Di pinggir gerbang sekolah, tampak sekelompok pemuda sedang berkumpul.Namun, mereka bukan siswa biasa yang sedang asyik bercanda, situasinya terlihat serius dan tegang. Salah satunya, pemuda yang mengenakan seragam sekolah, terkesan sangat marah."Bajingan ini telah merebut Eliza dariku," ucapnya dengan nada penuh kemarahan, menunjuk ke arah seorang pemuda yang berdiri tepat di depannya. "Dia bahkan berani memacarinya. Tolong hajar dia untukku, Kak Jhon," lanjutnya, memohon pada pemuda yang menjadi pemimpin kelompok itu.Pemuda yang dituduh, Steve Mcgory, tampak tenang. Meski ia dikelilingi oleh sekelompok pemuda yang siap menyerangnya, sorot mata Steve masih tampak tegas dan siap bertarung."Benar kau sudah merebut pacar Tuan Muda Alvin?" tanya Jhon, dengan nada serius."Tidak! Eliza memang pacarku sejak awal," tukas Steve, menatap Jhon dan Alvin dengan tegas."Kurang ajar! Beraninya kau!" seru Alvin, marah dengan pengakuan Steve. Tanpa membuang waktu, dia mendaratkan pukulan keras
"Apa yang terjadi? Kenapa Steve luka-luka begini?" tanya seorang wanita perawat begitu Eliza dan Steve memasuki UKS. Dia bergegas menghampiri dan membantu Steve. Eliza melepas Steve, membiarkan urusan berikutnya pada wanita perawat itu. Dia lalu duduk di kursi dekat ranjang."Eliza, bisakah kamu menceritakan kejadiannya? Steve tidak seharusnya terluka seperti ini, 'kan?" tanya wanita perawat lagi, sambil mengobati Steve.Eliza menatap wanita itu, "Semua ini gara-gara Alvin," jawabnya. "Dia menggunakan John dan kelompoknya untuk menyakiti Steve."Wanita perawat menghentikan aktivitasnya sejenak, tampak terkejut. "Alvin lagi? Astaga! Dia benar-benar …."Eliza menghembuskan nafas berat, rasanya cukup lelah berurusan dengan Alvin. Sebab kejadian semacam ini bukan pertama kalinya. Dalam sebulan ini, Alvin sering merundung Steve dengan berbagai cara, mulai dari hal biasa hingga paling ekstrem. Dan kejadian barusan bisa dibilang sangat parah, karena Steve sampai terluka serius."Kak Chelse
Edward melihat adegan yang terjadi di depannya dengan mata terbelalak. Tak percaya, mobil sport barunya telah berubah menjadi puing-puing pada saat ini. Sekelompok preman itu benar-benar tidak ragu menjadikan mobil mewah dan mahal itu sebagai rongsokan.“Hentikan!” teriak Edward, berlari menuju mobilnya. Namun, preman-preman itu hanya tertawa sambil terus menghantamkan benda tumpul pada mobil Edward.Chelsea, yang mengikuti Edward dari belakang, bisa melihat adegan tersebut dengan jelas, seketika merasa takjub di dalam hatinya. Dia tahu Edward sudah sangat marah sekarang, dan tak mungkin bisa ditahan lagi.“Jangan gegabah, Ed. Lebih baik panggil polisi saja,” saran Chelsea, mencoba menenangkan Edward. Tapi, pria tampan itu tampak tidak mendengar. Dia terus berusaha dan berusaha menghentikan preman itu.“Kami akan membantumu, Kakak Eliza!”Tiba-tiba, sekelompok siswa berlarian dari arah sekolah. Mereka sangat cepat hingga bisa menyusul Edward dalam sekejap. Semua siswa itu adalah teman
William menyunggingkan senyum licik usai menelepon Lili. Kebetulan Lili sedang di Soul, sehingga dia bisa datang ke tempat ini dalam setengah jam.Hal tersebut membuat William berada di atas angin, karena bantuan kuat akan segera menghampirinya. Dia tidak peduli meski Edward memiliki kekuatan hebat, semua itu akan sirna di depan orang yang memiliki kedudukan tinggi.“Gimana, Pa? Nona Lili mau bantu kita?” tanya Alvin, berjalan mendekati ayahnya dengan senyum cerah.“Sudah jelas, Nak. Ayah kan orang kepercayaan Nona Lili,” jawab William dengan senyum yang sama.Alvin mengepalkan tinjunya, tampak bersemangat bocah yang satu ini. Dia lalu melihat kerumunan orang-orang, terutama Edward dan para siswa itu.“Kalian semua akan celaka! Tunggu saja, Nona Lili bukan wanita yang murah hati. Dengan kekuatan tubuhnya yang teramat besar, kalian akan hancur berkeping-keping,” ancam Alvin.Pletak!William spontan menjitak kepala Alvin, jelas tak enak ketika anaknya melakukan body shaming pada wanita
Lili, dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca, berjalan gontai menuju Edward. Sontak membuat suasana di depan sekolah teasa hening, semua mata tertuju pada wanita cantik itu.Lili sendiri merasa sedang berjalan di atas pecahan kaca, setiap langkahnya penuh dengan penyesalan dan rasa bersalah. Dia sangat takut kalau Edward akan memperpanjang masalah ini."Ed, tolong maafkanku, semua ini .....” Suaranya hampir tidak terdengar, teredam oleh ketegangan di hatinya.“Kamu tidak perlu minta maaf,” sela Edward dengan tatapan tenang, namun ada sesuatu di balik suaranya yang membuat Lili merinding.Lili pun tersadar, segera berbalik lagi dengan cepat. Gelagatnya lagi-lagi membuat heran orang-orang yang melihat. “Dasar bajingan! Semua ini pasti ulah kalian,” teriaknya sambil menatap Wiliam dan Alvin dengan intensitas tinggi, seolah mereka sedang ditatap oleh iblis.“Aku beri waktu lima detik untuk meminta maaf pada Edward. Lakukan dengan benar, atau aku akan menghabisi kalian sekarang,” titahny
Di dalam ruangan kepala sekolah.“Jadi, apa yang akan kita bicarakan di sini, Ed?” tanya Lili, begitu mendaratkan pantatnya di sofa yang empuk, menatap ke sekitar dengan ekspresi penasaran. Dia baru menyadari bahwa ruangan itu sudah dipenuhi oleh beberapa orang penting; kepala sekolah, guru BK, Chelsea, Eliza dan Steve.Edward, dengan tenang, duduk di kursi kosong yang tersisa, melirik kepala sekolah sekilas sebelum berbicara, “Ini masih ada hubungannya dengan orang tua Alvin. Dia seharusnya sudah menjalin banyak kerja sama dengan kepala sekolah, terutama dalam menggelapkan dana perusahaan,” ungkapnya dengan nada serius.“APA?!” pekik Lili, tatapannya berubah tajam dalam sekejap. Dia memperhatikan pria paruh baya dengan kepala botak itu, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan di wajahnya.“Uh ....” Kepala sekolah tampak terkejut, menghela nafas berat. Rasa takut mulai merasuki hatinya, membuatnya terlihat semakin pucat.“Akui saja semuanya, Pak. Jangan sampai Nona Lili menyeretmu ke r
“Cukup sampai di sini, terima kasih atas tumpangannya,” ucap Edward, suaranya lembut namun tegas, sebelum turun dari mobil mewah berwarna hitam milik Lili. “Tidak akan sampai rumah?” tanya Lili, matanya memancarkan keheranan yang tak tersembunyi. “Tidak perlu, aku masih punya urusan lain,” jawab Edward sambil meraba gagang pintu mobil. Dia berniat menemui orang tuanya dan Lena yang kini sedang berada di sebuah showroom mobil mewah di pusat kota Soul. Lili segera mencegahnya, “Sebentar, Ed. Aku masih ada perlu,” ujarnya, matanya berbinar dengan semangat yang tak bisa ditahan. Edward pun berhenti sejenak, menatap Lili dengan heran, “Apa kamu masih ingin membahas bisnis obat kecantikan itu?” terkanya, mencoba membaca ekspresi Lili. Lili mengangguk, “Benar, Ed. Aku dan teman-temanku sudah memutuskan untuk membantumu. Kami bahkan tidak keberatan jika harus jadi team promosi,” jelasnya dengan semangat. “Team promosi ya?” Edward mengulang, pikirannya berputar cepat. 'Aku memang butuh wan
Andreas jatuh terhempas, tak berdaya setelah menerima hantaman brutal dari Edward. Wajahnya berlumuran darah, raut wajahnya mencerminkan kebingungan dan rasa takut yang mendalam. “Ka-Kau... berani sekali menyerangku. Apa kau lupa siapa ...” Ucapannya terpotong, kesadarannya meredup seiring berjalan waktu.Edward menatap Andreas dengan pandangan tajam, ekspresi wajah beku tak berubah. “Aku tak akan pernah melupakan sosok penjahat sepertimu, Andreas. Terlebih, kau sudah terlalu banyak menyakiti keluargaku. Jangan berharap aku akan tetap diam seperti dulu, dan membiarkanmu berlaku seenaknya,” ucapnya dengan nada tegas.Orang-orang di sekitar terpaku, tak mampu mempercayai apa yang baru saja mereka saksikan. Siapa sangka di balik penampilan Edward yang tampak sempurna, tersembunyi kekuatan dan kemampuan yang luar biasa, bahkan begitu dominan seakan-akan seorang raja.“Kamu ...” Edward tiba-tiba memalingkan pandangannya ke seorang pelayan wanita di showroom itu. “Panggil pemilik tempat ini
Edward menatap dengan cermat sosok pria yang baru saja bangkit dengan tenaga luar biasa. Meskipun dia mengaku telah sembuh berkat obat Edward, ekspresi wajah pria itu menunjukkan kekhawatiran mendalam. “Ayah, kamu benar-benar baik-baik saja?” tanya Aluna, penuh rasa syukur dan cemas bersamaan. “Tenang, Nak. Aku baik-baik saja sekarang,” jawab pria itu sambil mengamati tim medis yang sudah berusaha menolongnya. Edward merasa lega, tetapi rasa ingin tahunya semakin membara. Dia berusaha menyusun strategi untuk menghadapi ancaman di balik serangan bom tersebut. “Aluna, ayo kita bicara sebentar,” ajak Edward, menarik Aluna ke samping, jauh dari kerumunan. “Ada apa, Ed? Kenapa serangan ini bisa terjadi?” tanya Aluna dengan suara bergetar. Edward mencoba menganalisis situasi. “Ada kemungkinan bahwa serangan ini bukan hanya sekadar aksi teroris. Menurut informasi yang aku dapat, keluarga Everdeen mungkin sudah menjadi target lama. Ada beberapa kelompok yang bisa melakukan hal ini,
Edward merasa gelisah dan khawatir usai mendengar kabar buruk dari Aluna. Dia segera kembali ke meja Clara dengan wajah yang penuh kekhawatiran."Ada apa, Ed?" tanya Clara, tampak penasaran.Edward menjelaskan situasi yang sedang terjadi kepada Clara, tentang pengeboman di perusahaan ayah Aluna. Clara terkejut mendengarnya dan merasa prihatin dengan keadaan Aluna dan keluarganya."Kita harus segera pergi ke tempat Aluna. Dia butuh dukungan kita di saat-saat seperti ini," ujar Clara tegas.“Tidak, kamu tak perlu pergi kesana. Kamu masih punya masalah yang harus diselesaikan,” tukas Edward, diam-diam mengeluarkan sebotol air dari sistem harem.“Minumkan ini pada ibumu, lalu kabari aku reaksinya. Cukup satu gelas saja, jangan berlebihan,” jelasnya sambil memberikan botol air itu pada Clara.“Air mineral? Untuk apa air mineral, Ed?” Clara bingung sendiri, menatap air itu dan tidak mengerti.Edward tersenyum tipis, “Percayalah, air itu bisa mengatasi masalahmu. Aku yakin ibumu aka
Edward menatap Aluna dengan ekspresi serius, mengangguk pelan. "Dua triliun, ya? Baiklah, aku akan membantu kamu," ujarnya, mengambil ponsel Aluna dan mulai melakukan transfer.Aluna menatap Edward dengan mata berkaca-kaca, terharu dengan kesediaan Edward yang membantu keluarganya. "Terima kasih, Edward," ucapnya, suaranya bergetar.Edward hanya tersenyum, menepuk bahu Aluna dengan lembut. "Tidak perlu berterima kasih, Aluna. Kita adalah pasangan, dan pasangan harus selalu membantu satu sama lain," ujarnya, menenangkan Aluna.Setelah selesai transfer, Edward mengembalikan ponsel Aluna. "Ok, masalahnya beres. Aset keluarga Everdeen sudah aman sekarang," ujarnya, tersenyum tulus.Aluna menatap Edward dengan mata berbinar, penuh rasa terima kasih. "Kamu benar-benar menyelamatkan kami, Edward. Aku tidak tahu bagaimana cara membalas budi baikmu," ucapnya, suaranya penuh rasa haru.Edward hanya tersenyum, menggelengkan kepalanya. "Tak perlu membalas apa-apa, aku hanya melakukan apa yang seh
Edward termenung cukup lama usai membaca pesan Irene, benar-benar bingung dan tak tahu harus mengambil keputusan apa."Sarapannya sudah siap, Ed. Ayo kesini," teriak Aluna dari arah dapur, sontak membuyarkan lamunan Edward."Oke, sebentar ...." Edward menanggapi sambil mengenakan pakaiannya. Mencoba melupakan Helena sejenak dan berusaha fokus pada Aluna.Tak lama berselang, Edward tiba di ruang makan, tampak beragam makanan yang sudah tersaji di atas meja."Wah, kamu jago masak ternyata. Kelihatannya makananmu enak-enak," ujar Edward, memuji usaha Aluna.Wajah Aluna pun memerah, jelas senang dengan pujian Edward."Silakan dicoba, Ed. Semoga kamu tidak kecewa," ujarnya.Edward tersenyum kecil mendengarnya, "Kenapa aku harus kecewa? Aku pikir makananmu terasa lezat.", kemudian dia menyantap makanan itu. Mulai dari daging hingga sayur sop bening.Namun, yang paling menggugah selera Edward adalah sambal buatan Aluna. Siapa sangka, wanita secantik dia sangat pandai membuat sambal."Ini ena
Pagi berikutnya.Edward dan Aluna terbangung dalam keadaan telanjang, mereka tampak masih lelah usai melakukan persetubuhan panas tadi malam.Aluna sendiri sangat menikmati hal tabu tersebut meski sudah pernah merasakannya. Dia pikir Edward terlalu perkasa sehingga berhasil membuatnya melalang buana berulang kali. Ini juga merupakan pengalaman baru bagi wanita dewasa itu.Entah berapa kali Aluna mendapatkan pelepasan tadi malam, pastinya sangat sering sampai dia tak bisa menghitungnya pakai jari lagi.“Uh ... aku sepertinya akan kesulitan berjalan,” ujar Aluna masih dengan mata mengantuk.Dia lalu menyentuh ranah kewanitaannya, dan ternyata masih ada sisa-sisa cairan di sana.“Aduh, aku langsung tidur semalam, aku tak sempat membersihkannya. Kira-kira Edward benci wanita kurang teliti seperti aku tidak ya?” Aluna tampak cemas, jelas takut akan hal tersebut.“Mana mungkin aku membencimu, jusru aku menyukai wanita seperti kamu,” sahut Edward, langsung membawa Aluna ke dalam pelukannya.
“Edward, apa kamu baik-baik saja?” tegur Aluna kala Edward semakin larut dalam lamunannya.Edward tidak langsung menanggapi, hanya mentapa wajah cantik Aluna dengan sayu. Dia tiba-tiba ragu untuk menuntaskan misi utama sistem harem dengan wanita itu.Aluna seketika menyadari sesuatu dari ekspresi Edward, namun dia tidak ingin berhenti di sini setelah memantapkan hatinya untuk Edward. Dengan berani, dia pun mendekati Edward sambil melepas pakaiannya secara perlahan.“Ini mungkin bukan yang pertama bagiku, tapi aku percaya kemampuanku bisa mengilangkan semua keraguanmu. Aku harap kamu tidak keberatan, supaya kita bisa lanjut ke tahap yang lebih serius,” ujar Aluna, kini sudah telanjang bulat di depan Edward. Dia sangat berharap Edward akan langsung menyerangnya setelah disuguhkan pemandangan indah semacam itu.Glup!Edward menelan salivanya, bersamaan dengan naiknya gairah yang secara perlaan. Tidak mau jadi orang munafi, dia memang sudah terangsang oleh Aluna saat ini.“Tolong lihat ak
Malam semakin larut, bahkan hampir mendekati pagi.“Maaf, urusan kakekku benar-benar merepotkan. Kamu jadi terlibat dalam hal-hal aneh yang selalu dirasakan kakekku selama ini,” ujar Aluna begitu tiba di depan pintu apartemennya, kemudian dia membuka pintu itu dan membiarkan Edward masuk.“Silakan masuk, Edward. Anggap saja tempat tinggal sendiri,” ujarnya.“Terima kasih, Aluna,” balas Edward, tersenyum tulus. Kakinya lalu melangkah ke dalam kamar apartemen itu.Wusssh!Aroma sangat wangi langsung menyambut Edward di sana, apalagi kamar ini terasa sangat feminim karena hampir seluruhnya didekorasi warna merah muda.“Apa kamu sangat menyukai warna pink?” tanya Edward, cukup penasran jadinya, tanpa sadar menoleh ke arah selangkangan Aluna, mengira di dalam sana juga isinya berwarna merah muda. “Tentu saja, bukankah warna ini penuh dengan romansa?” Aluna tersenyum cerah, sepertinya paham maksud tatapan Edward.“Begitu ya?” Edward lanjut berjalan memasuki kamar, melihat-lihat ke sekitar.
Edward melihat Peter dengan penuh kekhawatiran. "Kakek, apa yang harus kita lakukan sekarang? Bagaimana kita bisa melawan vampir?" tanyanya.Peter mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum menjawab. “Pertama-tama, kita harus mencari tahu lebih banyak tentang vampir, terutama kelemahan dan cara melawan mereka,” ujarnya.Edward mengangguk, ia juga berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Tapi dari mana kita bisa menemukan informasi itu? Apa ada di buku yang aku bawa?" tanyanya lagi.Peter mengingat-ingat sambil merenung sejenak. "Ada satu tempat di kota ini yang mungkin memiliki jawabannya. Perpustakaan kuno. Mereka memiliki koleksi buku langka dan mungkin ada yang berkaitan dengan vampir," jawabnya.“Perputakaan itu lagi?” Edward terkejut mendengarnya.“Ya, hanya di sana satu-satunya tempat yang bisa digunakan untuk melawan vampir.” Peter tampak yakin dan tegas.“Ayo bergerak sekarang, kita tak boleh membuang waktu,” ajaknya.Kemudian, kedua pria beda usia i
Edward dan Aluna tiba di rumah sakit jiwa setelah beberapa saat berkendara. Aluna tampak gugup dan khawatir, sedangkan Edward mencoba untuk tetap tenang dan bijaksana.Mereka lalu berjalan menuju ke ruangan tempat kakek Aluna dirawat, letaknya di lantai atas gedung tersebut.Setelah menunggu beberapa saat, kakek Aluna akhirnya muncul di depan mereka. Dia tampak lemah dan pucat, namun masih bisa tersenyum lembut pada cucunya.“Aluna, kamu pasti cucuku, Aluna, ‘kan?” Sapa kakek itu, sepertinya masih bisa mengenali Aluna.“Ya, kakek.” Aluna langsung memeluk kakeknya dengan erat.“Salam kenal, kakek. Aku Edward Lewis,” ucap Edward segera memperkenalkan dirinya dan memberikan salam hormat pada kakek Aluna.Kakek Aluna pun memperkenalkan dirinya sebagai Peter Everdeen, seorang ahli dalam dunia ilmu hitam dari keluarga Everdeen.‘Ahli ilmu hitam?’ Ulang Edward dalam benaknya, rasanya agak akrab dengan hal-hal semacam ini.“Hahaha! Aku suka ekspresimu, Edward. Kau sepertinya sudah pernah beru