Keesokan harinya. Tampak Edward sedang kebingungan ketika melihat tubuh polosnya di pantulan kaca. Terutama dia sangat bingung saat melihat ukuran burungnya yang semakin bertambah panjang dan besar. “Kok bisa jadi seperti ini sih? Kira-kira bisa masuk ke lubang wanita tidak ya? Aku takut mereka akan kesakitan jika burung ini memasuki sarangnya,” gumam Edward, menyentuh kepunyaannya yang sedang menggantung lemas itu. “Master jangan khawatir, justru wanita akan senang ketika lubang mereka merasakan senjata andalan Master. Saya jamin mereka akan ketagihan,” sahut Irene dari atas nakas. “Benarkah? Wanita akan puas jika ukurannya sebesar dan sepanjang ini?” Edward memastikan. “Tentu saja! Semua wanita di dunia ini menyukai burung yang besar dan panjang!” Seru Irene. “Oh ya, Master. Misi tambahan untuk hari ini sudah keluar. Apa Master ingin mendengarnya?” tambah Irene. “Boleh, tolong bacakan saja,” sahut Edward, kini sedang memakaian pakaian. Irene pun membacakan semua misi yang ter
“Bu Lisa, ini aku Edward. Tolong percayalah!” Seru Edward dari luar kelas.Tok! Tok! Tok!Dia mengetuk-ngetuk pintu karena Lisa bersikeras menolak kehadiannya di dalam kelas tersebut.“Berisik! Kamu mengganggu sekali!” Lisa pun kehilangan kesabaran, memang mudah marah karena kesabarannya setipis tisu.“Aku tidak mau bolos, Bu. Biarkan aku masuk kelas,” pinta Edward.“Lihat! Ini kartu pengenalku, ada juga kartu mahasiswa,” lanjutnya seraya mengeluarkan benda-benda tersebut dari dalam dompet.Lisa mau tak mau membuka kembali pintu kelas. Menatap wajah Edward sekilas, lalu mengambil kedua kartu tanda pengenal itu dari tangan Edward.“Kamu beneran Edward Lewis?” Lisa memastikan.Edward mengangguk berulang kali. “Benar sekali, Bu. Aku Edward Lewis,“ akunya.Lisa mengerutkan kening, kembali menatap kartu pengenal itu untuk waktu cukup lama. “Kenapa tidak mirip ya? Edward seharusnya tidak setampan kamu,” ujarnya jujur sekali.Wajah Edward memerah. “Semua orang bisa berubah, Bu. Termasuk aku,
“Kita mau pergi kemana sih? Kenapa tidak naik mobilku saja?” Tanya Jesica, yang masih berada di dalam pelukan Edward. Dia tidak banyak protes atau melawan seperti sebelumnya, malah terkesan lebih pendiam. "Kita akan kencan di mall Lore. Aku dengar di sana ada pameran dan tempat bermainnya sangat banyak," jawab Edward. "Hmm … tak nyaman jika naik mobil kamu, enakan jalan kaki biar kita bisa menikmati pemandangn kota,” lanjut berujar. Jesica melirik Edward sekilas, tapi tidak bersuara lagi. Hanya menunduk dan terus berjalan di samping Edward. Kejadian barusan jelas menjadi pukulan telak bagi Jesica. Jika saja Edward tidak ada di sana, Tomy pasti akan mencelakainya seperti Akira kemarin. Perasaan Jesica sendiri sangat berkecamuk dan tidak karuan saat ini, terutama ia selalu kepikiran masalah hutang perusahaan yang harus diselesaikan sebelum akhir pekan nanti. Bagaimanapun, tidak mudah mengumpulkan uang 100 Miliar Dallant dengan cepat, apa lagi status Jesica masih seorang mahasiswi b
“Selamat master! Master sudah menyelesaikan misi tambahan! Hadiah buku pijat sakti sudah tersimpan di ruang penyimpanan!” Suara Irene masuk ke Earphone kasat mata saat ini. Dia berseru untuk mengabari hal tersebut kepada Edward.‘Secepat itu? Padahal aku baru satu jam bermain di tempat ini,’ Batin Edward jelas terkejut, tetapi dia tidak bisa langsung membalas suara Irene karena sedang sibuk bermain dengan mesin capit.“Kakak aku mau boneka beruang itu!”“Aku mau yang kelinci biru saja!”“Aku dulu! Pokoknya aku mau beruang!”Suara gaduh terdengar di sekitar Edward, berasal dari beberapa gadis kecil yang sedang menanti Edward mengambilkan boneka pilihan mereka.“Sabar ya, adik-adik. Kakak ambilkan satu-satu nanti,” sahut Edward, mulai mengarahkan mesin capit ke boneka beruang.Dalam sekejap, boneka itu berhasil diambil Edward dari mesin capit, lalu memberikannya kepada gadis kecil yang sudah menunggu di belakangnya sedari tadi.Edward memang jago untuk jenis permainan semacam ini. Terl
Meski tawaran Akira sangat menggoda, Edward tidak mau langsung menerimanya. Apa lagi pemuda gendut itu hampir mencelakai Jesica sebelumnya, sehingga ia tidak boleh setuju begitu saja.“Maaf, aku tidak bisa menjual benda ini ke sembarang orang,” ucap Edward, menolak halus permintaan Akira, ingin mencari informasi lebih dulu.“Kenapa? Mungkinkah tawaranku kurang menarik?” Tanya Akira penasaran.“Tawaranmu memang menarik, tapi aku masih tidak bisa menjualnya tanpa alasan yang jelas,” ujar Edward.Akira berpikir sejenak, segera mengerti maksud Edward dalam sekejap. Pria tampan itu sepertinya butuh alasan kuat sebelum menjual barang berharga tersebut.“Janji! Aku janji tidak akan menggunakan alat getar sakti itu untuk berbuat jahat. Aku hanya ingin menggunakannya pada tubuhku sendiri atau kepada wanita yang mau aku puaskan,” ungkap Akira jujur.Edward cukup terkejut usai mendengarnya. “Serius kau ingin menggunakannya pada tubuh sendiri? Benda ini sangat berbahaya lho.” Memastikan kemudian.
Tak lama kemudian, di dalam sebuah restoran biasa yang letaknya tidak jauh dari mall Lore. Edward dan Jesica memutuskan datang ke tempat makan ini karena mereka tidak bisa makan di dalam mall usai mencium radiasi nuklir yang berasal dari toilet pria. Konon radiasi tersebut juga berhasil membuat pingsan beberapa pengunjung di tempat permainan. Edward sendiri hanya bisa mengutuk Akira untuk kejadian memalukan itu. Tak habis pikir, bisa-bisanya Akira menggunakan alat getar sakti untuk membuat bencana buatan yang teramat menjijikan di dalam mall tersebut.Meski demikian, Edward tidak terlalu banyak berpikir tentang perbuatan memalukan Akira. Ia hanya ingin fokus menikmati kencan bersama Jesica hingga misi utama berhasil diselesaikan. "Aw ... kakiku terasa sakit lagi ... aduh," ringis Jesica reflek menyentuh kaki kanannya."Kok bisa? Apa kamu punya penyakit bawaan?" tanya Edward penasaran. "Aku tidak tahu, Ed. Kakiku selalu terasa sakit seperti ini jika sudah berjalan terlalu lama," ja
“Apa maksudmu, Je? Memang rahasia apa yang ingin kamu tunjukan padaku?” Tanya Edward sambil membalikan tubuhnya.“Janji dulu,” balas Jesica menanti jawaban dari mulut Edward.“Iya, aku janji.” Edward mengangguk. “Bisakah kamu cerita sekarang?” Pintanya.Jesica melepas pelukan dari Edward, lalu mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak. “Tutup matamu dan jangan mengintip,” pinta Jesica.“Uh … baiklah,” sahut Edward, berusaha bersikap jujur meski kepalanya sudah traveling kemana-mana.Edward mengira Jesica akan menunjukan sesuatu yang luar biasa dari tubuhnya. Terutama tubuh Jesica belum pernah dijamah siapa pun, yang artinya masih bersih dan mulus.Setidaknya, itu yang ada di dalam benak Edward saat ini. Makanya dia menunggu dengan sabar rahasia yang akan diperlihatkan Jesica.Ada pun Jesica, hatinya tampak ragu dan takut ketika mulai melepas pakaian atasnya satu demi satu. Tapi, ia sudah terlanjur membulatkan tekad demi Edward sehingga tidak bisa mundur lagi.Segera, pakaian atas
Malam pun tiba, sekarang tepat pukul 20.00 waktu setempat.“Aku mandi dulu, awas jangan ngintip,” ucap Jesica, meleos ke kamar mandi begitu saja.“Aku mau mengintip ah,” canda Edward, pura-pura mengejar Jesica.“Jangan!!!” Jesica berteriak panik sambil menutup kembali pintu kamar mandi, tapi tidak menguncinya.Dia terus melihat gagang pintu kamar mandi itu selama beberapa detik. Entah kenapa malah berharap Edward akan membukanya.‘Aku berharap apa sih? Ed jelas bukan pria seperti itu. Buktinya dia tidak menjadi liar saat memijat tubuhku barusan,’ pikir Jesica, membuang nafas kecewa.Dia lalu menyalakan kran shower, membiarkan air hangat turun membasahi sekujur tubuhnya untuk menghilangkan bekas pelicin sehabis dipijat.‘Mungkinkah Ed impoten? Atau dia pria tidak normal? Ah … bisa jadi, soalnya dia tidak bereaksi apa-apa saat melihat dadaku. Matanya malah mengeluarkan tangis seolah aku sudah menyakitinya.’‘Tapi, masa sih Ed pria seperti itu? Apa aku harus memancingnya dulu? Hmm … kira
Edward menatap dengan cermat sosok pria yang baru saja bangkit dengan tenaga luar biasa. Meskipun dia mengaku telah sembuh berkat obat Edward, ekspresi wajah pria itu menunjukkan kekhawatiran mendalam. “Ayah, kamu benar-benar baik-baik saja?” tanya Aluna, penuh rasa syukur dan cemas bersamaan. “Tenang, Nak. Aku baik-baik saja sekarang,” jawab pria itu sambil mengamati tim medis yang sudah berusaha menolongnya. Edward merasa lega, tetapi rasa ingin tahunya semakin membara. Dia berusaha menyusun strategi untuk menghadapi ancaman di balik serangan bom tersebut. “Aluna, ayo kita bicara sebentar,” ajak Edward, menarik Aluna ke samping, jauh dari kerumunan. “Ada apa, Ed? Kenapa serangan ini bisa terjadi?” tanya Aluna dengan suara bergetar. Edward mencoba menganalisis situasi. “Ada kemungkinan bahwa serangan ini bukan hanya sekadar aksi teroris. Menurut informasi yang aku dapat, keluarga Everdeen mungkin sudah menjadi target lama. Ada beberapa kelompok yang bisa melakukan hal ini,
Edward merasa gelisah dan khawatir usai mendengar kabar buruk dari Aluna. Dia segera kembali ke meja Clara dengan wajah yang penuh kekhawatiran."Ada apa, Ed?" tanya Clara, tampak penasaran.Edward menjelaskan situasi yang sedang terjadi kepada Clara, tentang pengeboman di perusahaan ayah Aluna. Clara terkejut mendengarnya dan merasa prihatin dengan keadaan Aluna dan keluarganya."Kita harus segera pergi ke tempat Aluna. Dia butuh dukungan kita di saat-saat seperti ini," ujar Clara tegas.“Tidak, kamu tak perlu pergi kesana. Kamu masih punya masalah yang harus diselesaikan,” tukas Edward, diam-diam mengeluarkan sebotol air dari sistem harem.“Minumkan ini pada ibumu, lalu kabari aku reaksinya. Cukup satu gelas saja, jangan berlebihan,” jelasnya sambil memberikan botol air itu pada Clara.“Air mineral? Untuk apa air mineral, Ed?” Clara bingung sendiri, menatap air itu dan tidak mengerti.Edward tersenyum tipis, “Percayalah, air itu bisa mengatasi masalahmu. Aku yakin ibumu aka
Edward menatap Aluna dengan ekspresi serius, mengangguk pelan. "Dua triliun, ya? Baiklah, aku akan membantu kamu," ujarnya, mengambil ponsel Aluna dan mulai melakukan transfer.Aluna menatap Edward dengan mata berkaca-kaca, terharu dengan kesediaan Edward yang membantu keluarganya. "Terima kasih, Edward," ucapnya, suaranya bergetar.Edward hanya tersenyum, menepuk bahu Aluna dengan lembut. "Tidak perlu berterima kasih, Aluna. Kita adalah pasangan, dan pasangan harus selalu membantu satu sama lain," ujarnya, menenangkan Aluna.Setelah selesai transfer, Edward mengembalikan ponsel Aluna. "Ok, masalahnya beres. Aset keluarga Everdeen sudah aman sekarang," ujarnya, tersenyum tulus.Aluna menatap Edward dengan mata berbinar, penuh rasa terima kasih. "Kamu benar-benar menyelamatkan kami, Edward. Aku tidak tahu bagaimana cara membalas budi baikmu," ucapnya, suaranya penuh rasa haru.Edward hanya tersenyum, menggelengkan kepalanya. "Tak perlu membalas apa-apa, aku hanya melakukan apa yang seh
Edward termenung cukup lama usai membaca pesan Irene, benar-benar bingung dan tak tahu harus mengambil keputusan apa."Sarapannya sudah siap, Ed. Ayo kesini," teriak Aluna dari arah dapur, sontak membuyarkan lamunan Edward."Oke, sebentar ...." Edward menanggapi sambil mengenakan pakaiannya. Mencoba melupakan Helena sejenak dan berusaha fokus pada Aluna.Tak lama berselang, Edward tiba di ruang makan, tampak beragam makanan yang sudah tersaji di atas meja."Wah, kamu jago masak ternyata. Kelihatannya makananmu enak-enak," ujar Edward, memuji usaha Aluna.Wajah Aluna pun memerah, jelas senang dengan pujian Edward."Silakan dicoba, Ed. Semoga kamu tidak kecewa," ujarnya.Edward tersenyum kecil mendengarnya, "Kenapa aku harus kecewa? Aku pikir makananmu terasa lezat.", kemudian dia menyantap makanan itu. Mulai dari daging hingga sayur sop bening.Namun, yang paling menggugah selera Edward adalah sambal buatan Aluna. Siapa sangka, wanita secantik dia sangat pandai membuat sambal."Ini ena
Pagi berikutnya.Edward dan Aluna terbangung dalam keadaan telanjang, mereka tampak masih lelah usai melakukan persetubuhan panas tadi malam.Aluna sendiri sangat menikmati hal tabu tersebut meski sudah pernah merasakannya. Dia pikir Edward terlalu perkasa sehingga berhasil membuatnya melalang buana berulang kali. Ini juga merupakan pengalaman baru bagi wanita dewasa itu.Entah berapa kali Aluna mendapatkan pelepasan tadi malam, pastinya sangat sering sampai dia tak bisa menghitungnya pakai jari lagi.“Uh ... aku sepertinya akan kesulitan berjalan,” ujar Aluna masih dengan mata mengantuk.Dia lalu menyentuh ranah kewanitaannya, dan ternyata masih ada sisa-sisa cairan di sana.“Aduh, aku langsung tidur semalam, aku tak sempat membersihkannya. Kira-kira Edward benci wanita kurang teliti seperti aku tidak ya?” Aluna tampak cemas, jelas takut akan hal tersebut.“Mana mungkin aku membencimu, jusru aku menyukai wanita seperti kamu,” sahut Edward, langsung membawa Aluna ke dalam pelukannya.
“Edward, apa kamu baik-baik saja?” tegur Aluna kala Edward semakin larut dalam lamunannya.Edward tidak langsung menanggapi, hanya mentapa wajah cantik Aluna dengan sayu. Dia tiba-tiba ragu untuk menuntaskan misi utama sistem harem dengan wanita itu.Aluna seketika menyadari sesuatu dari ekspresi Edward, namun dia tidak ingin berhenti di sini setelah memantapkan hatinya untuk Edward. Dengan berani, dia pun mendekati Edward sambil melepas pakaiannya secara perlahan.“Ini mungkin bukan yang pertama bagiku, tapi aku percaya kemampuanku bisa mengilangkan semua keraguanmu. Aku harap kamu tidak keberatan, supaya kita bisa lanjut ke tahap yang lebih serius,” ujar Aluna, kini sudah telanjang bulat di depan Edward. Dia sangat berharap Edward akan langsung menyerangnya setelah disuguhkan pemandangan indah semacam itu.Glup!Edward menelan salivanya, bersamaan dengan naiknya gairah yang secara perlaan. Tidak mau jadi orang munafi, dia memang sudah terangsang oleh Aluna saat ini.“Tolong lihat ak
Malam semakin larut, bahkan hampir mendekati pagi.“Maaf, urusan kakekku benar-benar merepotkan. Kamu jadi terlibat dalam hal-hal aneh yang selalu dirasakan kakekku selama ini,” ujar Aluna begitu tiba di depan pintu apartemennya, kemudian dia membuka pintu itu dan membiarkan Edward masuk.“Silakan masuk, Edward. Anggap saja tempat tinggal sendiri,” ujarnya.“Terima kasih, Aluna,” balas Edward, tersenyum tulus. Kakinya lalu melangkah ke dalam kamar apartemen itu.Wusssh!Aroma sangat wangi langsung menyambut Edward di sana, apalagi kamar ini terasa sangat feminim karena hampir seluruhnya didekorasi warna merah muda.“Apa kamu sangat menyukai warna pink?” tanya Edward, cukup penasran jadinya, tanpa sadar menoleh ke arah selangkangan Aluna, mengira di dalam sana juga isinya berwarna merah muda. “Tentu saja, bukankah warna ini penuh dengan romansa?” Aluna tersenyum cerah, sepertinya paham maksud tatapan Edward.“Begitu ya?” Edward lanjut berjalan memasuki kamar, melihat-lihat ke sekitar.
Edward melihat Peter dengan penuh kekhawatiran. "Kakek, apa yang harus kita lakukan sekarang? Bagaimana kita bisa melawan vampir?" tanyanya.Peter mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum menjawab. “Pertama-tama, kita harus mencari tahu lebih banyak tentang vampir, terutama kelemahan dan cara melawan mereka,” ujarnya.Edward mengangguk, ia juga berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Tapi dari mana kita bisa menemukan informasi itu? Apa ada di buku yang aku bawa?" tanyanya lagi.Peter mengingat-ingat sambil merenung sejenak. "Ada satu tempat di kota ini yang mungkin memiliki jawabannya. Perpustakaan kuno. Mereka memiliki koleksi buku langka dan mungkin ada yang berkaitan dengan vampir," jawabnya.“Perputakaan itu lagi?” Edward terkejut mendengarnya.“Ya, hanya di sana satu-satunya tempat yang bisa digunakan untuk melawan vampir.” Peter tampak yakin dan tegas.“Ayo bergerak sekarang, kita tak boleh membuang waktu,” ajaknya.Kemudian, kedua pria beda usia i
Edward dan Aluna tiba di rumah sakit jiwa setelah beberapa saat berkendara. Aluna tampak gugup dan khawatir, sedangkan Edward mencoba untuk tetap tenang dan bijaksana.Mereka lalu berjalan menuju ke ruangan tempat kakek Aluna dirawat, letaknya di lantai atas gedung tersebut.Setelah menunggu beberapa saat, kakek Aluna akhirnya muncul di depan mereka. Dia tampak lemah dan pucat, namun masih bisa tersenyum lembut pada cucunya.“Aluna, kamu pasti cucuku, Aluna, ‘kan?” Sapa kakek itu, sepertinya masih bisa mengenali Aluna.“Ya, kakek.” Aluna langsung memeluk kakeknya dengan erat.“Salam kenal, kakek. Aku Edward Lewis,” ucap Edward segera memperkenalkan dirinya dan memberikan salam hormat pada kakek Aluna.Kakek Aluna pun memperkenalkan dirinya sebagai Peter Everdeen, seorang ahli dalam dunia ilmu hitam dari keluarga Everdeen.‘Ahli ilmu hitam?’ Ulang Edward dalam benaknya, rasanya agak akrab dengan hal-hal semacam ini.“Hahaha! Aku suka ekspresimu, Edward. Kau sepertinya sudah pernah beru