orang yang baru saja ia temui—Adrian dan Elena—terus hadir dalam pikirannya, seperti bayang-bayang yang tidak bisa ia hilangkan. Keira tidak pernah membayangkan dirinya terjebak dalam permainan besar yang melibatkan kekuasaan, konspirasi, dan masa lalu yang penuh kebohongan.Dia merasa seolah-olah hidupnya adalah bagian dari teka-teki yang belum lengkap, dan semakin ia mencoba menyusunnya, semakin banyak potongan yang hilang. Ada banyak hal yang tidak ia ketahui, hal-hal yang bahkan melibatk
Suara pintu yang menutup perlahan bergema di ruangan. Keira berdiri di tengah aula besar, dengan udara yang terasa lebih dingin daripada di luar. Aroma kayu tua bercampur debu memenuhi hidungnya, sementara matanya menelusuri setiap sudut tempat itu.Dinding-dindingnya dihiasi lukisan-lukisan yang terkesan kuno, menampilkan pemandangan yang mengingatkannya pada pertempuran dan kehancuran. Cahaya dari lilin-lilin yang berderet di sepanjang lorong menerangi wajah pria yang berdiri di depannya.“Kau sudah sampai sejauh ini, Keira,” kata pria itu sambil berjalan mendekat. “Aku kagum pada keberanianmu.”Keira menegakkan tubuhnya, matanya penuh dengan tekad meski ada sedikit keraguan yang mengintai di sudut hatinya. “Aku tidak punya waktu untuk basa-basi. Siapa kau sebenarnya? Dan apa yang kau tahu tentangku?”Pria itu hanya tersenyum kecil. “Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, biarkan aku memperkenalkan diri. Namaku Adrian.”Adrian mengulurkan tangannya, tapi Keira tidak bergerak. Ia tetap m
Keira duduk di sudut ruangan, memandang tablet yang kini diam tanpa suara. Di dalam pikirannya, suara pria yang muncul di layar tadi terus terngiang. Wajahnya yang dingin, senyumnya yang seolah mengetahui segalanya—membuat pikirannya kacau.“Keira, kau baik-baik saja?” suara Victor membuyarkan lamunannya.Ia mengangkat wajah dan mendapati Victor berdiri di depannya, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Untuk sesaat, Keira ingin membuka semua yang ia rasakan, tapi ia tahu ini bukan saat yang tepat.“Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat.Victor mengerutkan dahi, tidak yakin dengan jawabannya. “Kau terlihat terganggu sejak pria itu muncul di layar. Jika ada sesuatu yang ingin kau bicarakan…”“Aku bilang aku baik-baik saja,” potong Keira, nadanya sedikit tajam.Victor mundur, tidak ingin memaksakan dirinya. “Baiklah. Tapi ingat, aku ada di sini kalau kau butuh seseorang untuk bicara.”Keira hanya mengangguk, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke tablet. Victor, meskipun berat hati, akhirny
Suara derit pintu baja yang berat memecah keheningan, diikuti oleh langkah-langkah tegas yang menggema di dalam lorong sempit. Keira berdiri di tengah ruangan, matanya tertuju pada Nathaniel yang mendorong pintu hingga terbuka lebar. Di balik pintu itu ada ruangan besar yang dipenuhi layar monitor, server yang berdengung, dan meja kerja yang penuh dengan dokumen berserakan.“Ini adalah inti dari operasi kita,” kata Nathaniel sambil melangkah masuk. “Dari sini, kita bisa melacak pergerakan mereka dan mencari tahu rencana berikutnya.”Keira mengamati ruangan itu dengan hati-hati, setiap sudut tampak mencerminkan keahlian teknis yang luar biasa. Victor berdiri di belakangnya, diam, tapi kewaspadaan tampak jelas dari cara matanya bergerak cepat memeriksa setiap detail.“Jadi, apa langkah selanjutnya?” Keira bertanya, suaranya datar, tapi matanya menyimpan bara yang tidak bisa dipadamkan.Nathaniel tidak langsung menjawab. Ia berjalan menuju meja besar di tengah ruangan, menarik sebuah pet
Keira duduk di salah satu kursi logam yang dingin di ruangan itu, tubuhnya terasa kaku. Suasana di dalam laboratorium tua tersebut mengintimidasi—dindingnya penuh kabel yang melilit, layar-layar monitor berkedip samar, dan bunyi dengung elektronik mengisi keheningan. Victor berdiri tak jauh dari pintu, seperti penjaga yang tidak pernah lengah, sementara Nathaniel sibuk mengetik sesuatu pada keyboard besar yang terhubung ke salah satu komputer di sudut ruangan.Setiap ketukan tuts keyboard terdengar seperti penanda waktu, menanti sesuatu yang besar untuk terungkap. Keira meremas jari-jarinya, mencoba menenangkan diri, tetapi gemuruh di dadanya tidak bisa diabaikan.“Nathaniel,” suara Victor memecah keheningan, nadanya datar namun penuh tuntutan. “Kita tidak punya waktu untuk permainan. Katakan apa yang harus kami tahu.”Nathaniel menghentikan gerakannya, lalu berbalik perlahan. Di layar besar di belakangnya, muncul diagram dan dokumen-dokumen yang terlihat seperti data rahasia. Ia mena
Keira berdiri mematung di ambang pintu pondok, tubuhnya setengah gemetar. Udara malam yang menusuk seolah berhenti bergerak, tertahan oleh ketegangan yang menguar dari tiga sosok yang saling berhadapan di luar. Victor tidak bergerak sedikit pun, matanya menatap tajam ke arah pria asing yang berdiri di depan mereka. Cahaya senter yang redup hanya menyoroti sebagian wajah pria itu, memperlihatkan garis rahang yang tegas dan senyuman samar yang membuat Keira semakin tidak nyaman. “Victor,” suara pria itu terdengar tenang, nyaris seperti gumaman. “Kau tahu ini akan terjadi cepat atau lambat.” Victor tidak menjawab. Tangan kanannya masih menggenggam erat senjata, siap digunakan kapan saja. Namun, ada sesuatu di wajahnya—sebuah emosi yang sulit diartikan. Bukan hanya kemarahan atau ketegangan, tetapi juga kesedihan yang terpendam. Keira tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. “Siapa dia, Victor?” tanyanya dengan suara pelan, nyaris berbisik. Victor mengalihkan pandangannya sedikit, cuk
Udara malam semakin menusuk ketika Keira menyandarkan punggungnya ke batang pohon tua. Napasnya masih terengah-engah setelah pelarian tadi, tetapi suara gemerisik dedaunan di sekitarnya membuatnya tetap waspada. Hutan itu gelap, seolah menjadi sekutu bagi mereka yang mengejarnya. Victor berdiri tidak jauh darinya, punggungnya tegak, tubuhnya siaga penuh. Matanya terus menyapu sekeliling, seperti seorang pemburu yang siap menyerang kapan saja. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam raut wajahnya malam ini—sebuah ketegangan yang lebih dalam dari sekadar pelarian. “Victor,” Keira akhirnya memecah keheningan, suaranya pelan namun bergetar. “Kau yakin kita aman di sini?” Victor menoleh sebentar, matanya bertemu dengan milik Keira. Sorot matanya tajam, tetapi ada kehangatan yang tersembunyi di dalamnya. “Tidak ada tempat yang benar-benar aman, Keira. Tapi untuk saat ini, kita tidak punya pilihan lain.” Keira menggigit bibirnya, merasa kata-kata itu membawa beban lebih besar daripada yan
Bab 28: Bayang-Bayang di Tengah KeheninganKeheningan yang merayap di antara pepohonan terasa seperti perangkap yang tak kasatmata. Keira menyandarkan punggungnya di batang pohon besar, tubuhnya sedikit gemetar karena lelah dan gugup. Napasnya terengah, terdengar jelas di tengah suara desiran angin yang menyelinap di antara dedaunan. Ia merasakan dinginnya keringat mengalir di pelipisnya.Victor berdiri di sampingnya, wajahnya penuh konsentrasi. Tangannya menggenggam erat pistol yang sudah lama terisi peluru, siap untuk menghadapi ancaman. Namun, meskipun kelihatan begitu percaya diri, Keira tahu ada sesuatu yang lain di balik sikap tegas itu. Raut wajahnya, meskipun tidak banyak berbicara, menyiratkan beban yang berat—bukan hanya tentang bahaya di depan mereka, tetapi juga sesuatu yang jauh lebih dalam.“Keira,” Victor berbisik pelan, memecah keheningan. “Kita harus terus bergerak. Mereka bisa menemukan jejak kita kapan saja.”Keira mengangguk, meski hatinya masih diliputi kecemasan.