Aku duduk di kursi kayu panjang. Bersandar dengan menyilangkan tangan di depan dada. Memandang tenangnya air danau kebiruan di depanku kini.Cuaca pagi ini masih diselimuti kabut. Hawa terasa begitu dingin. Aku menyesal hanya memakai kemeja flanel lengan pendek datang ke tempat ini.Keadaan di sekitarku juga belum ramai orang. Bahkan, perahu-perahu kayu yang dipakai, sebagai transportasi untuk mengitari danau, atau mencapai pulau kecil ber-ikon batu cinta di tengah-tengah danau ini, masih berjejer rapi di pinggiran danau tanpa nahkodanya. Mungkin aku terlalu pagi datang ke tempat ini.Kuhirup udara di sini. Sejuk. Berpadu dengan alam. Sejauh mata memandang, hamparan air danau yang tenang, dikelilingi kebun teh yang menghijau, begitu memanjakan mataku.Hanya hitungan jari, aku pernah singgah ke tempat ini. Dan kini, Alwina seakan menuntunku untuk datang kemari. Menikmati alam terbuka untuk menenangkan diri.Memang tidak salah, aku menghubungi Alwina untuk mencari teman bicara. Pilihann
"Kamu sudah pernah melihatnya bertingkah laku seperti Kharisma? Emm, Karina itu sering pergi ke tempat hiburan malam, misalnya," tanya Alwina menyelidik.Aku menggeleng. "Aku ngga pernah mendatangi dan ngga tahu juga tempat-tempat seperti itu.""Lalu darimana, kamu bisa menyimpulkan, kalau dia sama seperti Kharisma?""Apa harus dibuktikan? Apa ngga cukup, hubungan darah mereka yang membuktikan kalau kelakuan mereka itu pasti sama?" desisku.Alwina memicingkan matanya. "Kamu yakin?" tanyanya terdengar santai."Yakinlah!" jawabku mantap."Berikan aku satu pernyataan, kalau kamu sudah melihat dengan mata kepala kamu sendiri, bahwa Karina berkelakuan seperti Kharisma!" pintanya.Dahiku mengernyit seketika. "Aku 'kan udah bilang, aku ngga pernah pergi ke tempat hiburan malam seperti itu, Wina! Selama ini pun, aku menjaga jarak dengannya. Apalagi sekarang, setelah kematian kakaknya yang memalukan! Aku sangat tidak menyukai dia, Wina!" tegasku."Kita lupakan sejenak mengenai kelakuan Kharis
Menjelang jam makan siang. Aku melajukan Fortuner hitamku menuju kafe, menembus jalanan yang mulai padat di siang hari ini.Selesai menemani Davina untuk tidur siang, aku memutuskan untuk pergi ke kafe. Bukan untuk meninjau seperti biasa. Tapi untuk mengambil makanan serta minuman paling best seller di kafe milikku itu, untuk kuantar menuju Gwyna Group. Kantor properti yang saat ini dipimpin oleh Alwina.Setelah menemuinya di kawasan danau beberapa hari lalu. Serta berlayar meski hanya dengan perahu kayu mengelilingi danau itu. Bertemu kembali dengan Wina seperti menjadi candu.Entahlah, aku juga tidak mengerti dengan apa yang menimpaku ini. Masih terlalu dini untuk menyimpulkan. Hanya yang aku tahu, aku selalu ingin menemuinya meski tanpa alasan pasti.Meski Wina ternyata tak satu penilaian denganku. Meski dia membantah ketidaksukaan ku terhadap Karina, tapi entah kenapa aku tidak marah padanya.Justru pikiranku sedikit terbuka, untuk mencari tahu kebenaran tentang Karina, agar keben
Aku beranjak dari depan mobil Alwina, menuju mobilku. Karena merasa tak punya pilihan lain, Alwina mengekor di belakangku. Membuka pintu mobil depan sebelah kiri dan masuk.Setelah siap, kulajukan mobil meninggalkan gedung Gwyna Group. Memacu mobil sesuai arah yang diberikan Alwina, karena aku belum tahu rumahnya selama ini.Sampai akhirnya mobilku memasuki kawasan perumahan elite. Lebih elite dari komplek perumahanku. Alwina menunjukkan rumahnya ada di bagian ujung blok pertama perumahan tersebut.Alwina meminta untuk membawa mobilku masuk ke halaman rumahnya. Aku hanya bisa menurut.Tiba di ujung perumahan, aku membawa mobil masuk setelah pagar tinggi bercat hitam itu terbuka. Lalu menghentikan mobil di halaman luas rumah berlantai dua milik Alwina.Dengan cepat Alwina melepas seat belt, dan tergesa keluar dari mobil. Aku masih di belakang stir kemudi. Alwina berlari ke arah teras rumahnya. Di depan sana pun, Naga yang tengah dijaga pengasuhnya, berlari menyambut kedatangan Ibunya.
Alwina menggeleng. "Kalau Tuhan sudah menghendaki mereka bersama, kamu bisa apa?" tanya Alwina terdengar menantang.Aku mengangkat kedua bahu. "Semoga ada keajaiban dari Tuhan, yang tidak kita ketahui dan membatalkan pernikahan mereka," ucapku, sambil tersenyum sinis.Lagi-lagi Alwina menggeleng. "Berdoalah yang baik-baik, Dewa. Jangan pernah mendoakan keburukan! Kamu tahu kenapa? Karena setiap doa itu, akan kembali pada diri kita sendiri!" petuahnya.Sebelah alisku terangkat. "Aku nggak percaya," sanggahku terhadap petuahnya barusan.Alwina mengangkat kedua bahunya. "Percaya atau nggak, itu hak kamu! Sebagai teman, tugasku hanya mengingatkan saja. Tapi menurutku, ngga ada ruginya juga kok, kamu mendoakan yang baik untuk adik kamu itu. Misalnya, jika adik kamu dan Karina batal menikah, semoga kelak keduanya dipertemukan dengan jodoh masing-masing yang jauh lebih baik," pungkasnya. Terdengar begitu bijak di telinga ini.Kuhela napas panjang. Alwina selalu bijak. Rasanya, setiap ucapan
Aku terdiam sejenak. Netraku masih memperhatikan wajah dalam tangkapan awal file video di depanku ini.Itu benar adikku. Nakula Prathayuda. Segala tanya memenuhi kepalaku. Jariku sampai gemetar dibuatnya.Kutarik napas dalam-dalam. Kemudian kuhembuskan perlahan. Berkali-kali kulakukan, hingga kurasa cukup tenang. Jari tanganku pun tidak segemetar tadi.Dengan segenap kekuatan dan keberanian. Akhirnya jariku tergerak, untuk menekan file video itu.Klik!Netraku membeliak. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Rasanya hampir keluar dari tempatnya. Nakula dengan Kharisma?Nakula tidak bertelanjang dada, tapi dia ternyata tak memakai sehelai benang pun. Begitu juga dengan si perempuan.Nafasku terasa sangat memburu. Netraku memanas dibuatnya. Tenggorokanku tercekat.Nakula menggau*i kakak iparnya sendiri.Aku menurunkan laptop dari pangkuan. Menarik kaki dan memeluk kedua lutut. Menyaksikan video itu berputar.Desahan serta racauan terdengar jelas dari video lakn*t itu. Bagaimana merek
*****Duduk di teras balkon, seraya menyesap rokok yang terapit di sela jari tangan. Entah sudah berapa banyak rokok yang kusesap sepagi ini. Juga entah berapa banyak gelas kopi yang kuhabiskan.Sudah dua minggu, aku di rumah. Urusan kafe, kuserahkan penuh pada karyawan. Entah kemana semangat kerja yang selama ini selalu menggebu dalam jiwaku. Semuanya hancur. Semua melebur. Setelah bukti permainan gila Kharisma dan Nakula terkuak.Setelah kutelusuri kembali. Ternyata memang hanya ada satu video menjijikan Kharisma bersama Nakula. Tidak sebanyak video Kharisma bersama Guntur. Meski hanya satu, tapi mampu menghancurkan hidupku.Dua minggu, aku menghabiskan waktu di rumah bersama Davina. Hanya senyum dan kelucuannya pelipur luka ku saat ini. Hanya kepolosan dan keceriaan tawa dari Davina yang bisa membuatku, sejenak melupakan kebej*tan Mamanya.Walau setelah melihat video Kharisma bersama Nakula, terbersit dalam pikiranku. Apakah Davina benar darah dagingku? Ataukah Davina, merupakan be
Tiba di barber shop langganan. Aku segera melakukan perawatan khusus pria. Rambut serta wajahku segera mendapatkan pelayanan.Selesai dari barber shop ini. Aku akan menemui Alwina, lalu mengecek gedung pernikahan Nakula.Wajahku telah mendapatkan perawatan. Telihat sedikit segar dan tidak lagi kusam seperti tadi. Begitu juga rambutku yang telah dipangkas dan sudah rapi.Jika ditelisik. Tidak ada yang kurang dari diriku. Wajahku rupawan. Fisikku juga tinggi tegap berkulit putih. Aku juga pebisnis handal. Tapi kenapa, nasibku harus seperti ini? Mengenaskan. Orang-orang terdekat, justru mengkhianati tanpa ragu.Kuhela napas panjang. Urusan di barbershop telah selesai. Aku langsung meluncur menuju rumah Alwina. Tapi sebelum itu, aku sempatkan mengambil menu makanan siang dari kafe. Karena sebentar lagi, sudah masuk jam makan siang, dan Alwina pasti pulang ke rumahnya.*****Sampai di halaman depan rumah Alwina, dan baru saja mematikan mesin mobil. Nampak sedan merah milik Alwina pun masuk
Satu setengah tahun kemudian…...Aku berdiri di depan pagar rumahku. Menatap bangunan dua lantai yang ada di seberang rumah ini.Bangunan yang sudah satu tahun terakhir, menjadi kaffe baru milik Dewa.Setelah melalui perundingan dan pemikiran yang matang. Aku dan Dewa akhirnya mencapai kesepakatan.Aku resmi keluar dari Gwyna Group. Aku menjual saham serta kantor itu pada adik iparku. Juga rumah mewah peninggalan Mas Guntur pun, telah aku jual.Aku dan Dewa sepakat. Akan memulai hidup baru. Benar-benar baru. Tanpa sedikitpun jejak masa lalu.Begitu juga dengan Dewa. Empat bangunan kaffe miliknya, berhasil ia jual dengan harga tinggi.Dia lalu memilih bangunan rumah di seberang rumah kami, untuk dijadikan caffe miliknya.Dewa memulai bisnis kafe dari awal lagi. Bahkan dari nol. Kafe dengan nama baru, akan tetapi dia masih memperkerjakan Haris, orang kepercayaannya di kafe yang lama.Dia memilih membangun kafe di seberang rumah ini, agar dia tak perlu lagi meninggalkan keluarga kecil
*********Aku melakukan apa yang Dewa inginkan. Dia telah melucuti celana training yang dipakainya. Kedua tanganku, bergerak menyentuh lalu menggenggam pusaka miliknya. Bergerak mengurut dari ujung hingga pangkal. Setelahnya, lantas meremas bagian pangkalnya. Hingga pusaka itu mulai menggeliat untuk berdiri.Dewa menegakkan tubuhnya cepat, untuk melepas kaos oblong yang melekat. Hingga sekarang, tubuh atasnya telah polos. Dewa kembali membungkuk lalu menyambar kembali bibirku. Kedua tangannya, mencoba menarik baju yang masih menutupi tubuhku. Hingga sampai di bagian dada, kami melepas cumbuan kami sejenak, agar bajuku terlepas.Kami melanjutkan cumb*an yang terhenti. Dewa dengan tubuhnya yang sudah polos, dan tubuh atasku yang hanya terbalut bra.Entah kenapa, cumb*an sore ini, terasa begitu panas. Kulit tubuh bagian atas tubuh kami, saliing bersentuhan. Tak ada jarak.Dewa menurunkan cumb*annya ke leher, lalu kedua bahuku yang polos. Turun ke bagian dada. Dan membuatku cukup terlena.
Pagi ini, aku tidak bangun terlambat lagi. Jam lima pagi, aku sudah berkutat di dapur. Menyiapkan sarapan untuk Naga dan juga aku. Sementara Dewa, dia hanya meminta untuk dibuatkan roti kupas isi selai seperti biasa. Tak ketinggalan, segelas cappucino hangat sebagai teman rotinya.Aku tengah membuat sup ayam. Juga nasi yang sudah kutanak menggunakan magic com. Aku memang membiasakan Naga untuk langsung makan nasi saat sarapan.Aku mematikan kompor. Saat sup ayam buatanku sudah mendidih dan matang. Aku menuangkan sedikit kuahnya pada sendok, lalu mencicipinya. Dan rasanya, selalu pas.Selesai membuat sup ayam. Lantas aku menanak air dalam panci kecil. Untuk menyeduh cappucino pesanan Dewa. Aku masih tidak mengerti, apa dia kenyang sarapan roti dan kopi seperti ini? Hanya dua lembar roti dan segelas kopi. Dan dia baru akan makan makanan berat, pada jam 11 siang nanti. Apa dia akan memiliki tenaga?Sedangkan sependek yang aku tahu, sarapan itu penting. Karena setelah semalaman kita tidur
********Setelah aku berhasil menemukan Dewa di rooftop kafe miliknya semalam. Aku dan Dewa, akhirnya sama-sama pulang ke rumah baru kami.Dan pagi ini.Aku kembali mendatangi pusara Davina, tentu bersama Dewa.Laki-laki dengan tatapan mata bak elang itu. Saat ini masih berjongkok di sisi gundukan tanah yang masih dipenuhi kelopak bunga tabur.Dia juga menaruh buket bunga mawar putih, di dekat papan nisan yang tertancap. Tangan besarnya, meraba, mengusap dan menelisik tulisan yang tertera di papan nisan tersebut.Kemudian, ia menempelkan keningnya, pada papan nisan. "Bagaimana pun, kamu pernah menjadi satu-satunya pelipur dalam hidup ini. Meski kenyatannya, kita bukanlah siapa-siapa. Semoga kamu selalu berada dalam kedamaian, Sa—yang. Tenanglah, dan berbahagialah di sana!" ucapnya setengah berbisik. Namun, masih dapat kutangkap. Sebab, aku berada dekat di sampingnya.Dan terakhir. Ia mencium papan nisan itu cukup lama. Hingga menyudahinya, dan mengajakku kembali ke rumah baru kami.**
Davina telah kembali pada pangkuan Sang Khaliq. Ia telah pergi menuju kedamaian yang abadi. Pusaranya dipenuhi kelopak bunga tabur. Di sisi papan nisan yang terukir namanya, Bu Titi menangis sesenggukan. Dengan tangan kirinya yang masih dipasangi arm sling.Bu Titi, aku serta Bi Ima. Masih terpekur di samping pusara, tempat peristirahatan terakhir anak kecil manis nan menggemaskan itu. Sama seperti Bu Titi, Bi Ima pun menangis pilu di sebelahku.Sekuat hati, aku menahan agar tak menangis. Tetapi, lelehan air mataku, bak tanggul yang bisa jebol kapan saja. Tangisku pun tak dapat dibendung."Bu, maapkan saya, Bu. Gara-gara saya, Davina jadi meninggal. Pak Dewa pasti marah sekali sama saya, Bu … Saya sudah membuat anaknya meninggal …." ujar Bu Titi di sela isakan tangisnya.Aku mengusap wajahku yang basah. Lalu mengusap-usap bahu Bu Titi. Perempuan seusia Bi Ima, yang tengah meratapi kepergian putri asuhnya ini."Nggak, Bu! Ini bukan karena Ibu. Kematian itu pasti datang. Semua ini, suda
Tiba di RS Harapan. Aku serta Dewa buru-buru mencari keberadaan Davina. Setelah sebelumnya, menanyakan informasi tentangnya.Sampai di depan kamar dimana Davina ditangani. Bi Ima pun sudah ada di sana. Ia bangkit dari duduknya dan berhambur memelukku. Bi Ima terisak begitu saja."Gimana Davina sekarang, Bi? Kalian mau pergi kemana? Kenapa nggak hubungi saya kalau kalian mau pergi? Aghh!" Dewa melayangkan kepalan tangannya di udara.Sedangkan Bi Ima, tak berucap apa pun. Dia masih terisak dalam pelukanku. Aku pun hanya bisa mengusap-usap lengannya, agar ia sedikit tenang dan mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.Klek!Pintu ruangan terbuka. Berbarengan dengan seorang dokter wanita yang keluar."Bagaimana? Sudah ada keluarga dari Ananda Davina? Korban harus segera mendapat transfusi darah," ujar sang dokter.Dewa maju dengan sigap ke hadapan dokter tersebut. "Saya ayahnya, Dok. Ambil darah saya. Selamatkan Davina, Dok!" ucap Dewa memohon.Dokter itu mengangguk cepat. "Baik. Mari
Kutarik napas dalam sepenuh dadaku."Semalam. Saat kita melakukan hubungan suami istri. Dan kamu udah duluan sampai ke puncak. Aku saat itu, sama sekali belum merasakan apa-apa. Aku nggak merasa terpuaskan sama sekali …."Senyum di bibir itu seketika lenyap. Setelah aku berucap demikian.Keningnya melipat. Tatapan matanya meredup dan raut wajahnya penuh tanya menatapku."Maksudnya?" tanyanya pelan.Aku menelan saliva. Mengumpulkan segenap kekuatan. Otakku berputar, mencari kata-kata yang tepat agar maksudku tersampaikan tapi tidak mwmbuat Dewa tersinggung.Kembali aku menarik napas sepenuh dada."E—eu—m … I—i—iyyaa … jadi … aku belum mencapai klimaks saat milik kamu sudah selesai …." Hati-hati dan pelan aku mengutarakan apa yang aku rasakan semalam.Dewa nampak terdiam. Semoga aku tidak salah berucap dan Dewa mengerti apa yang kusampaikan."Apa kamu mau menuduhku lemah syahw*t juga, seperti yang Karina lakukan?" tanyanya dengan tatapan mendelik.Sontak netraku membeliak mendengarnya.
*****Jam delapan malam.Aku sedang menyisir rambutku. Duduk di depan meja rias. Aku masih berdua di rumah baruku bersama Dewa ini.Malam ini. Lingerie hitam dengan belahan dada agak rendah, membalut tubuhku. Panjangnya hanya sampai lutut. Dua utas tali dibagian pundak, hanya sebagai penyangga. Membiarkan pundakku terekspos.Aku rasa, penampilanku saat ini sudah cukup menggoda. Harusnya bisa membangkitkan dan membuat gairah Dewa lebih dari kemarin.K l e k!Pintu kamar dibuka. Berbarengan dengan Dewa yang masuk ke dalam kamar ini. Pandangan mata kami bertemu, dalam pantulan cermin di hadapanku.Dewa menutup pintu kembali. Lantas dia berjalan mendekat. Dan kali ini, memang berjalan ke arahku. Dewa menghenyakkan bobotnya di ujung meja rias di hadapanku. Dia menatapku. Aku lantas menunduk, tak kuat untuk lama-lama menatap mata elangnya.Daguku disentuh ujung jarinya, lalu diangkat. Hingga tatapan kami bersirobok. Mau tak mau, aku pun harus kembali menatapnya."Kamu nggak dingin pakai baj
****Apa yang barusan terjadi antara aku dan suamiku itu?Dia sudah merebahkan tubuhnya di sampingku dengan napasnya yang terengah. Sedangkan aku, masih belum mencapai puncak yang kuinginkan. Bahkan milikku saja masih berdenyut tak karuan di bawah sana.Oh. Ya, ampun. Ada apa ini?Aku masih telentang dengan pandangan lurus menatap langit-langit kamar baruku ini.Aku beranikan diri menoleh pada Dewa yang sudah berbaring tepat di sebelahku. Dia masih terjaga. Dadanya nampak naik turun. Lantas, dia pun menoleh padaku dan tersenyum, kemudian mendekatkan wajahnya.Cup.Dia mengecup keningku sekilas, dan kembali ke posisinya semula. Sambil menarik selimut dengan kakinya, untuk menutupi tubuhnya. Dia juga membenahi selimut itu, agar menutupi tubuhku. Kemudian, matanya mulai ia pejamkan.Dia tidur?Aku memalingkan wajahku kembali.Apa ini? Apa yang terjadi pada Dewa? Apa dia sudah mencapai klimaksnya saat penyatuan tadi?Kepalaku disergap berbagai pertanyaan. Sedangkan inti bawah tubuhku masih